65. Tekad Masing-Masing
Ketika Esti masuk ke apartemen Vanny, ia kaget. Mendapati ada dua orang wanita yang tidak ia kenal membuat ia menghentikan langkah kakinya sejenak. Hanya untuk bertanya di dalam hati.
Aku nggak salah masuk apartemen kan? Ini apartemen Vanny kan?
Namun, foto-foto yang terpampang di dinding menjawab keraguan Esti. Ia tidak salah masuk apartemen. Maka ia sok percaya diri saja untuk meneruskan langkah. Menuju ke kamar Vanny dengan membalas senyum kedua orang wanita itu dengan kaku.
Masuk dan dengan cepat menutup pintu kamar Vanny, Esti terburu-buru mendekati Vanny yang tergugah dari lamunannya berkat kedatangan sang sahabat.
"Van," panggil Esti seraya duduk di tepi tempat tidur. Ia melihat ke arah pintu walau tidak ada yang ia lihat di sana. "Aku tadi ketemu dua orang cewek. Itu siapa?"
"Ah! Itu Mbak Lia dan Mbak Yuli."
"Dan mereka?"
"Mbak Lia itu perawat dan Mbak Yuli itu asisten rumah tangga."
"Sejak kapan kamu pake perawat dan asisten rumah tangga?"
Vanny mendengkus geli mendengar pertanyaan Esti. Terlebih lagi saat ia melihat mimik heran yang tercetak di wajahnya.
"Sejak pagi tadi," jawab Vanny seraya membuang napas panjang. "Mama Haris datang ke sini dan nyuruh mereka buat jagain aku."
Bola mata Esti seketika membesar. Kesiap pun meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Wah! Mantap."
Vanny geleng-geleng kepala. "Mantap apaan?"
"Ya mantap dong. Segitunya Mama Haris sama kamu," ujar Esti sambil mesem-mesem. "Buat aku mau nyari camer juga dalam waktu dekat. Kali aja aku kram bulanan ntar langsung dibuatin kunyit asam. Ehm ... kira-kira orang tua Mas Cakep baik juga kayak orang tua Haris nggak ya?"
Kekehan samar terdengar dari bibir Vanny. Tak perlu diungkapkan dengan kata-kata, kehadiran Esti memang tidak pernah gagal menghadirkan senyum untuknya.
"Eh, Van. Kamu jangan asal ketawa aja."
Esti menepuk tangan Vanny sekilas. Mau tak mau membuat tawa Vanny berhenti dengan sendirinya.
"Terlepas dari orang tua Mas Cakep baik juga atau nggak, tapi yang aku omongin ini serius loh."
"Apanya?"
"Mama Haris," ulang Esti. "Kayaknya dia beneran yang ngebet banget sama kamu. Ehm ... aku belum pernah ketemu kejadian kayak gini sih. Yang belum jadi mantu aja udah dibaik-baikin kayak gini. Apalagi ntar kalau jadi mantu kan?"
Kali ini tawa Vanny bukan hanya berhenti. Alih-alih menghilang tergantikan oleh ekspresi yang tak mampu diartikan oleh Esti.
Vanny diam. Esti menunggu untuk beberapa saat. Tapi, ketika nyaris setelah dua menit berlalu dan Vanny tetap tidak mengatakan apa-apa, Esti pun membuang napas panjang.
"Kamu masih kepikiran buat pergi?"
Mata Vanny mengerjap. Menatap pada kedua tangannya yang memegang ponsel di atas pangkuan. Mengusap benda itu berulang kali.
"Papa udah ngirim uangnya tadi pagi, Es."
Esti meneguk ludah. "Seandainya aja itu duit dalam bentuk cash, aku mau deh numpang lihat bentar, Van. Ehm ... sekalian numpang foto juga deh."
Wajah Vanny terangkat. Melihat pada Esti dan sahabatnya itu cengar-cengir seolah tanpa dosa.
"Aku belum pernah ngeliat duit satu M loh ya."
Lalu Esti tertawa. Tapi, hanya sebentar. Karena ketika Vanny kembali membuang napas panjang, tawa Esti menghilang. Ia tau kalau saat itu Vanny tengah galau. Dan tidak sulit bagi Esti untuk menebak apa yang menjadi penyebab kegalauan Vanny. Jawabannya adalah uang dan perhatian Sekar.
