76. Keputusan Yang Sempat Tertunda
"Mama."
Ketika Bhakti sudah berlalu dari sana, Tasya memaksa kakinya untuk bergerak. Melangkah walau tertatih. Menghampiri Widia yang terus menangis tanpa henti.
"Mama."
Widia berpaling. Menatap Tasya dengan sepasang mata yang penuh dengan genangan air mata. Kesedihan terpancar jelas di sana. Ia buru-buru meraih Tasya.
"Tasya."
Tasya hanya bisa diam ketika kedua tangan Widia naik dan menangkup wajahnya. Widia menatapnya dengan lekat. Bola matanya yang kabur meneliti keadaan sang putri. Memastikan bahwa Tasya baik-baik saja.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Widia khawatir. "Kamu nggak usah takut. Mama akan melakukan apa pun agar kamu bahagia."
"Ma."
Tasya memegang tangan Widia. Menahan kata-kata yang siap untuk kembali terucap dari bibirnya.
"Maafin aku, Ma," kata Tasya lirih. "Aku minta maaf."
Widia terdiam untuk beberapa saat. Ia seolah butuh waktu untuk mencermati apa maksud perkataan Tasya. Lalu ketika dilihatnya mata Tasya yang mengembun detik demi detik, Widia segera menggeleng.
"Nggak, Sya. Kamu nggak salah apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf."
Namun, wajah Tasya terlihat makin merasa berdosa. Mendorong ia untuk kembali mengucapkan permintaan yang serupa.
"Maafin aku, Ma. Gara-gara aku, Mama dan Papa---"
Ucapan Tasya menggantung di sana. Karena selanjutnya ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Pundak Tasya berguncang. Isakan yang sedari tadi ia tahan, pecah. Air mata yang sedari tadi ia bendung, tumpah. Ia menangis dengan rasa penyesalan.
"Maafin aku, Ma."
Tangisan Tasya membuat Widia tertegun. Ia buru-buru mengusap air mata Tasya tanpa memedulikan air matanya sendiri.
"Kamu nggak salah, Sya. Bukan kamu yang salah," ujar Widia berulang kali seraya terus menggeleng. "Ini semua salah Diah dan Vanny."
Tasya menggigit bibir bawahnya. "Mama."
Pandangan Widia berpindah. Menuju ke lantai atas. Dengan napas menggebu, ia lantas berkata.
"Kamu tunggu di sini, Sya."
Tasya menggeleng. Berusaha menahan Widia.
"Mama harus bicara sama Papa. Papa nggak boleh seperti ini ke kamu."
"Ma, jangan."
Tasya masih berusaha menahan Widia. Ia terus menahan agar Widia tidak pergi. Lantaran satu alasan.
"Aku nggak mau Mama ribut lagi dengan Papa."
Namun, Widia tidak mendengarkan perkataan Tasya. Ia bangkit. Mengabaikan Tasya dan dengan langkah terburu-buru, ia segera menaiki anak tangga satu persatu.
Widia segera menuju ke kamar. Berniat untuk langsung bicara kembali dengan Bhakti, ia justru tertegun ketika melihat pemandangan di kamarnya.
Kepala pelayan mereka yang bernama Marsita baru keluar dari ruang pakaian. Dengan menyeret satu koper. Yang tentu saja berisi pakaian.
Tubuh Widia membeku. Menatap kosong pada koper itu sementara Marsita menundukkan wajahnya. Tidak berani melihat Widia. Takut pula untuk bersuara.
Bhakti muncul. Ia yang semula ingin langsung pergi dari sana, sontak berhenti melangkah ketika menyadari keberadaan Widia.
"Papa serius?"
Ada ketidakpercayaan dan kepedihan yang tersirat dari suara Widia. Yang mungkin ia pikir akan bisa menyentuh rasa iba Bhakti. Untuk menarik ucapannya. Untuk tidak benar-benar meninggalkan rumah tangga yang sudah lama mereka bina.
"Sekarang aku tidak punya pertaruhan apa-apa lagi."
Bhakti menarik napas dalam-dalam. Dan Widia menyadari kebenaran dari perkataan Bhakti. Hingga ringisan tak mampu ia tahan lagi.
"Karena orang tuaku sudah nggak ada lagi?"
