52. Ayo! Susun Rencana Dadakan!
"Dadada didadida!"
Ketika senandung itu mendarat di telinganya, Haris segera bangkit dari duduk. Tepat beberapa menit sebelum jam makan malam, ternyata Sekar sudah kembali. Dengan wajah riang gembira tentunya.
"Mama baru pulang?"
Suara Haris membuat Sekar menghentikan senandung bahagianya. Pun turut menghentikan langkahnya. Menyadari bahwa ada Haris yang menghampirinya dan dengan serta merta mengajaknya untuk duduk dulu di ruang keluarga.
Masih ada beberapa menit sebelum makan malam dimulai. Haris tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menginterogasi sang ibu.
"Aku udah nungguin dari tadi."
Sekar mencibir dengan kesan nakal. Jelas sekali ia tau mengapa Haris sampai menunggu kepulangannya. Tentu saja itu karena Haris penasaran dengan apa yang terjadi di pertemuan kedua antara Sekar dan Vanny. Dan melihat wajah Sekar yang berseri-seri, tentu saja rasa penasaran Haris semakin menjadi-jadi.
"Ngomong-ngoomong Mama kelihatan seneng banget," lirih Haris dengan tatapan menyelidik. "Kenapa?"
Tidak langsung menjawab, Sekar justru terkekeh.
"Ma, please," rengek Haris seraya mengguncang tangan Sekar. "Jawab. Mama kenapa kelihatan seneng banget?"
Masih belum mendapatkan jawaban untuk rasa penasarannya, Haris makin geregetan dengan ibunya. Terus merengek hingga pada akhirnya Sekar justru balik bertanya padanya.
"Coba tebak kenapa Mama seneng?"
Tentu saja Haris tidak menjawab pertanyaan itu. Alih-alih ia manyun. Melepaskan tangan Sekar dengan wajah tertekuk. Cemberut seraya menggerutu.
"Ih, kamu ini!"
Buru-buru, kali ini justru Sekar yang meraih tangan Haris. Kekehannya berhenti. Khawatir kalau Haris merajuk lagi.
"Tentu saja Mama senang karena ada kaitannya dengan Vanny."
Bibir Haris masih manyun. Tapi, ia melirik dan mendapati senyum menggoda ibunya.
"Buruan cerita, Ma. Mama dan Vanny tadi ngapain aja?" tanya Haris lagi. Sempat terbersit untuk merajuk, tapi sungguh. Rasa penasarannya mampu menahan sifat suka merajuknya. "Please, jangan buat aku penasaran."
Wajah Haris yang penuh dengan rasa penasaran membuat Sekar merasa geli. Tak mampu menahan, tawanya pun meledak.
"Hahahaha. Pengen tau ya Mama dan Vanny tadi ngapain?"
Haris berdecak. Tampak kesal juga lantaran merasa dipermainkan Sekar dari tadi.
"Mama ini. Beneran deh. Tau gitu, aku pergi juga ke rumah Vanny."
Tawa Sekar semakin menjadi-jadi. Sungguh ia tidak pernah mengira kalau masa-masa Haris jatuh cinta akan membuat ia sebahagia ini. Melihat wajah kesal Haris tentu saja membuat Sekar menjadi geli sendiri.
"Hahahaha. Duh! Jangan ngambek ah. Sini sini Mama ceritain."
Haris diam saja. Tidak mengatakan apa-apa dengan dugaan bahwa bisa saja Sekar tidak benar-benar langsung bercerita. Bisa saja kan Sekar kembali menggodanya? Dan itu sungguh membuat Haris menyesal juga. Mungkin seharusnya ia memang ikut ke apartemen Vanny.
"Kayaknya rencana kita sukses."
Bentar. Haris melirik. Melihat ekspresi yang tercetak di wajah ibunya. Walau masih ada geli di sana, tapi keseriusan itu benar-benar terlihat nyata.
"Kamu memang bagusnya nggak ke rumah Vanny dulu."
