59. Sakit Adalah Jawaban Untuk Setiap Perasaan
Haris tidak berpikir dua kali untuk membelokkan kemudi. Membawa mobilnya untuk melaju dan mendahului mobil yang berada di depannya, ia berniat untuk mengikuti Vanny.
Vanny mau ketemu siapa?
Tentu saja Haris tidak akan salah menebak bahwa Vanny akan bertemu dengan seseorang yang penting. Menilik dari gaun semi formal yang Vanny kenakan, Haris yakin bukanlah acara biasa yang akan Vanny datangi. Terlebih lagi dengan mobil hitam yang menjemputnya.
Itu adalah kendaraan edisi terbatas yang hanya dimiliki segelintir orang di Indonesia. Dengan sopir berpakaian rapi dalam setelan bewarna hitam, Haris yakin bahwa orang di balik semua itu bukanlah orang biasa.
Mobil Haris keluar dari portal keamanan gedung apartemen. Dengan cepat melaju. Matanya menatap lurus ke depan. Mendapati mobil yang membawa Vanny tidak terpisah jauh dengannya.
Haris menginjak pedal gas lebih dalam. Mempercepat laju mobilnya. Mengikis jarak antaranya dan mobil tersebut. Tapi, ketika Haris sedikit lagi berhasil menyusulnya, mobil di depan Haris berhenti bergerak.
Refleks, Haris dengan segera mengerem. Ia menggeram. Menatap kesal pada lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah.
"Argh!"
Haris tidak bisa berbuat apa-apa. Selain memukul kemudinya ketika ia melihat mobil yang membawa Vanny melaju dengan mulus di depan sana. Bebas dari perangkap lampu lalu lintas dan dengan perlahan menghilang dari pandangan Haris beberapa detik kemudian.
*
Seorang pelayan dengan sopan mengantarkan Vanny untuk menuju ke lantai tiga. Pada satu ruang pribadi yang telah dipesan khusus untuk menjamu ayah dan anak yang tak pernah makan bersama lagi sejak sekian lama.
Vanny masuk. Melangkah dengan ragu ketika mendapati Bhakti telah berada di sana.
"Vanny."
Bhakti dengan segera bangkit dari duduknya. Tersenyum ketika penantian yang mendebarkan itu berakhir pula. Ia beranjak. Menyambut kedatangan Vanny dengan dua tangan yang refleks membentang.
Namun, Vanny langsung menuju kursinya. Duduk di sana. Mengabaikan Bhakti yang berharap akan mendapatkan satu pelukan dari sang putri.
Bhakti mendeham. Menabahkan hati dan mengingatkan diri sendiri untuk tidak tamak. Mendapati Vanny ingin meminta bantuan darinya dan menerima ajakan makan siangnya saja adalah hal yang sangat luar biasa.
Kembali duduk di kursinya semula, Bhakti merasakan telapak tangannya basah oleh keringat. Ia gugup. Dalam rasa senang yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.
Bhakti melihat Vanny yang melihat pada sajian di atas meja. Dan ia buru-buru berkata.
"Papa ingat kamu suka makan ikan nila asam manis."
Vanny mengangkat wajah. Mendapati Bhakti yang melihatnya dengan sorot harap-harap cemas.
"Benar kan?"
Vanny mengangguk. "Benar, Pa."
Satu kata panggilan itu mendarat dengan sempurna di indra pendengaran Bhakti. Mencoba bertahan untuk tidak meneteskan air mata kebahagiaannya, Bhakti akan mengingat bagaimana lembutnya Vanny memanggil dirinya.
Dan tak hanya itu yang membuat Bhakti seolah tengah melayang di langit sana. Mendapati dirinya yang tidak keliru mengingat kesukaan Vanny jelas adalah hal yang membanggakannya. Kelegaan menyeruak di dada Bhakti. Ia membuang napas dengan ringan. Lalu dengan begitu semangat, ia mengajak Vanny untuk menikmati semua hidangan di sana.
"Ayo, kita makan, Van. Mumpung semuanya masih hangat."
Namun, Vanny tidak langsung meraih sendok dan garpunya. Alih-alih ia justru menatap ragu pada Bhakti.
