54. Sekali Bohong, Dua Nyawa Terselamatkan
"Van? Kamu nggak makan? Itu paha ayam kalau bukan karena udah digeprek, udah pasti lari-lari dari tadi. Kelamaan kamu anggurin sih."
Vanny terkekeh kaku. Melihat pada piringnya yang nyaris bisa dibilang tidak benar-benar ia sentuh. Dan sindiran Esti benar-benar tepat sasaran.
"Atau kalau kamu nggak mau makan," ujar Esti seraya melirik piring Vanny. "Aku terima sedekah kok."
Karena Esti begitu kelaparan. Dan itu bukan hal yang aneh. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Untuk mereka yang pernah menghadapi masa-masa kritis seperti yang Esti alami tadi pasti mengerti. Berbohong demi hidup mati benar-benar menguras energi.
"S-sebenarnya aku tadi memang sudah makan sih."
Vanny menyodorkan piringnya pada Esti. Bukan kebohongan, tapi yang Vanny katakan memang jujur. Toh tadi ia memang sudah makan malam. Tepatnya dengan Sekar.
"Jadi udah kenyang juga. Kalau kamu mau ... abisin aja."
Secepat kilat Esti menyambut piring itu. Menerimanya dengan suka cita. Tanpa basa-basi ia pun langsung melahapnya. Tanpa peduli bahwa berkat kebohongan yang sudah ia dan Haris lakukan, Vanny menjadi tidak tenang sekarang.
H-Haris udah beli gaun pengantin? Buat aku?
Ya Tuhan. Sekarang Vanny yakin bahwa keputusannya untuk bertemu dengan Esti malam itu adalah keputusan yang buruk. Dari yang niatnya ingin menuntaskan rasa penasaran soal pembicaraan Esti dan Haris, eh ... yang terjadi justru ia semakin dibuat penasaran soal gaun pengantin.
"Argh!"
Di kamar, mencoba tidur dari sejam yang lalu, Vanny makin frustrasi. Bayangan Haris dan gaun pengantin berputar-putar di benaknya.
"Aku mau tidur. Aku udah ngantuk. Besok aku harus kerja."
Mengganti posisi tidur, mengatur laju pernapasan, hingga memutar instrumen musik, semuanya sudah Vanny lakukan. Tapi, semua itu tidak berhasil membuatnya tidur. Yang terjadi malah sebaliknya. Pikirannya semakin aktif bekerja dengan bayangan kemungkinan yang tidak mampu ia bendung.
Vanny dan Haris dalam balutan pakaian pengantin? Ya ampun. Rasa-rasanya Vanny sudah mengalami mimpi buruk bahkan sebelum ia tidur.
*
Haris mengulum senyum mendapati pesan Esti pagi itu. Tepat setelah ia duduk di balik meja kerjanya.
[ Esti ]
[ Semua udah beres, Ris. ]
[ Astaga. ]
[ Sepertinya malaikat maut belum mau nemui kita. ]
Haris terkekeh. Lega memenuhi dadanya. Bahkan sekarang rasanya Haris bisa terbang melayang-layang ke udara saking merasa leganya.
Akhirnya. Aku nggak jadi mampus dalam waktu dekat. Plus ... aku udah beli gaun pengantin buat Vanny. Sebagai bukti. Kalau aku serius mau nikahin dia.
"Hahahahaha."
Saking senangnya, Haris pun tertawa. Tidak menyadari bahwa ada Astrid yang masuk ke ruangan dan geleng-geleng melihat kelakuan bosnya itu.
"Pak."
Tawa Haris berhenti. Ia dengan segera menegapkan posisi duduknya. Masih tersisa geli, Haris pun tampak cengar-cengir.
"Eh, Ibu," ujar Haris. "Ada apa?"
Tentu saja Astrid menemui Haris karena masalah pekerjaan. Maka untuk sesaat Haris terpaksa harus serius. Melupakan sejenak kejadian lucu-lucu tegangnya mengenai gaun pengantin.
Berdiskusi singkat, pada akhirnya Astrid melayangkan pertanyaan pada Haris. Mengenai jadwal pekerjaan cowok itu.
"Sepertinya saya nggak bisa ikut Bapak untuk pertemuan di hotel Granduta yang akan dilaksanakan Sabtu depan."
Haris diam sejenak. Mengingat jadwalnya yang satu itu. Pertemuan rutin yang sudah dijadwalkan sejak empat bulan yang lalu.
