71. Semuanya Kambing Hitam Di Mata Yang Berbeda
Seorang asisten rumah tangga dengan tergopoh-gopoh berjalan menuju meja makan. Di mana Widia dan Tasya baru saja akan duduk di kursi masing-masing. Bersiap untuk makan malam kala itu, mereka berdua keheranan melihat kedatangan asisten rumah tangga yang bernama Ina tersebut.
"Ada apa?" tanya Widia acuh tak acuh.
Ina menenangkan napasnya sejenak, lalu langsung menjawab. "Di depan ada keluarga Wiguna, Nyonya."
Semula Widia ingin mengambil nasi. Memulai makan malam tanpa merasa perlu menunggu kehadiran sang suami. Tapi, perkataan Ina membuat tangan Widia berhenti bergerak.
Widia berpaling. Dengan dahi mengerut, ia kembali bertanya demi memastikan bahwa Ina tidak salah bicara.
"Keluarga Wiguna?"
Ina mengangguk. "Iya, Nyonya."
Diam sejenak lantaran masih dilanda kebingungan, Widia menangkap kesiap Tasya yang duduk di seberangnya.
"Ya Tuhan. M-maksudnya ... Haris?"
Kali ini Ina beralih pada Tasya. Ia kembali mengangguk.
"Ada Tuan Haris dan kedua orang tuanya, Nona."
Kesiap Tasya tak bisa terbendung lagi. Ia sontak bangkit dari duduknya. Wajahnya menunjukkan raut keterkejutan. Tapi, seberkas kebahagiaan pun memancar di sana.
"Mama."
Widia melihat Tasya. Putrinya itu terlihat senang.
"Haris datang ke rumah dengan orang tuanya, Ma," ujar Tasya tak mampu menyembunyikan rasa bahagia itu. "Dia pasti mau membahas soal perjodohan itu."
Widia diam sejenak. Tapi, ketika ia memikirkannya maka tidak ada kemungkinan lain yang bisa menjadi alasan Haris datang bersama kedua orang tuanya selain kemungkinan yang satu itu. Maka tak ayal kebahagiaan Tasya pun menular pula padanya.
"Iya, Sya. Pasti. Mereka pasti mau membahas soal perjodohan kalian."
Maka Widia dan Tasya tidak membuang waktu. Mereka segera meninggalkan meja makan dan beranjak ke luar. Tanpa lupa memberikan perintah pada Ina untuk segera memanggil Bhakti. Tapi, ketika Widia dan Tasya tiba di ruang tamu, ternyata Bhakti sudah berada di sana.
Kesan kaget langsung tercetak nyata di wajah Bhakti. Yang terkejut mendapati kedatangan istri dan putrinya. Terlebih lagi karena Widia dan Tasya tidak hanya datang. Alih-alih turut bergabung dengan mereka.
Widia duduk di dekat Bhakti. Memberikan senyumnya pada tamu yang datang malam itu.
"Arif," sapa Widia dengan hangat. "Sekar."
Ketika Arif membalas sapaan tersebut dengan sesopan mungkin, maka lain lagi dengan Sekar. Wanita paruh baya itu jelas sekali menunjukkan sikap yang sebaliknya. Tersenyum enggan dan singkat. Ia membuang napas panjang.
Sikap Sekar tentu saja bukan hal yang diharapkan oleh Widia. Hingga menimbulkan tanda tanya di benak Widia. Karena hal tersebut tentunya memberikan keraguan pada Widia.
Mereka benar-benar mau membahas soal perjodohan Tasya dan Haris kan?
Widia melirik. Pada putrinya yang terlihat amat semringah. Tatapannya yang berbinar-binar tertuju tanpa kedip pada Haris. Sementara Haris? Nyaris bisa dikatakan sebelas dua belas dengan sikap Sekar padanya tadi.
Haris tampak salah tingkah. Hanya memberikan satu anggukan singkat pada Tasya sebagai basa-basi. Setelahnya ia mengalihkan pandangannya pada Bhakti. Yang terlihat semakin tak nyaman di sofa yang ia duduki.