Haris menunggu kelanjutan perkataan Sekar. Karena Haris berani bersumpah. Ada yang berbeda dari cara Sekar menatapnya sekarang. Terlihat berbinar-binar. Dan pada akhirnya Haris tau penyebabnya. Itu karena sedetik kemudian Sekar berkata.
"Kamu tau nggak? Tadi pas kamu nggak datang, Vanny nyariin dong."
Tidak ingin langsung terbang melayang-layang ke langit ketujuh, pada kenyataannya Haris spontan bertanya dengan mata yang membesar.
"Serius, Ma?"
"Iya," angguk Sekar. "Mama serius."
Namun, Sekar tau bahwa Haris butuh dari sekadar itu. Maka Sekar pun lanjut bicara.
"Jadi gini ...."
Sekar menceritakan semuanya. Ketika ia mengatakan pada Vanny bahwa Haris tidak akan ikut bergabung dengan mereka tadi. Reaksi Vanny yang kaget dan rasa penasaran yang terpancar di matanya, Sekar uraikan dengan teramat detail pada Haris.
Tidak perlu ditanya bagaimana respon Haris ketika mendengar penuturan Sekar. Bunga mawar, bunga melati, bahkan bunga bangkai pun langsung bermekaran di dada Haris. Menghadirkan senyum yang tak bisa ditahan lagi olehnya.
"Tuh kan! Jadi semua udah terbukti ya. Vanny itu memang cinta sama kamu. Kita tinggal buat Vanny yakin aja kalau kamu beneran serius dan nggak bakal mengecewakan dia."
Haris mengangguk dengan penuh semangat. Binar-binar tampak berkilauan memenuhi bola matanya.
"Dan itu sebenarnya dikit banyak memang salah kamu juga sih."
Mengatakan itu, Sekar membuang napas panjang. Sementara Haris yang penuh suka cita dengan aneka rasa yang memenuhi hatinya, sontak mengerutkan dahi.
"Eh? Salah aku? Aku salah di mananya, Ma?"
"Kamu tuh harusnya sadar. Walau cewek itu cinta, tapi cewek itu butuh bukti kalau dia benar-benar dicintai."
Haris menelengkan kepala ke satu sisi. "Bukti?" tanyanya polos. "Aku udah ngasih bukti ke Vanny kok, Ma."
"Apa coba buktinya?"
"Buktinya ...."
Aku dan Vanny udah tidur dua kali.
Tidak. Tentu saja Haris tidak akan menjawab seperti itu. Gawat, benar-benar gawat kalau ia jujur untuk hal tersebut. Bisa-bisa ia dimasukkan kembali ke dalam rahim Sekar.
"Ayo," desak Sekar membuat Haris mengerjap sekali. "Coba bilang ke Mama. Buktinya apa?"
Haris mencoba berpikir dengan cepat.
"Ehm ... aku udah ngajak dia buat nikah."
Geleng-geleng kepala, Sekar memutar bola matanya. "Cuma ngajak doang kan? Nggak ada bukti konkretnya?"
"Ehm ...."
"Padahal kan kamu udah ada buktinya. Harusnya kamu tunjukin bukti itu ke Vanny."
"Aku udah ada buktinya?" tanya Haris mengerutkan dahi. "Apa buktinya, Ma?"
"Gaun pengantin."
Tunggu. Mata Haris seketika membesar. Ia tidak salah mendengar kan?
"G-gaun pengantin? Maksud Mama?"
"Kamu ini. Bukannya kemaren kamu udah nyari gaun pengantin buat Vanny?" tanya Sekar dengan geli. Ia tampak melirik pada Haris dan lalu terkekeh ketika mendapati wajah sang putra yang membeku.
"Hah?!"
Haris menghirup udara dalam-dalam. Tidak bisa tidak, tapi ia merasa bingung kali ini.
"Aku nyari gaun pengantin?" tanya Haris bingung. "Memangnya kapan aku nyari gaun pengantin buat Vanny?"
Sekar mencubit Haris dengan gemas. Geregetan dengan tingkah putranya itu.
