73. Bayang Janur Kuning Melambai-Lambai

"Kamu lihat kan, Ris? Gara-gara kita satu keluarga jadi bertengkar."

Masuk ke rumahnya seraya menggerutu, Arif langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang keluarga. Buru-buru ia melonggarkan dasi yang melingkari lehernya. Lantas ia mengeluarkan buah kancing dari lubangnya di sana. Dan akhirnya Arif bisa bernapas dengan tenang.

"Bukan gara-gara kita keluarga Om Bhakti jadi bertengkar, Pa," ujar Haris turut duduk pula. "Kalau mereka nggak buat masalah berapa tahun yang lalu, mereka nggak bakal bertengkar. Dan yang pastinya aku juga nggak bakalan susah kayak gini."

Arif membuka mulut. Ingin mendebat hal itu, tapi Sekar buru-buru turut bicara.

"Yang dibilang Haris memang benar sih. Ini nih yang dibilang kesalahan orang tua, eh yang kena hukum malah anaknya."

Sekar yang duduk di sebelah Haris, meraih tangan sang putra. Wajahnya terlihat penuh simpatik. Seolah merasakan betul penderitaan Haris kala itu.

"Kamu yang sabar ya, Sayang. Mama percaya semua bakal terlewati. Tenang. Kamu punya Mama yang akan mendoakan kamu 25 jam sehari. Dan Tuhan itu paling nggak tega kalau dengar doa seorang ibu."

Haris mengangguk. Bibirnya manyun dengan sikap manja. "Makasih ya, Ma. Kalau nggak ada Mama, aku yakin aku nggak bakal ada di dunia ini."

Geleng-geleng kepala, Arif hanya bisa membuang napas panjang melihat kelakuan ibu dan anak itu. Tapi, tak urung juga gerutuannya meluncur.

"Ckckck. Kayaknya hanya di rumah ini yang seharinya itu ada 25 jam."

Sekar melirik Arif. "Itu keistimewaan jadi ibu. Semuanya dapat bonus."

"Tapi, ingat. Kalau aku nggak ada, Haris juga nggak ada."

Yang dikatakan oleh Arif memang benar. Mau tak mau membuat Sekar dan Haris angguk-angguk kepala pula dengan kompak.

"Bener juga apa yang Papa bilang, Ris."

Namun, tentu saja hal tersebut tidak mampu mengalihkan Haris dari prioritasnya. Karena sejurus kemudian ia kembali melihat pada sang ayah. Bertanya.

"Jadi kira-kira kapan kita bisa melamar Vanny beneran, Pa?"

Baru saja beberapa menit Arif bisa menarik napas dengan lapang, eh Haris kembali melayangkan pertanyaan itu. Membuat Arif menahan diri hingga senyum menyeramkan itu terbit di wajahnya.

"Kamu nggak bisa sabar sebentar, Ris?"

Haris menggeleng. "Nggak, Pa. Kalau bisa cepat, kenapa harus lambat kan? Lagipula memangnya Papa nggak iri sama tetangga? Pagi-pagi mereka sudah jalan sehat sama cucu loh. Ih, Papa kalah sama tetangga."

Sepertinya kesabaran Arif benar-benar sudah habis kali ini. Menarik napas dalam-dalam pun rasanya percuma untuk bisa menahan diri.

"Haris."

Ada yang berbeda dari cara Arif menyebut nama sang putra. Hingga membuat Haris sontak meneguk ludah. Refleks Haris mengedikkan tubuh. Punggungnya yang tadi sempat membungkuk samar, seketika menegap kembali. Melihat lurus pada ayahnya.

"Papa."

Arif melepas jasnya. Dengan cepat mengeluarkan kancing di pergelangan tangannya. Tapi, sebelum ia sempat melipat asal lengan kemeja itu di siku, Sekar menghampirinya.

Sekar yang sudah hidup berpuluh tahun dengan Arif tentu sudah tau sifat suaminya itu. Tanda ketika Arif mulai kehilangan kesabarannya pun sudah hapal di luar kepala. Dan sekarang Sekar buru-buru bertindak saat tanda-tanda itu mulai tampak.

"Papa Sayang."

Pergerakan Arif terhenti. Ia menoleh pada istrinya dengan mata tajam. Tapi, Sekar santai saja dengan tersenyum dan mengelus dada Arif sementara Haris bergeming.

"Papa belum makan malam," ujar Sekar. "Mau dimasakin apa?"

Mulut Arif terkatup rapat. Tau dengan pasti strategi apa yang sedang dijalankan oleh istrinya. Karena ketika Yuli datang bersama dengan nampan berisi air minum, Sekar langsung memberikan isyarat mata pada asisten rumah tangganya itu.

Mata Sekar berkedip-kedip beberapa kali. Lalu Yuli mengangguk seraya memberikan tanda oke dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Papa."