"Kenapa?" tanya Haris. Tapi, sejurus kemudian ia menjawab pertanyaan itu sendiri. "Ah! Ibu ada jadwal terapi."
"Benar, Pak."
Itu berkaitan dengan kecelakaan yang sempat dialami oleh Astrid. Yang memaksa dirinya untuk menjalani terapi pemulihan kaki. Dan sebelum Vanny datang, memang Astrid yang dijadwalkan untuk menemani Haris. Karena bagaimanapun juga hanya Astrid sekretaris yang Haris miliki.
Namun, sekarang keadaannya berbeda. Ada Vanny yang sedari awal kedatangannya memang diprioritaskan untuk menemani Haris bepergian. Maka dari itu Astrid pikir lebih baik Haris ditemani oleh Vanny.
"Ehm ... oke. Biar aku pergi sama Vanny aja," ujar Haris mengangguk. Sekelumit senyum muncul di wajahnya. "Nggak jadi masalah."
Astrid hanya tersenyum kaku mendengar perkataan Haris. Tentu saja tidak akan jadi masalah. Malah yang ada Haris senang karena bisa pergi bersama Vanny di akhir pekan.
"Terima kasih banyak, Pak."
Tangan Haris melambai sekali. "Saya yang harusnya makasih."
Tuh kan. Dugaan Astrid tidak salah sama sekali.
"Oh iya. Tolong nanti Ibu suruh Vanny ke sini. Saya mau ngomong sama dia."
"Baik, Pak."
Ketika Astrid keluar dari ruangannya, Haris secara refleks berpaling ke komputernya. Memanfaatkan layarnya yang gelap, ia becermin seadanya. Hanya untuk memastikan bahwa memang ia selalu tampan setiap saat.
Ketukan di pintu membuat Haris langsung menggeser tetikus. Layar komputer menyala seketika. Berpura-pura sedang serius bekerja, ia mendengar suara Vanny memanggil sedetik kemudian.
"Bapak manggil saya?"
Haris meninggalkan komputernya seraya menjawab.
"Iya, Van. Ada yang mau ...."
Ucapan Haris berhenti di tengah jalan. Dahinya mengerut ketika menatap lekat penampilan Vanny kala itu. Belum menginjak jam siang. Masih pukul sepuluh pagi. Tapi, penampilan Vanny sudah terlihat tidak segar lagi.
"Kamu kenapa, Van?" tanya Haris seraya meneliti penampilan Vanny. Pagi tadi ia memang melihat Vanny dengan keadaan yang sama persis seperti kemarin. Tampak tidak bersemangat. Tapi, sekarang lebih dari itu. "Kemaren kamu keliatan kusut. Hari ini kamu keliatan lebih kusut lagi."
Vanny membuang napas panjang. Dan itu membuat wajahnya terlihat lebih letih berkali-kali lipat.
"Kenapa? Insomnia lagi?"
Melayangkan tebakannya, Haris tidak mendapati jawaban Vanny. Tapi, ia berani bertaruh kalau dugaannya benar. Jarinya menjentik hingga menimbulkan bunyi nyaring.
"Tuh kan. Kayaknya memang harus aku tidurin kamu deh biar kamu nggak insomnia lagi."
Vanny melotot. Apa Haris sadar dengan yang ia katakan? Sepertinya sadar. Tapi, sadarnya tepat ketika ia melihat mata Vanny yang mendelik padanya.
"Eh maksud aku nina boboin kamu," ralat Haris buru-buru. "Bukan nidurin kamu. Hahahaha."
Vanny diam saja. Tidak memberikan reaksi sama sekali. Karena jujur saja sekarang Vanny sedang berada dalam fase malas berurusan dengan Haris. Dan tentu saja penyebabnya karena gaun pengantin.
Gara-gara Haris dan gaun pengantin, aku jadi nggak bisa tidur sampe subuh.
Maka adalah hal yang wajar bila Vanny terlihat suntuk dan kusut. Kurang tidur memang sangat berpengaruh dalam suasana perasaan. Yang sepertinya itu justru tidak disadari oleh Haris.
Lihat saja. Wajah suntuk dan kusut Vanny malah bisa membuat Haris cengar-cengir.
"Ya ampun, Van. Sensi amat. Kenapa?"
Vanny hanya menggeleng. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa Haris memanggilnya. Karena kalau tidak ada urusan penting, tentu saja Vanny ingin kembali ke mejanya saja.
"Ditanyain malam diem. Ehm ... dari tadi kamu nggak ada ngomong sekali pun. Kayak aku lagi ada salah aja sih."
