56. Bukan Arisan Biasa
"Aduh, maaf ya Jeng-Jeng semua. Kita di sini mau arisan. Mau ngocok nama. Bukan mau berantem."
Acara arisan yang harusnya diwarnai oleh suka cita ibu-ibu, harus ternoda. Tepat ketika Widia yang mendapati Sekar membawa cewek lain sebagai temannya datang kala itu. Seorang cewek yang tidak ada ikatan darah keluarga dengan Sekar. Yang lantas tentu saja membuat Widia berada pada satu kesimpulan.
Pasti itu cewek yang membuat mereka membatalkan perjodohan Haris dan Tasya. Nggak bakal aku maafkan.
Maka tentu saja Widia mengabaikan Reny selaku tuan rumah yang berusaha mendamaikan keributan kala itu. Seolah tak peduli ketika Reny dengan terang-terangan menarik dirinya.
"Jeng, kalau mau buat kekacauan jangan di acara arisan aku ya. Ini rumah aku bukan tempat gulat."
Widia menggeliat. Berusaha melepaskan tangannya dari Reny. Dan itu membuat Reny sempat berpikir untuk memanggil satpam rumahnya. Tapi, astaga. Reny yakin masalah akan melebar ke mana-mana kalau sampai satpam turun tangan.
"Lepasin aku ya, Jeng. Ini urusan aku sama Sekar."
Reny berpaling pada Sekar. Wanita paruh baya itu tampak mempertahankan dan melindungi Vanny di belakangnya. Karena terang saja apa yang Widia lakukan telah membuat cewek itu ketakutan.
"Urusan kita udah kelas, Wid. Kami kan sudah bahas soal ini ke kamu," ujar Sekar tak ingin kalah. "Dan suami kamu juga udah legowo nerima keputusan ini."
"Yang pasti bukan aku yang legowo."
Sekar melotot. "Nggak patuh sama suami kan? Pantas aja cepat tua."
"Kamu!!!"
Widia menggeram dengan tangan yang terangkat. Mengincar pada rambut Sekar, tapi dengan sigap Reny menengahinya.
"Jeng, yang dibilang Jeng Sekar emang benar loh. Kalau istri nggak patuh sama suami selama suaminya bener, itu bisa buat aura kecantikan kita menghilang. Dan yang pastinya marah-marah begini buat keriput nambah banyak. Makanya jadi lebih cepat tua."
"Lepasin!"
Widia membanting tangan Reny untuk lepas dari tangannya. Meninggalkan Sekar sejenak, ia beralih pada Reny. Melotot dan menuding.
"Jangan ikut campur urusan aku ya, Jeng. Ini urusan aku dan Sekar. Sama sekali bukan urusan Jeng."
Reny terkekeh dengan peruh irama. Kedua tangannya berkacak di pinggang. Dan matanya tampak memindai Widia dari atas hingga bawah.
"Bukan urusan aku?" tanya Reny dengan nada mencemooh. "Jeng pikir Jeng lagi buat kekacauan di rumah siapa?!"
Melayangkan pertanyaannya dengan sedikit sentuhan jeritan, beberapa orang di sana terpaksa menutup telinga mereka. Pun mata mereka memejam. Seolah tidak ingin melihat kemarahan Reny.
"Ini rumah aku. Aku yang punya aturan di sini. Sembarangan ngomong nggak ada urusan sama aku?!"
Astaga. Sekar meneguk ludah. Sungguh tidak mengira kalau urusan dengan Widia akan melibatkan Reny.
"Jadi ..."
Reny membuang napas dengan perlahan. Berusaha untuk mengendalikan diri. Karena astaga. Mereka seharusnya bersuka cita di acara arisan itu. Bukannya malah adu mulut seperti ini. Maka wajar saja rasanya bila Reny menjadi marah.
"... aku bilangin sama Jeng. Kalau masih ikut arisan, lebih baik hentikan semuanya saat ini juga."
Widia membalas Reny. Sedikit pun tampak tidak gentar. "Ini urusan aku dengan Sekar. Jadi jangan campuri urusan kami."
Reny pikir Widia memang tidak bisa mencerna kata-kata yang ia ucapkan. Sampai membuat ia bertanya-tanya bagaimana bisa ada manusia yang tidak bisa berpikir seperti Widia. Tapi, ketika Reny akan kembali bertindak, ia mendapati Sekar yang menahan tangannya. Memberikan isyarat bahwa ia akan menyelesaikan kekacauan tersebut.
"Wid," ujar Sekar. "Ini benar-benar kelihatan nggak bagus kalau kita membahas soal Haris dan Tasya di sini. Apa kamu nggak malu? Karena nyatanya semua urusan di antara kita sudah selesai."
"Selesai?" tanya Widia seraya mendengkus. Ia tampak geleng-geleng kepala. "Bener-bener, Sekar. Aku nggak ngira kamu kayak gini. Kamu tega mencampakkan anak aku demi cewek kayak gini?"