Aris berdecak. Tapi, tak bisa berbuat apa-apa ketika Sekar mengajaknya untuk bangkit.

"Gimana kalau Papa temenin Mama masak di dapur? Udah lama kan Papa nggak pernah nemenin Mama?"

Mata Arif memejam dramatis. Menarik napas dalam-dalam dan melihat pada Haris dengan tatapan menusuk. Haris sontak membeku.

"Ma," lirih Arif dengan suara rendah. "Haris perlu ki---"

"Papa Sayang."

Sekar memotong perkataan Arif dengan tangannya yang naik. Meraih wajah Arif dan membawa tatapan mereka untuk bertemu.

"Haris memang gitu. Udah. Nggak usah dipikirin. Sekarang mending Papa temeni Mama masak. Ehm ... Papa mau makan apa?"

Kembali melayangkan pertanyaan andalannya, jelas sekali Sekar berusaha untuk meredakan emosi Arif. Tanpa henti terus mengusap dada suaminya, Sekar menarik tangan Arif. Memasang sikap manja.

"Ayo, Pa. Kita udah lama nggak nge-date di dapur."

Arif berusaha menarik tangannya. Wajahnya jelas sekali tidak suka dengan apa yang Sekar lakukan. Tapi, Sekar tidak menyerah.

"Bilang ke Mama, Papa mau makan apa? Nasi goreng? Mi tumis? Atau bubur jagung?"

Bertubi-tubi dirayu, suami mana yang tidak akan luluh? Termasuk Arif yang pada akhirnya melangkah pula. Walau dengan kaki terseret, ia tetap beranjak. Dengan menggerutu tentunya.

"Selalu saja bela Haris."

"Namanya juga seorang ibu. Pasti bakal membela anaknya," ujar Sekar sambil melirik ke belakang. Mengedipkan satu mata pada Haris dan cowok itu tersenyum manja padanya. "Lagipula Haris kan nggak buat salah."

Arif geleng-geleng kepala. "Haris tadi udah buat satu keluarga ribut, Ma. Gimana bisa dia nggak salah?"

"Itu kesalahan Bhakti. Bukan salah Haris sama sekali."

Sekar terus mengajak Arif ke dapur. Mereka berpapasan dengan Yuli yang melayangkan senyum penuh isyarat pada Sekar. Membuat majikannya itu mengangguk puas.

"Malah seharusnya kita menuntut Bhakti, Pa."

"Kenapa?"

"Karena gara-gara Bhakti anak kita berhari-hari nggak nafsu makan. Merasakan sakit hati. Jungkir balik buat meyakinkan Vanny. Itu bisa kena pasal perbuatan tidak menyenangkan."

Bola mata Arif berputar malas. Sudahlah. Ia memutuskan untuk tidak berdebat lagi dengan Sekar. Istrinya itu pasti punya seribu satu alasan untuk melindungi Haris.

Akhirnya Arif diam saja. Tidak menolak dan pasrah ketika Sekar benar-benar mengajaknya pergi ke dapur.

Sekar tersenyum puas. Dapur kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Ia mendudukkan Arif di kitchen island. Lantas beranjak. Menyiapkan segelas air sejuk untuk sang suami.

Arif menandaskan air yang Sekar berikan padanya. Dan ketika ia menaruh kembali gelas kosong itu, Sekar sudah berdiri di dekatnya. Membelakanginya dengan celemek yang belum terpasang dengan benar. Talinya menjuntai di punggung.

"Pa."

Sekar melirik di atas pundaknya. Menggoyangkan badannya sekali dengan kesan manja. Dengan bibir yang sedikit mengerucut imut dan mata berkedip sekali.

"Ikatin."

Ketika Sekar merasakan Arif meraih tali celemeknya, ia berseru di dalam hati. Merasa senang dan lega.

Yes!

Begitu pula dengan Haris. Yang ternyata mengintip di ambang pintu dapur. Dan ketika mendapati lima menit kemudian Sekar dan Arif sudah tertawa-tawa dengan wortel yang diukir beraneka bentuk, Haris pun turut merasa kelegaan yang tidak terkira.

Beranjak dari sana, Haris lantas langsung menuju ke kamarnya. Dengan ponsel yang segera dalam keadaan siaga, ia menekan kontak Vanny.

Haris menutup pintu. Senyum lebar menghiasi wajahnya saat suara Vanny menyapa indra pendengarannya.

"Halo, Ris."

Ah, merdu sekali. Haris sampai berputar-putar layaknya penari balet sebelum akhirnya menjatuhkan diri di tempat tidurnya yang empuk.

"Halo juga, Vanny."

Lantas Vanny diam sementara Haris tak mampu menahan kikikan senangnya. Ia beringsut. Tengkurap seraya meraih satu bantal.