Vanny menyerah. Sungguh suasana perasaannya benar-benar buruk karena dua hari belakangan ini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dan ketika mendapati Haris yang terus saja mengajaknya berceloteh, akhirnya Vanny menukas dalam bentuk pertanyaan.
"Kamu emang nggak ngerasa ada salah atau gimana sih, Ris?"
Tidak bicara dari tadi, tapi sekalinya bicara Vanny malah sukses membuat Haris melongo.
"Eh?"
Haris menelengkan kepalanya ke satu sisi. Bingung seraya menunjuk hidungnya sendiri.
"Memangnya aku ada salah apa?"
Bola mata Vanny berputar dengan malas. Berusaha untuk bersabar sejenak meladeni kepura-puraan Haris. Karena Vanny yakin Haris pasti tau maksudnya.
"Aku mau nanya."
Haris menatap Vanny untuk beberapa detik yang singkat. Sepertinya ia bisa menebak apa yang akan ditanyakan Vanny dan lantas memberikan satu anggukan kepala.
"Kamu ada mesan gaun pengantin?"
Haris bergeming ketika mendengar pertanyaan itu. Terlebih lagi ketika Vanny benar-benar memperjelas pertanyaannya.
"Buat ... aku?"
Hening sejenak, Haris menarik napas terlebih dahulu. Tebakannya tidak meleset sama sekali. Dan tentunya ia sudah mempersiapkan diri. Ia tidak lupa mengingatkan dirinya untuk menyempurnakan kebohongannya dan Esti.
Akting kayak kamu yang kaget gitu, Ris. Kayak yang nggak ngira kalau Vanny tau.
Maka sejurus kemudian Haris meneguk ludah. Memperlihatkan ekspresi tak percaya. Bahkan ketika ia bertanya, suaranya terdengar terbata. Gelagapan.
"K-kamu tau dari mana, Van?"
Vanny tidak menjawab pertanyaan balik dari Haris. Alih-alih ia justru membuang napas dan bergumam lirih.
"Ternyata benar."
Haris mencoba untuk tidak tertawa melihat ekspresi Vanny.
Ya memang benarlah. Masa salah sih?
"Kenapa kamu mesan gaun pengantin buat aku, Ris?"
Kali ini Haris memasang wajah polos. Seperti seorang bocah yang tidak pernah tersentuh kekejaman dunia.
"Ya buat apa lagi sih, Van, selain buat kamu pake di hari pernikahan kita?"
"Ya Tuhan."
Dramatis, Vanny memejamkan mata. Lantai seperti bergoyang-goyang di bawah pijakan kakinya.
"Ris, ini bukan kayak kita yang bakal nikah beneran kan?"
"Ya beneran, Van," jawab Haris cepat. Ekspresi polosnya masih terpasang dengan sempurna. "Masa nikah main-main sih?"
"Tapi, aku kan nggak ada ngomong kalau mau nikah sama kamu."
Haris berdecak sekali seraya melambaikan tangannya sekali di depan wajah. "Ah, masalah itu gampang. Ntar juga kamu bakal mau kok nikah sama aku. Nggak apa-apa. Santai aja."
Astaga. Jawaban apa itu? Seumur hidup Vanny baru sekali ini bertemu dengan jawaban semacam itu. Tidak perlu ditanya. Vanny jadi ketar-ketir karenanya.
Ya ampun. Ini apa artinya Haris benar-benar serius sama aku? Astaga, Van. Haris udah beli gaun pengantin. Gimana dia nggak serius?
Sementara Haris yang berusaha menahan gelinya dari tadi tidak akan lupa tujuan utamanya memanggil Vanny kala itu. Ada pertemuan yang harus mereka dampingi. Vanny harus menggantikan posisi Astrid.
Urusan gaun pengantin dan pernikahan memang penting, tapi urusan pekerjaan tidak kalah penting. Ia harus memastikan Vanny bisa menemaninya Sabtu depan.
"Ngomong-ngomong, Van. Sabtu depan kamu nggak ada jadwal kan?"
"Eh? Kenapa?" tanya Vanny dengan mata mengerjap.
"Aku mau ngajak kamu pergi."
"Pergi?"
Satu kata itu terdengar amat berirama. Seiring dengan bola mata Vanny yang membesar.
Ya Tuhan. Jangan bilang.
Karena pada saat itu suara Esti langsung menggema di benaknya.
"Haris mesan gaun pengantin. Dia udah bayar dp. Tinggal nunggu dia bawa pengantinnya aja ke butik buat ngukur badan segala macam."