"Ck. Dasar ini anak."
Namun, ekspresi wajah Haris membuat Sekar jadi penasaran. Haris memang tidak mengerti maksudnya atau bagaimana? Dan pada akhirnya Sekar pun mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan satu foto pada Haris.
"Ini nih. Ini kamu kan yang lagi liat gaun pengantin?"
Melihat foto yang Sekar tunjukkan padanya sontak saja membuat Haris memucat. Layaknya tak ada lagi darah yang mengalir di tubuh cowok itu. Pun ia merasa dingin. Membeku.
Ya Tuhan. I-ini? Foto ini?
Sekar kembali bertanya tanpa peduli dengan perubahan pada Haris.
"Ini kamu lagi ngeliat gaun pengantin buat Vanny kan?"
Haris tidak menjawab pertanyaan itu. Lantaran di benaknya saat ini justru ada pertanyaan lainnya.
T-tunggu bentar deh.
Haris menahan tangan Sekar. "Mama kenapa ada foto ini?"
O-oh.
Kali ini Sekar yang terdiam seketika.
"Kenapa Ma?"
Haris panik. Bagaimana bisa sang ibu memiliki foto dirinya ketika berada di butik? Dan ia kembali mendesak Sekar hingga sang ibu pun bersuara kembali.
"Maaf, Ris," lirih Sekar dengan wajah penuh rasa bersalah. "Sebenarnya ...."
Ketika Sekar menceritakan apa yang terjadi, Haris merasa seperti nyawa telah menghilang dari tubuhnya. Ia persis mayat hidup yang tak percaya dengan apa yang ibunya lakukan.
"Ya ampun, Ma. Mama nyuruh ojol buat mata-matain aku?" tanya Haris dengan nada horor. Pun ia melihat Sekar dengan tatapan ngeri. Seolah ibunya itu adalah hantu yang muncul di siang bolong.
"Maaf, Ris. Mama waktu itu cuma khawatir sama kamu. Makanya Mama nyuruh ojol buat ngikutin kamu."
Sekar merutuki dirinya sendiri. Saking teramat semangatnya ia membahas soal Vanny, Sekar sampai lupa bahwa ia membocorkan rahasianya sendiri. Tapi, sekarang tidak ada yang bisa Sekar lakukan selain membela diri. Jangan sampai deh Haris jadi marah padanya.
"M-Mama nggak ada niat buruk. Ini cuma buat kebaikan kamu. Lagipula kan biasa aja kalau orang tua memantau tumbuh kembang anaknya."
Haris terkesiap mendengar pembelaan Sekar. Tumbuh kembang? Ya ampun. Haris kan sudah besar. Apanya lagi yang mau tumbuh kembang? Yang ada sekarang masanya buat Haris berkembang biak.
"Ma, ini Mama bukannya memantau tumbuh kembang aku," ujar Haris histeris. "Tapi, Mama memantau kehidupan asmara aku."
Yang dikatakan Haris memang benar. Tapi, Sekar berusaha untuk bersikap biasa saja. Menebalkan muka di depan anaknya sendiri.
"Udah ah, Ris. Sama Mama sendiri juga. Dan lagipula kan ada bagusnya Mama nyuruh ojol ngikutin kamu. Toh ujungnya dengan foto ini Mama bisa meyakinkan Vanny kalau kamu serius."
"Hah?!"
Tidak cukup terkejut dengan kenyataan bahwa Sekar menyuruh ojol untuk memata-matainya, sekarang Haris dibuat terkejut dengan hal lainnya? Ya ampun. Haris yakin ia benar-benar akan tewas sebentar lagi.
Ya Tuhan. Jangan bilang ....
Haris meneguk ludah. Ia menggeleng dengan penuh harap pada Sekar.
"Ma, please. Jangan bilang kalau Mama nunjukin foto ini sama Vanny."
Sayangnya kenyataan yang terjadi bukan seperti yang Haris harapkan. Karena sejurus kemudian Sekar bicara dengan senyum yang mekar sempurna di wajahnya.