"Ma."
Suara Bhakti terdengar amat rendah. Lebih menyerupai desisan. Bersamaan dengan dirinya yang menyenggol Widia.
Widia menoleh. "Apa?"
Kala itu seorang asisten rumah tangga datang. Dengan satu nampan yang berisi minuman dan camilan. Memanfaatkan jeda tersebut, Bhakti yang salah tingkah melihat sekilas pada Tasya. Lalu barulah ia berkata pada Widia.
"Mama dan Tasya masuk dulu. Ada yang mau Papa bicarakan dengan keluarga Arif."
Widia menarik tangannya. Mendelik sekilas.
"Kalau ada yang mau Papa dan Arif bicarakan, itu artinya Mama dan Tasya juga harus ada di sini dong," balas Widia. "Kok malah disuruh masuk?"
Widia tersenyum kembali pada Haris. Tak lupa mempersilakan mereka minum. Mengabaikan sang suami yang semakin kebingungan.
"Mari diminum dulu."
Arif hanya bisa mengangguk. Meraih cangkir tehnya seraya melirik pada Sekar dan Haris. Ibu anak itu terlihat memberikan isyarat mata padanya. Membuat Arif sama sekali tidak bisa menikmati teh yang tengah ia minum.
Cangkir teh kembali ke tatakan. Arif menarik napas dalam-dalam. Beralih pada Bhakti yang terlihat serba salah. Berusaha untuk meminta Widia dan Tasya masuk pun percuma. Jadi apa yang harus ia lakukan saat ini?
Karena sejurus kemudian Bhakti bisa melihatnya dengan jelas. Bagaimana tatapan mata Tasya yang tidak pernah beralih sedikitpun dari Haris. Hingga membuat cowok itu beringsut. Menarik tangan Sekar. Lantas berbisik.
"Ma, lihat. Tasya liatin aku."
Sekar membuktikan apa yang dikatakan oleh Haris memang benar. Tasya dengan terang-terangan melihat Haris dengan sorot yang penuh antusias. Dan itu membuat Sekar merasa maklum mengapa Haris jadi bersembunyi dengan dirinya.
"Ehm."
Delikan Sekar yang selanjutnya berhasil membuat Arif mendeham. Sinyal bahwa ia akan bicara dalam waktu dekat. Hingga semua pandangan semua orang segera tertuju padanya.
Arif sontak meneguk ludah. Bingung dan rasanya ingin mengumpat saja.
Ya ampun. Aku harus bicara apa?
Bukan karena Arif tidak paham soal lamar-melamar anak perempuan untuk anaknya. Tapi, keadaan kala itu yang membuat ia kesusahan.
Aku mau melamar anak pertama Bhakti buat Haris. Tapi, kenapa yang malah muncul justru anak keduanya? Ya Tuhan. Aku harus bagaimana?
Karena tentu saja Arif tidak akan keliru menebak. Bahwa ada kesalahpahaman yang sedang terjadi saat ini. Widia dan Tasya tentu saja mengira bahwa kedatangan keluarga Wiguna adalah demi membicarakan masalah Haris dan Tasya. Dan itu adalah hal yang salah.
"Bhakti."
Arif menguatkan diri. Karena cepat atau lambat, ia tetap harus mengatakan semuanya. Ia tidak bisa kabur lantaran mereka sudah duduk bersama saat ini. Terlebih lagi Arif pun bisa menebak hal buruk apa yang bisa menimpanya kalau ia sampai tidak mengutarakan niat kedatangan keluarganya.
Lihat saja. Sekar sudah mendelik berulang kali padanya. Seakan ingin memberikan ancaman seraya terus memberikan usapan penenang bagi sang putra.
Pulang nanti nggak Mama masakin makan malam. Biar aja Papa kelaparan.
Mengabaikan kehadiran Widia dan Tasya, Arif menatap Bhakti. Dengan kedua tangan yang saling mengusap satu sama lain, ia berkata.
"Sebelumnya aku minta maaf karena keluarga kami datang mendadak seperti ini."
