72. Benar Dan Salah Semua Harapan
Widia berlari menaiki tangga. Mengejar Tasya. Tidak peduli dengan Bhakti yang turut menyusulnya seraya terus memanggil dirinya.
"Ma! Mama!"
Bhakti menyerah. Membuang napas dan langkahnya terhenti. Tak lagi mencoba untuk menyusul Widia, pada akhirnya ia berdiam diri di tempat. Hanya melihat Widia yang berangsur hilang dari pandangan matanya.
Memutar tubuh, Bhakti memutuskan untuk kembali menemui keluarga Wiguna. Dan kedatangannya ke ruang tamu itu membuat tiga pasang mata menatap padanya.
"Bhakti."
Bhakti tersenyum muram pada Arif. Tampak jelas sahabatnya itu merasa tidak enak dengan semua kekacauan yang telah terjadi.
Bhakti duduk. Tampak mengusap kedua tangannya satu sama lain. Mendeham sejenak dengan penuh irama seraya berpikir.
"Maaf untuk semua yang terjadi."
Arif makin merasa tidak enak. Seharusnya dirinya yang meminta maaf. Karena semua jelas adalah kesalahan mereka. Karena kedatangan dan niatan merekalah sehingga pertengkaran itu terjadi.
Arif merasa bersalah. Merasa perlu meminta maaf. Dan itulah yang ia lakukan kemudian.
"Nggak. Seharusnya kami yang meminta maaf," ujar Arif. "Aku minta maaf. Seharusnya kami nggak datang tiba-tiba seperti ini."
Mata Arif melirik tajam pada istri dan anaknya. Tapi, baik Sekar maupun Haris tampak tidak merasa berdosa sama sekali.
"Nggak. Nggak apa-apa. Sebenarnya aku dan Haris memang sudah berencana untuk membicarakan hal ini sebelumnya. Tapi, aku nggak mengira kalau Haris akan datang secepat ini."
Bhakti melirik Haris. Cowok itu tampak tersenyum seraya mengangguk sekali. Seolah bangga dengan apa yang telah ia lakukan malam itu.
"Terlebih lagi karena Haris langsung membawa orang tuanya."
Tentu saja. Baru tadi siang Haris meminta satu kesempatan pada Bhakti. Untuk membicarakan hubungannya dan Vanny di waktu dan tempat yang lebih kondusif. Tapi, siapa yang mengira kalau waktu dan tempat yang lebih kondusif yang Haris maksud adalah malamnya dan di rumah Bhakti?
"Aku melakukan ini semua semata-mata untuk meyakinkan Om kalau aku benar-benar serius."
Sepertinya Haris memang tidak mengenal kata berdosa. Hingga ia dengan begitu penuh percaya diri masih berani bicara pada Bhakti. Seolah tidak bisa menyadari sedikit saja perasaan tidak nyaman yang dirasakan Bhakti kala itu.
"Ah," lirih Bhakti dengan senyum kaku. "I-iya iya."
Lebih dari itu, Haris pun sepertinya tidak menganggap bahwa pertengkaran keluarga tadi adalah batu sandungan untuk niatannya. Seperti Haris yang menganggap bahwa pertengkaran itu adalah hal yang tidak penting sama sekali. Hingga ia pun lanjut bicara.
"Karena itu, Om. Aku sudah membawa orang tua aku. Om juga sudah tau dengan jelas niat baik aku untuk melamar Vanny. Jadi ..."
Bhakti meneguk ludah. Sebulir keringat timbul di dahinya. Mengalir di sisi wajahnya. Dan menetes jatuh tepat ketika Haris menuntaskan perkataannya dengan satu pertanyaan.
"... kapan kami bisa menikah?"
Untung saja Bhakti tidak ada riwayat penyakit sesak napas. Karena kalau tidak, bisa dipastikan saat ini juga ia butuh bantuan tabung oksigen.
*
"Sya, sudah. Kamu jangan nangis seperti ini."