Vanny berusaha untuk tetap bernapas. Tidak. Ia tidak boleh panik.
"A-ada," ujar Vanny gelagapan. Berniat menolak. "Aku ada rencana Sabtu depan. Aku nggak bisa pergi sama kamu."
Manggut-manggut untuk beberapa kali, Haris terlihat tidak ada rasa bersalah sama sekali ketika mengangkat pundaknya sekilas. "Gampang. Batalkan aja rencana kamu. Pergi sama aku."
"Eh? Nggak bisa gitu, Ris. Aku nggak mau pergi sama kamu."
Apa Haris tidak bisa melihat bagaimana pucatnya Vanny kala itu? Dengan bayangan ia dan Haris pergi untuk pengukuran badan, otomatis saja tubuh Vanny jadi gemetaran.
Aku nggak mungkin pergi sama Haris. Nggak. Ngukur? Nggak. Pokoknya nggak.
"Loh? Kenapa kamu nggak mau?" tanya Haris bingung. Sempat ia bertanya di benaknya apakah Vanny melupakan posisinya sebagai sekretaris keduanya?
Kan dia harus dampingi aku kalau ada kerjaan di luar. Gimana sih?
"Pokoknya aku nggak mau, Ris. Aku belum setuju mau nikah sama kamu. Jadi jangan pernah mikir kalau aku bakal mau pergi sama kamu."
Haris menggaruk pelipisnya. Sepertinya ada yang aneh dari yang Vanny katakan.
Eh? Bentar. Apa hubungannya Vanny belum mau nikah sama aku dengan pertemuan di Granduta?
Vanny tidak salah bicara. Dari keteguhan yang terpancar di matanya, jelas Haris bisa yakin bahwa Vanny sadar ketika mengatakan itu.
"Van, bentar deh," ujar Haris dengan dahi mengerut sedetik kemudian. "Dengerin aku dulu. Kayaknya ada yang keliru di sini."
Vanny menggeleng. "Nggak, Ris. Kamu yang dengerin aku dulu."
"Van, aku----"
"Aku nggak mau tau kamu udah beli itu gaun kek atau belum kek," potong Vanny cepat. "Tapi, yang pasti aku nggak bakal mau pergi sama kamu."
"Ta----"
"Sumpah aku nggak ngira kamu gini, Ris. Kali ini kamu bener-bener udah kelewatan."
"A----"
"Udahlah beli gaun pengantin untuk aku tanpa persetujuan aku, eh ... sekarang? Kamu mau ngajak aku ngukur?"
Haris melongo. "Hah?!"
"Please, Ris. Kalau kamu kebelet mau nikah, mending kamu ajak cewek lain aja ya? Kamu pergi dengan cewek lain."
Haris mengerjapkan mata. Sungguhpun terlepas dari keinginannya yang memang ingin membawa Vanny segera mengukur badan di butik, tapi sekarang bukan itu yang akan mereka lakukan.
"Ya ... rencana awalnya aku memang mau pergi sama cewek lain. Bukan sama kamu."
"Haris, kamu ...."
Walaupun Vanny memang mengatakan seharusnya Haris pergi dengan cewek lain, tapi bukan berarti ia benar-benar ingin mendengar hal tersebut. Bagaimana bisa Haris mengatakan bahwa semula ia akan pergi bersama dengan cewek lain? Vanny tidak terima.
Setitik emosi muncul di dada Vanny. Tapi, ketika ia akan meluapkan semuanya, Haris sudah keburu bicara lagi.
"Tapi, aku nggak tega. Gimanapun Bu Astrid ada jadwal terapi tiap akhir pekan. Makanya aku jadi ngajak kamu aja."
Bentar. Emosi Vanny mendapat interupsinya sejenak.
"B-Bu Astrid?" tanya Vanny bingung.
Haris mengangguk. "Iya, Bu Astrid."
"Kok?" tanya Vanny semakin bingung. "Kamu ...."
"Kan awalnya pertemuan aku di Granduta Sabtu depan itu bakal ditemani Bu Astrid."
Sengaja sekali, Haris menekankan kata 'awalnya' dan 'Sabtu depan'.
"Tapi, karena sekarang ada kamu ... jadinya kamu kan yang nemenin aku?"
O oh.
Wajah Vanny seketika membeku dengan warna merah mengelam karena malu. Terasa kaku dan ia benar-benar tidak berkutik ketika mendapati Haris tersenyum geli padanya.
"Bener kan?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top