"Aku bilangin deh ya, Van. Uang bisa dicari. Ya walau nyari uang satu M memang butuh perjuangan sampe berdarah-darah sih. Tapi, nyari mertua yang baik sama menantunya itu lebih butuh perjuangan lagi."
Esti beringsut. Ketika Vanny diam saja dan tidak menanggapi perkataannya, ia memutuskan untuk melanjutkan perkataannya.
"Aku ngomong gini bukannya tanpa bukti ya, Van. Tapi, coba aja kamu lihat. Di zaman sekarang, bukan cuma cowok bertanggungjawab yang mulai langka. Mertua yang baik ke menantunya pun udah jarang. Makin punah. Dan kamu? Udah ketiban cowok yang bertanggungjawab dan camer yang baik, eh ... malah nggak mau?"
Cemberut membuat bibir Vanny mengerucut. Sementara Esti? Ia justru geleng-geleng kepala. Dalam ekspresi tak percaya, sesekali ia berdecak.
"Seandainya aja Haris maunya sama aku, bukan sama kamu. Beuh! Udah pasti aku duluan yang ngajak dia ke KUA."
Ada rasa yang tidak enak ketika Vanny mendengar Esti mengatakan itu. Seolah ada sentilan yang menyentak jantungnya di dalam sana. Dan Esti melihatnya. Dalam bentuk sorot mata yang sempat berbeda untuk sepersekian detik. Tapi, sorot yang menyala itu menghilang. Hingga membuat Esti yang kali ini membuang napas panjang.
Esti meraih tangan Vanny. Menggenggamnya. Menarik perhatian Vanny untuk tertuju padanya.
"Kamu cinta Haris, Van. Jadi nggak ada yang lebih masuk akal selain kamu menikah dengan Haris."
Pundak Vanny naik secara otomatis ketika mulutnya membuka. Berniat untuk bicara, tapi Esti dengan cepat melanjutkan perkataannya.
"Aku tau kamu nggak mau kejadian orang tua kamu terjadi sama kamu. Aku tau itu, Van. Tapi, masalahnya di sini Mama Haris itu beneran nerima kamu. Dan kalau kamu mau mikir ini secara logis. Itu kan yang nggak Mama kamu dapatkan dulu?"
Kata-kata itu sudah mengantre di ujung lidah Vanny. Bersiap untuk membalas perkataan Esti, awalnya. Tapi, perkataan Esti yang barusan ini membuat kata-kata itu lenyap seketika.
Esti menunggu. Memperhatikan Vanny yang tak bisa berkata apa-apa dengan harapan apa yang ia katakan bisa menggoyahkan keraguan tersebut.
"Es ...."
Ketika Vanny memanggil namanya, harapan seketika tumbuh di hati Esti. Ia pikir Vanny pada akhirnya mengerti apa yang harus ia lakukan. Tapi, apa yang Vanny ucapkan jelas bukan hal yang ia inginkan.
"Ngomong-ngomong gimana kabar Mas Cakep kamu?"
*
Keesokan harinya Vanny sudah merasa sehat kembali. Ia sudah sembuh dan mandi pagi membuat tubuhnya menjadi segar seketika. Maka dari itu Vanny segera menghubungi Sekar. Khawatir kalau wanita paruh baya itu akan datang kembali.
"Aku sudah sehat kok, Ma. Ini juga udah mau ke kantor," ujar Vanny sesaat kemudian setelah panggilannya diangkat. Menyapa sejenak dan langsung mengutarakan niatannya. "Jadi kayaknya pagi ini Mama nggak perlu datang ke sini deh."
"Oh, kamu sudah sembuh? Beneran?"
Otomatis Vanny mengangguk walau tentunya Sekar tidak mungkin melihatnya. "Sudah, Ma. Beneran udah sembuh. Ini pasti karena bubur Mama kemaren."
Sekar terkekeh samar. "Kamu ini. Bisa aja. Tapi, kalau kamu memang udah merasa sehat, ya baguslah. Tapi, vitaminnya jangan lupa tetap diminum."
"Iya, Ma. Dan itu ...," ujar Vanny sedikit tak enak. "Mbak Lia dan Mbak Yuli kayaknya udah nggak perlu jagain aku deh."
"Iya iya. Biar ntar Mama telepon dia."
"Makasih, Ma."
Ketika panggilan itu berakhir, Vanny dengan segera bersiap. Mengenakan stelan kantornya dan berdandan seperti biasanya.
