57. Pertengkaran Tanpa Kesalahan
"Vanny, kamu nggak apa-apa kan? Maafin Mama, Van."
Setelah kepergian Widia dan Tasya, Sekar dengan serta merta mengahmpiri Vanny. Ia tampak pucat. Gemetaran tubuhnya. Dan di pelupuk matanya menggenang buliran-buliran bening air mata.
"Maafin Mama, Van."
Sekar merasa bersalah. Ia meraih tangan Vanny dan merasakan dingin kulitnya. Menghadirkan penyesalan yang bertumpuk di dada Sekar. Seandainya saja ia tidak mengajak Vanny, tentulah kejadian itu bisa dihindari.
*
Haris segera melajukan mobilnya setelah mendapat telepon dari Sekar. Sang ibu menceritakan dengan cepat apa yang terjadi dan ia tidak berpikir dua kali untuk langsung menuju ke apartemen Sekar.
Tentunya setelah kejadian itu, Sekar tidak yakin tetap bertahan di rumah Reny. Pada akhirnya sang tuan rumah pun maklum. Memang lebih baik Sekar dan Vanny pulang. Terlebih lagi dengan keadaan Vanny yang tampak syok.
Seumur hidup, Vanny tidak pernah berpikir akan mengalami kejadian memalukan seperti itu. Dituding sebagai perebut di hadapan semua orang.
Malu? Bukan hanya itu. Alih-alih Vanny merasa sedang ditampar oleh masa lalu.
Vanny memang masih kecil kala itu. Masih berusia empat tahun. Ia tidak ingat apa-apa tentang kejadian yang menimpa Diah. Tapi, entah mengapa sekarang Vanny merasa seperti bisa mengingatnya. Tidak berbeda jauh dengan yang Widia lakukan padanya tadi.
"Vanny."
Mata Vanny mengerjap. Haris muncul di hadapannya dengan wajah panik. Dan kepanikan Haris semakin menjadi-jadi ketika mendapati Vanny yang terlihat tanpa ekspresi. Terlihat datar.
"Haris."
Kedua tangan Haris menangkup pipi Vanny. Merasakan dingin yang masih menjalar di sana. Haris tertegun. Merasa bersalah pula pada Vanny.
"Kamu nggak apa-apa?"
Vanny menggeleng samar. Sekali. Tapi, Haris tau yang sebenarnya terjadi. Tentu saja Vanny tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Tidak pernah sebelumnya Haris melihat Vanny seperti saat ini. Ia terlihat linglung. Seolah hilang kewarasannya.
"Maafkan aku, Van."
Untuk hal itu Vanny tidak memberikan reaksinya sama sekali. Ia kembali diam. Menundukkan wajah. Hingga kemudian Sekar datang dengan membawa secangkir teh hangat untuk Vanny.
"Minum dulu, Van."
Sekar membantu Vanny untuk membasahi tenggorokannya dengan air teh. Pada saat itu Haris melihat pada ibunya.
"Mama nggak apa-apa kan?" tanya Haris. "Nggak ribut beneran kan?"
Sekar membuang napas panjang seraya menaruh kembali cangkir teh ke atas meja. Bibirnya tampak manyun. Menyiratkan kekesalan lantaran teringat lagi dengan kejadian tadi.
"Mama sih nggak apa-apa. Tapi, tadi kalau nggak dilerai sama yang lain, pasti Widia udah jambak-jambak rambut Mama."
Sekar tidak akan lupa bagaimana Widia tadi yang benar-benar mengajaknya beradu fisik. Bahkan ia yakin dirinya akan terjungkang di atas lantai bila tubuhnya tidak ditahan ketika Widia mendorongnya.
"Dia benar-benar keterlaluan."
Haris beringsut mendekat ibunya. Merengkuhnya ketika mendapati manik mata Sekar berlinang air mata.
"Pokoknya, Ris. Mama nggak mau sampe besanan sama Widia. Nggak. Pokoknya nggak mau."
Tangan Haris mengusap-usap lengan atas Sekar berulang kali. Ia mengangguk.
"Ya pasti dong, Ma," ujar Haris menenangkan ibunya. "Nggak bakal juga aku mau nikah sama Tasya. Kan aku maunya nikah sama Vanny."
Mungkin Haris bermaksud untuk menenangkan Sekar. Tapi, tanpa ia sadari ada seseorang yang justru menjadi tidak tenang dengan perkataan Haris barusan.
Itu adalah Vanny. Yang merasa jantungnya seakan berhenti berdetak ketika mendengar perkataan Haris. Wajahnya yang sempat tertunduk refleks terangkat. Menatap Haris dengan sorot takut.
"Ris."
Suara yang bergetar itu membuat Haris dan Sekar sama-sama melihat padanya.
"Apa?"
