64. Keinginan Dalam Hati

"P-pacaran?"

Mendapati syok Bhakti jelas bukanlah hal yang mengejutkan untuk Arman. Itu adalah hal yang bisa ditebak. Karena jangankan sang ayah kandung, Arman yang hanya seorang asisten pribadi Bhakti pun sempat tak percaya dengan kenyataan tersebut.

"Pacaran?" ulang Bhakti lagi. "Vanny dan Haris ... pacaran?"

Arman mengangguk. "Iya, Pak. Mereka sudah pacaran dari SMA. Sempat putus, tapi sekarang mereka dekat lagi."

"Ya Tuhan."

Bhakti seperti kehilangan kekuatan di kakinya. Ia sontak jatuh terduduk kembali di kursi. Dengan pandangan yang benar-benar tidak percaya terpancar dari matanya.

Diam sejenak, lalu entah bagaimana ceritanya pikiran Bhakti berputar. Tertarik ke belakang. Pada hari yang telah lama terlewati dan ia tidak menganggap ada hal yang aneh kala itu. Ketika dirinya pergi ke makam Diah.

Bhakti ingat dengan jelas kalau saat itu ada seorang cowok asing yang turut datang bersama dengan Vanny dan Esti. Ia sudah menebak bahwa itu adalah pacar Vanny lantaran sang putri yang lantas masuk ke mobil cowok itu. Tapi, Bhakti tidak mengira kalau itu adalah Haris.

Jarak yang jauh, setelan kantor yang nyaris sama digunakan oleh mayoritas pria, dan perhatian Bhakti yang lebih tertuju pada Vanny, adalah hal yang membuat ia tidak bisa menebak. Bahwa cowok itu adalah Haris.

Dan bukan hanya kenyataan itu yang lantas berputar-putar di kepala Bhakti. Alih-alih ada hal lainnya yang lebih penting lagi.

"Berarti ..."

Berpaling, Bhakti menatap sang asisten pribadinya. Kembali bicara dengan suara bergetar.

"... alasan kenapa Haris menolak Tasya?"

Bhakti tidak melanjutkan pertanyaannya. Tapi, Arman tentu saja bisa menebak. Ia mengangguk.

"Karena Pak Haris berpacaran dengan Nona Vanny."

Bhakti membeku. Sekarang ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Kenyataan itu sungguh tidak ia duga.

"Dan sepertinya hubungan keduanya bukan sekadar pacaran biasa, Pak."

Arman tidak menunggu lebih lama. Ia memutuskan untuk membeberkan semua temuannya pada Bhakti saat itu juga.

"Saya rasa keluarga Pak Haris sudah mengetahui soal hubungannya dengan Nona Vanny. Karena belakangan Bu Sekar sering datang ke apartemen Nona Vanny."

Mata Bhakti membesar. "Sekar? Datang ke apartemen Vanny? Kenapa dia datang ke sana?"

"Ehm ... sepertinya Bu Sekar melakukan beberapa hal yang biasa dilakukan ibu-ibu pada calon menantunya, Pak," jawab Arman tak yakin. Cowok yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu terlihat menyerah hingga bicara apa adanya. "Bu Sekar sepertinya tengah mencoba mendekatkan diri dengan Vanny. Mereka sempat makan malam bersama. Dan yang terakhir, Bu Sekar mengajak Nona Vanny untuk menemaninya ke acara arisan."

"Acara arisan?"

"Sepertinya Nyonya Widia bertemu dengan Bu Sekar di acara arisan itu, Pak."

Mata Bhakti sontak memejam dengan dramatis. Ia tidak akan lupa bagaimana baru dua hari yang lewat Widia mengadu padanya. Mengenai pertengkarannya dengan Sekar. Waktu itu Bhakti memang mengabaikannya. Tidak memedulikan penyebab atau alasan mengapa mereka bertengkar. Karena Bhakti bisa mengira. Itu pasti lantaran batalnya perjodohan Haris dan Tasya.

Namun, sekarang berbeda. Bhakti yakin. Pertengkaran itu lebih dipicu karena kehadiran Vanny di sana.

"Saya nggak yakin apa Nyonya Widia mengenali Nona Vanny atau nggak, Pak. Tapi---"

"Nggak," potong Bhakti cepat. "Widia nggak kenal Vanny."

Bhakti mendengkus sekilas. Ingat sekali bagaimana watak Widia. Sang istri menganggap rendah Diah dan Vanny. Dan karena itu ia menganggap tak pantas bagi dirinya untuk bertemu dengan mereka. Sekali pun. Sesuatu yang sekarang Bhakti syukuri.

