79. Rumus Mutlak Sebab Akibat

Pagi itu tidak seperti biasanya. Kalau di hari-hari biasa Vanny bangun pukul lima pagi, maka kali ini berbeda. Alarm yang ia setel berhasil menyentak kesadarannya tepat di pukul empat.

Bukan tanpa alasan. Melainkan karena keberadaan Bhakti yang membuat Vanny mengubah kebiasaannya.

Vanny mencuci muka. Mengikat rambut dan sekarang sudah berada di dapur. Ia membuka kulkas. Mengeluarkan beberapa bahan mentah yang ada di sana. Dan ketika ia melihatnya, Vanny merasakan jantungnya berdebar.

Kedua tangan Vanny naik. Saling bertautan satu sama lain. Tepat di depan dada kirinya. Berusaha untuk menenangkan gemuruh di sana ketika napasnya pun terasa payah.

Apa yang Papa suka? Papa biasanya sarapan apa? Apa Papa ada alergi makanan? Pantangan makanan?

Vanny menyadari bahwa dirinya tidak tau apa pun tentang ayahnya. Hingga membuat dirinya merasa payah ketika memutuskan untuk menyiapkan menu sarapan pagi itu. Dengan satu ketakutan yang muncul di benaknya.

G-gimana kalau Papa nggak suka?

Vanny menguatkan diri. Berusaha untuk menyingkirkan pikiran buruk itu ketika pada akhirnya ia memutuskan untuk mulai memasak. Dan itu membuat ia sedikit menyesal. Karena hidup seorang diri hingga ia hanya menyiapkan bahan mentah seadanya.

Tidak ada banyak pilihan yang Vanny miliki. Praktis ia hanya memasak nasi goreng. Sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya.

"Kamu masak, Van? Aromanya tercium ke mana-mana."

Suara Bhakti mengejutkannya. Vanny sontak berpaling dan mendapati kedatangan sang ayah.

Untuk beberapa saat, Vanny tertegun. Melihat kedatangan Bhakti dalam diam. Lantaran tidak pernah ia mengira bahwa suatu hari nanti ia akan melihat keberadaan Bhakti bahkan sebelum matahari menampakkan diri.

Vanny mengangguk dan Bhakti mendekatinya. Melihat pada wajan. Senyum teduh itu mengembang.

"Papa suka nasi goreng."

Satu kalimat yang terdengar biasa-biasa saja. Tapi, yakinlah. Setiap anak akan selalu menyukainya. Ketika pekerjaan dan usahanya mendapatkan penerimaan dari orang tua, itu adalah hal yang terindah.

Wajah Vanny seketika berseri-seri. Matanya berbinar-binar.

"Aku akan menyiapkannya untuk Papa."

Tuntas mengatakan itu, Vanny beranjak. Meninggalkan Bhakti dan menuju rak piring. Dengan penuh suka cita menyiapkan menu sarapan itu di dua piring yang berbeda dan menyajikannya di meja makan. Tanpa disadari bahwa ada setitik air mata yang timbul di sudut matanya. Satu hal yang ternyata terjadi pula pada Bhakti. Matanya terasa panas. Karena pada saat itu keduanya merasakan hal yang sama.

Seharusnya seperti ini. Seharusnya memang seperti ini.

Maka baik Bhakti maupun Vanny menyadari bahwa pilihan mereka adalah pilihan yang tepat.

*

Ketika pagi itu Haris turun dari mobil dan mendapati Vanny yang menunggu kedatangannya, ia langsung terpaku pada sepasang mata Vanny. Yang tampak membengkak. Haris tidak perlu bertanya untuk yakin bahwa Vanny habis menangis. Dan tentunya menangis bukan sembarang menangis. Lantaran Haris pun bisa menebak apa penyebab Vanny menangis hingga matanya membengkak seperti itu.

"Kamu baik-baik aja, Van?"

Itulah pertanyaan yang Haris lontarkan saat mereka berdua sudah berada di dalam lift. Ketika pintu menutup dan lift perlahan bergerak, ia berpaling. Melihat pada Vanny dan menatap lekat pada matanya. Seolah ingin menemukan sendiri jawabannya dari sorot yang terpancar di sana.

Vanny mengangguk. "Aku baik-baik saja."

