63. Ragam Takut Di Pagi Hari

Satu ketukan membuat Haris refleks melihat pada pintu kamarnya. Saat itu bertepatan dengan dirinya yang baru saja menarik ekor dasi. Maka seraya merapikan dasinya, ia pun berkata dengan lesu.

"Masuk."

Adalah Sekar yang kemudian muncul dari balik pintu. Dengan senyum khawatir yang langsung muncul tatkala ia mendapati keadaan Haris yang tidak seperti biasanya pagi itu.

Haris tampak kusut. Walau rambutnya tersisir rapi dan pakaiannya licin seperti biasanya, ia terlihat tidak bersemangat. Lesu, tak ada gairah.

"Haris," panggil Sekar seraya masuk dan menutup pintu kamar. "Kamu baik-baik saja?"

Membuang napas panjang, Haris mengangguk. Menjawab tanpa kata-kata. Tapi, tentu saja Sekar tau bahwa bukan itu kenyataan yang sebenarnya.

Sekali lihat, Sekar bisa mengambil kesimpulan valid. Haris sedang tidak baik-baik saja. Dan Sekar tidak heran sama sekali. Terlebih lagi, ia pun tau penyebabnya apa.

Kemaren pas ada masalah dengan Vanny, Haris sakit. Sekarang Vanny yang sakit, eh Haris ikut-ikutan lesu. Memang susah kalau lagi jatuh cinta. Badan di mana, pikiran di mana.

Untuk hal tersebut, Sekar tau dengan pasti bahwa tidak ada makanan, minuman, atau suplemen penambah energi yang manjur untuk Haris. Karena saat ini yang Haris butuhkan memang hanya satu. Yaitu, hubungannya dengan Vanny kembali membaik.

Dan itulah yang akan Sekar upayakan. Ia akan melakukan apa pun agar Haris dan Vanny membaik kembali.

"Baguslah kalau kamu baik-baik saja."

Tidak mendebat kebohongan yang Haris berikan padanya, Sekar beranjak. Membantu Haris untuk merapikan penampilannya.

"Kamu kerja hari ini yang semangat ya?"

Kembali, Haris hanya mengangguk lesu. Tapi, Sekar tidak akan menyerah untuk menenangkan perasaan putra sematawayangnya itu.

"Oh iya. Nanti kalau kamu udah sampe di kantor, kamu kasih tau Mama. Vanny hari ini masuk kantor atau nggak."

"Kenapa, Ma?"

Sekar berdecak samar. Menyadari sesuatu lainnya.

Kan. Dari tadi ditanya apa-apa, jawabnya cuma ngangguk. Pas giliran bawa nama Vanny aja baru deh suara Haris keluar.

"Ehm ... karena kalau Vanny nggak masuk," jawab Sekar tersenyum. "Biar Mama samperin dia di apartemen. Biar Mama temenin dia. Siapa tau kan dia butuh sesuatu. Dia kan lagi sakit."

"Oh."

Haris manggut-manggut. Berpikir singkat, yang dikatakan oleh sang ibu ada benarnya. Ia mengangguk.

"Iya, ntar aku kabarin sama Mama."

"Mama tunggu kabar dari kamu. Dan ngomong-ngomong ..."

Sekar mengangkat wajahnya. Melihat wajah Haris yang lesu tanpa senyum.

"... kamu jangan manyun gini ah. Anak cakep nggak boleh manyun."

Sekar tersenyum seraya menatap Haris. Layaknya ia yang tengah mengajari Haris untuk tersenyum.

"Senyum dong. Dikit aja."

Sebenarnya Haris benar-benar sedang tidak bersemangat. Bahkan untuk tersenyum pun rasanya berat sekali. Tapi, karena Sekar yang meminta, mau tak mau ia pun berusaha untuk melakukannya. Walau pada akhirnya bukan senyum manis yang Sekar dapatkan. Alih-alih senyum meringis yang ia lihat.

Sudahlah. Nggak apa-apa.

Sekar memberikan tepukan kasih di lengan sang putra. "Berangkat kerja hati-hati."

"Iya, Ma."

Haris memberikan satu pelukan singkat pada Sekar sebelum akhirnya beranjak dari kamarnya sendiri. Sekar membuang napas panjang. Hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keadaan Haris yang seperti itu.

Kalau dia dan Vanny nggak baikan, pasti dia bakal jadi zombi lagi.

Sekar memejamkan mata. Mencoba untuk mengenyahkan hal menakutkan itu dari benaknya.

Sementara itu di perjalanan menuju ke kantor, Haris benar-benar hanya termenung. Dengan mata yang memandang ke luar, pikirannya melayang entah ke mana. Memikirkan banyak hal. Yang berpangkal dan berujung pada satu nama. Tentu saja, Vanny.

