7. Yang Benar Aja Deh!

"Kamu jadi pergi lusa?"

Adalah Arif yang bertanya pada sang putra pagi itu. Ketika mereka tengah berkumpul di meja makan dan menikmati sarapan. Di sebelahnya, ada sang istri yang tampak melihat pada putranya.

Haris mengangguk. "Jadi, Pa."

"Berapa lama?"

Kali ini adalah Sekar yang bertanya. Ekspresi wanita paruh baya itu terlihat tak tenang.

"Mungkin sekitar seminggu, Ma," jawab Haris sambil meraih cangkir kopinya. Menyesap sekilas dan lanjut bicara. "Tergantung juga kondisi di sana gimana. Kan tau sendiri kalau orang-orang Arka itu pada rewel. Makanya mau nggak mau aku turun langsung ke sana."

Sekar menarik napas dalam-dalam. "Apa Mama dan Papa ikut pergi juga?"

"Bruuut!"

Kopi di mulut Haris menyembur seketika. Buru-buru saja ia meraih tisu dan mengelap mulutnya yang basah. Horor ia melihat pada sang ibu sementara Arif tampak geleng-geleng kepala.

"Mama mau ngapain ikut aku pergi?" tanya Haris ngeri. "Nggak ah. Yang bener-bener aja deh."

"Mama khawatir sama kamu, Ris. Seminggu itu lama. Ntar kalau ada apa-apa sama kamu di sana gimana? Kan Mama khawatir. Apalagi katanya Bengkulu itu termasuk daerah rawan gempa loh."

Haris bergidik. Tidak bisa membayangkan kalau ibunya turut menyertai kepergiannya dalam perjalanan dinas itu. Pokoknya jangan sampai!

"Terus kalau Bengkulu termasuk daerah rawan gempa," kata Haris kemudian. "Dengan Mama ikut aku ke sana, gempanya jadi takut dengan Mama?"

Arif tertawa sementara Sekar tampak mendelik pada sang suami. Ia kemudian beralih lagi pada sang putra.

"Bukan gitu, Sayang. Nanti kamu di sana siapa yang ngurus? Kan kalau ada Mama artinya ada Mama yang bisa ngurus kamu."

Haris menggeleng berulang kali. "Tenang, Ma, tenang. Aku pergi ke sana nggak sendirian. Ada sekretaris yang nemenin aku."

Sekar tampaknya masih ingin membujuk Haris, tapi cowok itu sudah keburu bangkit dari kursinya. Ia langsung menghampiri Sekar. Mencium pipinya dan berkata.

"Aku udah gede dan aku pergi buat kerja, Ma. Aku bukannya masih kecil dan mau pergi tamasya sama guru TK."

Mendengar itu, bibir Sekar sontak cemberut. Tapi, ia membiarkan putranya itu untuk menyalaminya.

"Aku pergi dulu."

Walau cemberut, Sekar pun mengangguk. "Hati-hati di jalan."

Haris tak lupa berpamitan pada Arif sebelum benar-bener beranjak dari sana. Pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang lantas saling bertukar pandang. Arif membuang napas panjang melihat istrinya yang masih cemberut.

"Nggak baik pagi-pagi udah cemberut, Ma. Ntar cepat tua loh."

Sekar bergeming dengan manyunnya. "Lagian sih, Papa. Bukannya ngebela Mama, eh ... malah gitu."

"Bukannya Papa nggak mau bela Mama. Tapi, coba Mama pikir. Yang dibilang oleh Haris itu benar. Dia itu sudah besar. Mau sampai kapan Mama memperlakukan Haris seperti anak kecil?"

Mendapati perkataan sang suami seperti itu tentu saja manyun di wajah Sekar semakin menjadi-jadi. Maka tidak aneh rasanya bila Sekar langsung bangkit dari duduknya. Menggerutu seraya meninggalkan Arif seorang diri di sana.

"Ckckckck."

*

Melangkah turun dari mobil, Haris mendapati ada Vanny yang sudah menunggu kedatangannya. Cewek itu mengambil alih tas kerjanya dan membiarkan Haris untuk berjalan terlebih dahulu baru mengikutinya dari belakang.

Haris mengulum senyum. Dulu itu adalah tugas Astrid. Tapi, mengingat sekarang sudah ada Vanny maka Haris pun memindahkan tugas yang satu itu padanya. Lagipula makin lama Haris makin segan pula membiarkan Astrid berdiri di pelataran kantor menunggu kedatangannya.

Namun, terlepas dari alasan tersebut, tentunya Haris memang sengaja sekali melakukannya. Untuk apa? Untuk apa lagi selain untuk melihat wajah suntuk Vanny setiap hari.

"Vanny."

Ketika Haris memanggil nama sekretaris kedua yang merupakan mantan pacarnya itu, mereka sedang berada di dalam lift. Tidak ada orang lain di dalam sana selain mereka mengingat itu adalah lift khusus yang diperuntukkan untuk Haris dan sekretarisnya.

