53. Satu Dua ... Action!
"Gila, Es! Pantas aja kamu jadi karyawan terbaik tahun kemaren. Semalam ini aja masih juga ada pelanggan yang mesen gaun pengantin."
Celetukan penuh dengan kekaguman mendarat di telinga Esti. Tepat ketika membuang napas lega dan terduduk lemas di balik komputer yang menyala. Layarnya yang menyala memperlihatkan tabel pemesanan yang baru saja diperbarui oleh Esti. Berkat adanya seorang pelanggan yang memesan produk eksklusif malam itu. Yaitu berupa gaun pengantin.
"Ha ha ha ha."
Menyandarkan tubuhnya di kursi, Esti menatap rekan kerjanya yang bernama Siska dengan menahan ringisan. Bahkan ekspresi bahagia yang biasanya mewarnai wajah karyawan ketika berhasil menjual produk terbaru pun tidak tampak di sana. Alih-alih sebaliknya. Esti tampak merana.
Kamu nggak tau aja kalau tahun ini aku terancam nggak dapat predikat karyawan terbaik lagi, Sis. Tapi, justru malah dapat predikat almarhumah.
Nyaris. Sangat nyaris malah. Kalau saja Haris tidak menghubunginya dan mereka tidak cepat menyusun strategi kebohongan itu, maka bisa Esti pastikan kalau ia memang akan berpulang dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
"Y-ya begitulah, Sis."
Sepertinya lama-kelamaan Siska bisa merasakan keanehan dari sikap Esti. Ia tidak terlihat ceria seperti biasanya. Tapi, Siska mengabaikannya. Lantaran ia teringat sesuatu. Hal yang menjadi alasan mengapa ia sibuk mencari keberadaan Esti sedari tadi.
"Oh iya. Ngomong-ngomong cowok cakep yang kemaren beli kemeja, datang lagi."
Seeet!
Seakan lupa dengan nyawanya yang terancam, Esti dengan serta merta bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang seperti tidak ada tenaga sontak kembali berenergi. Seolah ia baru saja meneguk selusin pil suplemen penambah tenaga.
"Oh ya?" tanya Esti dengan mata membesar. "Di mana dia?"
Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, Siska justru terbengong untuk beberapa saat lamanya. Lalu ia mengerjap. Dan terlihat gelagapan ketika menjawab. Maklum, tapi bukannya apa ya. Sungguh Siska tidak menduga Esti akan bereaksi sedemikian rupa.
Memang. Nggak kaleng-kaleng pengaruh cowok cakep buat Esti.
Siska tersenyum kaku seraya mengangkat tangan. Menunjuk ke depan.
"Itu dia nyari jas. Kamu mau nyamperin?"
Tentu saja. Tentu saja Esti akan menghampiri pelanggan tampan itu. Dengan senang hati akan meluangkan waktu tak berharganya untuk menemani pelanggan tersebut memilih jas.
Esti mengangguk. Dengan kaki yang langsung melangkah, ia menjawab.
"Aku----"
Namun, satu getar di saku seragamnya membuat ucapan Esti menggantung. Langkahnya pun berhenti di tengah jalan. Ada satu pesan dan ketika Esti membacanya maka Siska mendapati wajah Esti kembali ke mode awal. Terlihat tidak bertenaga lagi.
"Es?" tanya Siska dengan dahi mengerut. "Kenapa?"
Siska melihat pada Esti dan kemudian beralih pada ponselnya. Merasakan ada sesuatu yang tengah terjadi. Tapi, Esti hanya menatap rekan kerjanya itu dengan lesu. Sekarang Esti sama sekali tidak berminat lagi untuk bertemu dengan pelanggan tersebut. Dan semuanya karena pesan Vanny.
[ Vanny ]
[ Kamu ada waktu malam ini? ]
[ Kita ketemuan yuk. ]
[ Di ayam geprek biasa. ]
Tidak jadi melayani pelanggan berwajah tampan itu, Esti sontak kembali duduk. Tulang belulangnya seolah lepas semua.
Ya Tuhan.
"Es?"
Siska menghampiri Esti. Raut penasaran begitu jelas terpampang di wajah Siska. Dan untuk itu Esti hanya bisa membuang napas panjang.
"Nggak," geleng Esti lesu. "Kayaknya aku nggak mau nyamperin."
"Eh? Tumben. Kenapa?"
Melayangkan pertanyaan dengan penuh keheranan, Siska bukannya tidak tau bahwa selama ini Esti memang selalu bersemangat kalau pelanggan tampan itu datang ke butik. Maka dari itu sih sebagai rekan kerja yang baik, Siska memberi tau Esti akan kedatangannya. Tapi, yang terjadi justru di luar perkiraannya.
Karena alih-alih menemui pelanggan tampan itu, Esti justru menatap Siska dengan sorot putus asa. Ia memegang tangan Siska.
"Aku mau mempersiapkan diri dulu, Sis," ujar Esti seraya meringis tertahan. "Kayaknya aku bakal ketemu malaikat maut malam ini."
