70. Bukan Hari Ulang Tahun, Tapi Kok Penuh Kejutan?
"Aku akan segera melamar kamu. Aku bakal adakan pernikahan yang meriah. Biar semua orang tau kalau kita adalah suami istri yang berbahagia. Jadi kalau sampai nanti aku kepikiran buat ninggalin kamu, artinya aku sendiri yang malu."
Vanny mengerjap-ngerjap. Haris bicara dengan teramat cepat. Hingga membuat Vanny tidak yakin dengan apa yang ia dengar.
"H-Haris."
"Jadi aku harus balik ke rumah sekarang. Aku harus ketemu sama orang tua aku. Kami harus ketemu Papa kamu, Van. Iya. Benar. Aku harus melamar kamu."
Haris mendorong tubuh Vanny. Mendudukkannya dengan benar di sofa dan ia bangkit. Tak peduli dengan keadaan Vanny yang tampak kebingungan.
"M-maksud kamu apa, Ris?" tanya Vanny gelagapan. Akhirnya ia turut berdiri. "K-kamu mau ngapain?"
Haris tidak menjawab pertanyaan Vanny. Alih-alih ia melihat jam tangannya. Ia terkesiap.
"Ya Tuhan. Udah jam empat?"
Seketika saja Haris panik. Membayangkan entah jam berapa ia bisa sampai ke rumah. Pun memperkirakan jam berapa ia bisa pergi ke rumah Bhakti.
"Van, aku balik dulu ya. Kamu di sini duduk yang manis dan doakan biar semuanya lancar."
Tubuh Vanny berubah dingin. "S-semuanya?" tanyanya gemetar. "Semuanya itu apa?"
Haris memegang Vanny. Tersenyum.
"Semuanya itu ya semuanya."
Tidak menjawab sama sekali. Karena sejujurnya Haris memang tidak berniat untuk menjawab. Karena alih-alih menjawab, ia justru memberikan satu kecupan di bibir Vanny.
Vanny melotot. Itu memang hanya sekadar kecupan. Sentuhan sekilas yang bertahan dalam beberapa detik. Tapi, tetap saja mampu memberikan sentakan kaget pada jantung Vanny.
"Aku balik."
Tuntas mengatakan itu, Haris langsung beranjak. Pergi dari sana. Tidak peduli dengan Vanny yang memanggil-manggil namanya.
Sekarang Vanny yang panik. Perasaannya tidak tenang. Dengan satu pertanyaan besar di kepalanya.
"Ya Tuhan. Haris mau ngapain?"
Lutut Vanny goyah. Pada akhirnya ia pun jatuh terduduk kembali di sofa. Tangannya bergetar. Begitu pula dengan bibirnya.
"Haris nggak beneran mau melamar aku kan?"
*
Bahkan ketika ada rapat penting sekalipun, Haris tidak pernah tuh buru-buru. Ia tidak peduli kalau terlambat. Karena kalaupun ia telat, maka dipastikan mereka yang akan menunggu.
Namun, kasus yang berbeda terjadi kali ini. Haris dengan tergesa-gesa melajukan mobilnya. Juga tergesa-gesa menghentikan lajunya ketika ia telah sampai di rumah.
Haris melompat keluar dari mobil. Berlari melintasi ambang pintu. Tepat dengan Yuli yang saat itu baru saja membereskan ruang tamu.
"Tuan."
Yuli tampak kaget dengan kedatangan Haris yang tiba-tiba. Dan lebih kaget lagi ketika Haris dengan napas terengah-engah bertanya padanya.
"Mama di mana?"
"Di dapur, Tuan."
"Oke, makasih."
Tidak membuang-buang waktu, Haris langsung berlari ke dapur. Ketika ia sampai di sana, dilihatnya Sekar yang tengah berkutat dengan sayur mayur. Derap langkah Haris membuat ia menoleh.
"Eh, Ris," ujar Sekar seraya meraih sebuah tomat. Memeriksanya sekilas. "Kamu udah balik?"
Haris mendekati Sekar. Menjawab pertanyaan Sekar hanya dengan satu anggukan kepalanya saja. Lalu ia berkata.