Tidak seperti hari-hari biasanya entah mengapa, tapi pagi itu Vanny merasa gugup. Ketika ia menunggu kedatangan Haris di depan kantor, jantungnya berdetak tak karuan. Mungkin efek karena sehari tak bertemu dan juga sedikit konflik yang sempat membuat mereka bertengkar. Atau mungkin karena rasa bersalah yang tak bisa Vanny tepis keberadaannya. Karena diam-diam berencana untuk mengundurkan diri.
"Vanny?"
Bola mata Haris membesar saat mobil yang disopiri oleh Diman memasuki area perkantoran. Ia bisa melihat dengan jelas sosok cantik yang berdiri menunggu kedatangannya. Tentu saja adalah Vanny.
Maka tidak aneh rasanya bila Haris langsung turun tepat ketika Diman membuka pintu untuknya. Vanny menyambutnya dengan satu senyuman manis.
"Selamat pagi, Pak."
Mata Haris menyipit melihat Vanny. Dalam tatapan pennuh selidik, alarm peringatan menyala di benak Haris.
Kemaren dia cium aku. Sekarang dia senyum semanis ini. Aku yakin. Pasti ada yang sedang direncanakan sama Vanny.
Vanny mengerjap sekali. Diman sudah kembali ke balik kemudi dan melajukan mobil. Tapi, Haris belum juga beranjak. Bergeming di tempatnya berdiri. Abai dengan para karyawan yang melihat padanya.
"Pak?"
Membuang napas sekali, barulah kemudian Haris beranjak. Acuh tak acuh membiarkan Vanny yang langsung mengikuti langkah kakinya. Ketika mereka berdua sudah di dalam lift, keheninganlah yang menyelimuti keduanya.
Vanny yang berdiri di belakang Haris melihat cowok itu. Tidak bisa menatap matanya, tapi ia jelas bisa merasakan ada yang berbeda dari Haris.
Haris kenapa? Dia lagi ada masalah? Atau apa? Dia nggak ada nanya keadaan aku atau apa gitu?
Aneh. Bukannya Vanny berharap. Tapi, mendapati Haris yang tidak memedulikan kesehatannya jelas adalah hal yang mengherankan bagi Vanny.
Bahkan ketika tiba di kantor dan Vanny memberikan secangkir kopi pahit seperti biasanya, Haris juga tidak mengatakan apa-apa. Menyinggung sedikit saja tentang sakitnya kemarin pun tidak. Alih-alih ia justru mengatakan yang lain.
"Keluar nanti, suruh Bu Astrid masuk."
Vanny mengangguk. "Baik, Pak."
Ketika Vanny keluar dari ruangan Haris, cowok itu membuang napas lega. Tanpa sadar berbicara pada dirinya sendiri.
"Untunglah kalau dia udah sehat."
Astrid masuk sedetik kemudian. Dari ekspresi yang tercetak di wajah wanita paruh baya, sepertinya ia sudah bisa menebak alasan Haris memanggilnya.
"Bagaimana, Bu? Pak Arman nggak ada ngubungi lagi kan?"
Astrid menggeleng. "Nggak ada, Pak," jawabnya. "Sepertinya Bapak bisa tenang sekarang. Dari kemaren Bapak kelihatan pucat gara-gara ini."
Bola mata Haris membesar. Tampak mendelik sekilas.
"Gimana aku bisa tenang, Bu?" tanya Haris tanpa menunggu jawaban Astrid. "Ibu nggak tau aja. Om Bhakti ngubungi aku terus."
Haris dengan cepat menunjukkan daftar panggilan tak terjawab di ponselnya. Nama Bhakti ada di urutan pertama. Dengan total sebanyak tiga belas panggilan.
"Aku nggak bisa tenang, Bu. Bahkan pas aku mau tidur, aku terpaksa silent-kan hp aku. Karena tiap hp aku bunyi, aku pikir itu Om Bhakti yang ngubungi."
Anggap saja Haris berlebihan. Tapi, sungguh Haris ketakutan setengah mati setiap nama Bhakti muncul di layar ponselnya. Karena di benak Haris hanya ada satu alasan mengapa Bhakti sampai menggebu untuk terus menghubunginya.