Bola mata Siska membesar dan ia terkesiap.
"Hah?"
*
Sekuat apa pun Vanny mencoba untuk tidak memikirkannya, pada kenyataannya isi kepala cewek itu benar-benar dipenuhi oleh tiga hal yang sama. Yaitu, Esti, Haris, dan gaun pengantin.
Kala itu sudah malam. Nyaris jam sembilan malam. Dan seharusnya Vanny bersiap untuk istirahat. Tapi, apa yang terjadi? Vanny justru mengirim pesan pada Esti dan mengajaknya untuk bertemu.
"Argh!" geram Vanny pada dirinya sendiri. "Ini bukan karena gaun pengantin itu ya. Tapi, aku nggak abis pikir kenapa Haris bisa ketemu sama Esti?"
Vanny mondar-mandir di kamarnya. Ia sadar bahwa ia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak sampai ia tau apa yang sedang terjadi.
Aku penasaran. Mereka ngomongin apa ya?
Akhirnya Vanny menyerah. Ia tidak ingin memendam rasa penasaran itu berhari-hari. Ia harus mengetahui kebenarannya. Dan untunglah pesan balasan dari Esti masuk semenit kemudian.
[ B-Esti ]
[ Oke oke. ]
[ Abis dari butik aku langsung ke sana. ]
[ Mungkin sekitar jam setengah sepuluh sampe. ]
Vanny membuang napas panjang. Secercah kelegaan timbul di hatinya dan ia segera bersiap. Tak butuh waktu lama, ia pun sudah berada di dalam taksi yang membawanya pergi ke warung ayam geprek langganannya dan Esti.
Ketika Vanny sampai, suasana warung ayam geprek itu masih tergolong ramai. Karena sejatinya tempat makan itu tidak benar-benar warung seperti namanya. Dengan bangunan semi terbuka yang didominasi papan dan kayu, tempat makan itu adalah restoran yang bernuansa alam.
Vanny duduk. Menunggu Esti dan sekitar sepuluh menit kemudian ia datang. Duduk di hadapan Vanny dan bertanya.
"Tumben ngajak ketemuan hari kerja gini, Van. Kenapa?"
"Ehm ... nggak apa-apa sih," jawab Vanny dengan tersenyum. "Cuma mau ketemu aja."
Jawaban dan senyum yang Vanny berikan membuat Esti meneguk ludah. Berpura-pura sibuk menaruh tasnya, Esti hanya mencoba untuk tidak menatap Vanny. Sungguh. Sekarang badannya sudah gemetaran atas bawah.
Astaga, Van. Sengaja gitu nggak langsung ke inti masalah? Sengaja mau buat aku panas dingin? Meriang kayak jablay yang kurang kasih sayang?
Sejurus kemudian seorang pelayan datang. Vanny dan Esti langsung memesan menu mutlak mereka. Ayam geprek dan es teh lemon. Dan ketika pelayan itu pergi, maka Vanny tidak lagi bisa menahan diri.
"Es."
Mau tak mau Esti mengangkat wajah dan membalas tatapan Vanny. Mencoba menguatkan diri, kedua tangannya saling meremas satu sama lain di bawah meja.
"Ya?"
"Sebenarnya aku ngajak kamu ketemuan karena ada yang mau aku tanyain ke kamu."
Yakin cuma mau nanya ke aku? Bukan mau bunuh aku?
Esti mendeham. Tersenyum.
"Oh? Ada yang mau kamu tanyain toh ke aku."
Vanny mengangguk. "Dan aku mohon jawab pertanyaan aku dengan jujur ya?"
Tidak ada pilihan lain, Esti tau detik-detik menegangkan itu sudah tiba. Ia tidak bisa mundur. Yang bisa ia lakukan adalah mencoba untuk tidak pingsan.
Oke. Masa penghakiman akan segera dimulai. Mari kita persiapkan diri, Es.
"A-apa?" tanya Esti kemudian dengan terbata. "Kamu mau naya apa?"
Vanny tidak langsung melayangkan pertanyaannya. Alih-alih ia justru menatap Esti lekat untuk beberapa saat terlebih dahulu. Dan percayalah! Saat itu Esti bukan lagi panas dingin. Esti sudah benar-benar merasa nyawa di badannya melayang sudah.
"Haris ada nemuin kamu ya?"
Akhirnya pertanyaan itu pun terlontar dari lidah Vanny. Tapi, tidak langsung ke inti, Vanny dengan sengaja justru melayangkan pertanyaan sepele itu sebagai pembuka. Dengan pertaruhan yang sedang berputar-putar di benaknya.
Aku mau lihat, Esti jujur atau nggak.
Seandainya saja Haris tidak menghubungi Esti tadi, tentu saja Esti akan serta merta menggeleng. Tapi, sekarang lain cerita. Esti sudah tau bahwa Vanny mengetahui pertemuan antara dirinya dan Haris. Maka akan menjadi hal yang berbahaya kalau Esti sampai menampik hal tersebut.
