60. Serupa, Tapi Tak Akan Pernah Bisa Sama

Hal yang Haris lakukan ketika mendapati Vanny menangis di pelukannya adalah diam. Membiarkan Vanny menumpahkan semuanya. Seolah tidak ada mata yang melihat pada mereka, Haris pun berusaha untuk bertindak setenang mungkin.

Haris membelai punggung Vanny. Tidak mengatakan apa-apa ketika ia sadar bahwa terkadang orang yang menangis memang hanya ingin menangis. Demi menumpahkan semua yang sudah menyesak di dada. Dan untuk Vanny, apa yang membuat ia hingga tersedu sedan seperti itu.

Tubuh Vanny berguncang. Isakannya kian tak tak berbendung. Dan pelukannya pada Haris kian lama makin menguat.

Vanny tidak ingin seperti ini. Jatuh ke dalam pelukan Haris dan keadaan berurai air mata, jelas bukan keinginannya. Tapi, mungkin itulah yang ia butuhkan saat ini.

Karena ketika wajah Bhakti membayang di pelupuk matanya dan kehangatan pelukan itu membekas di tubuhnya, suara sang ayah terasa menggema. Permintaan maaf dan ucapan sayang itu menghantarkan beragam emosi yang tidak bisa ditepis begitu saja oleh Vanny.

Sedih. Marah. Kecewa. Dan juga rindu.

Vanny mencoba untuk bertahan, tapi ia tidak sekuat itu. Dan pada akhirnya ia menyerah. Tubuhnya terasa lunglai. Dalam keletihan jiwa yang memporak-porandakan banteng pertahanannya selama ini.

"Van?"

Haris merasakan pelukan Vanny mengendur. Kedua tangan itu hilang kekuatannya. Jatuh terlepas dari tubuh Haris.

*

Haris merasakan hangat di dahi Vanny. Dengan beberapa bulir keringat berukuran besar yang memenuhinya. Dan tak hanya di sana. Di sisi wajahnya dan juga di lehernya, keringat timbul dan mengucur tanpa henti.

Haris bangkit. Setelah memastikan selimut menutupi tubuh Vanny dengan sempurna, ia beranjak. Ke dapur demi menyiapkan air kompres untuk Vanny.

Sekembalinya Haris di kamar, ia mendapati Vanny yang gelisah. Membuat Haris buru-buru menghampirinya. Menyisihkan air kompresan di nakas, ia menenangkan Vanny.

"Van."

Mata Vanny bergerak-gerak. Tapi, ia belum sadar. Karena ketika matanya menatap Haris, bukan nama Haris yang ia lirihkan. Melainkan yang lain.

"Papa?"

Haris tertegun. Dalam diam, otaknya dengan cepat menyimpulkan semua yang terjadi. Berbekal penuturan Esti, kemewahan tempat tinggal Vanny, dan mobil yang datang menjemputnya tadi, Haris yakin ia tidak akan salah menebak.

"Van."

Vanny meringis. Matanya membuka samar. Menimbulkan celah yang tertutupi oleh linangan air mata.

"Papa."

Mungkin Vanny bisa mengatakan bahwa ia membenci Bhakti. Tapi, anak mana yang benar-benar bisa membenci orang tuanya? Karena pada kenyataannya bukanlah kebencian yang benar-benar Vanny rasakan. Alih-alih kerinduan.

Bertahun-tahun tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang harusnya ia dapatkan. Bertahun-tahun menahan diri dari rasa iri dengan kehidupan bahagia teman-temannya bersama ayah mereka. Bertahun-tahun mencegah bibir untuk mengatakan betapa ia sayang pada Bhakti.

Dan ketika ia bertemu setelah sekian lamanya, Vanny bisa merasakan dengan jelas. Rasa sakit yang meremukkan tulang belulang. Rasa nyeri yang menusuk pembuluh darah. Rasa sesak yang menghimpit dada.