"Jadi bagaimana, Pak?"

Pertanyaan Arman membuat Bhakti mengerjap sekali. Cowok itu menarik napas sekilas sebelum lanjut bicara.

"Saya rasa hubungan Nona Vanny dan Pak Haris benar-benar serius. Karena ternyata Pak Haris juga sudah memesan gaun pengantin."

Kalau fakta Vanny berpacaran dengan Haris belum cukup membuat Bhakti syok, bagaimana dengan kenyataan di mana keluarga Haris yang sudah menerima Vanny? Bagaimana dengan kenyatan di mana Haris yang sudah memesan gaun pengantin?

Bhakti sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi saat itu. Tubuhnya mendingin. Tapi, jantungnya berdetak dengan amat cepat.

"Gaun pengantin? Ya Tuhan. Menikah. Mereka akan menikah? Kapan?"

Untuk pertanyaan yang satu itu, Arman hanya bisa menggeleng. Ia tidak tau. Hal yang tentu saja membuat Bhakti geram.

"Cepat kamu hubungi sekretaris Haris," perintah Bhakti. Tapi, ia teringat sesuatu. "T-tunggu! Jangan hubungi Vanny. Hubungi siapa itu? Sekretaris Haris yang lama."

"Bu Astrid, Pak."

"Nah! Iya! Hubungi dia! Aku harus bicara dengan Haris. Secepatnya. Kapan dia ada waktu?"

Arman mengangguk. Dengan segera mengeluarkan ponsel. Bersiap untuk menghubungi Astrid ketika Bhakti menggeram kembali.

"Bukan. Seharusnya aku yang menghubungi Haris."

Maka sementara Arman menghubungi Astrid, Bhakti pun dengan segera turut menghubungi Haris. Ia mendengar nada sambung dengan perasaan kacau balau.

Mengapa Vanny nggak memberi tau aku kalau dia akan menikah? Aku masih ayahnya. Sampai kapanpun aku adalah ayah kandungnya. Seharusnya Vanny memberi tau aku mengenai pernikahan mereka.

Bhakti semakin tidak karuan. Ketika nada sambung itu berakhir dan panggilannya tidak diangkat oleh Haris, ia berdecak kesal.

"Kenapa Haris nggak mengangkat telepon aku?!"

Arman terpaksa menjauh ketika Bhakti terlihat kesal. Terlebih lagi karena panggilannya pun telah diangkat oleh Astrid.

"Ah. Begitu, Bu."

Bhakti melihat Arman dengan tak sabaran. Penasaran dengan pembicaraan Arman dan Astrid.

"Kalau besok bagaimana, Bu?"

Perasaan Bhakti semakin tidak enak. Tapi, ia menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk tetap bersabar.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih."

Panggilan berakhir. Bhakti dengan segera bertanya.

"Bagaimana?"

Mendahului jawabannya dengan satu gelengan, Arman bisa melihat kekecewaan Bhakti.

"Pak Haris nggak bisa ditemui, Pak. Seminggu ini dia sibuk."

Dramatis, Bhakti memejamkan mata. Tapi, detak jantungnya yang semakin tak beraturan membuat ia dengan cepat memutar otak.

"Kalau begitu aku temui saja Haris di rumah."

"Sepertinya nggak bisa juga, Pak. Menurut Bu Astrid, Pak Haris belakangan ini lembur karena ada beberapa proyek yang harus ditangani."

Bhakti membuang napas panjang. Pemikiran untuk bertemu dengan Arif dan Sekar melintas. Tapi, ia segera mengenyahkan hal tersebut. Ia ingin bertemu dengan Haris terlebih dahulu. Ingin tau apa yang sebenar-benarnya telah terjadi.

"Tapi, Pak. Sabtu ini bukankah Bapak dan Pak Haris akan menghadiri pertemuan di Hotel Granduta?"

Secercah harapan pun dengan cepat timbul di wajah Bhakti.

*

Vanny tidak bisa berbuat apa-apa ketika Sekar datang ke apartemennya pagi itu. Dengan seorang dokter, perawat, dan asisten rumah tangga yang turut mengikuti kedatangannya.

"Kamu diperiksa dulu ya, Van," ujar Sekar. "Biar ketahuan kamu cuma capek aja atau memang karena kamu beneran sakit."

Bagaimana bisa Vanny menolak? Ketika dokter paruh baya itu dengan sigap memeriksa dirinya, Vanny pun akhirnya hanya bisa pasrah saja.

"Gimana, Dok?"