"Van, aku mau kasih tau. Aku, Mama, dan Papa baru balik dari rumah Papa mertua loh."

Kesiap Vanny terdengar seketika.

"Y-ya Tuhan. Kamu serius, Ris?"

Haris mengangguk-angguk bodoh di atas bantal. "Ya serius dong. Masa buat kamu main-main?"

"Ris, k-kamu ...."

Senyum Haris makin tidak bisa disembunyikan lagi. Begitu pula dengan imajinasinya yang seketika meliar. Memperlihatkan wajah Vanny yang kala itu mungkin tengah tersipu malu-malu.

"Kamu nggak usah khawatir, Van. Aku janji semuanya bakal beres secepatnya. Dan kamu nggak perlu nunggu lama. Dalam waktu singkat, aku akan menjadi milik kamu seutuhnya."

Tak ada suara Vanny yang kembali terdengar oleh Haris. Kala itu Haris menebak. Bahwa Vanny pasti sangat berbahagia. Seperti adegan di drama-drama yang sering ditonton Sekar. Tokoh wanita tidak bisa bicara apa-apa saking teramat bahagianya.

"Jadi kamu tidur aja yang nyenyak ya, Van. Besok aku bakal ke apartemen kamu. Banyak yang perlu kita bicarakan. Ehm ...," dehem Haris sambil mengulum senyum. "... seperti mas kawin apa saja yang kamu mau kan?"

Habis mengatakan itu, kikik Haris terlontar begitu saja. Ia buru-buru memutuskan panggilan itu setelah satu kata 'bye' yang singkat. Lalu memukul-mukul bantal dengan gemas.

Bayangan indah yang mengisi kepalanya dan Haris pikir Vanny pun merasakan hal yang serupa. Padahal nyatanya tentu saja tidak.

Di apartemennya, Vanny merasa nyawanya telah lepas dan meninggalkan tubuhnya. Ia pikir jantungnya sudah tidak berdetak lagi. Hingga ia kehilangan kekuatan dan pasrah saja ketika gaya tarik bumi membawa dirinya untuk jatuh terduduk di tempat tidur.

Pelan-pelan tangan Vanny yang memegang ponsel turun. Alat komunikasi itu mendarat di sisinya. Dan Vanny berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri.

"H-Haris udah ketemu Papa?"

Tidak bisa tidak. Tubuh Vanny bergetar hebat karenanya. Dadanya terasa sempit. Membuat ia jadi sesak ketika bernapas. Karena bayangan Tasya dan Widia dengan cepat memenuhi kepalanya.

Vanny menggeleng. "Nggak mungkin. Haris nggak mungkin melakukan itu."

Namun, sekuat apa Vanny mencoba untuk menampik, nyatanya Vanny pun meragukan bahwa Haris hanya membohonginya. Jauh di lubuh hati Vanny, ia bisa mengakuinya. Haris serius. Haris dan orang tuanya benar-benar sudah datang menemui Bhakti. Dan itu adalah hal yang tidak Vanny inginkan untuk terjadi.

Vanny panik. Bingung dan ketakutan. Bayang Widia yang menuding dirinya kala acara arisan itu saja sudah amat mengerikan baginya. Apalagi bila Widia kembali menuduh dirinya dengan hal yang lebih parah dari itu?

Vanny meraih ponselnya kembali. Dengan cepat menghubungi Esti.

"Es."

*

"Gila, Es! Itu Mas Cakep kamu datang lagi. Dia lagi di display dasi."

Bola mata Esti membesar. Ia yang baru saja dari toilet dengan segera mengelap tangannya yang belum kering sempurna di rok.

"Sumpeh loh? Kagak bohong?"

Siska mengangguk. "Aku nggak bohong. Dia datang. Makanya buruan kamu ke depan."

"Oke, Sis!" seru Esti dengan penuh suka cita. "Makasih banyak."

Kaki Esti melangkah dengan amat ringan. Hingga membuat ia pikir ia bisa terbang ke tempat di mana Mas Cakep itu berada. Tapi, ada dering dan getar yang membuat langkah Esti berhenti seketika.

Mengurungkan sejenak niatannya untuk segera bertemu dengan pelanggan idamannya itu, Esti merogoh saku roknya. Melihat bahwa Vanny menghubunginya.

Esti membuang napas panjang. Panggilan Vanny sama pentingnya dengan panggilan keluarganya. Harus diangkat.

"Halo, Van."

Esti tidak mendapati balasan sapaan yang serupa dari Vanny. Alih-alih rentetan kata-kata yang diucapkan Vanny dengan amat tergesa-gesa tanpa jeda yang ia terima. Mengatakan betapa dirinya sedang takut, bingung, dan panik. Membuat Esti megap-megap seperti dirinya yang kehabisan napas.

