58. Sisi Lain Kejadian
Vanny tidak penah mengira bahwa ada hari di dalam hidupnya di mana ia akan menghubungi Bhakti dengan penuh kesadaran. Tanpa ada paksaan. Dan murni karena keinginannya sendiri.
Namun, Vanny tidak punya pilihan lain. Uang satu milyar rupiah itu bukan uang yang sedikit. Ia tidak mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu tanpa bantuan orang lain. Dan ironisnya hanya ada satu orang yang Vanny yakin bisa membantunya. Orang yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandungnya sendiri.
"V-Vanny? Kamu menghubungi Papa?"
Vanny menahan napas di dada. Suara Bhakti terdengar begitu dekat di telinganya. Menyiratkan kesan tak percaya dengan getar-getar yang tertangkap jelas oleh indra pendengaran Vanny. Berikut dengan napasnya yang turut menderu.
Entah bagaimana, tapi benak Vanny dengan cepat membayangkan wajah Bhakti saat itu. Sepertinya Bhakti terkejut, tak percaya, dan juga gugup ketika mendapati panggilan Vanny. Dan itu membuat Vanny merasa sesak di dadanya.
"K-kamu ... kamu menghubungi Papa, Van? Ya Tuhan. Akhirnya kamu menghubungi Papa juga, Van. Papa nggak menyangka kamu akan menghubungi Papa. Ada apa, Van? Kenapa kamu menghubungi Papa?"
Mengerjap sekali, Vanny merasa panas yang berbeda di matanya. Tidak ingin, tapi perkataan Bhakti menghadirkan rasa asing di dadanya. Sesuatu yang dengan cepat Vanny singkirkan.
"Pa, aku butuh bantuan Papa," jawab Vanny seraya memejamkan matanya dengan rapat.
"Bantuan? Bantuan apa, Van? Bilang sama Papa? Pasti akan Papa bantu."
Begitu cepat Bhakti membalas perkataan Vanny. Menghadirkan harapan untuk Vanny bahwa sang ayah pasti akan melakukan apa pun untuk membantunya. Hanya saja Vanny tidak mungkin membicarakan soal uang sebanyak itu melalui telepon. Berat memang, tapi pada akhirnya Vanny bertanya.
"Apa kita bisa bertemu, Pa?"
Hening sejenak. Keadaan yang sontak membuat Vanny berpikir bahwa Bhakti akan menolaknya. Seperti dulu. Ketika Bhakti tidak bisa menemaninya bermain.
"K-kamu ingin bertemu dengan Papa?"
Ada yang berbeda dari suara Bhakti. Terdengar serak dan parau. Sesuatu yang membuat Vanny membeku. Hingga nyaris sulit baginya untuk sekadar menjawab.
"I-iya."
Dan keheningan yang kembali tercipta membuat Vanny teringat getir masa lalunya. Tapi, kalau kali ini Bhakti juga tidak bisa bertemu dengannya, tak apa. Vanny sudah mempersiapkan diri.
"Kalau Papa nggak bi----"
"Kapan kamu mau kita bertemu? Hari ini? Di mana? Bilang sama Papa. Papa pasti akan datang kapan pun kamu mau."
Ada yang muncul di mata Vanny. Panas yang baru. Air mata yang baru. Dan ia buru-buru mengelapnya sebelum air mata itu berubah menjadi tangisan yang baru.
"Besok, Pa. Tapi, aku nggak tau kita harus ketemu di mana."
"Kita bisa ketemu sambil makan siang, Van. Bagaimana? Kamu bisa?"
"Bisa, Pa."
Jawaban lirih Vanny menarik perkataan Bhakti selanjutnya. Kali ini suara Bhakti terdengar penuh semangat.
"Ada restoran enak, Van. Kamu pasti suka. Besok jam sebelas Papa suruh sopir buat jemput kamu. Kita ketemu di sana ya? Gimana?"
Vanny menguatkan diri. "Iya, Pa."