Bhakti hanya mengangguk-angguk. Berusaha mengabaikan Widia dan Tasya yang saling berpegangan dengan ekspresi yang bahagia.
"Tapi, kami pikir yang namanya niat baik memang harus disegerakan walau terkesan terburu-buru."
Ya Tuhan. Jangan ditanya bagaimana keadaan Arif kala itu. Tubuhnya sudah gemetaran dengan napas yang terasa susah. Andaikan ia tidak ingat kalau ia hanya punya satu istri dan satu anak, mungkin ia tidak akan rela menumbalkan nyawanya seperti ini.
Arif yakin. Lamaran ini tidak akan menjadi hal yang mudah. Dan sebagai kepala rumah tangga, tentu ia yang harus menghadapinya semua.
Waktu terus berjalan. Arif memutuskan untuk mengatakan semuanya. Tak apa kalau misalnya itu akan membuat keributan. Asal rumah tangganya dan Sekar aman sentosa.
"Aku datang ke sini karena ingin melamar putri pertama kamu untuk Haris."
Ada yang janggal dari perkataan Arif. Sesuatu yang terasa sedikit aneh di telinga Widia dan Tasya. Memang hanya satu kata. Tapi, itu sukses membuat kerutan di dahi mereka berdua.
"P-putri pertama?" tanya Tasya kebingungan. "Kan anak Papa cuma aku."
Seharusnya tidak perlu menggunakan kata pertama bukan? Toh selama ini hanya Tasya yang diketahui sebagai putri Bhakti.
"Maksud kamu apa, Rif?"
Menekan perasaan tidak enak ketika otaknya menghubungkan semua kejadian –dari sikap Sekar dan Haris yang tampak tidak suka dengan kehadirannya dan Tasya, Arif yang terlihat kebingungan, hingga Bhakti yang menyuruh dirinya dan Tasya untuk masuk- Widia bertanya.
Arif menatap sekilas pada Widia sebelum beralih pada Bhakti kembali.
"Aku ingin melamar Vanny untuk Haris."
Satu nama itu sukses membuat Widia dan Tasya tertegun. Kebahagiaan yang semula bertengger di wajah keduanya runtuh seketika. Tergantikan pucat pasi yang menyiratkan penolakan untuk kenyataan yang terjadi.
"V-Vanny?"
Suara Tasya terdengar bergetar. Ia melihat bergantian pada semua orang di sana. Berujung pada Arif dan kembali bertanya.
"Vanny, Om?"
Tasya mendekap dadanya dengan satu tangan. Meraih tangan ibunya dan meremasnya.
Arif mengangguk. "Benar, Sya," jawabnya. "Om datang ke sini karena ingin melamar Vanny untuk Haris."
Remasan Tasya pada Widia menguat. Membuat wanita paruh baya itu meringis. Tapi, tak mampu untuk menahan kesiap tak percayanya.
"Vanny? Maksud kamu?"
Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Membuat Widia berpaling pada suaminya. Bhakti terlihat membuang napas panjang.
"Vanny anak jalang itu?"
Mata Bhakti membesar seketika. "Ma."
Isyarat peringatan yang tersirat dalam suara Bhakti membuat Widia mengambil kesimpulannya. Tak perlu bertanya dua kali. Ia telah mendapatkan jawabannya.
"Jadi karena itu kenapa Papa nggak mau berusaha menjodohkan Tasya dan Haris?" tanya Widia dengan tubuh yang bergetar karena emosi yang perlahan bergolak di dirinya. "Karena Papa mau menjodohkan anak Diah dengan Haris?"
"Mama, dengar dulu."
Widia menolak permintaan Bhakti karena di sebelahnya sekarang ada Tasya yang meringis menolak kenyataan tersebut. Ia menggeleng. Menatap pada Bhakti. Lalu beralih pada Haris.
"Dia, Ris?" tanya Tasya dengan wajah yang semakin pucat. "Sekretaris kamu itu?"
