66. Dari Otak Turun Ke Perut

Mampus saja Haris. Perutnya mendadak mulas. Melilit seperti ia sedang terkena diare akut.

"Y-ya Tuhan. Kenapa perut aku sakit gini?"

Haris buru-buru bangkit. Menuju kamar mandi yang berada di ruang kerjanya. Tergesa-gesa melepas ikat pinggang dan meloloskan celananya, ia duduk di kloset. Berusaha untuk mengusir rasa mulas itu. Tapi, ironisnya tidak ada yang keluar dari saluran pencernaannya itu. Bahkan setetes air pertanda diare pun tidak ada.

"Ah! Perut. Kenapa kamu berulah sekarang?"

Haris mengusap perutnya. Keluar dari kamar mandi dengan langkah terseret. Berusaha untuk menahan sakit yang masih membuat ia meringis tiada henti.

"Aku ada salah makan atau apa sih?" tanya Haris pada dirinya sendiri seraya mengingat. "Kenapa perut aku bisa sakit gini?"

Ketika perutnya terus melilit, otak Haris pun terus berputar. Mencoba untuk mencari pangkal masalah yang menjadi penyebab sakit di perutnya itu. Tapi, Haris yakin ia tidak ada salah makan. Tidak ada yang berbeda dari sarapan yang ia nikmati pagi tadi. Selain itu ia pun belum ada memakan camilan lainnya.

Haris menarik napas dalam-dalam. Duduk kembali di kursi kerjanya, ia tidak langsung meneruskan pekerjaannya. Alih-alih masih berkutat dengan rasa sakit yang terasa semakin menghentak-hentak perutnya.

"Ya ampun."

Tangan Haris bergerak. Kali ini usapan tidak cukup untuk menenangkan perutnya. Melainkan ia meremas. Tidak peduli kalau kemejanya akan kusut, ia terus meremas. Berharap dengan itu rasa mulas yang ia rasakan akan segera mereda. Karena saat itu sudah jam sepuluh pagi.

Haris menatap tak berdaya jam tangannya. Waktu terus bergulir. Tapi, rasa mulas semakin menjadi-jadi.

"Aku nggak mungkin kan batalin janji ke Om Bhakti? Masa aku yang buat janji, tapi aku juga yang batalin sih? Ya Tuhan."

Kalau saja Astrid tadi tidak menyinggung soal lari dari masalah, Haris pikir ia tidak akan terlalu ragu untuk membatalkan janji itu. Tapi, berkat perkataan Astrid tadi, maka harga diri Haris saat ini sedang dipertaruhkan. Perutnya memang mulas. Sedang sakit. Tapi, rasa-rasanya itu tidak akan lebih menyiksa ketimbang harga dirinya yang dipandang sebelah mata.

Haris meneguk segelas air hangat. Menarik napas dalam-dalam. Ketika jam telah berpindah ke angka sebelas, ia menghubungi Diman.

"Pak, aku mau pergi. Tunggu aku di depan."

"Baik, Pak."

Haris menguatkan diri. Ketika panggilan itu berakhir, ia pun bangkit dari duduknya. Wajahnya mengeras. Bibirnya terkatup rapat. Jari-jarinya mengepal kuat.

"Ya Tuhan. Semoga hamba nggak kelepasan di depan Om Bhakti."

*

Ketika melihat Haris keluar dari ruangannya, Vanny bisa merasakan ada yang berbeda dari cowok itu. Wajahnya terlihat mengeras. Entah sedang menahan marah atau apa, Vanny juga tidak tau.

Haris menghampiri Vanny dan Astrid di mejanya. Tampak sebulit keringat mengalir di sisi wajahnya. Kala itu ia berkata pada Astrid dengan suara yang berat.

"Aku keluar sebentar."

Astrid mengangguk. "Baik, Pak. Hati-hati di jalan."

Tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan tanpa melirik pada Vanny, Haris pun beranjak. Meninggalkan tempat itu dengan Vanny yang semakin terheran-heran lantaran sikap Haris. Hingga tanpa sadar ia masih berdiri ketika Astrid sudah duduk kembali.

Astrid menoleh. Memukul pelan mejanya sendiri demi menyadarkan Vanny. Cewek itu mengerjap salah tingkah. Lalu tersenyum kaku dan turut duduk pula.

"Kenapa kamu, Van?" tanya Astrid seraya melihat ke mana mata Vanny tadi memandang. "Ngeliatin Pak Haris kok gitu banget?"