Menemani Tasya di kamarnya, Widia tak henti-hentinya berusaha untuk menenangkan sang putri. Walau jujur saja hati Widia pun terasa sakit. Karena ibu mana yang sanggup melihat kesedihan darah dagingnya? Terlebih lagi kesakitan akan penolakan seperti yang Tasya alami saat ini.
Wajah Widia mengeras. Menahan napas di dada, ia berusaha agar geramannya tidak terlontar.
Berani-beraninya anak wanita itu menyakiti anak aku.
Rasa tidak terima berkobar di dada Widia. Menerbitkan panas yang dengan cepat menyelimuti sekujur tubuhnya.
Bunyi pintu yang terbuka menarik perhatian Widia. Ia menoleh. Mendapati Bhakti yang masuk ke kamar Tasya.
"Ma."
Widia menatap bengis pada suaminya. "Mau apa Papa datang ke sini?" tanyanya tajam. "Nggak puas Papa lihat Tasya sepert ini?"
Bhakti melihat Tasya. Ia menangis dengan amat pilu di dalam pelukan Widia. Tampak begitu menyedihkan.
"Ma, aku cinta Haris. Aku mau menikah dengan Haris. T-tapi, kenapa? Kenapa Haris justru mencintai Vanny?"
Kemarahan tercetak nyata di wajah Widia. Semua penderitaan yang tengah dirasakan oleh Tasya membuat Widia menyalahkan Bhakti.
"Aku benar-benar nggak menyangka kalau Papa tega menyakiti Tasya seperti ini."
"Ma," lirih Bhakti. "Bukan maksud aku kalau semuanya seperti ini? Nyatanya Haris itu memang nggak mencintai Tasya. Haris mencintai Vanny."
Widia mendengkus dengan penuh kebencian. "Haris mencintai Vanny?"
Sementara tangannya dengan setia mendekap dan menenangkan Tasya, Widia tak sekali pun mengalihkan tatapan matanya dari Bhakti. Dengan sorot tajam dan penuh kekecewaan, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang suaminya katakan.
"Bagaimana bisa Haris mencintai anak wanita jalang itu?"
Bhakti bertahan. "Ma."
"Tidak mungkin Haris mau mencintai anak wanita jalang itu!" jerit Widia. "Tasya lebih segala-galanya dibandingkan dengan Vanny!"
Bhakti menguatkan diri. Tubuhnya perlahan bergetar dalam gejolak emosi yang timbul sedikit demi sedikit.
"Kalau Papa tidak mengenalkan mereka berdua, Haris tidak mungkin memilih Vanny."
Skenario itu dengan cepat muncul di benak Widia. Menampilkan berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab kenapa semua itu bisa terjadi. Dan Widia menarik kesimpulannya.
"Sama seperti ibunya, Vanny pasti menggoda Haris!"
"Diam!"
Bhakti tidak bisa bertahan lagi. Pada akhirnya bentakan itu pecah. Matanya memerah melihat pada Widia yang sontak terdiam. Jantungnya serasa tidak berdetak lagi di dalam sana.
"Papa?"
Tubuh Bhakti berguncang. Dalam terpaan emosi yang pada akhirnya berhasil meruntuhkan pertahanan yang ia bangun sedari dari.
"Berhenti menjelek-jelekkan Diah dan Vanny. Mereka tidak pernah menggoda siapa pun!"
Widia membeku. Usapannya pada Tasya, berhenti. Dan sang putri pun sontak menghentikan tangisnya.
Sama seperti ibunya yang bergeming, Tasya merasa tubuhnya dingin. Menatap tanpa kedip pada Bhakti.
"Sudah aku katakan berulang kali. Aku tidak mengenalkan Haris dan Vanny. Aku bahkan tidak pernah tau kalau Haris kenal dengan Vanny. Dan kalau sampai Haris ingin menikahi Vanny, itu berarti Haris memang mencintai Vanny."
Baik Widia ataupun Tasya sama-sama menolak kenyataan itu. Mereka tidak percaya dengan apa yang Bhakti katakan.