Kira-kira dia udah sembuh atau belum ya? Dia masuk atau nggak ya?

Haris merogoh saku dalam jasnya. Mengeluarkan ponsel. Tapi, ketika ia melihat aplikasi bewarna hijau itu dan berniat untuk menghubungi Vanny, hatinya merasa ciut. Pada akhirnya ia kembali menaruh ponselnya kembali di tempat semula.

Haris memutuskan untuk menghubungi Vanny ketika tiba di kantor. Tepat setelah ia tau apakah Vanny masuk atau tidak. Dan jawaban itu segera Haris dapatkan ketika ia mendapati Astrid yang menunggu kedatangannya di depan kantor.

Sudah nyaris empat bulan lamanya Haris tidak melihat Astrid berdiri menunggu kedatangannya. Setelah Vanny datang, itu menjadi pekerjaannya. Dan mendapati Astrid yang menyambutnya sudah cukup memberikan jawaban untuk Haris.

"Selamat pagi, Pak."

Haris menyerahkan tas kerjanya. Membalas singkat. "Pagi, Bu."

Ketika mereka berdua sudah berada di dalam lift, Haris melayangkan pertanyaan basa-basi itu.

"Vanny nggak masuk?"

"Nggak, Pak," jawab Astrid. "Tadi Vanny nelepon. Katanya dia demam. Tapi, sepertinya besok dia sudah masuk lagi."

Haris membuang napas. Tidak mengatakan apa-apa lagi. Bahkan ketika ia sudah tiba di ruang kerja dan Astrid menaruh kopi hitam seperti kesukaan Haris di tiap paginya, ia tetap tidak bicara sepatah kata pun.

"Saya permisi, Pak."

Haris hanya mengangguk. Duduk di kursinya dan menyalakan komputer. Berniat untuk memulai pekerjaan, satu dering membuat Haris meraih ponselnya. Ada yang menghubunginya. Dan nama yang muncul di layar datar itu membuat Haris mengerutkan dahi.

Bhakti Adji Wonowidjojo.

"Om Bhakti?" tanya Haris pada dirinya sendiri. "Ngapain Om Bhakti nelepon aku sepagi ini?"

Tidak langsung mengangkat panggilan itu, otak Haris berputar. Ia tertegun. Diam. Lalu matanya melotot.

"Mau ngomongin soal pertengkaran Mama sama Tante dan Tasya?"

Haris membuang napas seraya geleng-geleng kepala. Berdecak dengan ekspresi tak percaya.

"Apa mau bahas soal perjodohan aku dan Tasya?"

Kemungkinan satu itu melintas di benak Haris. Sontak membuat ia berdiri dari tempat duduknya. Bertepatan dengan pintu ruang kerjanya yang terketuk dan Astrid masuk.

"Pak."

Haris membiarkan ponselnya berhenti berdering. Mengabaikannya. Lebih memilih untuk mengacuhkan kedatangan Astrid.

"Ada apa?"

"Pak Arman barusan ngubungi saya, Pak."

Haris mencoba mengingat. Tapi, ia tak yakin. "Pak Arman?"

"Beliau asisten pribadi Pak Bhakti."

Mata Haris yang sempat mengecil, sontak membesar lagi. "Om Bhakti?"

Astrid mengangguk.

Horor, seketika Haris bertanya dengan ekspresi ngeri. "Ngapain dia nelepon?"

"Mau nanya. Apa Bapak ada waktu hari ini?"

"Buat?"

"Pak Bhakti ingin bertemu."

"Hah?!"

"Karena kalau bisa, sebentar lagi Pak Bhakti akan segera datang ke sini."

"Ya Tuhan."

Kalau tadi Haris langsung berdiri kaget dari duduknya, maka sekarang sebaliknya. Ia sontak terduduk lesu kembali.

"Pak?"

Haris meneguk ludah. Wajahnya terlihat panik sekarang. Bahkan sebulir keringat sudah muncul di dahinya.

"Gawat ini gawat," keluh Haris. "Pasti Om Bhakti mau ngomong soal pertengkaran Mama sama Tante. Dan lebih dari itu, Om Bhakti pasti mau bahas soal perjodohan aku dan Tasya."

Astrid diam dengan bingung. Tapi, kemudian ia teringat. Ada telepon yang sedang menunggu di mejanya.

"Jadi ... bagaimana, Pak?"

Menatap Astrid dengan sorot cemas dan takut, Haris menggeleng. "Bilang aku nggak ada waktu, Bu. Aku rapat seharian ini."