"Ah, n-nggak, Bu. Nggak kenapa-napa."

Padahal tentu saja Astrid tau kalau ada kenapa-napa. Itu jelas sekali terlihat dari wajah Vanny. Terlebih lagi dengan matanya yang tidak lepas dari Haris ketika cowok itu beranjak meninggalkan mereka berdua.

Namun, Astrid tidak mengatakan apa-apa. Selain membuang napas panjang dan geleng-geleng kepala.

Dasar anak muda. Lain di bibir lain di hati.

Dan untuk itu, Astrid hanya bisa berdoa di dalam hati. Agar urusan Haris, Vanny, dan Tasya bisa berakhir secepatnya. Karena Astrid tentu bisa menebak ke mana Haris akan pergi siang itu. Jawabannya tentu saja adalah ke PT Panca Pilar Indonesia.

Itu adalah perusahaan turun-temurun yang diwarisi oleh generasi ke generasi. Berpusat pada produksi olahan makanan sejak tahun 1965 dan merupakan perusahaan makanan minuman terbesar di Indonesia. Perusahaan yang memang menjadi tujuan Haris kala itu.

Diman menghentikan mobil tepat di depan pelataran gedung kantor yang megah itu. Ia dengan sigap keluar dan membukakan pintu untuk Haris. Hanya untuk mendapati kerutan di wajah cowok itu.

"Bapak baik-baik saja?"

Haris menahan napas di dada. Berusaha untuk tersenyum walau nyatanya yang terlihat oleh Diman adalah sebuah ringisan tertahan.

"I-iya, Pak. Aku baik-baik saja."

Jelas saja bohong. Rasa mulas di perut Haris masih ada. Tapi, sekuat tenaga ia mencoba untuk menahannya. Dan mungkin karena sudah merasakan mulas itu dari tadi, maka sekarang Haris bisa dikatakan lumayan terbiasa dengannya.

Haris melangkah. Langsung menuju ke tempat yang seharusnya dan Bhakti sudah menunggunya dari tadi.

"Haris."

Ketika Haris masuk ke ruangannya, Bhakti dengan serta merta bangkit dari duduknya. Beranjak ke sofa dan mempersilakan Haris untuk turut duduk pula.

Mereka berjabat tangan sekilas. Dan kala itu Bhakti menatap aneh pada Haris. Merasakan ada yang berbeda dari cowok itu.

"Kamu baik-baik saja, Ris?" tanya Bhakti tidak yakin. Tapi, wajah Haris yang terlihat seperti menahan sakit membuat ia sedikit khawatir. "Kamu kayaknya lagi sakit."

Sepertinya mulas itu benar-benar membuat Haris kewalahan. Lihat saja. Dari sopir hingga presiden direktur pun bisa menangkap apa yang Haris derita sekarang.

"A-aku baik-baik saja, Om. Tenang saja."

Bhakti hanya mengangguk. Walau sorot matanya yang terus menatap Haris mengatakan hal yang sebaliknya.

Sekretaris Bhakti masuk dan menyajikan minuman hangat untuk mereka berdua. Dan Haris menunggu. Hingga pada akhirnya sekretaris itu keluar dan meninggalkan mereka berdua, barulah Haris bicara.

"Sebelumnya aku minta maaf, Om. Untuk telepon Om yang kemaren nggak aku angkat dan untuk menemui Om siang ini."

"Nggak apa-apa. Om malah senang kamu menemui Om siang ini," ujar Bhakti dengan sedikit semringah yang timbul di wajahnya. "Karena ada yang mau Om bicarakan sama kamu."

Haris meneguk ludah. Jantungnya bertalu-talu. Dan kali ini bukan karena mulas di perutnya. Melainkan karena ia tau ada masalah yang harus ia selesaikan sekarang.

"Om mau bicarakan soal apa?"

Bhakti mengerjap. Senyum muncul di wajahnya dan ia mengusap kedua tangannya berulang kali.

"Om mau bicarakan soal hubungan kamu dan putri Om."

Tangan Haris sontak mengepal dengan kuat. Sialan! Tapi, sepertinya cacing di dalam perut Haris baru saja melakukan tendangan terbang ala-ala pendekar di film kolosal. Rasanya menyentak dan sakit.

Haris terpaksa memejamkan mata dan menahan napas. Khawatir ia merintih dan kesakitan di depan Bhakti. Bisa hancur harga diri Haris.