Dan hingga panggilan itu berakhir, Vanny merasa dirinya benar-benar tidak berdaya. Sungguh memalukan. Pada akhirnya Vanny meminta bantuan seseorang yang selama ini selalu ia hindari. Tapi, berbanding terbalik dengan keadaan Vanny kala itu, tentulah Bhakti merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Seumur hidup sejak Bhakti meninggalkan Diah dan Vanny, tidak pernah sekalipun Vanny kembali ingin berbicara dengannya. Vanny selalu berusaha menghindarinya. Dan untuk apa yang baru saja terjadi, maka bisa dibayangkan bagaimana perasaan Bhakti kala itu. Bahagia tentu saja tidak cukup untuk menggambarkan semua yang ia rasakan sekarang.
Bhakti dengan segera menghubungi asisten pribadinya. Meminta untuk direservasikan meja eksklusif untuk makan siangnya dan Vanny besok. Dan tak hanya itu, ia pun memastikan sopir dan mobil siap untuk menjemput Vanny.
Kurang dari dua puluh empat jam lagi Bhakti akan bertemu dengan Vanny. Rasa tak sabaran itu melandanya dengan tak kira-kira.
Ketika hari telah berganti, Bhakti dengan cepat bersiap. Tanpa peduli bagaimana Widia yang sejak kemarin uring-uringan.
"Mama bener-bener sakit hati sama Sekar, Pa. Mama nggak terima dia mempermalukan Mama dan Tasya seperti ini. Papa harus samperin mereka."
Bhakti sama sekali tidak mendengarkan apa yang Widia katakan. Ia fokus pada kemeja yang ingin ia kenakan. Berulang kali melihat kemeja yang tergantung di lemari pakaiannya, ia merasa tidak memiliki kemeja yang bagus.
"Mama malu di hadapan teman-teman arisan, Pa. Apa kata mereka?"
Secercah senyum timbul di wajah Bhakti. Ia meraih kemeja bewarna merah muda. Dengan konsep lembut, warna itu tidak norak sama sekali bila dikenakan oleh pria.
Bhakti beranjak. Menuju ke cermin besar yang tersedia di ruang pakaian. Mengenakan kemejanya.
Vanny suka warna merah muda. Vanny pasti suka kemeja ini.
Bhakti lantas beranjak kembali. Kali ini memilih celana dan jas yang padu untuk kemeja yang ia kenakan. Tanpa menyadari bahwa Widia sekarang mengikuti langkah kakinya.
Mengerutkan dahi, Widia tampak bingung melihat Bhakti. Tidak biasanya suaminya itu benar-benar sibuk memilih pakaian. Tidak seperti sekarang. Di mana Bhakti berulang kali menukar dasi yang ingin ia kenakan. Dan ketika ia tuntas berpakaian, senyum terlihat mengembang di wajahnya yang mulai dimakan usia.
Rasa penasaran tumbuh di benak Widia. Ia berdiri di dekat Bhakti yang sedang berdiri di cermin. Memerhatikan penampilannya dengan amat saksama.
"Papa mau pergi? Ke mana?" tanya Widia seraya mengerutkan dahi. Ia menebak walau rasanya tebakannya akan keliru. "Mau ke rumah Arif?"
Bhakti mengangkat wajahnya. Memperbaiki simpul dasi di bawah lehernya seraya menjawab.
"Nggak. Lagi pula ngapain Papa ke rumah Arif?"
Ternyata tebakan Widia memang keliru. Walau memang ia tak yakin Bhakti berpakaian sedemikian rupa hanya demi bertamu ke rumah Arif, tapi tetap saja jawaban Bhakti membuat Widia syok.
"Apa Papa bilang?" tanya Widia. "Ngapain? Ya ampun, Pa."
Widia mendengkus tak habis pikir. Bagaimana bisa Bhakti bersikap setenang itu padahal istrinya baru saja bertengkar dengan orang lain?
"Sekar kemarin mempermalukan Mama di depan orang-orang, Pa. Harusnya Papa ke rumah mereka sekarang juga."
Kali ini Widia tidak cukup dengan hanya bicara. Ia meraih tangan suaminya. Memaksa Bhakti untuk menghiraukannya.
"Pa!" seru Widia. "Papa dengerin yang Mama omong nggak sih?!"
"Mama!"