Widia tidak ingin mengakuinya. Tapi, ia bisa dengan cepat mengambil kesimpulan tersebut. Baik Widia maupun Bhakti sudah sama-sama tidak memiliki orang tua lagi. Dan itu membuat Widia tersadar akan satu hal.
"Kamu pengecut, Bhakti!"
Bentakan Widia membuat Marsita dengan cepat mengambil tindakan. Ia keluar dari kamar itu. Tidak ingin terlibat dalam pertengkaran suami istri tersebut.
"Kamu mau meninggalkan aku dan Tasya setelah orang tua aku nggak ada lagi?! Setelah semua yang telah aku dan keluarga aku berikan, kamu mau seenaknya pergi?!"
Widia maju. Mencengkeram kemeja Bhakti dan menunjukkan mimik amarahnya pada pria itu.
Bhakti bergeming. Sama sekali tidak menarik diri dari serbuan Widia. Alih-alih ia menghadapinya.
"Iya," angguk Bhakti. "Aku memang pengecut, Widia. Karena kalau aku tidak pengecut, aku tidak akan pernah meninggalkan Diah dan Vanny!"
Tatapan Bhakti menyiratkan kepedihan yang serupa dengan yang dirasakan oleh Widia. Serupa, tapi tentu saja tidak sama. Karena pada titik itu, Bhakti kembali berkata.
"Seharusnya kamu tau pria macam apa yang kamu nikahi, Widia. Aku pengecut. Dan ya. Setelah semua yang sudah kamu dan keluarga kamu berikan, aku akan pergi."
Widia menggeleng. Tapi, Bhakti dengan segera melepaskan tangan Widia dari kemejanya. Menghempaskannya dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia beranjak. Pergi meninggalkan Widia dengan kopernya. Tidak memedulikan Widia yang kembali menjerit histeris berulang kali.
"Bhakti!"
Widia meraung. Perkataan Bhakti seolah menggema berulang kali di kepalanya. Bahwa Bhakti menikahinya hanya demi perusahaannya. Bahwa setelah semua ia dan keluarganya lakukan, Bhakti pada akhirnya akan pergi.
"Kembali, Bhakti!"
*
Vanny mengerjap. Berusaha menarik diri dari pelukan Haris, tapi cowok itu tidak berniat untuk melepaskannya. Membuat Vanny menggeliat dan melirih.
"Ris, lepasin."
Di lekuk leher Vanny, Haris menggeleng. Tidak melakukan apa yang Vanny minta. Tapi, ia melangkah. Memaksa Vanny untuk mundur.
Mereka masuk dengan pelukan yang masih mengikat di antara keduanya. Lalu Haris mengangkat satu kakinya. Hanya demi mendorong pintu agar menutup.
"Aku kangen banget sama kamu, Van."
Ya ampun. Kata-kata yang diucapkan dengan irama manja itu sukses membuat jantung Vanny melompat-lompat di dalam sana. Berdebar-debar tak karuan dan ia merasa mulai susah bernapas.
"Aku kangen. Jadi aku mau peluk kamu dulu."
Vanny berusaha untuk menenangkan diri. Tapi, ingatan akan kenyataan bahwa Haris sudah bertemu dengan Bhakti dan membicarakan soal lamaran itu, melintas di benaknya. Membuat usaha Vanny sia-sia. Bukannya ia bisa tenang, eh yang terjadi sebaliknya. Debaran itu kian tak terkendali.
Lebih-lebih, ketika Vanny menarik napas dalam-dalam. Dengan harapan bahwa itu bisa meredakan sedikit gemuruh jantungnya. Tapi, ia justru mendapati aroma maskulin Haris terhirup olehnya. Terbawa oleh oksigen dan mengisi paru-parunya. Membuat aliran darahnya sekarang terpenuhi oleh esensi cowok itu.
Vanny tidak akan bisa bertahan. Maka ia mengambil tindakan. Mendorong tubuh Haris dengan sekuat tenaga.
"Ck."
Haris berdecak kesal. Ketika pelukan itu terpaksa terurai dan Vanny dengan buru-buru meninggalkan dirinya di depan pintu seorang diri, ia mencibir.
"Van."
Haris segera menyusul Vanny. Cewek itu duduk di ruang tamu dengan salah tingkah. Membuat Haris mengerutkan dahi ketika ia menyadari sesuatu. Vanny menghindari kontak mata dengannya.
"Kamu kenapa?"