"Om ingin tau. Sudah sejauh apa hubungan kalian?" tanya Bhakti tanpa tedeng aling-aling. "Katanya kamu sudah beli gaun pengantin ya?"

Ya Tuhan. Kali ini cacing di perut Haris bukan hanya melakukan tendangan terbang. Tapi, berikut dengan salto, hip hip hura, dan atraksi lainnya yang membuat mulas itu semakin menjadi-jadi.

Wajah Haris mengeras. Sekarang bukan hanya mulas yang ia rasakan. Tapi, sepertinya keran di bawah sana sedang berontak ingin dibuka.

Astaga!

"O-Om," lirih Haris dengan suara bergetar. Perlahan matanya membuka. "Aku minta maaf sebelumnya. T-tapi, aku dan Tasya nggak ada hubungan apa-apa."

Senyum di wajah Bhakti tertahan sedetik. Lalu berangsur menghilang seiring dengan melintasnya sesuatu di benak Bhakti. Ia baru tersadar.

Haris nggak tau kalau aku papa Vanny?

Bhakti dengan cepat berpikir. Dari keluarga Haris yang menolak perjodohan Haris dan Tasya tanpa menyinggung soal Vanny. Dilanjutkan dengan pertengkaran antara Sekar dan Widia yang tanpa membawa namanya.

Maka dari itu senyum di wajah Bhakti yang sempat menghilang, timbul lagi. Tapi, ada yang berbeda dari senyum Bhakti kala itu. Terlihat ada sedikit geli di sudut bibirnya.

"Om nggak ngomongin soal Tasya," ujar Bhakti kemudian. "Bagaimanapun juga kamu kan sudah menolak Tasya. Dan itu juga sudah lama. Jadi tentu saja Om tau kalau kamu dan Tasya nggak ada hubungan apa-apa."

Oke. Haris sukses menahan rasa mulasnya. Keran di bawah sana sudah berhasil Haris amankan.

Secercah kelegaan langsung mewarnai wajah Haris. Perkataan Bhakti membuat ia bisa membuang napas lega.

"Tapi, yang Om bicarakan kali ini bukan tentang Tasya."

Haris mengerutkan dahi. "Lalu tentang?"

"Putri Om yang lainnya."

Argh!

Tangan Haris kembali mengepal. Rasa mulas itu datang lagi. Kali ini dengan serangan yang membuat wajah Haris seketika memerah.

"Ris?"

Mata Bhakti membesar. Jelas melihat penderitaan yang tercetak nyata di wajah tampan Haris. Bahkan kali ini ia tampak terengah-engah.

"Kamu kenapa? Kamu sakit?"

Haris mencoba kembali bertahan. Setidaknya sampai ia menuntaskan pembicaraan dengan Bhakti.

"O-Om."

Rasa mulas itu berhasil Haris tahan sedikit. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia harus menyelesaikan permasalahan tersebut, lalu pamit pergi, dan langsung mencari toilet secepatnya.

Oke. Itulah rangkaian rencana yang sudah Haris susun di dalam kepalanya.

"Aku minta maaf banget sama, Om. T-tapi, aku benar-benar nggak bisa menikah dengan putri Om."

Bhakti bingung.

"Tasya itu gadis yang baik, tapi aku sudah ada pacar, Om. Maka dari itu aku nggak mungkin bisa menikahi putri Om."

Bhakti mengerjap. Ia menggelang bingung. "Bukan dengan Tasya, Ris. Tapi---"

"Bahkan kalau bukan dengan Tasya, aku juga nggak mungkin menikahi putri Om yang lainnya."

Memotong perkataan Bhakti dengan cepat, Haris bukan bermaksud tidak sopan. Tapi, keran di bawah sana sudah terancam akan jebol dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ia tidak ingin memperlama perbincangan yang penuh risiko itu.

"Aku benar-benar cinta sama pacar aku, Om. Dan aku nggak tau Om tau dari mana kalau aku sudah beli gaun pengantin. Tapi ...."

Haris menarik napas dalam-dalam tanpa mengendurkan sedikit pun pertahanannya. Ia tidak akan tertipu oleh rasa mulas itu. Ia tau bahwa rasa mulas itu hanya pura-pura menghilang. Dan ketika ia lengah, rasa mulas itu pasti akan kembali menyerang. Berusaha untuk mendobrak agar kerannya terbuka.

Tidak. Oh, tentu saja tidak. Haris tidak akan terkecoh oleh tipu muslihat khas diare.

"Gaun pengantin itu bukan untuk Tasya. Gaun itu untuk Vanny."