"Ehm ... gimana ya ngomongnya," ujar Esti dengan suara lirih. Ia menghirup udara dalam-dalam dan mendapati kerutan muncul di dahi Vanny saat menunggu jawabannya. "Dibilang nemuin aku sebenarnya dia nggak nemuin aku. Dibilang nggak nemuin aku sebenarnya dia ya nemuin aku."
Itu bukanlah jawaban yang Vanny harapkan. Selain tidak menjawab pertaruhannya, Esti justru membuat ia kebingungan.
"Kok aku bingung? Maksud kamu?"
Esti membuang napas panjang. "Sebenarnya kapan hari aku memang ada ketemu sama Haris. Cuma itu bukan yang kayak kamu ketemuan gitu."
Vanny masih bingung. Kerutan di dahinya semakin bertambah.
"Kamu buat aku bingung, Es."
"Sama," timpal Esti seraya menggaruk kepalanya. "Aku juga bingung."
Namun, tentu saja kebingungan Vanny dan Esti berbeda. Dari sisi Esti, ia bingung karena harus pintar-pintar memilih kata-kata. Jangan sampai lidahnya terpeleset dan membuat kebohongan yang sudah disusun menjadi berantakan.
"Tapi, intinya adalah sebenarnya Haris itu datang ke butik," ujar Esti pada akhirnya. "Nah! Kebetulan dia datang ke butik tempat aku kerja. Jadi ya nggak sengaja gitu kami ketemu."
Penjelasan Esti membuat Vanny menyipitkan mata menatap padanya. Dengan sorot penuh selidik.
"Bener?"
Esti mengangguk berulang kali. "Bener."
Namun, Vanny belum berhenti bertanya. Kalaupun Esti jujur mengenai pertemuannya dengan Haris, terlepas itu sengaja atau tidak, pada kenyataannya Vanny belum menuju pada titik yang sebenarnya. Dan sekaranglah masanya. Vanny akan bertanya.
"Ngapain Haris ke butik?"
"Ehm ...."
Vanny kembali mencoba bersabar. Tapi, dehaman Esti terasa begitu lama. Membuat jantungnya berdebar-debar dengan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi.
"Es?"
Esti berulang kali menghirup udara dalam-dalam. Ia menggigit bibir bawahnya sekilas. Dan ketika ia menjawab, ia pun memejamkan mata. Seolah ia tidak siap dengan kenyataan yang akan terbentang saat jawaban itu mendarat di telinga Vanny.
"Haris mesen gaun pengantin."
Hening. Tidak ada suara Vanny yang terdengar setelah Esti menjawab. Maka perlahan Esti membuka matanya. Mulanya hanya mengintip di satu mata dan Esti bisa mendapati Vanny yang membeku. Akhirnya membuat Esti berani juga untuk benar-benar membuka kedua matanya.
"Van?"
Takut-takut, Esti memanggil Vanny. Seolah menyadarkan temannya itu dari kebekuan sesaat. Vanny mengerjap. Seperti orang linglung ia menatap Esti.
"Kamu serius?"
"Iya, aku serius," angguk Esti serba salah. "Haris mesan gaun pengantin. Dia udah bayar dp. Tinggal nunggu dia bawa pengantinnya aja ke butik buat ngukur badan segala macam."
Betapa kebohongan yang sangat apik. Bahkan Esti tidak mengira bahwa ia akan mampu mengucapkan skenario itu tanpa ada yang keliru sama sekali. Dan ketika ia tuntas menguraikan semuanya, Esti sempat berpikir bahwa mungkin menjadi aktris adalah profesi yang paling tepat untuknya.
Bagaimana tidak? Lihat saja buktinya. Kebohongan Esti yang terlihat begitu natural sukses membuat Vanny kembali terdiam seribu bahasa. Bergeming dan benar-benar tidak bergerak. Persis seperti patung.
"Van?"
Esti mengangkat tangan dan melambaikannya berulang kali di depan wajah Vanny. Sukses membuat Vanny kembali mengerjap.
"Kok diam?"
Vanny menggeleng. Berusaha untuk mengendalikan diri, tapi jantung di dalam sana mendadak saja menjadi riuh tidak terkendali.
"I-itu ..."
Suara Vanny terdengar berat. Ia buru-buru meneguk ludah dan berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja.
"... Haris ada ngomong siapa cewek yang ... yang ...."
Esti menatap Vanny. Sepertinya Esti bisa menebak apa yang akan ditanyakan oleh Vanny, tapi ia tetap menunggu. Tidak mengatakan apa-apa dan memberikan kesempatan bagi Vanny untuk menuntaskan sendiri pertanyaannya.
"Yang bakal make gaun pengantin itu?"
Tidak terkira betapa leganya Vanny ketika akhirnya ia berhasil menanyakan itu. Tapi, sayangnya kelegaan yang Vanny rasakan tidak berlangsung lama. Karena sejurus kemudian apa yang Esti katakan sukses membuat ia sesak napas seketika.
"Haris bilang sih ... kamu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top