"Ya, Pak?"

Samar Haris bisa melihat wajah Vanny melalui pantulan samar dinding lift. Tampak cewek itu yang terlihat lesu seperti hari-hari biasanya.

"Gimana dengan perjalanan kita lusa?" tanya Haris seraya mengulum senyum geli ketika menggunakan kata kita di pertanyaannya itu. "Udah beres semuanya?"

"Sudah, Pak."

Haris angguk-angguk kepala. "Bagus bagus bagus. Ehm ... kamu jangan lupa izin dengan orang tua loh. Seminggu itu lumayan lama."

Tidak langsung mendapatkan balasan untuk perkataannya, Haris melihat bagaimana Vanny yang tampak menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu.

"Iya, Pak."

Mata Haris menyipit. Sepertinya ia merasa ada yang berbeda dari suara Vanny kali ini. Tapi, ketika Haris ingin bertanya, pintu lift keburu terbuka. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niatannya dan memutuskan untuk melangkah keluar dari sana.

Sementara Vanny, setelah memastikan tugas menyambut dan membawakan tas kerja Haris selesai pagi itu, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Duduk bersama dengan Astrid dengan wajah yang tertekuk lesu. Ketika ia menyalakan komputer, Astrid beserta kursinya sudah meluncur ke arahnya.

"Sepagi ini kok kamu udah lesu aja, Van. Belum sarapan?"

Vanny menoleh dan langsung menggeleng menjawab pertanyaan Astrid. "Sudah kok, Bu. Tadi aku sarapan pecel dua porsi."

"Ah, ternyata sudah. Dua porsi lagi," lirih Astrid dengan penuh irama. "Terus ... kenapa kamu masih lesu gini?"

Menarik napas panjang terlebih dahulu, Vanny menatap Astrid dengan nelangsa. Persis seperti orang yang tak punya semangat hidup lagi. Seolah-oleh Vanny akan mati besok hari.

"Saya lesu karena mikirin perjalanan dinas lusa, Bu," jawab Vanny yang membuat Astrid meringis seketika. "Tiap mikir soal itu, rasa-rasanya saya nggak mau hidup lagi."

"Hush!"

Astrid menepuk pundak Vanny. Matanya melotot memberikan peringatan.

"Nggak baik ngomong gitu. Ntar kalau malaikat mau denger dikira kamu udah nggak mau hidup beneran."

Vanny meringis. "Tapi, saya memang rasanya kayak yang mau mati saja, Bu. Saya---"

"Ini kan cuma perjalanan dinas selama seminggu, Van," potong Astrid kemudian. "Memangnya kenapa kamu sampai mau mati?"

"Eh?"

"Kamu belum pernah bepergian selama seminggu atau gimana?"

"Ehm ... pernah sih, Bu."

"Terus kenapa kamu sampai mau mati?"

"Ehm ... itu ...."

Vanny membuang napas panjang dengan kesan berat. Ia tidak bisa mengatakan pada Astrid apa tepatnya alasan yang membuat dirinya tidak menyukai ide perjalanan dinas bersama Haris itu. Bila ia jujur, apa kata Astrid?

Walau pada kenyataannya, Astrid pun bisa menebak. Ia yang sudah tau apa yang sebenarnya terjadi di antara Vanny dan Haris, tentunya dapat menerka apa yang membuat Vanny keberatan dengan perjalanan dinas itu.

Nggak salah sih kalau keberatan buat pergi sama Pak Haris. Mungkin dia nggak nyaman kali ya pergi berdua aja sama mantan?

Karena pada kenyataannya lebih dari itu. Sungguh Vanny tak habis pikir. Di mana ada ceritanya sepasanga mantan bepergian berdua saja?

Itu aneh banget nggak sih?

Vanny tidak bisa membayangkan akan secanggung apa mereka nantinya. Dan jangankan menjalankannya, membayangkannya saja sudah membuat kepala cewek itu cenat-cenut.

"Hahahahaha."

Sekarang cenat-cenut di kepala Vanny bertambah. Tawa Esti yang menggema di kamarnya membuat ia semakin pusing saja.

"Kamu tau nggak, Van?"

Melayangkan pertanyaannya, Esti memang sengaja datang ke unit apartemen Vanny malam itu. Ia mengajak Vanny makan ayam geprek di warung langganan mereka, tapi Vanny menolak. Alasannya karena Vanny ingin mempersiapkan kepergiannya besok.

Maka dari itu Esti yang menobatkan dirinya sebagai sahabat terbaik abad ini memutuskan untuk membeli ayam geprek tiga porsi dan mendatangi Vanny. Sekarang setelah mereka makan malam, ia pun menemani Vanny yang sedang berkemas.

"Tau apa?"

Acuh tak acuh Vanny menjawab pertanyaan Esti dengan pertanyaan pula. Saat itu ia tengah duduk di depan pintu lemari dengan kedua pintunya yang membuka. Ada satu koper di lantai dan ia tengah memilih pakaian apa saja yang akan ia bawa selama perjalanan dinas itu.