Menahan napas sejenak, ada perih yang memancar dari mata Vanny. Hal yang tentu saja membuat tubuh Haris menegang seketika. Tidak ingin mengakui, tapi ia merasakan ketakutan yang dengan cepat hadir dan menguasai dirinya.
Namun, seharusnya Haris tau bahwa bukan dirinya yang benar-benar ketakutan saat ini. Alih-alih adalah Vanny yang merasakan lebih dari yang Haris rasakan. Lantaran ketika hubungannya dan Haris masih berada dalam warna abu-abu saja Vanny sudah mendapati tudingan tersebut. Apalagi bila semua menjadi jelas dan ada ikatan yang menyatukan keduanya?
Vanny meneguk ludah. Tidak. Ia tidak ingin menjejakkan kaki ke dalam lubang yang sama. Lubang yang pernah mengubur kehidupan Diah.
Dan pada akhirnya ketakutan Haris terbukti. Dengan didahului gelengan kepala, Vanny berkata dengan suara lemah.
"Aku nggak mau, Ris."
Kali ini wajah Haris yang berubah pucat. Tidak. Ia tidak ingin mendengar hal buruk itu diucapkan oleh Vanny. Tapi, layaknya keinginan yang memang tidak selalu dikabulkan oleh Tuhan, Haris pun menghadapinya sekarang.
"Aku nggak mau kita nikah, Ris."
Ketakutan Haris terbukti. Dan bukan hanya sekali Vanny katakan. Ia pun menekan perkataan itu untuk yang kedua kali.
"Pokoknya aku nggak mau kita nikah."
Menuntaskan semuanya, Vanny lantas bangkit dari duduknya. Berniat untuk langsung pergi dari sana, tapi Haris dengan cepat bertindak. Meraih tangan Vanny dan menahannya.
Vanny meronta. "Lepasin aku, Ris."
"Nggak," tegas Haris. "Baik tangan atau kamu, dua-duanya nggak bakal aku lepasin."
Namun, Vanny tidak menyerah. Masih terus meronta demi melepaskan tangannya. Sementara Haris pun tetap bersikeras dengan keinginannya. Dan di antara mereka berdua, ada Sekar yang bingung dan bercampur panik.
"Ris," ujar Sekar seraya bangkit dan menghampiri sang putra. Tapi, wajah keras Haris membuat ia pada akhirnya beralih pada Vanny. "Van."
Ironisnya sepasang anak manusia itu tidak ada yang mengindahkan Sekar. Dengan mata yang saling menatap dengan sorot yang berbeda, baik Vanny atau pun Haris terlihat sama-sama tidak ingin mengalah.
"Udahlah, Ris. Kita berenti sampai di sini aja," pinta Vanny dengan suara lirih. "Kamu pantasnya sama cewek yang sederajat dengan kamu. Bukan dengan aku."
Haris menggeleng. Tidak menerima keputusan Vanny.
"Sekali aku bilang nggak, itu artinya tetap nggak, Van."
Vanny meringis. Menatap Haris dengan sorot tak berdaya. "Kamu nggak tau , Ris, rasanya gimana. Kamu nggak lihat gimana aku dipermalukan di depan orang-orang. Aku dibilang merebut kamu."
"Kamu nggak merebut aku dari siapa pun, Van. Ya Tuhan. Aku minta maaf. Tapi, please, Van. Aku mohon sama kamu."
"Aku yang mohon sama kamu, Ris," geleng Vanny kemudian. "Please, tinggalkan aku."
"Nggak."
Tentu saja Haris tidak akan menuruti permintaan Vanny. Sungguh, Haris tau apa ketakutan Vanny. Ia pun tidak akan menyalahkan keinginan Vanny untuk menjauhinya. Tapi, bukan berarti Haris akan melakukannya.
"Kamu egois, Ris. Kamu pentingin kemauan kamu sendiri."
"Bukan, Van. Ini demi kita berdua."
"Nggak!"
Dan Vanny yang sudah terdesak akal sehatnya, menyentak tangannya sekali. Membuatnya terbebas dari genggaman Haris. Ia segera berlari. Menuju ke kamar dan ketika Haris ingin menyusul, Sekar mencegahnya.
"Ma."
Sekar menggeleng. Berusaha menahan Haris sebisa yang ia lakukan.
"Biarin Vanny sendiri dulu. Dia saat ini pasti lagi kalut. Dia nggak bisa mikir dengan tenang dan jernih. Dan kalau kamu mendesak dia sekarang, situasinya pasti tambah pelik, Ris."
"Tapi----"
"Biar Vanny istirahat dulu," potong Sekar cepat. "Dia capek. Dan saat capek, emosi bakal mudah meledak, Ris."
Sekar tau Haris tetap ingin menemui Vanny, tapi ia sebisa mungkin menghalangi keinginan putranya. Karena ia tidak ingin Haris dan Vanny kembali beradu kehendak.