"Pa."
Bhakti menatap balik pada Vanny. "Ya? Kenapa?"
"Ehm ...."
Vanny menggigit bibir bawahnya. Keraguan semakin nyata tercetak di wajahnya yang kala itu terlihat amat cantik. Dan Bhakti dengan cepat menangkap isyarat tersirat itu.
"Kita bicarakan nanti, Van. Papa janji pasti akan membantu kamu apa pun," ujar Bhakti meyakinkan Vanny. "Sekarang kita makan dulu ya?"
Pada akhirnya Vanny mengangguk. Tidak mengatakan apa-apa lagi, ia meraih sendok dan garpu. Mulai menikmati semua sajian yang terhidang di meja bundar itu.
Menikmati suapan pertamanya, Bhakti mengunyah dengan begitu perlahan dan penuh irama. Matanya tertuju pada Vanny tanpa ada kedip sama sekali. Tidak berpaling sedikit pun saat ia menyaksikan bagaimana Vanny yang makan dengan lahap.
"Sini sini. Biar Papa."
Bhakti dengan cepat mengambil alih piring ikan nila asam manis itu. Telaten dan tanpa cela sama sekali, ia memisahkan ikan dari tulangnya. Tanpa abai untuk menyisihkan satu bagian yang amat Vanny sukai.
"Kamu suka bagian ekornya kan?"
Vanny mengangguk dan menerima piring tersebut dengan wajah menunduk. Tak melihat bagaimana lebarnya senyum bangga yang mekar di wajah Bhakti.
"Habiskan," ujar Bhakti. "Kalau kamu mau, kita pesan lagi."
Bhakti tidak butuh jawaban Vanny. Ia dengan segera memanggil pelayan. Meminta satu porsi lagi untuk menu kesukaan putrinya.
Sepanjang makan siang itu berlangsung, tidak banyak percakapan yang terdengar. Vanny lebih banyak diam dan tidak mengatakan apa-apa selain bila Bhakti bertanya padanya.
Sementara Bhakti yang tau bahwa itu adalah kejadian yang amat langka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ia miliki. Mungkin hanya ada empat suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Lantaran ia tidak akan memanfaatkan kesempatan itu untuk makan, melainkan untuk terus memandangi Vanny.
Itu adalah jarak terdekat yang pernah Bhakti dapatkan selama bertahun-tahun lamanya. Biasanya Vanny akan menghindarinya. Tapi, kali ini mereka duduk di meja makan yang sama.
Bhakti bahkan bisa menghirup aroma lembut parfum Vanny. Bisa melihat bagaimana lentik bulu mata sang putri yang bergoyang-goyang ketika matanya berkedip. Bisa melihat bagaimana wajah cantik itu tertunduk di hadapannya. Wajah cantik yang mengingatkan Bhakti akan seseorang yang amat ia cintai.
Bhakti buru-buru meraih gelas minumnya. Membasahi tenggorokannya dan berharap getir yang hadir bisa ia singkirkan sejauh mungkin.
Ada Vanny bersama dengannya saat ini. Harusnya Bhakti tersenyum dan bahagia. Ia tidak boleh merusak momen itu dengan air mata.
"Bagaimana?" tanya Bhakti beberapa saat kemudian. "Kamu mau pesan apa lagi?"
Vanny menggeleng samar. Dengan penuh kesopanan ia mengelap bibirnya dan menjawab.
"Sudah, Pa. Aku sudah kenyang."
Bhakti akan mengingat di benaknya. Bahwa hari itu Vanny menyebut dirinya berkali-kali.
"Baiklah kalau begitu," ujar Bhakti seraya mengangguk sekali. "Jadi ... kamu mau minta bantuan apa dari Papa?"
"Aku ...."
Vanny menggigit bibir bawahnya. Dua tangannya saling meremas satu sama lain di atas pangkuan. Melihat pada Bhakti yang menatapnya, ragu itu kembali muncul di benak Vanny.
"Bilang saja, Van. Papa pasti akan bantuin kamu."
Malu? Jelas ada. Tapi, ketika Vanny teringat akan uang yang harus ia miliki untuk terbebas dari Haris, ia pun menguatkan hati.