Ada senyum yang tersungging di wajah cantik Vanny. Tapi, Haris tidak percaya begitu saja. Karena mana ada orang yang baik-baik saja ketika menangis?

Tangan Haris naik. Menangkup satu pipi Vanny. Membiarkan ibu jarinya bergerak dalam elusan yang membuat Vanny meremang.

"Kamu nggak ribut kan sama Papa kamu?"

Vanny tertegun sejenak. Matanya yang melirik ke bawah tampak mengintai pergerakan ibu jari Haris. Seperti tengah berjaga-jaga dari setiap kemungkinan yang bisa dilakukannya.

"Nggak," ujar Vanny menjawab seraya menggeleng samar. "Kami nggak ribut."

"Terus kenapa mata kamu sampai bengkak begini? Kamu pasti nangis kan? Gara-gara Papa kamu kan?"

Bukan hal yang aneh bila Haris melayangkan pertanyaan bertubi-tubi seperti itu pada Vanny. Dan Vanny pun menyadari kekhawatiran Haris. Itu adalah hal yang manusiawi dan amat lumrah terjadi. Tapi, tentunya Vanny tidak membenarkan kekhawatiran tersebut.

Vanny membuang napas seraya memulas senyum di wajahnya. Satu isyarat yang ia berikan pada Haris demi meyakinkan cowok itu bahwa semua tidak seperti yang ia bayangkan.

"Tenang, Ris. Semua nggak seperti yang kamu pikir."

Tidak semudah itu menenangkan rasa khawatir Haris. Tapi, ketika pergerakan lift berhenti dan pintunya membuka, Haris harus menahan sejenak keinginannya untuk menginterogasi Vanny lebih jauh.

Haris dan Vanny keluar dari lift. Sebelum Haris masuk ke ruangannya, seperti biasa ia mengingatkan Vanny untuk mengantarkan kopinya. Dan setelah kopi itu tersaji di meja kerjanya, tentu saja Haris tidak langsung menyuruh Vanny pergi. Alih-alih menyuruhnya duduk terlebih dahulu.

"Jadi ..."

Haris menyesap sejenak minuman pekat bewarna hitam itu. Merasakan sensasi pahitnya terlebih dahulu sebelum benar-benar melayangkan pertanyaannya. Tepat ketika cangkir kembali mendarat di tatakan, ia bertanya.

"... Papa mertua benar-benar tinggal di apartemen kamu sekarang?"

Duduk tepat di hadapan Haris dan dipisahkan satu meja yang berukuran besar dan lebar, Vanny mengangguk.

"Iya, Ris."

Jawaban yang sungguh tidak ingin Haris dengar sepertinya. Tapi, sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak meringis pilu di hadapan Vanny.

"Mulai kemaren Papa tinggal di apartemen aku."

Pandangan mata Vanny berangsur kosong. Ekspresi wajahnya perlahan memudar. Tepat ketika ia menuntaskan jawabannya dengan satu kalimat pasti.

"Papa make kamar Mama dulu."

Haris tertegun. Terlupakan seketika dengan kesedihan dirinya yang tidak terima dengan kepindahan Bhakti di apartemen Vanny. Ia diam, tidak mengatakan apa-apa ketika jelas ia lihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Vanny yang seolah tertarik ke masa lalu.

Vanny termenung. Seolah sedang kembali pada masa di mana sang ibu masih ada. Masih hidup dan masih menemani dirinya.

"Aku cuma nggak pernah ngira kalau pada akhirnya Papa akan kembali lagi ke aku, Ris."

Sorot mata Vanny masih terlihat kosong. Tapi, untuk perkataannya yang satu itu, Haris tidak mampu menahan diri. Terlepas begitu saja. Ia mengangguk dan menyeletuk.

"Apalagi aku, Van. Aku juga nggak pernah ngira Papa mertua bakal datang di waktu yang sangat tepat. Dan ternyata datang bukan sembarang datang."

Vanny tidak menanggapi perkataan Haris ketika cowok itu jelas tersenyum masam saat mengatakan hal tersebut.

"Tapi, Papa mertua sekarang tinggal bareng kamu ... memangnya dibiarin sama Tante Widia?"

Tatkala pertanyaan itu meluncur dari bibir Haris, cowok itu baru menyadari keanehan tersebut. Rasanya janggal bagi Haris kalau Bhakti bisa pindah dan tinggal bersama dengan Vanny ketika ia tau persis bagaimana sifat Widia. Mustahil kalau Widia mengizinkan Bhakti pindah begitu saja.