"Terserah apa yang Papa katakan, aku nggak percaya. Dan sampai kapan pun aku akan tetap memperjuangkan Haris buat Tasya."
Widia mengurai pelukannya. Meriah wajah pipi Tasya. Mengusap air mata yang membasahinya.
"Kamu nggak perlu khawatir, Sya. Mama akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan kamu. Haris pasti akan menikahi kamu."
Mata Bhakti memejam dengan dramatis. Dengan satu tangan di pinggang sementara tangan yang lain memegang kepala, ia menarik napas sedalam-dalamnya. Sungguh ia tidak habis pikir dengan tindakan Widia.
"Dan Papa jangan berharap bisa menghentikan aku."
Bhakti membuka matanya kembali. Menatap Widia dan sorot sang istri dengan jelas menunjukkan keteguhan yang tak tergoyahkan.
"Aku nggak akan membiarkan siapa pun merusak kebahagiaan Tasya. Terutama kalau orangnya adalah anak jalang itu."
"Widia."
Warna wajah Widia seketika berubah. Ketika Bhakti menyebut namanya, ia memucat seketika.
"Sekali lagi kamu menuding Diah dengan kata-kata itu, aku nggak akan memaafkan kamu."
Sedetik, Widia menahan napas di dada. Merasa gentar. Tapi, tak lama. Karena sedetik kemudian ia justru memasang sikap untuk melawan Bhakti.
"Kenapa? Toh memang begitu kan buktinya?" tanya Widia dengan nada mengejek. "Nggak ibu nggak anak, sama saja. Mereka cuma bisa merebut milik orang lain!"
Bhakti sudah berada di batas kesabarannya. Berkali-kali mendengar Widia menuding dan merendahkan wanita yang selama ini ia cintai, pertahanannya pun runtuh. Hingga emosi itu benar-benar timbul. Dalam bentuk getaran yang mengguncang tubuhnya. Dalam bentuk panas yang mengisi kelopak matanya.
"Kamu bilang Diah merebut milik orang lain?"
Bhakti menatap lurus pada Widia. Mengatupkan mulutnya dengan amat rapat selama beberapa detik, jari-jari pria paruh baya itu mengepal dengan kuat.
"Kamu benar-benar mengatakan itu?"
Ada rasa sesak yang timbul di dada Bhakti. Yang muncul ketika ingatan di benaknya membayang tanpa ia minta sama sekali. Dalam bentuk bayangan Diah yang berbalut kebaya putih dengan senyum manis di wajahnya.
"Aku dan Diah sudah menikah enam tahun ketika kamu muncul, Widia. Dan kamu bilang Diah yang merebut milik orang?"
Satu tangan Bhakti meremas rambutnya. Ia mengerjap berulang kali. Berusaha bertahan agar air matanya tidak jatuh. Tapi, masa lalu kembali datang. Memperlihatkan bagaimana dirinya yang benar-benar pengecut dan justru meninggalkan keluarganya sendiri.
"Kamu orangnya, Widia," tuding Bhakti dengan jari telunjuk yang benar-benar terarah pada Widia. "Kamu yang merebut milik orang lain. Yang menghalalkan banyak cara untuk memisahkan aku dan Diah. Itu kamu orangnya, Widia."
Tasya melihat Bhakti yang pada akhirnya tak mampu menahan air matanya. Sebulir air mata jatuh di pipi Bhakti. Membuat ia tertegun. Karena selama ini tak pernah Tasya melihat Bhakti menangis.
Widia menggeleng. Merasa tak bisa bergerak lagi ketika mendengar kata-kata yang Bhakti lontarkan pada dirinya. Tak pernah. Sekali pun Widia tidak pernah mengira kalau Bhakti akan berkata seperti itu padanya.
"Papa."
Namun, perih di mata Bhakti terus tertuju pada Widia. Karena ketika ia menarik udara, seolah ada belati yang menusuk-nusuk dadanya. Memberikan rasa pedih yang selama bertahun-tahun ia tahan seorang diri.