"Aku butuh uang, Pa."
Bhakti terdiam sejenak. "Uang?" tanyanya demi memastikan. Dan anggukan Vanny membuat ia bertanya kembali. "Berapa?"
Kali ini dua tangan Vanny mengepal dengan kuat. Lalu ia menjawab dengan cepat lantaran takut kalau dirinya berubah pikiran.
"Satu milyar, Pa."
Tidak ingin, tapi nyatanya Bhakti terkejut ketika mendengar jawaban Vanny.
"S-satu milyar?"
Vanny memejamkan mata. Mengangguk kembali.
"Kamu butuh uang satu milyar, Van?"
Vanny memaksa diri untuk membuka mata dan menatap Bhakti. "Iya, Pa," jawabnya dengan suara bergetar. "Aku butuh uang satu milyar."
Satu milyar jelas bukan jumlah yang sedikit. Tapi, bukan berarti susah untuk dikeluarkan oleh pengusaha seperti Bhakti. Terlebih lagi karena yang memintanya adalah Vanny.
Namun, tentu saja pikiran buruk dengan cepat timbul dan memenuhi benak Bhakti. Matanya terlihat khawatir.
"Untuk apa uang sebanyak itu, Van?" tanya Bhakti cemas. "Kamu sakit? Kamu butuh uang untuk berobat?"
Vanny menggeleng. "Nggak, Pa. Aku nggak sakit."
"Tapi----"
"Aku butuh uang itu untuk sesuatu," potong Vanny cepat. "Hanya Papa satu-satunya orang yang aku pikir bisa membantu aku. Tapi, kalau Papa----"
"Papa pasti akan membantu kamu, Van."
Ucapan Vanny terhenti di tengah jalan ketika suara Bhakti kembali terdengar. Bhakti tersenyum padanya.
"Kapan kamu butuh uangnya? Biar Papa kirim secepatnya."
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Vanny termenung sejenak. Masih ada dua minggu lagi waktu yang tersisa di bulan itu.
"Besok?" tanya Bhakti membuyarkan lamunan Vanny.
Dan Vanny mengangguk.
"Baiklah. Besok Papa akan suruh asisten pribadi Papa buat kirim uangnya ke rekening kamu."
Lirih, Vanny berkata. "Terima kasih, Pa."
"Nggak perlu, Van. Seharusnya Papa yang terima kasih sama kamu. Kamu sudah mau menemani Papa untuk makan siang hari ini."
Vanny menundukkan wajahnya. Diam. Begitu pula dengan Bhakti yang lantas tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tak peduli berapa banyak uang yang Vanny minta, pada kenyataannya itu tidak akan sebanding dengan kebahagiaan yang Bhakti rasakan siang itu. Bisa melihat dan bertemu dengan Vanny, bahkan bisa makan siang bersama dengannya, jelas adalah kesempatan yang tidak senilai dengan berapa pun banyaknya uang yang ia miliki.
Dan untuk itu, Bhakti mencoba mengingatkan diri untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang ia miliki. Ia pandangi wajah Vanny sepuas mungkin. Karena ia tau, cepat atau lambat semua akan berakhir.
"Sekali lagi, makasih untuk bantuannya, Pa," ujar Vanny sejurus kemudian. "Sepertinya aku harus pulang sekarang. Sudah sore."
Apa sudah selama itu Bhakti dan Vanny bersama? Sepertinya. Karena di langit sana matahari sudah menggelincir.
Vanny bangkit dari duduknya. Langsung beranjak dari sana. Tapi, ketika baru empat langkah kakinya meninggalkan meja makan, Bhakti memanggilnya.
"Vanny."
Langkah Vanny terhenti. Dan itu membuat Bhakti yang telah bangkit pula dari duduknya menahan napas di dada. Ia menguatkan diri ketika dilihatnya Vanny memutar tubuh dan menatap kembali padanya.
"B-boleh Papa peluk kamu sekali?"
Vanny membeku. Rasa dingin dengan cepat menjalari sekujur tubuhnya. Di sana. Terpisah jarak yang tak seberapa, Bhakti menatap dirinya dengan nelangsa. Dengan satu tangan terangkat demi meyakinkan Vanny.