Beberapa orang ibu di sana perlahan beringsut. Sebagian ada yang merasa tidak nyaman ketika menyadari pertengkaran antara Sekar dan Widia itu tergolong ke dalam urusan pribadi. Tapi, sebagian lainnya justru bertahan. Bukannya apa. Hanya saja mereka jaga-jaga. Antisipasi agar tidak ada kekerasan fisik.
"Ya ampun, Wid. Aku bukannya mencampakkan Tasya. Toh kita baru membahas rencana perjodohan. Anak kita belum benar-benar dijodohkan loh."
Rasanya melelahkan untuk Sekar mengatakan hal yang serupa untuk berulang kali dengan harapan Widia akan mengerti. Tapi, alih-alih mengerti, Widia justru makin keras hati.
"Terserah apa yang kamu bilang. Intinya tetap sama. Kamu menyia-nyiakan anak aku demi cewek lain."
Menuding Sekar, jari telunjuk Widia benar-benar terarah pada Sekar. Tindakan yang jelas sekali tidak sopan untuk dilakukan oleh wanita dari kalangan seperti mereka.
"Dan tadi apa kamu bilang, Sya?" tanya Widia seraya melihat pada putrinya sekilas. "Ini sekretaris Haris?"
Tasya mencoba untuk melihat Vanny. Tapi, sejak kemarahan Widia tadi, Sekar dengan cepat memasang badan untuk cewek itu. Menghalangi pandangan Tasya dan Widia untuk melihat padanya.
Namun, tadi Tasya sudah sempat melihatnya. Bahkan ia dan Vanny bertatapan untuk beberapa detik lamanya. Dan Tasysa berani bersumpah. Ia tidak akan salah mengenali orang.
"Iya, Ma," angguk Tasya yakin. "Dia sekretaris Haris."
Tidak ada bantahan dari Sekar adalah bukti valid untuk kebenaran yang Tasya katakan. Widia mendengkus dengan mimik merendahkan.
"Oh! Pantas. Pasti kamu sering merayu Haris ya di kantor."
Tuduhan itu jelas merupakan sebuah tamparan untuk Vanny. Di belakang Sekar, cewek itu sudah gemetaran. Takut dengan bayangan mengerikan yang sudah memenuhi kepalanya.
M-Mama.
Wajah sang ibu melintas di benak Vanny. Menghadirkan gemetar yang dengan serta merta menjalari tubuhnya. Vanny ingin pergi. Melarikan diri dari kekacauan itu. Dengan pembelaan diri yang tak mampu ia suarakan. Lantaran getir dengan cepat menyumbat pangkal tenggorokannya.
A-aku nggak pernah merayu Haris. Aku nggak merebut Haris dari siapa pun.
Namun, ketika Vanny akan beranjak dari sana, Sekar mempertahankannya. Tangannya dengan kuat menahan Vanny di belakang tubuhnya.
"Ayo, ngaku kamu. Ck. Mana sih tampang cewek yang berhasil membuat Haris berpaling dari Tasya?"
Sekar menghalangi Widia. Dan kala itu Reny sudah tidak peduli kalau nanti keributan itu semakin melebar ke mana-mana. Reny akan segera memanggil satpam.
"Secantik mana?" tanya Widia lagi dengan nada mengejek. "Aku mau lihat wajahnya."
Berusaha untuk menyingkirkan Sekar dari hadapannya, Widia mendorong tubuh ibu Haris tersebut. Sekar sontak kaget. Tidak mengira kalau Widia benar-benar akan melakukan tindakan fisik seperti itu.
"Wid!" seru Sekar tidak ingin mengalah. "Kamu jangan macam-macam ya. Kamu jangan kurang ajar."
Widia tidak peduli. Pun ketika Reny sudah menjerit memanggil satpam, ia tetap tidak peduli.
"Biarin! Lepasin aku. Aku mau lihat wajah cewek yang sudah buat Tasya sedih."
Kali ini Widia benar-benar tidak bisa dihalangi lagi. Rasa marah dan malu yang sudah bercampur menjadi satu membuat tenaganya menjadi tak terkendali. Ia mendorong Sekar.
"Ah!"
Beruntung seorang temannya berhasil mencegah Sekar untuk jatuh ke lantai. Sekar buru-buru bangkit dengan tegak lagi. Kali ini pun kesabarannya sudah habis. Ia tidak akan tinggal diam lagi.
Namun, ketika Sekar akan membalas Widia, ia justru kebingungan saat mendapati Widia yang tertegun. Tidak bergerak ketika mendapati Vanny berdiri tepat di hadapannya.
Mata Widia membesar. Tangannya yang semula naik dalam tujuan ingin menghajar Vanny, sontak tampak bergetar. Dan tak lama kemudian tangan itu perlahan turun.
Sekar dan semua yang ada di sana sama-sama mengerutkan dahi. Bingung dengan sikap Widia yang berubah dalam hitungan detik yang amat singkat. Tidak meneruskan kemarahannya, yang terjadi sekarang adalah Widia yang tampak kaku sekujur tubuh.
"Ma?"
Tasya menghampiri Widia. Sama dengan mereka yang keheranan dengan sikap Widia yang tiba-tiba berubah, begitu pula dengan Tasya. Ia meraih tangan Widia. Menggoyangnya sekali.