"Ma, malam ini kita melamar Vanny yuk."
Buah tomat jatuh dari tangan Sekar. Ia melongo melihat Haris. Dengan mata membesar, ia menatap sang putra tanpa kedip.
"A-apa, Ris?" tanya Sekar terbata. "Malam ini kamu mau melamar Vanny?"
Haris mengangguk. "Iya, Ma. Kita melamar Vanny. Ehm ... orang melamar itu apa aja ya yang dipersiapin? Arak-arakan? Parcel? Atau apa, Ma? Aku nggak tau. Aku nggak pernah melamar sebelumnya."
Sekar buru-buru menarik napas sedalam mungkin. Ia berpegang pada kitchen island. Khawatir dirinya akan roboh dalam waktu dekat.
"Ris, kamu serius?"
Haris kembali mengangguk. "Aku benar-benar serius, Ma. Aku mau melamar Vanny malam ini."
Sekar mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia jelas tau bagaimana sifat Haris. Ketika menginginkan sesuatu, mutlak ia harus mendapatkannya. Dan tentunya, Haris tidak akan mau menunggu. Dapat dalam waktu cepat, itu adalah prinsip hidup Haris sebagai anak manja. Tapi?
"Ris, kamu mau melamar Vanny malam ini? B-bentar deh. Kok mendadak begini, Ris?"
Sekar mengamati keadaan Haris. Rambutnya acak-acakan. Jasnya berantakan. Dasinya pun longgar. Saat itu Haris terlihat dalam penampilan yang benar-benar tidak rapi. Ia kusut dan ia juga terlihat panik. Persis sama paniknya dengan Sekar saat ini.
"Mama ini. Nanya mulu ih."
Haris meremas rambutnya. Tampak geregetan pada sang ibu.
"Iya, Ma, iya. Aku mau melamar Vanny. Pokoknya malam ini aku mau melamar Vanny."
Sepertinya ada gempa lokal saat itu. Sekar terhuyung. Kali ini memutuskan untuk benar-benar duduk.
"Ma," rengek Haris. "Gimana? Bisa kan malam ntar kita melamar Vanny?"
Untuk sejenak, Sekar tidak langsung menjawab pertanyaan sang putra. Alih-alih ia masih sibuk untuk mengatur laju pernapasannya terlebih dahulu.
"Ya ampun, Ris. Ini bukan masalah bisa atau nggak. Tapi, kok kamu mendadak banget mau melamar malam ini juga?" tanya Sekar benar-benar bingung. "Kamu bukan anak SD lagi, Ris. Yang besok disuruh guru buat ngumpulin tongkat Nabi Musa, eh baru kamu omongin ke Mama malamnya."
Itu kebiasaan anak kecil memang. Ketika guru sudah memberi tugas dari jauh hari, tapi selalu saja mereka memberi tau pada orang tua di saat sudah mepet waktunya. Dan menurut Sekar, itu persis dengan apa yang Haris lakukan saat ini.
"Aku nggak mau tau, Ma. Pokoknya malam ntar Mama dan Papa harus ikut aku ke rumah Om Bhakti. Kita ha---"
"Bentar," potong Sekar refleks. Ia mengerutkan dahi. Sepertinya ada sesuatu yang terasa janggal di telinganya. "Ke rumah siapa? Rumah Bhakti?"
Haris diam sedetik. Lalu ia mengangguk di detik selanjutnya. Dan itu membuat Sekar semakin bingung.
"Kamu mau melamar Vanny, tapi malah ke rumah Bhakti?" tanya Sekar lagi. "Maksudnya?"
Kala itu Haris baru menyadari bahwa ada satu hal penting yang belum diketahui oleh ibunya. Hal penting yang harusnya ia ungkapkan terlebih dahulu pada Sekar sebelum ia membuat kehebohan dengan niatannya melamar Vanny.
Haris melihat ke sekeliling. Ada beberapa orang asisten rumah tangga di sana. Yang tampak mengulum senyum karena melihat kelakuannya dari tadi.