"Emang Mama tunjukkin."
"Tidaaak!"
Haris terlonjak dari duduknya. Memegang kepala dan tubuhnya gemetaran parah.
"Ya ampun," histeris Haris. "Kenapa Mama tunjukin ke Vanny?"
Reaksi Haris membuat Sekar bingung. Wanita paruh baya itu tidak habis pikir mengapa Haris terlihat panik. Dan jawaban polos Sekar membuat kepanikan Haris semakin menjadi-jadi.
"Biar Vanny tau kalau kamu serius. Mama bilang ke dia. Ini loh bukti Haris serius. Dia udah ke butik. Udah nyari gaun pengantin buat kamu. Jadi kamu nggak usah ragu lagi sama Haris. Dia benar-benar cinta sama kamu."
Haris meremas rambutnya. Keringat timbul di dahi dan mengucur di sepanjang sisi wajahnya.
Ya Tuhan. Mampus ini mampus.
Karena bukan perkara gaun pengantin itu yang membuat Haris sontak ketakutan. Alih-alih karena foto itu dengan jelas memotret dirinya dan Esti.
Astaga. Kalau Vanny tau alasan aku nemuin Esti, aku pasti bakalan mampus.
Haris yakin seratus persen. Ia pasti akan bertemu dengan malaikat maut secepatnya.
Tapi, tunggu. Belum tentu aku mampus sekarang. Kalau Vanny nggak tau alasan aku ketemu sama Esti, kayaknya kematian aku masih bisa ditunda deh.
Bola mata Haris membesar seketika. Sepertinya harapan untuk berumur panjang masih terbentang luas di depan mata.
Maka dari itu Haris tidak membuang waktu. Ia harus segera menghubungi Esti. Demi menyelamatkan nyawa mereka berdua.
Haris bergegas. Ia segera beranjak dari ruang keluarga dan menuju ke kamarnya. Tidak peduli dengan Sekar yang kebingungan.
"Loh, Ris? Kamu mau ke mana? Mama belum selesai ngomong."
Namun, Haris tidak peduli. Ia terus saja berlari secepat mungkin. Meninggalkan Sekar yang berdecak.
Sesampainya di kamar, Haris dengan terburu-buru menghubungi Esti. Mondar-mandir dengan ponsel yang menempel di telinga, cowok itu merasakan jantungnya yang berpacu.
"Please, Es. Angkat teleponnya. Ini telepon penting. Nyawa kamu dalam keadaan genting loh."
Bukan hanya nyawa Esti yang dalam bahaya. Haris pun tau nyawanya juga terancam.
"Halo, Ris. Ada apa?"
Suara Esti seketika membuat Haris merasakan setitik kelegaan. Tapi, ia belum bisa benar-benar bernapas dengan tenang saat ini.
"Es, aku mau ngasih tau kamu. Please. Aku minta maaf. Tapi, semuanya kacau."
Suara menderu Haris tentu saja sukses membuat Esti mengerutkan dahinya di seberang sana. Bingung. Tidak pernah menghubungi sebelumnya, eh sekali Haris menelepon Esti maka kepanikan yang ia rasakan.
"Kacau? Apanya yang kacau?"
Maka Haris pun dengan cepat menjelaskan situasi yang saat itu tengah terjadi. Dan setelahnya ia mendapati kesiap ketakutan Esti.
"Hah?! Apa? Ya ampun, Ris. Kamu jangan main-main sama nyawa aku, Ris. Aku belum kawin. Masa mau mati?"
Haris meringis. Satu tangannya yang bebas kembali meremas rambutnya sendiri. Astaga. Saking paniknya Haris, ia sempat berpikir bahwa mungkin saja ia akan botak setelah masalah itu selesai.
"Ini bukan cuma mengancam nyawa kamu, Es. Tapi, nyawa aku juga."
"Jadi gimana? Kita harus ngapain? Kita nggak bakal jujur sama dia kan?"