Dan Haris bisa menangkap keanehan itu tepat di perubahan ekspresi Vanny. Sorot matanya seketika terisi kembali. Tapi, Vanny tidak langsung menjawab pertanyaan Haris. Ia terlihat serba salah.

"Karena kalau menurut aku ..."

Haris lanjut bicara seraya mengusap ujung dagunya. Kerutan muncul di dahinya. Dalam ekspresi bingung.

"... rasanya nggak mungkin deh Tante Widia ngizinin Papa mertua buat tinggal sama kamu."

Vanny menggigit bibir bawahnya. Sempat terbersit di benaknya untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Tapi, ada dua hal yang terasa mendesak dirinya.

Pertama, rasa ingin tahu Haris. Tentu saja cowok itu tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Dan yang kedua, Haris pasti akan tau pula apa yang tengah terjadi. Cepat atau lambat.

"Papa akan bercerai, Ris."

Mendengar hal tersebut, Haris manggut-manggut. Awalnya.

"Oh," lirih Haris. "Begitu."

Namun, sejurus kemudian sepertinya benak Haris baru mengetahui apa arti dari kata bercerai. Manggut-manggutnya hilang. Tergantikan kesiap dengan mulut menganga dan mata melotot.

"Apa?!"

*

Ketika pada akhirnya Diman menghentikan laju mobil tepat di pelataran rumah, Haris dengan segera turun. Bergegas, ia masuk ke rumah dengan langkah setengah berlari. Kala itu hari sudah sore. Dan Haris bisa menebak bahwa sang ibu tengah berada di dapur. Dengan aktiivitas hariannya yang berkutat dengan bahan-bahan masakan demi menyiapkan makan malam.

"Mama!"

Haris berseru memanggil Sekar. Dengan amat tiba-tiba hingga membuat sebuah kentang lepas dari tangan wanita paruh baya itu.

Sekar kaget. Tampak mendelik. Ingin mengomeli sang putra yang datang-datang langsung membuat ia terkejut setengah mati.

Namun, belum lagi omelan itu keluar dari bibir Sekar, Haris sudah keburu bicara. Dengan tangan yang amat cepat menyambar tangan ibunya.

"Ma, aku punya berita penting. Dan ini lebih penting dari makan malam Papa."

Bagi Sekar tidak ada yang lebih penting dari menyiapkan makan malam untuk Arif. Terlebih lagi setelah kejadian tempo hari. Tapi, Haris bersikeras. Tak terbantahkan ketika ia mengajak ibunya untuk pergi meninggalkan dapur. Membawa Sekar ke kamarnya. Dan lalu ia berkata.

"Om Bhakti dan Tante Widia mau bercerai, Ma."

Reaksi Sekar persis seperti reaksi Haris tadi. Terkesiap dengan amat kaget hingga matanya pun melotot besar.

"Apa?"

Haris mengangguk dengan mimik wajah misterius. "Mereka mau cerai."

Mulut Sekar masih menganga untuk beberapa saat. Tapi, lantas ia buru-buru menutup mulutnya dan geleng-geleng kepala.

"Kamu jangan ngomong sembarangan, Ris. Pamalik. Nggak boleh ngomongin rumah tangga orang yang nggak-nggak."

Bola mata Haris berputar dengan dramatis. Menarik napas sekilas dan membuangnya dengan kesan remeh.

"Aku nggak ngomong sembarangan, Ma. Aku serius. Aku jujur. Aku ngomong sesuai fakta di lapangan."

Keseriusan Haris membuat Sekar bingung. Yakin kalau putranya tidak akan bohong untuk hal yang sepenting itu. Tapi, tentunya masih sulit untuk dirinya percaya.

"Kemaren aku ke apartemen Vanny, Ma."

Pada akhirnya Haris pun memulai ceritanya. Demi bisa meyakinkan ibunya untuk keakuratan informasi yang ia berikan.

"Terus Om Bhakti datang. Bawa koper. Dan ternyata Om Bhakti mau tinggal di apartemen itu bareng dengan Vanny."

Sekar yang mendengar penuturan Haris, dengan alamiah mengernyitkan dahi. Jelas merasakan keanehan yang serupa dengan yang dirasakan Haris.