Haris duduk di sebelah Vanny. Meraih tangannya. Menariknya sedikit agar Vanny melihat padanya. Tapi, seperti dugaannya tadi. Vanny hanya melihatnya sekilas. Lalu ia mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Nggak," geleng Vanny gugup. "Aku nggak kenapa-napa."
Tentu saja Haris tau bahwa Vanny tengah bohong. Maka dari itu Haris pun melepaskan tangan Vanny. Sekarang ia justru meraih dagu Vanny.
"Bohong banget."
Dahi Haris mengerut. Matanya sedikit menyipit. Menatap Vanny tanpa kedip. Lekat dan lama. Hingga membuat Vanny jengah. Lama-lama timbul warna merah di sana.
"Ehm ...."
Dehaman penuh irama itu membuat Vanny semakin salah tingkah. Ia menepis tangan Haris di dagunya. Sedikit cemberut, ia menggerutu.
"Apaan sih, Ris."
Vanny bergeser. Berniat untuk sedikit menciptakan jarak, eh ternyata Haris tidak tinggal diam. Ia turun bergeser hingga Vanny mentok dan tidak bisa menjauh lagi darinya.
"Kamu itu yang apaan," balas Haris. "Kok hari ini kamu kayaknya agak beda ya?"
Mata Vanny mengerjap berulang kali. Jengah semakin membuat panas pipinya. Berusaha untuk tetap tenang pun semakin terasa payah. Terlebih ketika ia ingin bicara, suaranya terdengar terbata-bata.
"B-beda apanya? Perasaan aku biasa aja sih."
Tubuh Haris sedikit condong. Meneleng ke arah Vanny. Memerhatikan mimik cewek itu.
"Beda. Ehm ... kayak ada manis-manisnya."
Tuntas mengatakan itu, Haris tersenyum geli sementara wajah Vanny semakin memerah. Haris menggoda Vanny di saat cewek itu berusaha setengah mati untuk tetap bernapas.
Dasar!
Bibir Vanny mengerucut. Tangannya naik. Berniat untuk memberikan satu pukulan pada Haris, tapi cowok itu dengan sigap menangkapnya.
"Ih, malah marah."
Vanny melotot. "Ya marahlah. Pagi-pagi begini kamu datang dan langsung ngegombal?"
Tawa Haris meledak. Masih mempertahankan tangan Vanny di genggamannya, ia terbahak. Tapi, aneh. Kali ini Haris tidak menatap mata Vanny. Alih-alih pandangannya tertuju pada jari-jari lentik itu.
"Ehm ...."
Tawa Haris menghilang. Tergantikan oleh dehaman dan embusan napas panjangnya. Ia mengusap jari-jari itu.
"Sebenarnya hari ini aku nggak ada rencana buat datang ke sini, Van."
Vanny mencoba menunduk. Demi bisa melihat Haris. Lantaran seperti ada yang berbeda dari perkataan cowok itu.
"Karena entah kenapa aku memang mendadak kangen kamu. Mungkin karena semalam aku habis nemui Papa kamu dan ngomong soal kita."
Jantung Vanny seolah tak berdetak ketika Haris menyinggung soal itu. Ia menahan napas. Tanpa sadar membuat jari-jarinya bergerak mencengkeram dalam genggaman Haris. Membuat cowok itu mengangkat wajah dan mendapati Vanny yang menegang karenanya.
Haris tersenyum geli. Ia mencolet ujung hidung Vanny sekilas.
"Nggak usah tegang gitu, Van," ujar Haris seraya terkekeh samar. "Karena yang harusnya tegang itu cowok. Bukan cewek."
Vanny tidak peduli dengan hal tersebut. Memang. Bhakti sudah menghubunginya semalam. Tapi, ia perlu mengetahuinya dari Haris pula.
"K-kamu beneran nemui Papa di rumahnya?"
Haris mengangguk tanpa ragu sama sekali. "Dan karena aku datangnya mendadak, jadi bisa dibilang pertemuan semalam itu rada kacau."
Rada kacau sebenarnya terlalu remeh untuk menggambarkan apa yang terjadi. Tapi, mungkin bagi Haris memang itulah yang tepat. Walau tentu saja Vanny tidak sependapat. Karena ketika Haris menceritakan lebih detail, ia syok.
"Tante Widia dan Tasya ngira kalau aku datang buat membahas perjodohan kami. Jadi ya ... agak ribut dikit. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Aku nggak apa-apa."