Bhakti dengan spontan menepis tangan Widia. Ia melihat lengan jasnya. Tampak mengerut. Tanpa berpikir dua kali, Bhakti langsung melepas jasnya. Mengganti dengan jas lainnya.
"Mama bisa diam nggak? Dari tadi Mama cuma ngoceh saja. Buat Papa pusing."
Wajah Bhakti tertekuk ketika melihat penampilannya di cermin kala itu. Jas yang sekarang ia kenakan tidak sepadu jas yang tadi.
"Argh!" geram Bhakti kesal. "Lihat ini. Gara-gara Mama jas yang harus Papa pakai jadinya kusut dan jas yang satu ini tidak cocok!"
Widia menatap Bhakti. "Papa lebih peduli jas dari pada soal Mama dan Tasya?"
Bhakti tidak menjawab pertanyaan Widia. Alih-alih ia menuju ke telepon yang tersemat di dinding. Menghubungi kepala pelayan rumahnya.
"Ke kamar sekarang. Setrika jas. Cepat."
Tak butuh waktu lama, seorang kepala pelayan masuk ke ruang pakaian tersebut. Dengan sigap meraih jas yang Bhakti maksud. Menyetrikanya di tempat lain.
"Mama benar-benar nggak ngira kalau jas lebih penting bagi Papa ketimbang Mama dan Tasya."
Ya Tuhan.
Bhakti memejamkan mata seraya membuang napas panjang. Kedua tangannya berkacak di pinggang. Dan ketika matanya membuka, ia memijat sekilas pelipis kanannya.
"Papa sudah bilang, Ma. Kita nggak ada urusan apa-apa lagi dengan keluarga Arif. Haris nggak suka sama Tasya. Masa mau dipaksa?"
"Papa!"
Widia histeris. Dari awal ia mencoba bersabar. Tapi, kali ini tidak ada lagi kesabaran yang bisa ia pertahankan.
"Papa tega ngomong gitu? Tasya itu anak Papa. Harusnya Papa berusaha melakukan apa pun agar Tasya bahagia."
"Sudahlah, Ma," ujar Bhakti seraya menggeleng. "Lebih baik kita sudahi masalah ini. Kita nggak perlu melakukan apa-apa lagi. Haris nggak suka sama Tasya."
"Bisa-bisanya Papa ngomong begitu? Nggak perlu melakukan apa-apa lagi?" tanya Widia dengan sinis. "Apa ini karena Tasya makanya Papa nggak peduli?"
Wajah Widia terlihat mengeras. Sudah letih rasanya ia mendesak sang suami untuk mengurus perjodohan Haris dan Tasya. Dan bagi Widia terlihat aneh ketika seorang ayah tampak biasa-biasa saja menghadapi situasi seperti itu.
"Kalau ini perjodohan Vanny ..."
Bhakti menegang ketika Widia membawa nama Vanny. Menatap sang istri dan mendapati sorot mata Widia yang berubah benci ketika menyebut nama itu.
"... pasti Papa akan melakukan semuanya kan?"
Pundak Widia naik turun. Setelah tuntas pertanyaan itu meluncur dari mulutnya, napasnya pun menggebu.
"Iya kan?!"
Tubuh Bhakti terasa dingin. Dan untuk pertanyaan itu ia menjawab dengan suara bergetar.
"Kalau itu Vanny," ujar Bhakti seraya meneguk getir hadir di pangkal tenggorokannya. "Papa nggak akan pernah menjodohkannya dengan siapa pun. Papa lebih tau dari siapa pun kalau nggak semua orang bisa menerima perjodohan."
Widia membeku. "Papa."
"Dan karena Tasya juga anak Papa, makanya Papa nggak mau dia salah memilih pasangan. Haris itu nggak cinta sama Tasya. Apa jadinya pernikahan tanpa cinta?" tanya Bhakti tanpa menunggu jawaban Widia. "Tasya nggak akan bahagia hidup dengan orang yang nggak mencintai dia."
Sekuat tenaga, Widia mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ia berusaha untuk tetap bernapas ketika Bhakti melayangkan pertanyaan padanya.
"Kenapa Mama nggak mau melihat kenyataan?"