Vanny memukul dadanya. Di sana. Di dalam sana ada pilu yang membuat ia meronta. Ia histeris.

"Vanny."

Haris menahan Vanny. Mencegah agar ia tidak menyakiti dirinya sendiri. Tapi, perih yang meremas jantungnya membuat Vanny tidak terkendali.

"Papa!"

"Van, sadar. Vanny."

Kesedihan itu membutakan mata Vanny. Membuat nyata dan maya menjadi dua hal yang mengabur dalam indra penglihatannya. Tapi, yang pasti bagi Vanny adalah rasa sakit yang bercokol di dadanya adalah hal yang mutlak.

Haris menahan tangan Vanny. Membawa Vanny ke dalam pelukannya. Dan ketika Vanny ingin memukul dadanya kembali, adalah punggung Haris yang menerimanya.

Karena sudah terlalu lama bagi Vanny memendam semua kesedihan itu. Dan ketika ia tak mampu lagi, hanya kepasrahan yang bisa Vanny lakukan. Membiarkan semua kekecewaan dan air mata keluar tanpa ia menyadari ada Haris yang menahan semuanya.

Haris mengeratkan pelukannya. Tak masalah baginya menjadi tempat pelampiasan Vanny. Karena ia tidak tau seberapa dalam sakit yang Vanny rasakan.

Haris yang tumbuh dalam limpahan kasih sayang dan penjagaan, tidak akan pernah tau sepilu apa kesedihan yang Vanny pendam selama ini. Hingga pada akhirnya semua itu meledak dan membuat ia tak lagi mampu bertahan.

Hingga entah sudah berapa lama rontaan itu Vanny lakukan, pada akhirnya Haris merasakan pukulan di punggungnya perlahan memelan. Berangsur menghilang. Menyisakan air mata dan rintihan.

"Papa."

Haris mengusap kepala Vanny. Berulang kali berusaha menenangkannya. Tapi, lagi-lagi kala itu Haris menyadari bahwa Vanny tidak butuh ditenangkan. Melainkan ia butuh meluapkan.

"Apa aku bukan anak Papa?"

Vanny sering mendengarnya. Orang-orang mengatakan bahwa tidak akan pernah ada istilah mantan anak. Tapi, yang Vanny rasakan selama ini tidak demikian.

Sama seperti anak-anak lainnya, Vanny ingin membanggakan ayahnya. Mengenalkan Bhakti pada teman-temannya. Melihat akan seprotektif apa Bhakti pada cowok yang mendekatinya.

Vanny mendengarnya dari omongan orang-orang. Bahwa seorang ayah akan menjadi begitu cemburu ketika ada yang mendekati putrinya. Tapi, Vanny tidak pernah merasakannya.

Lantas dari orang-orang juga Vanny mengetahuinya. Untuk rasa sakit dan kecewa, manusia hanya bisa melakukan satu hal. Yaitu berdamai pada masa lalu.

Namun, bagaimana bisa Vanny berdamai ketika masa lalu itu mengalir di dalam darahnya? Tumbuh bersamanya? Tidak lepas darinya sepanjang usianya?

Mungkin memang tidak seharusnya Vanny bertemu dengan Bhakti. Karena terbukti. Bertemu dengan pria itu membangkitkan semua harapan dan kasih yang sempat Vanny kubur di dalam hatinya. Merobohkan banteng dan pertahanan yang Vanny bangun di dalam hidupnya.

Hanya saja keadaan tidak memberikan banyak pilihan untuk Vanny. Hanya Bhakti jalan satu-satunya yang ia miliki. Agar ia bisa melepaskan diri dari Haris.

Haris?

Benar. Vanny ingin melepaskan diri dari Haris. Tapi, mengapa ia sekarang justru memeluk Haris dengan erat? Mengapa ia sekarang justru merengkuh Haris seolah tidak ingin kehilangannya?