Menarik napas dalam-dalam, Widia menggeram. Pertanyaan Tasya membuat ia teringat akan hari pertengkaran antara dirinya dan Sekar. Sekarang tanda tanya yang berputar di kepalanya kala itu berhasil mendapatkan jawabannya.
Pantas. Pantas wajahnya mirip Diah.
Gejolak emosi makin lama makin mengguncang Widia. Berusaha untuk bertahan pun rasanya amat sulit untuk ia lakukan.
"Aku nggak pernah ngira kalau Papa tega sama Tasya."
Kalimat tajam itu Widia layangkan pada suaminya dengan tatapan yang amat menusuk. Hingga membuat Arif melirik pada Sekar dan Haris. Kedua ibu dan anak itu hanya memasang tampang polos. Seolah tak berdosa dengan percikan keributan yang telah tercipta.
"Ma."
"Papa tega sama Tasya dan Mama. Papa lebih mikirin anak jalang itu," ujar Widia dengan mimik tak habis pikir. Ia bangkit berdiri dan menuding suaminya. "Kenapa sih, Pa? Kenapa Papa lebih sayang pada Vanny timbang Tasya?!"
"Ma, bukan itu maksud aku."
Bhakti turut berdiri. Berusaha untuk menenangkan sang istri. Tapi, Widia menepisnya.
"Ini bukan maksud Papa?"
Widia mendengkus tak percaya. Ia menunjuk Haris.
"Terus ini apa buktinya?! Jelas-jelas Arif bilang dia mau melamar Vanny untuk Haris. Papa masih mau ngelak?"
Pertanyaan bertubi-tubi dengan nada tinggi itu menyentak Arif dan keluarganya. Ia kembali melirik pada Sekar. Dan sang istri memutar bola matanya. Menghindari dari tatapan Arif.
"Mama benar-benar nggak habis pikir. Papa tau sendiri gimana cintanya Tasya sama Haris. Tapi, kenapa Papa malah mau jodohin Haris dengan Vanny?!"
"Tante."
Jangankan Widia, bahkan Sekar yang berada tepat di samping Haris tidak mengira bahwa sang putra akan angkat bicara dalam keributan rumah tangga itu. Mata Sekar membola. Tampak kaget melihat Haris yang tak lagi memegang tangannya. Tidak lagi bersembunyi di baliknya. Alih-alih turut berdiri.
"Maaf sebelumnya," ujar Haris ketika Widia menatap padanya. "Tapi, Om Bhakti nggak ada menjodohkan aku dan Vanny. Aku dan Vanny nggak pernah dijodohkan."
Membuang sejenak napasnya, Haris sempat mempertanyakan dirinya sendiri. Mengapa bisa ia tiba-tiba bersuara dan menceburkan diri dalam pertengkaran suami istri itu? Aneh, tapi tubuhnya seperti memiliki kehendak sendiri. Karena tentu saja ia tidak ingin Vanny dan Bhakti dituding untuk hal yang tidak ia lakukan.
"Aku dan Vanny nggak butuh perjodohan," lanjut Haris. "Karena kami sudah berpacaran dari dulu."
Widia tercengang dengan apa yang Haris katakan. Terlebih lagi Tasya. Karena tak hanya sampai di sana, Haris pun menjelaskan semuanya.
"Aku nggak bisa menerima perjodohan dengan Tasya karena aku mencintai Vanny. Dan aku nggak bisa menunda-nunda untuk segera melamar Vanny."
Tasya merasa tubuhnya dingin seketika. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap bernapas, ia berdiri. Ia menggeleng. Menatap Haris tak percaya.
"Nggak mungkin."
Tasya merasa tubuhnya tak lagi bertenaga. Semua kekuatannya menghilang tepat ketika kata demi kata yang diucapkan Haris masuk dan mendarat di indra pendengarannya. Ia ingin menolak kenyataan itu.
Melihat Haris dengan cewek lain saja membuat hati Tasya sakit. Apalagi sekarang? Ketika ia mengetahui bahwa Vanny yang dicintai Haris ternyata adalah putri ayahnya pula, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.