"Memangnya Widia nyuruh Bhakti buat tinggal sama Vanny?"

"Nah itu dia!"

Wajah Haris seketika berseri-seri dengan jari yang refleks menjentik sekali hingga menimbulkan bunyi.

"Nggak mungkin Tante Widia nyuruh. Dan ternyata alasannya adalah karena mereka mau bercerai."

Kembali mendengar hal serupa untuk yang kedua kali, nyatanya Sekar tetap terkejut. Bahkan kali ini tangan Sekar naik dan langsung menutup mulutnya yang kembali membuka.

"Ya Tuhan," kesiap Sekar kembali terdengar. "Jadi Bhakti dan Widia benar-benar mau bercerai?"

Memasang wajah serius, Haris mengangguk tanpa ada keraguan sedikit pun. Dan kala itu satu kalimat polos meluncur begitu saja dari bibir Sekar.

"Astaga. Mama nggak ngira kalau mereka bakal bercerai. Dan semoga saja itu bukan karena kita."

Keseriusan di wajah Haris menghilang seketika. Tergantikan oleh kebingungan dengan perkataan yang diucapkan Sekar.

"Kok gara-gara kita, Ma?"

Sekar mendelik. "Kamu lupa?" tanyanya tanpa menunggu Haris untuk menjawab. "Kan mereka ribut karena kita datang mendadak ke rumah Bhakti waktu itu. Masa kamu lupa sih? Orang jelas sekali yang buat mereka ribut karena kita yang tiba-tiba mau melamar Vanny."

Haris melongo. Dengan mulut yang membuka walau tak ada satu kata pun yang ia ucapkan, ia seolah baru tersadar untuk satu kenyataan.

"Ya Tuhan, Ma," desis Haris ngeri. "Apa Om Bhakti mau cerai karena kejadian malam itu?"

"Menurut kamu, Ris?"

Malah balik bertanya, Sekar sukses membuat Haris meneguk ludah. Wajahnya yang tadi penuh dengan antusiasme ghibah versi anak dan ibu, sekarang menghilang sudah. Tergantikan oleh ekspresi penuh rasa bersalah.

"M-masa aku jadi penyebab perceraian Om Bhakti sih, Ma?"

Sekar tampak mesem-mesem. "M-mungkin kamu nggak bisa dibilang penyebab perceraian Bhakti, Ris."

Ada secercah kelegaan yang timbul di dada Haris karena perkataan Sekar.

"Tapi, Mama rasa kamu adalah pemicunya."

Kelegaan itu menghilang seketika. Haris manyun. Merengek tidak terima.

"Mama."

Sekar berdecak. Meraih Haris seraya geleng-geleng kepala.

"Lagipula kan Bhakti dan Widia memang sudah terkenal di kalangan orang-orang kalau hubungan mereka itu agak dingin. Ya anggap saja kamu itu seperti secuil percikan api di timbunan jerami kering."

Sungguh Haris tidak mengira Sekar akan mencap dirinya seperti itu. Karena memang pasti mustahil satu kejadian itu bisa menjadi penyebab perceraian. Di rumah tangga manapun, terkadang perceraian terjadi karena penumpukan masalah yang telah terjadi bertahun-tahun. Dan memang hanya dibutuhkan satu pemicu kecil untuk akhirnya perceraian itu bisa terjadi.

Namun, tentu saja Haris tidak ingin dituding sebagai pemicu itu. Terlebih lagi karena ibu kandungnya sendiri yang mengatakan itu.

"Mama ini," gerutu Haris. "Bisa-bisanya ngomong aku pemicu perceraian Om Bhakti."

Sekar tersenyum kaku. "Kan cuma pemicu, Ris."

"Cuma apaan, Ma?"

Haris tidak ingin mendapat cap seperti itu. Jelas tidak terima. Karena satu hal yang pasti.

"Masa aku dibilang pemicu perceraian Om Bhakti? Pemicu perceraian calon mertua sendiri?" tanya Haris tak percaya. "Ya ampun. Di mana ada calon menantu menjadi pemicu perceraian calon mertua?"

Miris dan ironis, tapi yang Haris katakan memang benar. Dan Sekar tak bisa berbuat apa-apa. Karena sejurus kemudian Haris langsung menjerit frustrasi.

"Cuma aku, Ma. Kayaknya cuma aku yang begitu!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top