Vanny membuka mata. Dalam kesadaran yang akhirnya kembali ia dapatkan. Pandangannya sedikit berkunang-kunang. Dunia seolah bergoyang-goyang, tapi Vanny mendorong Haris.

"Kamu nggak apa-apa, Van?"

Haris menangkup wajah Vanny. Menghapus air matanya. Merapikan rambutnya yang berantakan.

"Kamu panas, Van. Kamu sakit," kata Haris khawatir. "Kita ke rumah sakit ya?"

Tidak menjawab, Vanny tertegun melihat kecemasan yang terpancar di mata Haris. Kekhawatiran yang membuat perasaan Vanny menghangat. Tapi, layaknya panas yang bisa memberikan kenyamanan, nyatanya panas juga bisa memberikan penderitaan.

Pada akhirnya Vanny pun sadar. Bahwa sama dengan Bhakti yang bisa memberikan kasih sayang dan juga air mata, maka begitu pula dengan Haris.

Vanny menggigit bibir bawahnya. Satu tangannya naik dengan gemetar. Mendarat di pipi Haris.

"Haris."

Haris tertegun. Diam ketika mendapati air mata yang baru mulai berlinang kembali di kelopak mata Vanny.

Ini bukan air mata anak untuk ayahnya. Ini air mata Vanny untuk Haris.

"Kamu tau aku cinta kamu?"

Suara Vanny serak. Dalam kering tenggorakan dan getir yang merasuk, ia tidak membutuhkan jawaban Haris.

"Aku cinta kamu, Ris."

Jakun Haris naik turun dalam kesan yang tidak enak. Sungguh. Ia memang mengharapkan pengakuan Vanny. Tapi, bukan pengakuan yang semacam ini.

"Aku cinta banget sama kamu, Ris."

Karena ada yang berbeda dari cara Vanny menatap Haris. Dalam sorot putus asa yang menyiratkan tidak akan ada hari esok untuk mereka berdua.

"Tapi, aku nggak mungkin menikah sama kamu, Ris," lanjut Vanny menggeleng. "Nggak mungkin."

Haris menarik napas sedalam mungkin. Berusaha untuk tenang dan mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa kala itu Vanny sedang tidak jernih pikirannya. Sedang kalut.

"Van," lirih Haris seraya berusaha tersenyum. "Kita ke rumah sakit. Kamu harus diperiksa dulu."

Haris memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan itu. Pembicaraan yang tidak ia sukai. Tapi, ketika Haris akan bangkit, tangan Vanny menahannya.

"Ris, aku mohon."

Air mata Vanny jatuh. Dalam keputusasaan yang makin memporak-porandakan akal sehatnya.

Vanny tau. Ia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Sama seperti dirinya yang memutuskan untuk lepas dari pelukan Bhakti tadi, sekarang ia akan melakukan hal yang sama pada Haris.

"Lepasin aku, Ris," pinta Vanny pilu. "Lupakan aku. Biarin aku pergi."

Sangat sulit untuk Haris tetap bersikap terkendali kala itu. Panik dengan kemungkinan bahwa ia akan kehilangan Vanny membuat Haris nyaris kehilangan akal sehatnya. Hingga memaksa Haris untuk menghirup napas dalam-dalam. Mencoba untuk tetap tenang walau itu sulit sekali.

"Kita bicarakan ini nanti, Van. Sekarang kita ke dokter saja."

Haris harus memutus situasi tidak mengenakkan itu. Menghancurkan momentum untuk keinginan tidak masuk akal Vanny. Tapi, Vanny tetap bersikeras.

"Please, Ris. Kalau kamu benar-benar cinta aku, kita sudah semuanya sampai di sini."

Pada akhirnya Haris yakin Vanny tidak akan mundur kali ini. Tapi, sayangnya Haris pun tidak akan mundur pula. Haris menggenggam tangan Vanny. Memaku tatapan matanya.