Astaga. Wajah Haris memanas. Dan ia tidak berpikir dua kali untuk mengajak ibunya beranjak dari sana.
Sudah cukup aku mempermalukan diri aku seharian ini. Seenggaknya aku harus mempertahankan harga diri aku di depan ART.
Haris memutuskan akan membicarakan soal itu di tempat yang lebih pribadi. Tentu saja. Kamarnya menjadi pilihan.
"Eh? Ris! Mau ke mana?"
Sekar sontak kebingungan ketika mendapati Haris yang meraih tangannya dan mengajaknya pergi dari dapur. Ia melihat pada sayur mayurnya.
"Mama mau masak buat makan malam Papa."
Haris tidak peduli. Ia terus menarik Sekar. "Sekali-kali biarin Papa makan masakan orang lain. Jadi suami kok manja banget."
Mata Sekar melotot. Ketika mereka menaiki tangga, Sekar memukul Haris.
"Nggak bisa ngaca? Kamu dan Papa itu sama aja manjanya."
Namun, Haris tidak peduli. Ia tetap mengajak Sekar ke kamarnya. Menutup pintu dan membawa Sekar untuk duduk bersama.
Sekar mendelik. "Kamu ini bener-bener deh."
"Ma, ada hal penting yang mau aku kasih tau."
"Apa lagi?"
Bertanya acuh tak acuh, sungguh pikiran Sekar saat ini tidak bisa tenang. Bayangan sayur mayur di dapur yang ia tinggalkan, menari-nari di benaknya. Seharusnya saat ini ia masak dan menyiapkan makanan untuk sang suami malam nanti. Tapi, sayang. Haris justru kumat manjanya.
"Mama tau nggak siapa ayah Vanny?"
Sekar yang manyun sontak berpaling. Melihat sang putra dengan sorot penuh tanda tanya. Tiba-tiba membahas soal itu, tentu saja membuat Sekar penasaran.
"Siapa?"
Haris langsung menjawab. "Om Bhakti."
Sekar sontak melongo. Jawaban Haris membuat Sekar tertegun. Untuk beberapa saat ia hanya bisa bengong. Persis seperti korban hipnotis.
"A-apa?"
Sekar mengerjap. Tampak menggeleng sekali. Seolah sedang berusaha menyadarkan dirinya. Mungkin ia pikir kala itu ia benar-benar sedang dihipnotis.
"Ayah Vanny ...," lanjut Sekar megap-megap. "Bhakti?"
Haris mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Ma. Om Bhakti itu ayah Vanny. Calon Papa mertua aku."
Antusiasme Haris dalam menjawab rasa tak percaya Sekar membuat wanita paruh baya itu semakin gelagapan. Kebingungan semakin nyata tercetak di wajahnya. Ia menggeleng berulang kali.
"Gimana bisa? Ris, kamu jangan becanda ya."
"Ya Tuhan, Ma. Aku nggak becanda. Aku serius. Sumpah."
"Tapi, gimana bisa?"
Tampak masih tidak percaya dan sangsi dengan apa yang Haris katakan, Sekar kembali menggeleng. Agaknya kenyataan itu benar-benar sulit diterima oleh Sekar. Dan Haris memakluminya. Karena ia pun akan merasakan hal yang serupa bila berada di posisi Sekar.
"Bisa aja, Ma," kata Haris kemudian. "Karena sepertinya Om Bhakti itu suami dari Mama Vanny."
Bola mata Sekar membesar. Refleks saja ia memukul Haris dengan geregetan.
"Bukan itu maksud Mama. Tapi, Mama benar-benar nggak nyangka kalau Bhakti itu Papa Vanny."
Sekar lantas diam. Mengerutkan dahi dalam upaya mengingat. Tapi, ia tak yakin. Lantaran itu sudah berpuluh tahun berlalu.
"Apa nama ibu Vanny ..."
Sekar sepertinya tak yakin dengan ingatannya sendiri. Tapi, ia tetap mencoba.
"... Diah?"
"Iya, Ma, " jawab Haris yakin. "Diah Wardhana."