"Van."

Dengan nada yang sedikit tinggi tinggi dari biasanya. Esti menarik udara dan menenangkan dirinya layaknya ia yang baru saja bicara panjang lebar.

"Intinya adalah ...," lirih Esti kemudian. "... kamu nyuruh aku ke apartemen kamu?"

Satu jawaban Vanny membuat Esti mengangguk. Ia mengerti. Vanny sedang panik dan kebingungan. Sebagai teman yang baik dan agak benar, Esti memang harus berada di dekat Vanny. Mendengarkan keluh kesahnya. Tapi, itu nanti. Karena ada dua alasan.

"Aku bakal ke apartemen kamu ntar. Tungguin aja. Karena ..."

Esti melihat jam tangannya sekilas.

"... masih ada sejam lagi sebelum butik tutup dan Mas Cakep ada di sini. Jadi aku mau nemui dia dulu. Oke?"

Senyum lebar mengembang di wajah Esti ketika pada akhirnya panggilan Vanny berakhir. Ia dengan cepat memasukkan kembali ponsel ke dalam saku dan beranjak dari situ. Menuju ke etalase dasi. Tapi, sosok tampan yang ia cari tidak ada.

"Ke mana dia?"

Celingak-celinguk mencari ke sana ke mari sampai Esti mengecek ke kamar pas, tapi ia tidak menemukan keberadaan pelanggan tersebut. Hingga seorang rekan kerjanya yang lain menghampiri Esti.

"Nyari cowok yang kamu suka itu ya?"

Esti menoleh. Mendapati Novi menghampirinya dan bertanya.

"Iya," angguk Esti. "Tadi kata Siska, dia datang lagi. Nyari dasi. Tapi, kok nggak ada? Ehm ... dia ke mana?"

Novi berdecak. "Kamu kelamaan sih. Si Mas itu tadi kayaknya dapat telepon penting deh. Abis ditelepon, dia langsung pergi."

Mendengar itu, pundak Esti luruh seketika. Jelas sekali ia terlihat kecewa karena ia tidak bisa bertemu dengan cowok tampan itu.

"Ih. Gara-gara Vanny."

Esti menggeram. Sedikit kesal. Tapi, tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa. Karena toh tetap saja ia segera ke apartemen Vanny tepat setelah ia pulang dari butik.

Menyapa petugas keamanan yang sudah mengenal baik dirinya, Esti menyempatkan diri untuk ke resepsionis. Mengambil kartu akses untuk menggunakan lift tanpa lupa mengucapkan terima kasihnya.

Esti menuju ke lift. Pada saat itu, ada satu sosok yang menarik perhatiannya. Baru melewati pintu keluar dan meninggalkan pelataran gedung apartemen.

"Ehm ...."

Esti menggeleng berulang kali. Dengan menepuk kepalanya sekali. Dan ia melangkah masuk ke dalam lift yang membuka.

"Saking udah lama mendambakan kehadiran cowok cakep, otak aku sekarang sering halu nggak terkendali."

Namun, tidak merasa sedih sama sekali, Esti justru terkikik. Bahkan ketika pintu lift membuka, ia melangkah dengan amat ringan. Seraya sedikit bersenandung. Menuju unit Vanny dan menempelkan sidik jarinya di pemindai.

Pintu membuka. Esti masuk. Dan satu jeritan histeris menyambut kedatangannya.

"Esti!"

Esti kaget. Nyaris melompat keluar lagi dari unit Vanny. Tapi, Vanny ternyata dengan gesit menangkap dirinya dan memeluk Esti kuat-kuat.

"Vanny," lirih Esti tergugu. Refleks berusaha mendorong tubuh Vanny. Tapi, pelukan itu benar-benar kuat. "K-kamu kenapa?"

Pada akhirnya Vanny mengurai pelukan itu. Memberikan kesempatan bagi Esti untuk bisa menarik napas dengan lega. Astaga! Esti pikir tulang belulangnya akan remuk redam.

"Es, aku harus gimana?"

Esti mengusap tubuhnya dengan dahi mengerut. Menatap Vanny bingung. Tapi, Vanny benar-benar terlihat panik.

"Papa tadi ngubungi aku, Es."

"Terus?"

Vanny menggigit bibir bawahnya sekilas. Kedua tangannya mengepal dengan kuat. Lalu ia menjawab.

"Haris beneran mau melamar aku."

Esti terdiam sedetik. Lalu di detik selanjutnya ia langsung meraih tangan Vanny. Mengajaknya berjabat tangan dan berkata.

"Selamat, Van. Akhirnya kamu bentar lagi nikah."

Melongo, Vanny hanya bisa memucat mendengar selamat Esti. Sial! Tapi, bukan ucapan selamat yang Vanny butuhkan saat ini.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top