"Kalau kamu benar-benar cinta aku, Van," lirih Haris dengan penuh penekanan. "Berenti ngomong kalau kamu mau pergi dari aku." Ia menggeleng berulang kali. "Sampai kapan pun aku nggak bakal biarin kamu pergi dari aku."

Tanpa ada kedip sekali pun. Menatap dengan amat lekat. Haris menekankan kata itu.

"Sampai kapan pun."

Sorot nelangsa yang terpancar di mata Vanny memaparkan ketakutan. Karena masa lalu dan semua yang ia alami membuat ia belajar akan satu hal.

"Pada akhirnya kamu juga bakal ninggalin aku, Ris."

Satu bulir air mata kembali jatuh di pipi Vanny. Tapi, anehnya kali ini ada senyum tipis yang tersungging di sana. Senyum yang menggambarkan kehampaan dan penerimaan diri akan luka yang mungkin saja akan kembali ia terima.

"Jadi untuk apa menunggu hari esok kalau kamu bisa ninggalin aku sekarang?"

Kehampaan itu adalah kunci untuk semua penolakan yang Vanny lakukan. Karena ia yakin dirinya tak mampu bertahan bila harus melakukan kepahitan yang sama untuk yang kedua kalinya. Dan yang paling tidak ia inginkan ada satu. Yaitu melihat Vanny-Vanny yang lain hadir di bumi ini. Lahir hanya untuk merasakan kesedihan yang pernah ia rasakan.

"Vanny."

Haris berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan diri. Berusaha agar dirinya tidak meledak kala itu. Mencoba untuk sabar ketika kesabaran tidak pernah menjadi keahlian Haris.

"Aku nggak akan ninggalin kamu, Van. Kamu ingat?" tanya Haris ketika ia tidak butuh jawaban Vanny sama sekali. "Kamu yang ninggalin aku dulu. Dan sekarang kamu yang mencoba untuk ninggalin aku lagi. Lihat? Aku nggak pernah mau ninggalin kamu."

Haris menunduk. Melihat pada jari-jari tangan Vanny yang ia genggam. Jari di mana ia berharap akan ada cincinnya tersemat di sana.

"Aku bakal menikahi kamu. Dan aku nggak akan pernah meninggalkan kamu."

Seandainya saja Vanny sepolos itu. Tapi, sayangnya Vanny jelas tau satu hal. Perih, hanya saja itu memang kenyataan.

"Bahkan pernikahan pun nggak akan pernah mampu menahan seorang pria untuk bertahan."

Vanny berusaha melepaskan tangannya. Tapi, Haris bergeming.

"Aku sudah melihatnya, Ris. Aku sudah merasakannya," ujar Vanny dengan getir di suaranya. "Bahwa seorang pria bisa meninggalkan keluarganya begitu saja. Kapan pun ia mau, ia bisa pergi."

Hening untuk beberapa saat. Pada saat itu, Vanny dan Haris seolah berada di dunia yang berbeda. Dengan Vanny yang berpegang pada kenyataan yang pernah ia alami, sementara Haris yang berpegang pada harapan masa depan yang ia impi-impikan.

"Aku nggak mau, Ris. Aku nggak mau ngalamin itu lagi."

Itu layaknya adalah peperangan antara dua keyakinan. Dua hal yang bertolakbelakang. Tanpa ada siapa yang salah dan siapa yang benar. Mereka sama salah dan sama benar untuk sudut pandang masing-masing. Tapi, kalau boleh bisakah Haris membela diri.

"Aku bukan pria itu, Van."

Rasa dingin sontak memerangkap Vanny. Menghentikan peredaran darahnya. Menahan napasnya.

"Aku bukan pria itu," ujar Haris lagi seraya menggeleng. "Aku Haris. Aku Haris yang bahkan sudah kamu putusin pun masih berusaha untuk menjebak kamu dengan banyak cara."

Haris mengangkat tangan Vanny. Melabuhkan kecupan lembut di buku jarinya.

"Aku Haris."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top