"Mama?"
Namun, Widia benar-benar bergeming. Matanya tak berkedip sekali pun ketika mendapati Vanny yang menatap takut pada dirinya. Dan sejurus kemudian Vanny menggeleng.
"Maaf, Tante," ujar Vanny dengan suara bergetar. "Tapi, aku nggak ada merayu Haris sedikit pun."
Kembali berusaha meyakinkan Widia, berulang kali Vanny mengatakan hal yang serupa. Tapi, apa yang Vanny katakan seperti tidak berhasil menjamah indra pendengaran Widia. Layaknya Vanny yang tidak mengatakan apa-apa, Widia tetap bergeming di tempatnya berdiri.
"Ma?"
Tasya kembali menggoyang tangan ibunya. Sungguh tidak mengerti mengapa ibunya menjadi diam seperti itu. Dengan ekspresi yang tercetak di wajahnya, mungkin orang-orang akan mengira bahwa saat itu Widia sedang melihat hantu di siang bolong.
"Mama kenapa diam saja?" tanya Tasya lagi. Ia melihat sekeliling dan merasa malu juga dengan sikap Widia kala itu. "Ma!"
Sedikit menaikkan suaranya, pada akhirnya Tasya berhaasil membuat Widia tersentak. Ia mengerjap berulang kali. Berpaling pada sang putri dan menggeleng.
"N-nggak apa-apa, Sya."
Tasya melirik Vanny dengan tatapan sinis. Dia menunjuk Vanny dengan mimik merendahkan.
"Ini dia sekretaris Haris, Ma. Pasti dia yang merebut Haris dari aku."
Namun, tidak ada suara Widia yang terdengar menimpali perkataan Tasya. Hingga membuat orang-orang di sana kebingungan. Terlebih lagi Vanny yang sebenarnya sudah mempersiapkan diri.
Tidak bisa tidak. Memang ada yang berbeda dari Widia kala itu. Yang membuat Tasya dengan segera meneliti keadaan sang ibu.
"Ma."
Mengguncang tangan Widia untuk beberapa saat, mata Tasya lantas membesar.
"Mama kelihatan pucat. Mama sakit?" tanya Tasya khawatir.
Pada saat itu, seorang satpam datang. Menghampiri Reny dan bersiap untuk melaksanakan tugas dari nyonya rumahnya. Tapi, ketika mendapati Widia yang terlihat pucat dan gamang, Reny jadi mengurungkan niatnya untuk menyuruh satpam membawa Widia keluar dari rumahnya.
"Eh, bener, Jeng. Kamu demam?" tanya Reny melihat keadaan Widia. "Kalau demam harusnya aku bukan manggil satpam. Tapi, manggil dokter. Ehm ... mau aku panggilkan dokter?"
Widia terlihat seperti sulit bernapas. Meneguk ludah. Menggeleng dengan gamang.
"Nggak," tolak Widia dengan suara samar dan bergetar. "Aku mau pulang saja."
"Loh, Jeng. Kok----"
Namun, Widia tidak mengatakan apa-apa lagi. Selain langsung memutar tubuh. Tidak memedulikan orang-orang di sana, ia berjalan seraya menarik Tasya untuk ikut serta dengannya.
"Tuh kan. Nggak percaya sih dibilangin. Udah dikasih tau marah-marah bisa bikin cepat tua, tapi nggak percaya. Kan ini buktinya? Udah langsung demam aja."
Widia berjalan seperti orang linglung. Tatapan matanya seperti kosong. Hingga ketika mereka telah berada di dalam mobil yang melaju di jalanan, Widia benar-benar seperti orang yang hilang kewarasannya. Ia diam. Tidak mengatakan apa pun. Satu patah kata pun.
Dan itu terang saja membuat Tasya tidak habis pikir. Mengapa ibunya malah mengajaknya pulang? Sementara di awal Widia tampak amat menggebu ingin menghajar Vanny.
"Ma? Kenapa kita pulang?" tanya Tasya tidak terima. "Mama harusnya ngasih cewek itu pelajaran. Dia udah rebut Haris dari aku."
Widia bergeming. Tetap diam.
"Ma!" jerit Tasya. "Mama dengerin apa yang aku bilang nggak sih?"
Namun, lagi-lagi Widia mengabaikan Tasya. Hingga membuat cewek itu pun lepas kendali.
"Mama!"
Jeritan Tasya terdengar amat nyaring. Tapi, kali ini jeritan Tasya mendapatkan balasan Widia. Berupa bentakan yang membuat ia terhenyak.
"Sya! Diam!"
Bola mata Tasya membesar. Tidak percaya dengan apa yang ia alami barusan. Widia yang selalu memanjakannya justru membentaknya?
"Mama ...."
Widia abaikan keterkejutan dan syok yang Tasya alami karena dirinya. Dan ia kembali diam. Dengan gemetar dan pucat yang terus mengintimidasi dirinya dalam bentuk dua pertanyaan.
S-siapa dia? Kenapa wajah dia mirip ... Diah?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top