Sekilas memejamkan mata, Widia mencoba untuk tetap berdiri dengan kuat. Karena ketika matanya kembali terbuka, ia menatap Bhakti dengan sorot tak percaya.
Widia tidak akan salah menebak bukan bila yang Bhakti singgung saat itu bukan tentang Tasya? Alih-alih tentang kehidupan pernikahannya dan Bhakti?
Sakit timbul. Menyeruak di dada Widia. Dan tubuhnya bergetar parah kala itu. Nyaris tak mampu untuk kembali bicara.
"Papa mau bilang kalau selama ini Mama nggak bahagia karena Papa nggak cinta sama Mama?" tanya Widia dengan luka yang memancar di matanya. "Iya?"
Namun, Widia tidak mendapatkan jawaban apa pun untuk pertanyaan itu. Bhakti bergeming. Bahkan terlihat memindahkan fokus matanya. Dan itu membuat Widia kian histeris.
"Jawab, Pa! Apa selama ini Papa cinta Mama?"
Bhakti menyerah. Ia menatap Widia. Tapi, ia tidak memberikan jawaban pasti. Alih-alih ia justru balik bertanya.
"Apa Mama bahagia dengan pernikahan ini?"
Widia syok. Lututnya goyah. Dan dengan cepat ia berpegang pada dinding. Di waktu yang bersamaan, kepala pelayan mereka datang. Mengantarkan jas Bhakti.
Bhakti mengenakan jasnya dengan cepat. Memastikan penampilannya sudah rapi. Lantas, acuh tak acuh ia berkata seraya berlalu.
"Sudah. Papa mau pergi. Papa ada janji penting siang ini."
Tak memedulikan Widia yang kemudian jatuh merosot di lantai, Bhakti benar-benar pergi. Dengan langkah yang terburu-buru menuju mobil di mana Tono sudah menunggunya.
Tono bisa melihat cerah di wajah tuannya itu. Dengan sigap membuka pintu dan mempersilakan Bhakti untuk duduk di kursi penumpang. Dan ketika ia sudah berada di balik kemudi, menjalankan mobil, ia mendapati Bhakti yang menghubungi seseorang.
"Halo, Pak."
Ketika panggilannya diangkat, Bhakti dengan cepat bertanya. "Yudi, kamu sudah jemput Vanny?"
"Ini sudah hampir sampai, Pak."
Bhakti mengangguk. "Bagus. Hati-hati di jalan."
"Baik, Pak."
Ketika panggilan itu berakhir, senyum dengan cepat mengembang di wajah Bhakti. Dan itu tidak luput dari perhatian Tono. Sang sopir jelas tau ke mana tuannya akan pergi siang itu. Demi menemui seseorang yang amat ia sayangi selama ini.
Sementara itu, Yudi yang ditugaskan oleh Bhakti untuk menjemput Vanny sudah tiba di apartemen. Dengan mobil hitam mengilap, Yudi tampak rapi dalam balutan setelan hitamnya. Ia turun dari mobil. Menyambut kedatangan Vanny.
"Selamat siang, Non Vanny."
Vanny tersentak kaget. Ketika ia baru selangkah keluar dari pintu gedung apartemen, seorang sopir berpakaian rapi sudah menunggu kedatangannya. Vanny tersenyum dan Yudi mempersilakannya.
"Mari, Non."
Tak hanya membuka pintu mobil untuk Vanny, Yudi pun memastikan menjaga kepala Vanny.
"Terima kasih."
Yudi mengangguk dan menutup pintu mobil. Dengan sigap memutari badan mobil dan masuk pula. Melajukan mobil itu dalam hitungan detik yang singkat. Tanpa menyadari bahwa terpisah tiga mobil di belakang, ada seseorang yang tampak mengerutkan dahinya.
"Loh? Itu Vanny kan?"
Adalah Haris orangnya. Yang ketika ia merasa tidak mampu bertahan tanpa ada kabar dari Vanny memutuskan untuk datang ke apartemen cewek itu. Ia tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi pada Vanny. Tapi, apa yang ia lihat kala itu membuat Haris sontak bertanya-tanya. Tepat ketika mobil mewah itu bergerak dan meninggalkan area apartemen.
"Dia mau ke mana?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top