"Padahal Papa udah beresin masalah perjodohan aku dan Tasya. Tapi, kenapa Om Bhakti mendadak ngubungi aku lagi? Ck. Ini pasti gara-gara Mama dan Tante Widia ribut kemaren. Ujung-ujungnya aku yang kena. Sumpah, Bu. Aku berasa kayak orang yang dikejar debt collector," kata Haris dengan mimik horor. "Apa begini rasanya diteror debt collector, Bu?"
Astrid terkekeh kaku. Tapi, ia menggeleng. "Saya juga nggak tau gimana rasanya, Pak. Amit-amit. Semoga jangan sampai."
"Semoga saja, Bu. Karena jangankan diteror debt collector, lagi diteror sama Om Bhakti aja udah buat aku pusing kepala."
Geleng-geleng kepala, Astrid sebenarnya sedih juga melihat Haris. Sudahlah disibukkan dengan pekerjaan kantor dan hubungannya dengan Vanny, eh sekarang ditambah dengan masalah lainnya.
"Mungkin ada baiknya Bapak menemui Pak Bhakti, Pak. Saya rasa semua akan selesai kalau Bapak mengatakan secara langsung pada beliau."
"Apa yang harus aku katakan secara langsung ke Om Bhakti, Bu? Kenyataan kalau aku nggak suka putrinya?"
"Iya," jawab Astrid salah tingkah. "Mungkin dengan begitu Pak Bhakti benar-benar akan menerima keputusan Bapak."
Dahi Haris mengerut. Memikirkan pendapat Astrid dan ia manggut-manggut.
"Menurut Ibu begitu?"
Astrid mengangguk. "Menurut saya begitu, Pak. Ketimbang Bapak lari dari masalah kan? Lebih baik diselesaikan saja secepatnya."
"Eh?"
Haris manyun dengan mata yang melotot. Berkat Astrid mengatakan hal itu, ia sontak cemberut.
"Yang lari dari masalah siapa? Ih! Enak aja Ibu kalau ngomong. Aku nggak ada pernah tuh lari dari masalah."
Astrid hanya angguk-angguk kepala saja. Walau di dalam hati ia tau persis apa yang sebenarnya terjadi.
"Baiklah kalau begitu. Ibu boleh keluar. Aku mau ngubungi Om Bhakti dulu."
Haris meraih kembali ponselnya. Mendehem dengan ekspresi jagoan di film-film aksi, ia berkata.
"Biar cepat selesai ini masalah Tasya."
Menunggu panggilannya diangkat, Haris membiarkan Astrid keluar dari ruangannya. Pintu tertutup dan Haris berada seorang diri di sana dengan jantung yang berdetak tak karuan.
Ya ampun. Baru ngadepin Papa Tasya aja gini. Apalagi ntar kalau aku ngadepin Papa Vanny ya?
Bayangan dirinya mendatangi ayah Vanny melintas di benak Haris. Karena layaknya cowok pada umumnya, itu adalah tahapan mutlak yang harus ia lakukan demi bisa mempersunting Vanny.
Haris menarik napas dalam-dalam. Bahkan hanya dengan membayangkannya saja sudah sukses membuat Haris ketar-ketir. Dan semoga saja ketika masa itu tiba, Haris tidak sampai kencing di celana.
"Halo, Ris."
Suara berat Bhakti membuyarkan semua lamunan di benak Haris. Ia mengerjap. Menyadari bahwa panggilannya diangkat.
"Halo, Om," balas Haris. "Maaf sebelumnya, Om. Dari kemaren teleponnya nggak diangkat karena sibuk."
"Oh. Iya iya. Om tau kamu sibuk."
Haris menguatkan dirinya. "Jadi ada apa ya Om ngubungi?"
"Ada sesuatu yang mau Om bicarakan sama kamu, Ris. Kalau kamu nggak keberatan, Om mau kita bertemu."
Jawaban yang Bhakti berikan sontak membuat Haris memejamkan mata dengan dramatis. Tidak ingin, tapi mengeluh juga di dalam hati.
Ya Tuhan. Akhirnya aku benar-benar harus ngomong langsung sama Om Bhakti soal ini.
Namun, tekad Haris memang sudah bulat. Ia akan menyelesaikan masalah perjodohan dengan Tasya. Dan selayaknya seorang cowok, ia akan menemui Bhakti.
"Bagaimana kalau siang ini, Om?" tanya Haris. "Biar aku ke kantor Om."
Tawaran Haris tentu saja disambut oleh Bhakti.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top