"Ehm ... gimana ya ngomongnya? Cuma kamu memang harus tau deh. Walau aku terkenal punya mantan banyak yang bertebaran di mana-mana, tapi sepanjang sejarah aku rasanya aku nggak pernah tuh ya liburan berdua lagi dengan mantan."

Sebagai penutup untuk perkataannya, Esti tentu saja tertawa. Itu membuat Vanny yang semula ingin memasukkan satu kaus santai ke koper, berhenti seketika. Matanya melirik dengan sorot mata yang tajam.

"Yang ngomong aku pergi liburan sama Haris siapa? Aku bukannya pergi liburan sama dia. Tapi, aku sama dia tuh pergi dinas."

Esti masih tertawa. Ia meraih bantal dan memeluknya seraya merebahkan badan di atas kasur yang empuk itu.

"Kamuflase," tuding Esti santai. "Pada dasarnya itu pasti cuma akal-akalan Haris buat bisa pergi berdua aja sama kamu."

Awalnya Vanny akan lanjut berkemas. Tapi, perkataan Esti membuat ia kembali urung menaruh kaus santai di tangannya itu ke dalam koper. Ia melihat Esti.

"Kamuflase? Akal-akalan Haris?"

Vanny mendengkus. Bola matanya berputar sekali dengan ekspresi tak percaya. Ia geleng-geleng.

"Lah? Kenapa?" Esti terkekeh. "Masuk akal kan yang aku bilangin?"

Kali ini kaus santai itu benar-benar masuk ke dalam koper. Vanny beralih pada pakaian lainnya.

"Nggak masuk akal banget," tukas Vanny. "Kayak Haris yang nggak ada kerjaan aja."

Tawa Esti makin berderai. "Ya kali aja gitu kan. Lagian sih, Van. Kamu emangnya nggak curiga gitu kalau ini akal-akalan Haris?"

Tak lagi benar-benar peduli dengan apa yang dikatakan oleh Esti, Vanny memutuskan meladeni sahabatnya itu tanpa menjeda acara berkemasnya. Bisa gawat kalau ia tidak selesai berkemas cuma gara-gara ocehan Esti.

"Curiga apaan sih, Es? Ini tuh perjalanan dinas yang dari sebelum aku kerja di sana sudah ada jadwalnya."

Esti mengubah posisinya. Tengkurap dengan bantal di bawah badan dan ia bertopang dagu pada satu siku. Mata cewek itu tampak berbeda. Sedikit menyipit dalam sorot yang tak habis pikir. Satu pertanyaan melintas di benaknya.

Vanny beneran nggak kepikiran atau pura-pura nggak kepikiran ya?

Menunggu sejenak, Esti pikir akan mendapati perubahan dari ekspresi Vanny. Tapi, yang ada malah sebaliknya. Cewek itu masih saja lanjut berkemas seperti tidak terjadi apa-apa.

"Van."

Vanny tidak berpaling. Tetap fokus pada pakaian-pakaiannya. "Apa?"

"Kamu beneran nggak kepikiran?"

Vanny masih tidak berpaling. Ia meraih satu celana pendek dan memasukkannya ke dalam koper. "Kepikiran apa?"

"Kepikiran kalau ini akal-akalan Haris aja?"

Vanny berdecak sekilas. "Kan udah aku bilangin, Es. Ini beneran perjalanan dinas. Jadwalnya udah ada bahkan sebelum---"

"Iya iya iya," potong Esti cepat. Ia tidak ingin mendengar hal yang sama sebanyak dua kali. "Aku yakin kalau jadwal perjalanan dinas itu memang beneran. Tapi, maksud aku bukan itu."

"Terus maksud kamu?"

"Maksud aku yang akal-akalan Haris itu adalah bagian yang ngajak kamu pergi juga. Itu loh. Ehm ... gimana kalau sebenarnya itu cuma rencana Haris untuk berduaan dengan kamu?"

O oh! Tangan Vanny yang semula akan mengambil tumpukan celana dalamnya, berhenti bergerak. Ia terdiam dengan kedua tangan yang menggantung di udara.

"Maksud aku ya ini tuh kayak mencurigakan aja. Masa kamu baru berapa hari jadi sekretaris udah diajak dia ikut perjalanan dinas gitu sih? Bukannya itu beresiko? Kenapa dia nggak ngajak sekretaris pertama dia aja?"

Melayangkan pertanyaan demi pertanyaan dengan kesan menuding, Esti mengusap ujung dagunya. Dalam deheman penuh irama yang melantun dari bibirnya, cewek berambut berambut ikal itu tampak yakin dengan spekulasinya. Dan ketika ia lihat wajah Vanny yang membeku, ia pun menuntaskan vonisnya dengan satu kalimat.

"Aku yakin kalau ini akal-akalan Haris buat berduaan dengan kamu."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top