"G-gimana bisa, Ris?" tanya Tasya dengan sorot terluka. "Gimana bisa kamu cinta cewek lain? Kamu tau aku cinta banget sama kamu, Ris."
Haris menahan ringisannya. Rasanya ia ingin garuk-garuk dinding saat ini juga. Ia memang ingin melamar Vanny secepatnya. Tapi, ia mengabaikan setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Haris lupa akan keberadaan Tasya yang tinggal di rumah Bhakti. Hidup bertahun-tahun sebagai satu-satunya putri Bhakti yang diakui orang-orang. Tentu saja kedatangannya menerbitkan harapan Tasya. Bahwa dirinya yang akan dilamar.
"Maaf, Sya. Kamu cewek baik, tapi kita nggak berjodoh," ujar Haris dengan rasa bersalah. "Jodoh aku itu Vanny."
Sekar memejamkan mata. Sempat dibuat kagum dengan keberanian Haris yang turut bicara, ia justru menahan napas saat mendengar perkataan Haris selanjutnya.
"Nggak," geleng Tasya. "Nggak mungkin."
Satu bulir air menetes dari mata Tasya. Jatuh di pipinya. Membuat Widia dengan segera meraih tubuh sang putri. Tapi, Tasya berontak.
"Nggak mungkin!"
Dilanda sakit hati dan malu yang tak terkira, Tasya tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Ia menjerit histeris dan berlari dari sana. Masuk ke dalam meninggalkan semua orang.
Widia menatap bengis pada Arif, Sekar, dan Haris secara bergantian. Lalu berhenti pada Bhakti.
"Aku nggak terima anak aku diperlakukan seperti ini, Pa," ujar Widia dengan penuh kemarahan. "Aku nggak terima."
Turut pergi dari sana, Widia menyusul Tasya. Dan Bhakti yang serba salah memutuskan untuk meninggalkan keluarga Wiguna sejenak. Mengatakan permisi seadanya, ia memanggil Widia.
"Ma."
Tak ada Tasya, Widia, dan Bhakti membuat Haris membuang napas panjang. Sekar menarik tangannya. Membuat Haris duduk kembali. Kala itu Arif berkata dengan nada rendah.
"Lihat ini? Gara-gara kamu yang ngebet mau melamar dadakan, keluarga orang jadi ribut."
Haris cemberut. Tudingan Arif padanya membuat Haris menggamit tangan Sekar. Jelas ia tidak terima disalahkan oleh ayahnya sendiri.
"Mama lihat? Aku disalahkan sama suami Mama."
Sekar berdecak. "Suami Mama itu artinya Papa kamu."
"Makanya itu, Ma," ujar Haris masih cemberut. "Papa nyalahin aku, padahal yang salah di sini jelas Papa."
Bukan hanya Arif, Sekar pun sontak mengerutkan dahi.
"Kenapa Papa yang salah?" tanya Arif tak terima.
"Jelas salah, Papa. Coba. Seandainya Papa bisa buat Mama hamil lebih dari sekali, masalah ini bakal gampang diselesaikan."
Arif melongo. Ia melihat pada Sekar yang tampak mesem-mesem.
"Kan enak. Ada Haris ada Aris."
Haris menatap bergantian pada orang tuanya yang sekarang terlihat salah tingkah. Tapi, Haris tetap melanjutkan argumentasinya.
"Yang setia ini, yang namanya Haris bisa nikah dengan Vanny. Hidup bahagia selama-lamanya. Nah! Aris yang nggak setia, biarin aja nikah sama Tasya."
Untuk pemikiran itu, Haris menuntaskan semuanya dengan satu pertanyaan menohok.
"Kan? Kalau punya dua anak jadi enak?"
Maka Arif buru-buru meraih cangkir tehnya. Sebelum ia terpikir untuk menjitak putra sematawayangnya itu di hadapan Sekar, lebih baik ia meredam geramnya sekarang.
"Enak saja nyuruh punya dua anak," gerutu Arif. "Punya satu saja sudah buat heboh begini, apalagi kalau dua?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top