Kali ini Sekar benar-benar tidak mampu menahan keterkejutannya. Matanya melotot dan mulutnya menganga.
"Bhakti itu ayahnya Vanny? Ya Tuhan. Mama beneran nggak percaya."
"Sama, Ma. Aku juga syok pas tau."
"Terus kamu taunya gimana?"
Haris menjentikkan jarinya sekali. "Aku taunya tadi, Ma," jawabnya dengan serius. Sorot matanya tertuju pada Sekar tanpa kedip sama sekali. "Mama mau tau ceritanya?"
Sekar mengangguk. "Buruan cerita."
Maka Haris pun tidak membuang-buang waktu. Dengan penuh semangat ia menceritakan apa yang terjadi. Tepatnya dari beberapa hari yang lalu.
"Jadi kemaren itu Om Bhakti ngubungi aku."
Sekar angguk-angguk kepala. Mendengarkan dengan saksama ketika Haris bercerita.
"Aku takut kan, Ma? Nah, terus."
Haris menceritakan dengan detail tentang Bhakti yang berniat untuk bertemu dengannya. Hingga membuat Haris ke kantor pria itu.
"Aku nggak ngeuh waktu Om Bhakti mau jodohin aku sama anaknya yang lain. Dan ternyata ...."
Mulut Haris komat-kamit. Persis seperti seorang dukun yang sedang membaca mantera. Sementara tangannya pun naik turun dan ke kanan ke kiri. Benar-benar seperti tengah berusaha meyakinkan Sekar.
Dan Sekar benar-benar menyimak apa yang dikatakan oleh Haris. Bergeming. Tidak bergerak sedikit pun. Hanya sesekali berkomentar.
"Serius?"
Lalu di lain kesempatan, Sekar pun buru-buru menutup mulut.
"Ya Tuhan."
Dan ada saatnya Sekar justru tampak meremas tangannya satu sama lain.
"Kamu nggak bohong, Ris?"
Haris menggeleng. "Mama dari kecil kan ngajarin aku nggak boleh bohong. Dan aku sekarang ini beneran nggak bohong. Om Bhakti itu beneran ayahnya Vanny."
Untuk beberapa saat setelah Haris tuntas menceritakan semua yang terjadi, Sekar tidak sanggup berkata apa-apa. Ia benar-benar terguncang. Dan entah sadar atau tidak, sejurus kemudian ia bergumam rendah.
"Berarti ... orang yang udah ninggalin Vanny dan ibunya itu ... Bhakti?"
Haris mengangguk. "Dan Mama nggak lihat tadi. Vanny itu benar-benar jaga jarak sama Om Bhakti. Dia lebih milih duduk dekat aku timbang duduk dekat ayahnya sendiri."
"Ckckck. Ya ampun. Mama nggak ngira," decak Sekar seraya geleng-geleng kepala. "Bener-bener Bhakti ini. Ternyata dia orangnya yang buat Vanny jadi begini? Dasar nggak punya perasaan."
"Bener kan, Ma? Tega banget kan Om Bhakti sama Vanny? Kasihan Vanny. Hidup selama ini dalam kesedihan. Makanya itu aku rencananya mau nikahin Vanny cepet-cepet. Biar aku bisa bahagiakan dia."
Sekar melirik Haris. Hanya bisa mesem-mesem mendengar perkataan anaknya. "Kamu ini. Tetap aja intinya mau nikahin Vanny."
"Ya mau gimana lagi. Mama kan tau aku udah cinta mati sama Vanny."
"Iya, Mama tau kamu cinta mati sama Vanny. Tapi, kamu kan juga tau kalau Vanny masih ragu itu sama kamu."
Mengatakan hal itu, Sekar lalu menggeram. Ia meremas bantal sofa.
"Dan ini semua gara-gara Bhakti. Yang buat Vanny susah mau nerima kamu itu Bhakti orangnya."
"Nah! Bener itu, Ma. Gara-gara Om Bhakti, sekarang ini yang susah itu aku. Sengsara setengah mati buat meyakinkan Vanny. Dan makanya aku mau melamar Vanny malam ini juga."