"Dan sekarang kamu juga menuduh Vanny seperti itu?" tanya Bhakti seraya mendengkus tak percaya. "Kamu nggak tau kenapa Haris sampai nekat datang malam ini buat melamar Vanny? Karena Vanny sudah menolak Haris berkali-kali! Dan Haris ingin membuktikan pada Vanny kalau dia serius!"
Sebenarnya Bhakti tau. Adalah percuma untuk menjelaskan semua itu pada Widia dan Tasya. Orang memang cenderung ingin menolak kenyataan. Tapi, bukan karena itu Bhakti mengatakannya. Melainkan karena hal lainnya.
"Aku sudah mengalah selama ini, Widia. Aku sudah mengalah. Aku dan Diah sudah mengalah. Tapi, jangan Vanny."
Bhakti mengusap wajahnya dengan kasar. Mengangkat wajah dan berusaha mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Untuk beberapa detik, ia mencoba menekan emosi yang masih mencoba meledakkan dirinya dari dalam.
"Jadi aku mohon, Widia. Jangan macam-macam."
Widia bergeming ketika peringatan itu dengan jelas Bhakti tujukan padanya. Keseriusan benar-benar tampak dari caranya menatap dan ketegasannya.
"Kamu jangan sampai melakukan apa pun pada Vanny," lanjut Bhakti. "Jangan. Karena kalau sampai kamu melakukan sesuatu pada Vanny, aku nggak akan pernah memaafkan kamu."
Tuntas mengatakan itu, Bhakti pun memutuskan untuk segera keluar dari kamar Tasya. Tidak ingin mengambil risiko kalau pertengkaran itu akan semakin membesar dan benar-benar meledak.
Bhakti pergi. Menutup pintu. Meninggalkan Widia dan Tasya yang sama-sama dingin tubuhnya.
"Mama."
Suara Tasya menyadarkan Widia. Membuat wanita paruh baya itu mengerjap sekali. Ia menunduk. Melihat pada Tasya yang menatapnya dengan sorot yang tak mampu ia artikan.
Tasya bisa melihatnya dengan jelas. Bagaimana Widia yang pucat pasi, bibirnya bergetar, dan tubuhnya terasa dingin.
Namun, di hadapan Tasya, Widia mencoba untuk bertahan sebisa mungkin. Ia meneguk ludah. Berusaha tersenyum walau amat kaku bibirnya untuk bisa melengkung.
"S-semua bakal baik-baik saja, Sya," ujar Widia terbata. "Kamu nggak usah khawatir. Bagaimanapun juga ... Haris akan tetap menikahi kamu."
Dan Tasya hanya bisa terdiam. Tidak mengatakan apa-apa ketika Widia kembali merengkuh dirinya. Kembali memeluk dan menenangkannya. Walah Tasya tau dengan pasti. Bahwa sebenarnya Widialah yang patut untuk ditenangkan.
Sementara itu, selepas dari kamar Tasya, Bhakti dengan segera ke ruang kerjanya. Tidak berpikir dua kali, ia menghubungi Arman.
"Halo, Pak."
Bhakti mengabaikan sapaan sopan Arman. Alih-alih ia langsung memberikan perintah pada asisten pribadinya itu.
"Sekarang juga kamu pergi ke apartemen Vanny. Aku tidak ingin Widia, Tasya, atau orang-orang suruhan mereka mendatangi Vanny."
"Baik, Pak."
Sedikit kekhawatiran Bhakti berkurang ketika mendengar kesanggupan Arman. Ketika panggilan berakhir, ia pun membuang napas panjang.
Bertumpu siku di atas meja, kedua tangan Bhakti mengepal tanpa daya. Wajahnya tertunduk dengan mata yang memejam. Sungguh ia tidak bermaksud untuk bertengkar dengan Widia. Tapi, ia tidak bisa bersabar lagi. Karena Bhakti tidak ingin hal buruk itu terjadi pada Vanny.
Setidaknya sekali saja. Sekali saja aku bisa membahagiakan Vanny.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top