Haris memejamkan mata. Berkat rasa mulas yang kembali menghentak, ia tanpa sadar menyebut nama Vanny.

Ya ampun. Buat apa aku pake acara bawa nama Vanny? Om Bhakti kenal Vanny juga nggak.

Kembali berhasil menahan mulasnya, Haris membuka mata. Melihat pada Bhakti yang mengangguk.

"Vanny," ujar Bhakti menyebut nama itu. "Auristela Vanny."

Mata Haris membola. Dalam serbuan rasa mulas, ia yakin telinganya tidak akan salah mendengar.

"Om tau nama lengkap Vanny?" tanya Haris bingung. Tapi, sesuatu melintas di benaknya. "Tunggu. Om tau pacar aku?"

Bhakti mengangguk. Terlihat senyum lebar mekar di wajahnya.

"Om tau Vanny. Tentu saja kenal dia. Ehm ... dia anak yang cantik."

Astaga. Udah tua masih juga tau cewek cantik.

Kali ini bukan hanya rasa mulas yang mati-matian ditahan oleh Haris. Alih-alih rasa panas di dadanya.

Ini pasti gara-gara Tasya. Pasti dia ngadu soal Vanny ke Om Bhakti. Dan akhirnya malah Om Bhakti nyari tau soal Vanny.

Haris mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mengabaikan rasa mulasnya, sekarang rasa panas itu semakin menjadi-jadi memenuhi dada Haris.

Dasar mata keranjang. Udah tua masih juga hobi liat cewek cantik.

Namun, Haris mencoba untuk bersabar. Karena bagaimanapun juga Bhakti adalah orang yang lebih tua ketimbang dirinya. Ia harus sopan. Walau jelas sekali Haris sudah tidak tahan lagi duduk berdua dengan Bhakti kala itu.

"Iya, Om. Vanny itu cewek yang cantik. Dan nggak cuma itu. Dia cewek baik-baik dan kami saling cinta."

Bhakti semakin semringah. "Ah, tentu saja."

"Karena itu, Om. Aku harap masalah ini bisa selesai sekarang juga."

Haris tau batas pertahanan dirinya sudah akan jebol sebentar lagi. Tak hanya pertahanan keran di bawah sana. Melainkan juga pertahanan kesabarannya ketika sadar Bhakti menganggap Vanny yang cantik.

"Masalah?" tanya Bhakti bingung. "Masalah apa?"

"Masalah perjodohan aku dengan Tasya."

Bhakti terlihat ingin bicara. Tapi, Haris dengan cepat melanjutkan perkataannya.

"Dan kalaupun Om mau menjodohkan aku dengan putri Om yang lainnya, aku minta maaf. Aku tau aku memang memenuhi kriteria menantu idaman para orang tua. Tapi, aku benar-benar nggak bisa menerimanya, Om."

"Haris, sebentar. Om---"

"Aku benar-benar cinta sama pacar aku, Om. Dan aku nggak mungkin menikah dengan cewek lain selain dengan Vanny."

Bhakti mengerjap. "Ehm ... itu bagus."

"Jadi aku harap sekarang semuanya sudah jelas, Om. Aku minta maaf dan ..."

Haris memaksa bibirnya untuk tersenyum dalam gempuran sakit yang makin tak mampu ia bendung.

"... aku permisi."

Bhakti melotot. Haris langsung bangkit dari duduknya dan menyambar tangannya dalam satu jabat tangan yang singkat. Lalu ia pun bergegas keluar. Tidak peduli dengan Bhakti yang berdiri dan memanggil namanya.

"Haris! Tunggu! Om belum selesai bicara."

Namun, memangnya Haris peduli? Oh, tentu saja tidak. Karena ia tetap menutup pintu ruang kerja Bhakti dan bergegas. Langsung menuju ke meja sekretaris.

"Pak."

Sekretaris berwajah cantik itu tampak kaget ketika mendapati Haris yang tiba-tiba datang ke mejanya dengan wajah yang memerah. Penuh dengan keringat yang bercucuran. Dan kedua tangannya mengepal kuat di atas meja.

Haris menatap sang sekretaris dengan mata melotot. Urat-urat bertonjolan di dahinya. Dan ia berusaha untuk bicara.

"T-t-to ...."

Sang sekretaris mengerutkan dahi. "To? To apa, Pak?"

Menarik napas dalam-dalam, Haris lantas berkata dengan mengabaikan rasa malunya.

"Toilet di mana?!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top