Vanny meringis histeris. Ia jelas ingat bagaimana sikap Widia dan Tasya ketika di acara arisan tempo hari. Dan ia yakin. Keributan itu pastilah bukan keributan sedikit.
"Ya Tuhan, Ris. Kamu ..."
Vanny menarik napas. Tak habis pikir dengan apa yang Haris lakukan. Dan ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
"Kamu ... kamu bener-bener ya."
Haris mendengkus geli. "Bener-bener cinta kamu?" tanyanya menggoda. Lalu ia mengangguk. "Ya emang. Baru sadar sekarang?"
Walau tidak ada riwayat anemia, entah mengapa Vanny merasa saat itu kepalanya mendadak oleng. Pandangannya seperti berkunang-kunang.
"Van."
Melepaskan tangan Vanny, Haris menangkup wajah cantik itu. Mempertahankannya agar tatapan mereka bertemu dalam satu garis lurus.
"Aku nggak main-main loh sama kamu. Aku serius. Dan aku udah menemui Papa kamu. Jadi kalau sampai di titik ini kamu masih nggak percaya sama aku ..."
Haris membuang napas panjang. Tidak ingin, tapi rasa lelah itu ada. Manusiawi. Karena Haris hanya manusia biasa.
"... entah deh. Aku nggak tau harus melakukan apa lagi. Mungkin aku harus terjun dari Monas baru kamu percaya sama aku."
Vanny menggenggam pergelangan tangan Haris. Menggeleng dengan raut takut.
"Nggak, Ris. Kamu nggak perlu terjun dari Monas."
Haris meringis. "Terus, aku terjun dari mana?"
"Nggak perlu terjun dari mana-mana."
Dahi Haris sontak mengerut. Perkataan Vanny memang terdengar biasa-biasa saja. Tapi, otak Haris memikirkan hal yang biasanya.
Ini bukan karena Haris terlalu berharap kan? Sehingga otaknya dengan sesuka hati membuat kesimpulan sendiri?
Karena setelah mengatakan itu, Vanny tampak menundukkan pandangannya. Menghindari mata Haris dan tangannya semakin kuat mencengkeran pergelangan tangan Haris.
"Kamu nggak akan pernah tau apa yang aku rasakan selama ini, Ris. Dan kalaupun aku memang cinta sama kamu, tapi semua nggak semudah itu."
Haris mengangguk. Tak peduli bahwa saat itu Vanny tidak akan melihat anggukannya. Tapi, ia tetap mengangguk.
"Aku tau. Tapi, terlepas dari apa jawaban kamu," ujar Haris dengan suara lirih. "Aku akan mengusahakan semua yang bisa aku lakukan."
Sedikit, Haris mendesak Vanny. Mengangkat sedikit wajah cantik itu dan mengembalikan tatapan mereka untuk bertemu lagi. Ia tersenyum.
"Aku cinta kamu, Van. Dan nggak ada yang lebih aku inginkan selain meyakinkan kamu."
Vanny menggigit bibir bawahnya. Teringat akan perkataan Esti dan ia menanyakan itu pada dirinya sendiri.
Apa kamu cinta Haris, Van?
Bahkan sebelum hari itu ada, Vanny pun sudah menyadarinya dengan pasti. Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri kisah kasihnya dengan Haris semasa SMA dulu. Bahkan ia memutuskan untuk terus menghindari Haris. Tapi, nyatanya semua itu memang tidak berguna.
Karena jawabannya tidak berubah. Jawabannya tetap sama.
"Aku cinta kamu, Ris."
Hening sesaat. Haris seolah terpaku pada detik itu. Masa di mana ia mendengar ucapan cinta Vanny dan ia menatap manik bening tersebut.
"Vanny."
Ungkapan cinta itu terasa berbeda kali ini. Karena Haris tau. Vanny tidak akan bisa kabur darinya setelahnya. Tak peduli ada uang satu milyar atau tidak, Vanny tidak akan bisa melarikan diri dari Haris.
Terlebih karena setelah ungkapan itu menggema di udara, Haris dengan serta merta menarik wajah Vanny. Dan Vanny tidak menghindar sama sekali. Ketika bibir mereka bertemu, keduanya saling menghampiri dan menyambut. Dalam bentuk satu ciuman yang menggebu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top