Tidak seharusnya Vanny dan Haris bertengkar. Tapi, Sekar mungkin bisa sedikit meraba apa yang Vanny rasakan tadi. Ia tentu saja malu, takut, dan akhirnya merasa tidak pantas. Dan ribut dengan Haris tidak akan membantu semuanya. Malah sebaliknya. Akan memperparah keadaan.
"Mama yakin. Kalau Vanny udah istirahat, pikirannya pasti bakal lebih jernih lagi. Kita tunggui aja sampe Vanny lebih tenang, Ris."
Haris menatap pada ibunya sejenak. Lalu melemparkan pandangannya ke arah kamar Vanny.
"Sampai kapan aku harus nunggu?" tanya Haris tak berdaya. "Aku udah nunggu lama buat ketemu dia lagi, Ma. Aku udah nunggu lama."
Sekar merasa tak berdaya. Ia jelas tau bagaimana sifat putranya itu. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada selain mencoba untuk menyabarkan Haris sebisa mungkin. Dan untuk pertanyaan Haris yang satu itu, ia pun tidak bisa menjanjikan apa-apa.
Sekar menolak untuk menjawab. Tidak ingin memberikan harapan pada Haris untuk sesuatu yang tidak ia ketahui apa jawabannya.
"Mama ke kamar Vanny dulu," ujar Sekar sesaat kemudian seraya menarik udara. "Pamitan dan kita pulang."
Sekar meninggalkan Haris yang bergeming di tempatnya berdiri. Menuju ke kamar Vanny dan mengetuk.
"Vanny."
Tidak ada satu jawaban pun yang Sekar dapatkan. Maka Sekar tidak ada pilihan lain selain bicara dari luar.
"Van," panggil Sekar lagi. "Sekali lagi Mama minta maaf untuk kejadian hari ini. Mama nggak ngira kalau akan seperti ini. Maafkan Mama dan ini nggak ada hubungannya dengan Haris."
Sekar memang hanya menjadi penonton untuk pertengkaran Vanny dan Haris tadi. Tidak terlibat secara langsung. Tapi, ia bisa merasakan pergolakan di antara mereka.
"Kamu istirahat ya, Van. Kalau butuh apa-apa, kamu langsung hubungi Mama ya?"
Masih sama. Tidak ada jawaban yang Sekar dapatkan.
"Mama dan Haris pulang dulu, Van."
Sekar membuang napas panjang dan lantas berlalu dari sana. Mengajak Haris pulang walau jelas sekali cowok itu enggan. Tapi, Sekar terus meyakinkan Haris. Bahwa saat itu yang Vanny butuhkan adalah waktu untuk sendiri.
Karena dengan sendiri, Vanny bisa dengan lebih lapang meluapkan semua air mata yang mendesak dirinya sedari tadi. Bentuk kesedihan yang ia coba tahan ketika ada Sekar dan Haris bersamanya. Dan ketika ia menyadari tak ada lagi mereka di sana, Vanny pun terisak.
"Memang seharusnya aku nggak pernah bertemu lagi dengan Haris. Seharusnya aku jangan lagi berhubungan dengan Haris."
Karena kalau Vanny tidak bertemu lagi dengan Haris, maka tentu saja kejadian tadi tidak akan terjadi. Ia tidak perlu bertemu dengan Sekar. Ia tidak perlu menghadiri acara arisan. Dan ia tidak akan dipermalukan di depan orang-orang.
"Aku dan Haris nggak mungkin bisa bersama," ujar Vanny pada dirinya sendiri di dalam deraian air mata yang makin menderas. "Aku harus mengakhiri semuanya secepat mungkin."
Hanya satu jalan bagi Vanny untuk lepas dari semua itu. Yaitu ia harus pergi dari kehidupan Haris.
Namun, ada ikatan pekerjaan yang membuat Vanny tidak bisa berkutik. Ada nilai rupiah yang membuat Vanny tidak bisa berbuat apa-apa. Dan semua itu tidak memberikan Vanny pilihan lain, selain meraih ponselnya.
Vanny menatap satu kontak di layar ponselnya. Menarik napas dalam-dalam, ia memejamkan mata. Ia tidak ingin melakukan itu. Ia tidak ingin menghubungi seseorang yang sangat ia benci. Tapi, Vanny tidak punya pilihan lain.
Maka dari itu Vanny pun mengenyahkan harga diri yang selama ini ia pertahankan mati-matian. Ia menghubungi nomor tersebut. Dan hanya butuh satu detik panggilan tersambung. Lalu suara berat itu terdengar di telinga Vanny.
"Vanny."
Vanny meremas bantal di pangkuannya. Menguatkan hati. Memaksa mulutnya untuk bicara.
"Papa."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top