"Satu kali saja," pinta Bhakti. "Satu kali, Van."
Vanny membuang napas panjang. Meremas tas tangan yang ia bawa dengan sekuat tenaga. Ia tau. Harusnya ia menggeleng. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Vanny mengangguk dan mata Bhakti membesar. Apa ia salah melihat? Tapi, kalaupun ia memang salah melihat, tak apa. Bhakti tetap tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Bhakti menghampiri Vanny. Tidak membuang waktu sedikit pun, Bhakti langsung memeluk Vanny.
Vanny memejamkan mata. Membiarkan tubuhnya tenggelam dalam pelukan hangat seorang ayah yang telah begitu lama tidak ia rasakan.
Tubuh Vanny bergetar. Tapi, ia tekan keinginan untuk membalas pelukan itu. Dengan jari-jari tangan yang mengepal kuat di sisi tubuh, ia bertahan.
Karena Vanny yakin. Ketika ia memeluk Bhakti, ia tidak akan bisa melepaskannya lagi. Sama halnya dengan yang Bhakti rasakan kala itu.
Ketika tubuh Vanny lenyap ke dalam pelukannya, Bhakti bisa merasakan kekosongan di hatinya seketika terisi. Satu tempat di dalam sana terpenuhi dengan nama Vanny.
"Vanny."
Suara Bhakti terdengar bergetar. Karena sekuat apa ia mencoba, perasaan itu tak bisa ia kekang begitu saja. Penyesalan dan kasih sayang. Semuanya menyeruak menghadirkan getir yang tak mampu ia singkirkan.
"Maafkan Papa, Van."
Vanny tau dirinya akan goyah sebentar lagi. Tapi, bolehkah ia bertahan sesaat untuk beberapa detik yang tak seberapa? Karena untuk berbohong pun sekarang Vanny tak mampu melakukannya. Jauh. Jauh di dalam lubuk hatinya. Ia masih ingin merasakan pelukan itu.
Lebih lama lagi. Sedikit lebih lama lagi.
"Papa sayang kamu, Van."
Cukup. Vanny tau di sanalah batas kemampuannya. Ia menarik diri dengan wajah tertunduk. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia beranjak. Kali ini benar-benar meninggalkan Bhakti seorang diri dengan air mata yang menetes di pipinya.
Secepat mungkin Vanny ke luar dari restoran. Langsung masuk ke mobil ketika Yudi membuka pintu untuknya. Dan ketika mobil itu perlahan bergerak, Vanny bisa melihatnya. Ada Bhakti yang berdiri dan menatap kepergiannya.
Yudi diam sana. Dari pantulan spion dalam ia bisa melihatnya. Bagaimana mata Vanny yang memerah dan bibirnya yang bergetar. Kedua tangannya terus mengepal dengan kuat hingga buku-bukunya menjadi putih.
Vanny mencoba untuk menahan tangisnya. Sebisa mungkin tidak membiarkan sebulir air mata pun jatuh. Dan Vanny nyaris berhasil. Nyaris. Seandainya ia tidak melihat sosok itu di lobi apartemennya.
Turun dari mobil dan langsung masuk ke apartemennya, Vanny tidak mengira bahwa ada seseorang yang menunggu kedatangannya. Seseorang yang langsung bangkit dari duduknya tatkala melihat Vanny.
Dua mata beradu. Dan pada saat itu, Vanny sudah terlalu lelah. Ia tak lagi ada tenaga. Hingga akhirnya ia menyerah.
Pundak Vanny bergetar. Dalam isakan yang mendesak. Dalam air mata yang mendobrak.
"Haris."
Haris dengan cepat menghampiri Vanny. Panik dan justru hanya bisa membeku ketika mendapati Vanny yang memeluk dirinya.
Di dada Haris, Vanny menenggelamkan wajahnya. Membiarkan deras air matanya membasahi kemeja yang Haris kenakan. Dengan tangan yang merengkuh erat, Vanny merintih dalam rasa sakit yang ia pikir telah hilang selama ini.
Tidak. Ternyata rasa sakitnya tidak pernah pergi. Rasa sakitnya masih terus ada dan tak pernah meninggalkan Vanny.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top