"Kalau besok?"

Bola mata Haris kembali membesar. Tapi, Astrid dengan cepat melanjutkan perkataannya.

"Jaga-jaga, Pak. Saya khawatir Pak Arman bakal nanya jadwal Bapak seminggu ini. Karena sepertinya Pak Bhakti benar-benar ingin bertemu."

Apa yang dikatakan oleh Astrid sama sekali tidak membantu Haris yang tengah dilanda ketakutan. Bulir-bulir keringat di dahinya semakin bertambah banyak.

"Pokoknya kalau itu berurusan dengan Om Bhakti, bilang aku nggak ada waktu. Rapat kek, keluar kota kek, sakit kek, atau apalah. Terserah deh Ibu mau kasih alasan apa. Ah, sekalian bilang juga kalau aku lembur sampai malam. Biar Om Bhakti nggak kepikiran buat datang ke rumah. Karena intinya cuma satu," kata Haris dengan serius. "Aku nggak mau ketemu Om Bhakti. Paham, Bu?"

Astrid mengangguk. "Paham, Pak. Kalau begitu, saya permisi."

Setelah Astrid keluar dari ruangannya, ponsel Haris kembali berdering. Kembali menghadirkan ketakutan yang langsung membungkus sekujur tubuh Haris. Karena nama yang muncul di layar itu adalah nama yang menghubungi Haris sebelumnya. Yaitu, Bhakti.

*

"Bagaimana? Sudah kamu transfer uangnya?"

Kedatangan Arman pagi itu adalah hal yang tidak diduga oleh Bhakti. Tapi, ketika Arman mengatakan ada sesuatu yang penting, maka mau tak mau ia meminta sekretarisnya untuk menunda sejenak rapat yang harus ia hadiri pagi itu.

Arman mengangguk demi menjawab pertanyaan Bhakti. "Sudah, Pak. Sesuai dengan apa yang Bapak perintahkan."

"Bagus," ujar Bhakti senang. "Jadi ada hal penting apa yang mau kamu bicarakan? Apa ini ada kaitannya dengan uang yang Vanny minta?"

Tanpa tedeng aling-aling, Bhakti langsung melayangkan pertanyaannya. Karena ia ingat betul bagaimana reaksi Arman ketika dirinya memberikan perintah itu. Walau pada akhirnya tentu saja Arman tidak ada pilihan lain, selain melakukan apa yang Bhakti suruh.

"Iya, Pak. Memang berkaitan dengan uang yang Nona Vanny minta."

Bhakti membuang napas panjang. Menyandarkan punggung di kursi, ia menatap Arman.

"Aku tau bagaimana sifat Vanny. Dia nggak seperti anak muda kebanyakan. Dia nggak macam-macam. Aku tau betul karena Diah mendidiknya dengan baik."

Bhakti menebak mungkin itulah yang Arman khawatirkan. Bisa saja Vanny menggunakan uang itu untuk hal yang tidak baik. Terlebih karena nominalnya yang tidak main-main.

"Dan lagipula bukannya selama ini kamu sering memantau kehidupannya?"

"Sesekali, Pak," ralat Arman. "Karena setelah terakhir kali Nona Vanny tau dirinya diawasi dan Bapak bertengkar dengannya, saya nggak melakukannya lagi."

Bhakti mengangguk. Dulu ia memang meminta Arman menyuruh orang untuk mengawasinya. Demi mendapatkan selembar dua lembar foto terbaru, informasi tentang kehidupannya, dan hal lainnya yang berkaitan dengan Vanny. Tapi, semua berantakan ketika Vanny mengetahui apa yang Bhakti lakukan.

Maka dari itu Bhakti memerintahkan Arman untuk berhenti mengawasi Vanny. Walau pada kenyataannya Arman tetap memantaunya. Sesekali. Hanya untuk mengetahui Vanny dalam keadaan baik-baik saja dan tidak terlibat pergaulan yang keliru. Dan praktis, Arman pun tidak terlalu sering memonitor kehidupan Vanny. Lantaran pergaulan Vanny yang terbatas dan hanya ada nama Esti di sekelilingnya.

"Jadi ada apa sekarang? Apa Vanny akan menggunakan uang itu untuk hal yang buruk?" tanya Bhakti lagi. "Aku pikir dia butuh uang itu untuk jalan-jalan. Selama ini dia belum pernah keluar negeri."

Wajah Arman tampak salah tingkah. Tapi, ia menggeleng.

"Sepertinya Nona Vanny nggak memerlukan uang itu untuk pergi liburan, Pak."

Bhakti mengerutkan dahi. "Jadi untuk apa?"

Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, Arman justru mengatakan hal lainnya. Sesuatu yang membuat Bhakti terlihat semakin bingung.

"Sebelumnya saya minta maaf kalau dianggap lancang, Pak. Tapi, saya melakukannya dengan niat baik."

Bhakti diam. Memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Memutuskan untuk memberikan waktu bagi Arman untuk bicara.

"Karena ketika Bapak meminta saya mengirim uang itu pada Nona Vanny, saya jadi penasaran dan akhirnya saya mencari tau apa yang terjadi pada Nona Vanny saat ini."

Perasaan Bhakti mendadak menjadi tidak enak. Tapi, ia mencoba untuk bersabar ketika Arman melanjutkan perkataannya.

"Ternyata selama belakangan ini Nona Vanny sudah bekerja, Pak."

Bukan yang Bhakti harapkan. Tapi, tak urung informasi tersebut membuat ia kaget. "Bekerja?"

Ada ekspresi bahagia yang terpancar di wajah Bhakti. Ia terlihat bahagia ketika Arman mengangguk.

"Vanny sebenarnya tidak perlu bekerja. Aku mengirimnya uang tiap bulan. Tapi, dia persis seperti ibunya."

Bhakti mengatakan itu pada dirinya sendiri. Seolah tidak ada Arman di sana. Dan sedetik kemudian, barulah ia bertanya pada sang asisten pribadi.

"Dia bekerja di mana?"

Arman menjawab. "Di Bumi Pertiwi, Pak."

"Bumi Pertiwi?" tanya Bhakti yang langsung dijawab anggukan oleh Arman. "Bumi Pertiwi perusahaan Arif?"

"Iya, Pak. Perusahaan Pak Arif yang sekarang sudah dipegang oleh putranya," jawab Arman. "Pak Haris."

Mata Bhakti membesar. "Vanny bekerja sama Haris?"

Ada syok yang tersirat dalam pertanyaan Bhakti. Dan syok itu berubah jadi rasa penasaran ketika Arman mengangguk membenarkan pertanyaannya.

"Dia bekerja sebagai apa? Admin? Staf bagian? Bukan cleaning service kan?"

Arman menggeleng. "Nona Vanny bekerja sebagai sekretaris kedua Pak Haris."

Bhakti memang tidak berharap Vanny bekerja sebagai petugas kebersihan. Tapi, sekretaris kedua jelas bukan posisi yang ia bayangkan akan ditempati oleh Vanny. Bukannya ingin merendahkan putri sendiri. Hanya saja menjadi sekretaris bukan hal yang mudah. Terlebih lagi mengingat di mana ia bekerja.

"Sekretaris kedua?" tanya Bhakti tak percaya. "Wah. Aku benar-benar nggak mengira."

Rasa bangga kembali menyusup di dada Bhakti. Tapi, tidak bertahan lama. Karena sejurus kemudian ia teringat akan maksud kedatangan Arman.

"Jadi apa kaitannya pekerjaan Vanny dengan uang yang ia minta?"

Arman menahan sejenak napas di dada. Ia seolah butuh keberanian untuk mengatakan kejujuran tersebut.

"Nona Vanny butuh uang untuk membayar pinalti kontrak, Pak," jawab Arman. "Nona Vanny ingin resign."

Syok, itulah reaksi Bhakti sedetik kemudian.

"Uang pinalti kontrak? Resign?"

Arman mengangguk. Dan itu membuat Bhakti benar-benar tak habis pikir.

"Kontrak macam apa yang mencantumkan pinalti satu milyar? Dan ... dan kenapa Vanny mau resign? Apa Haris membuat Vanny kerja keras? Dia buat Vanny lembur? Dia buat Vanny tertekan?"

Membayangkan hal tersebut terjadi pada sang putri, tanpa sadar membuat Bhakti berdiri dari kursinya. Emosi terlihat mulai memercik di wajahnya. Terlihat memerah.

"Aku nggak akan memaafkan Haris kalau dia sampai membuat Vanny stres."

Arman buru-buru menenangkan. "Pak, ini nggak seperti yang Bapak bayangkan. Pak Haris sama sekali nggak membuat Nona Vanny kerja keras atau lembur. Nggak sama sekali."

Arman tidak tau harus bagaimana ia menjelaskan hasil temuannya itu pada Bhakti. Ia yakin Bhakti akan syok. Dan selain itu Arman bisa langsung menerka ke mana ujung dari kenyataan yang telah ia dapatkan. Keributan pasti akan tercipta. Karena Arman tau persis apa alasan Vanny ingin mengundurkan diri dari perusahaan Haris.

"Nona Vanny dan Pak Haris pacaran, Pak."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top