"Kamu yakin mau melamar Vanny malam ini juga?"
Haris mengangguk. "Beneran yakin, Ma."
Sekar diam menilai keyakinan dan keteguhan Haris. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu ia pertanyakan lagi. Ia jelas tau bagaimana sifat Haris. Apa yang ia inginkan harus ia dapatkan. Kalau tidak ia akan mencak-mencak, merajuk, dan ujungnya akan sakit hingga menjadi zombi.
"Oke."
Satu kata itu membuat mata Haris membesar. Sekar bangkit dari duduknya.
"Kita lamar Vanny sekarang."
Haris turut berdiri. "Serius, Ma?"
"Serius," angguk Sekar. "Kamu mandi. Siap-siap. Biar Mama langsung bilangin ke Papa sekarang juga."
Tentu saja Haris girang bukan kepalang. Ia memeluk Sekar dengan penuh sukacita.
"Makasih, Ma. Makasih."
Tidak butuh waktu lama, Haris kemudian langsung menghilang ke kamar mandi sementara Sekar yang mencari keberadaan suaminya di ruang kerja. Dan ketika Sekar menceritakan apa yang terjadi, Arif melongo. Nyaris melompat dari kursinya.
"A-apa, Ma?" tanya Arif syok. "Melamar Vanny? Malam ini?"
Tidak menjawab dengan kata-kata, Sekar langsung menarik Arif. Mengajaknya ke kamar dan berkata.
"Buruan mandi, Pa. Biar Mama siapin baju buat Papa."
Arif bingung. Gelagapan ketika Sekar mendorong dirinya ke kamar mandi. "Ma, tapi melamar nggak bisa mendadak gini. Kita harus persiapan dulu."
"Lamaran resminya ntar. Malam ini kita ketemu Bhakti buat ngomong kalau kita mau melamar Vanny."
Arif masih ingin mendebat keputusan dadakan istri dan anaknya itu. Tapi, ketika Arif sudah berada di kamar mandi, Sekar langsung berkata.
"Mandi yang bersih."
Dan pintu kamar mandi pun langsung tertutup. Meninggalkan Arif yang terbengong-bengong. Sungguh. Walau sudah bertahun-tahun hidup dengan Sekar dan Haris, tapi ia selalu berhasil dibuat syok dengan apa yang bisa dilakukan istri dan anaknya itu. Apalagi orang lain?
Karena itulah yang terjadi pada Bhakti. Ia sedang berada di ruang kerjanya. Bersiap untuk turun. Bergabung ke meja makan di mana Widia dan Tasya sudah menunggunya untuk makan malam. Tapi, dering ponsel menahan langkah kakinya.
"Haris?"
Bhakti mengerutkan dahi. Melihat nama Haris yang muncul di layar ponselnya membuat ia bertanya-tanya.
"Ngapain dia nelepon?"
Tidak berpikir dua kali, Bhakti pun mengangkat panggilan itu. Menyingkirkan bayang memalukan yang terjadi siang tadi, ia berusaha untuk menyapa sesantai mungkin.
"Halo, Ris. Kenapa kamu nelepon Papa?"
Samar terdengar di telinga Bhakti suara mesin mobil yang dimatikan. Dan itu membuat Bhakti menebak bahwa mungkin Haris baru pulang dari apartemen Vanny. Tapi, jelas saja tebakan Bhakti keliru.
"Halo, Papa mertua. Maaf menganggu. Tapi, aku sekarang sudah berada di depan rumah Papa mertua."
Sedetik. Dua detik. Tiga detik.
Bhakti mengerjap. Berusaha untuk tersadar dari longoan singkatnya.
"K-kamu di depan rumah Papa?"
"Ya. Karena sesuai dengan pembicaraan kita tadi siang, malam ini aku ingin membicarakan kelanjutan hubungan aku dan Vanny."
Bhakti menarik napas dalam-dalam. "M-maksudnya?"
"Aku ingin melamar Vanny malam ini."
Dan Bhakti seketika terlonjak dari duduknya. Syok. Histeris.
"Apa?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top