Dokter yang bernama Merry itu tersenyum pada Sekar. "Demam biasa. Sepertinya memang hanya karena kelelahan. Dengan beristirahat dan meminum multivitamin, Nona Vanny akan segera sembuh."

Sekar membuang napas lega. "Tapi, Mbak Lia nggak apa-apa tinggal di sini kan, Dok?" tanyanya seraya melihat perawat tersebut. "Aku khawatir ntar kalau ada apa-apa dengan Vanny."

"Oh iya, Nyonya," angguk Merry. Ia lantas beralih pada perawat muda itu. "Kamu tinggal di sini. Jagain Nona Vanny. Kalau misalnya ada sesuatu, langsung hubungi saya."

"Baik, Dok."

Tuntas diperiksa oleh dokter, Vanny pikir semuanya telah selesai. Tapi, sejurus kemudian Yuli yang diajak oleh Sekar mengantarkan bubur ke kamarnya. Sekar menerimanya dengan tersenyum lebar.

"Ehm ... wanginya enak banget loh, Van. Kamu makan ya?"

Vanny mengernyit. Perasaan tidak enak sudah timbul di dadanya dari tadi. Dan sekarang mendapati Sekar yang ingin menyuapnya, ia makin salah tingkah.

"Ma."

Vanny menahan tangan Sekar yang memegang sendok berisi bubur. Dengan sorot tak enak, Vanny menatap Sekar yang melihatnya bingung.

"Kenapa? Kamu nggak mau makan bubur? Nggak suka? Atau kamu mau makan yang lain?"

Bukan perkara soal Vanny suka makan bubur atau tidak. Tapi, perhatian yang Sekar berikan yang membuat ia menjadi tidak enak.

"Ma."

Ekspresi tak enak di wajah Vanny membuat Sekar membuang napas panjang. Pada akhirnya ia menaruh sejenak bubur itu di nakas. Menunda sejenak keinginan hatinya untuk menyuap Vanny, ia justru meraih tangan cewek itu.

"Kenapa?" tanya Sekar lembut. "Kamu lagi nggak selera makan? Atau gimana?"

Untuk sejenak, Vanny diam saja. Ia hanya menatap Sekar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bukan tak ingin. Tapi, rasa kelu hadir dan membuat lidahnya seolah enggan untuk bicara. Hingga Vanny menguatkan diri. Mencoba. Lantas suaranya terdengar bergetar ketika berucap.

"Mama jangan baik sama aku."

Sekar tau apa maksud Vanny. Tapi, sebelum Sekar bicara, Vany kembali melanjutkan perkataannya.

"Aku nggak bisa sama Haris, Ma."

Vanny menggeleng. Berat rasanya, tapi ia menguatkan hati. Ia harus mengatakan hal tersebut pada Sekar.

"Aku nggak bisa."

"Ssst. Ssst."

Sekar menenangkan Vanny. Dengan lembut memberikan tepukan penuh kasih pada tangan Vanny seraya tersenyum.

"Jangan ngomong yang buruk, Van. Pamalik. Ngomong itu yang baik-baik. Biar jadi doa."

"Tapi, Ma----"

"Kamu sakit," potong Sekar cepat. "Dan kemaren gara-gara Mama, kamu jadi dapat perlakuan yang nggak enak. Mama minta maaf. Kamu pasti sedih gara-gara itu"

Vanny menggeleng. "Nggak, Ma. Aku nggak apa-apa."

"Kalau kamu memang nggak apa-apa, jangan ngomong kayak itu, Van. Mama sedih."

"Ma."

Jelas bukan itu yang membuat Vanny sampai mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Bukan karena keributan di rumah Reny. Alih-alih hal lainnya.

"Mama udah tau kan kehidupan aku gimana?"

Sekar menatap Vanny. Dan ia mengangguk.

"Tapi, Mama nggak masalah sama sekali, Van. Mama nggak peduli kamu dari keluarga mana atau siapa orang tua kamu. Mama nggak peduli. Yang Mama pedulikan cuma satu," ujar Sekar meyakinkan. "Haris. Cuma Haris yang Mama pedulikan."

Karena cukup bagi Sekar mengetahui bahwa Vanny adalah anak yang baik-baik dan Haris mencintainya. Lantas apa lagi yang Sekar harapkan? Itu lebih dari cukup untuk membuat Haris bahagia. Dan ketika sang putra merasakan kebahagiaan itu, Sekar sudah merasa lengkap hidupnya.

"Jadi Mama mohon, Van. Jangan buat anak Mama sedih. Kamu cinta Haris kan?"

Pertanyaan yang menohok Vanny tepat di jantungnya. Membuat detak di sana seolah tidak terasa lagi. Ia diam. Tak bisa menjawab. Tapi, semua yang terjadi tentu saja membuat siapa pun bisa mengambil kesimpulannya.

"Kalau kamu cinta Haris jangan pernah berpikir untuk ninggalin dia, Van. Kalian harus bersama. Menikah. Membangun rumah tangga. Itu yang seharusnya kalian lakukan."

Impian yang teramat indah untuk setiap insang yang saling mencintai. Diikat oleh tali pernikahan dan bersama hingga mau memisahkan.

"Mama tau ini bukan waktu yang tepat untuk membahas pernikahan kalian. Tapi, kamu harus tau, Van. Bukan cuma Haris yang serius. Tapi, Mama dan Papa juga serius."

Tuntas mengatakan itu, Sekar lantas mengambil kembali mangkuk bubur. Sudah tidak sepanas tadi. Tapi, kesan hangat itu justru adalah hal yang tepat. Vanny bisa menikmatinya dengan lebih nyaman.

"Ayo, buka mulutnya."

Sendok mengarah ke mulut Vanny. Mau tak mau membuat ia membuka mulutnya pula. Membiarkan bubur itu lenyap dalan kunyahannya yang tak seberapa.

Sekar tersenyum. Lantaran terbiasa mengurusi Haris selama ini, menyuapi Vanny ketika sakit tentu saja tidak menjadi hal yang merepotkan untuknya. Alih-alih justru menyenangkan.

Berbeda dengan yang Vanny rasakan. Ketika Sekar tersenyum seraya terus menyuapinya, Vanny justru merasa yang sebaliknya. Ia seolah terhimpit. Sesak antara keinginan dan ketakutan. Terlebih lagi karena pagi itu mendapatkan sesuatu yang ia perlukan.

Uang yang Vanny minta pada Bhakti telah masuk ke rekeningnya. Uang yang akan ia peruntukkan demi membayar pinalti pengunduran diri. Ia sudah melangkah sejauh itu. Lantas haruskah ia mundur? Terlebih lagi dengan permohonan Sekar yang berhasil membuat iba hatinya.

Karena ketika Vanny memilih untuk meninggalkan itu semua, sepertinya bukan hanya Haris yang tersakiti. Alih-alih Sekar dan dirinya pun akan merasakan sedih yang serupa.

"Kamu cepat sembuh. Jangan banyak pikiran. Dan kalau ada apa-apa, hubungi Mama ya?" tanya Sekar kala itu. Tepat ketika hari sudah menunjukkan jam empat sore. "Mama harus balik. Papa nggak suka kalau makan malam bukan Mama yang masakin."

Vanny tersenyum. Mengangguk. "Iya, Ma."

Bangkit dari duduknya, semula Sekar berniat untuk langsung beranjak dari sana. Tapi, sesuatu membuat ia mengurungkan langkahnya sejenak.

"Yuli dan Lia bakal tinggal di sini buat temenin kamu. Jadi kalau kamu mau makan apa atau ingin sesuatu, bilang ke mereka," ujar Sekar lembut. Ia memeluk Vanny. "Mama pulang dulu."

Vanny hanya bisa diam mendapati perlakuan Sekar. Menahan napas di dada karena khawatir isakannya lepas dan air matanya jatuh. Tapi, setelah sembilan tahun lamanya hidup tanpa seorang ibu, tentu saja tindakan Sekar membuat perasaan Vanny tersentuh.

Sementara Sekar sebelum benar-benar meninggalkan apartemen Vanny, berulang kali mewanti-wanti Yuli dan Lia. Untuk menjaga Vanny sebaik mungkin. Dan anggukan mereka berdua membuat Sekar bisa bernapas lega.

Ketika Sekar melangkah keluar melewati pintu masuk apartemen, perasaannya lebih tenang. Ia yakin Vanny akan segera sembuh. Dan ia akan mengabarkan hal tersebut pada Haris.

Satu mobil telah menunggu kedatangan Sekar di pelataran gedung apartemen. Bowo segera membuka pintu penumpang untuk Sekar. Mempersilakannya masuk dan menutup kembali pintu tersebut. Dan selang sekitar dua menit kemudian, mobil itu pun melaju. Meninggalkan gedung apartemen Vanny. Tanpa menyadari bahwa ada dua pasang mata yang melihat kepergiannya.

"Sekarang bagaimana, Pak?"

Arman melirik pada Bhakti melalui spion dalam. Pria paruh baya itu membuang napas panjang.

"Sepertinya aku memang harus bertemu dengan Haris secepatnya."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top