"Jujur?" tanya Haris histeris. "Gila aja jujur. Beneran tewas berjamaah kita kalau jujur."
"Jadi kita bohong?"
Tidak ada pilihan lain. Kalau tidak jujur, tentu saja yang harus mereka lakukan adalah hal yang sebaliknya.
"Iya. Intinya Vanny jangan sampe tau apa yang kita bicarakan. Oke? Kita sama-sama tutup mulut untuk kelangsungan hidup kita bersama."
"Oke, Ris. Tapi, itu belum cukup. Maksud aku ya ... ini Vanny cepet atau lambat pasti bakal nyamperin aku. Jadi aku harus gimana kalau Vanny nanya segala macam?"
Remasan Haris pada rambutnya makin menguat. Seolah ingin memberikan rangsangan agar otaknya bisa bekerja di saat genting seperti itu.
"Jalan satu-satunya cuma satu."
"Apa?"
Haris memejamkan mata. Sungguh. Tidak ada jalan lain yang lebih aman ketimbang jalan yang satu ini.
"Aku pesan beneran itu gaun pengantin."
"Hah? Serius?"
"Serius."
Karena Haris yakin Vanny tidak akan percaya begitu saja dengan alasan ia dan Esti bertemu secara tidak sengaja di butik. Ya ampun. Ia harus menciptakan alasan yang benar-benar bisa dipercaya. Dan gaun pengantin itulah penyelamat mereka sekarang.
"Jadi ..."
Haris mencoba untuk menenangkan dirinya sesaat. Ia menghirup udara dalam-dalam dan lanjut bicara.
"... seolah-olah kita tuh nggak sengaja ketemu. Aku nggak tau kalau kamu kerja di sana dan aku memang beneran nyari gaun pengantin. Gimana?"
Hening sejenak. Tapi, sejurus kemudian terdengar suara Esti yang menyetujui rencana itu. Walau dengan kesan ragu.
"O-oke. Itu masuk akal. Jadi kamu beneran pesan gaun pengantin itu?"
Haris tidak ada pilihan lain. "Iya," jawabnya. "Jadi tolong kamu urus semuanya ya. Langsung kirim ke aku tagihannya."
Sepertinya Esti masih merasa ragu. Tapi, karena tidak ada jalan lain yang lebih masuk akal, maka apa boleh buat?
"O-oke, Ris. Ntar bakal aku urus semuanya. Karena ini pre order, jadi aku buat tagihan dp-nya aja dulu. Untuk kapan Vanny mau diukur dan mau request apa aja, bisa diatur belakangan."
"Sip. Pokoknya aku serahkan semuanya ke kamu, Es."
"Oke. Lima belas menit lagi aku bakal kirim tagihannya ke kamu."
Ketika panggilan itu berakhir, Haris masih belum bisa tenang. Bahkan saking masih ketar-ketirnya ia, Haris memutuskan untuk tidak langsung turut bergabung dengan orang tuanya yang sudah menunggu di meja makan. Walau pada saat itu Yuli sudah datang ke kamarnya.
Ya ampun, Es. Kok lama banget sih?
Tangan Haris keringatan. Kaus yang ia kenakan semakin basah. Dan lalu denting pesan yang masuk membuat ia bergegas.
Esti mengirimnya pesan. Tagihan yang harus Haris bayar untuk pemesanan gaun pengantin.
Tidak berpikir dua kali, Haris dengan segera membayar tagihan itu. Dan ketika 'oke' dari Esti sudah ia terima, barulah Haris bisa bernapas lega.
Haris duduk. Menyandarkan kepala dan menatap langit-langit. Ia perlu menenangkan deru napasnya terlebih dahulu. Kejadian itu benar-benar tidak bagus untuk kesehatan jantungnya.
"Ya ampun. Akhirnya selamat juga."
Tak bisa dibayangkan betapa leganya Haris kala itu. Kebohongan antara ia dan Esti sudah tersusun dengan rapi. Tak peduli bahwa kebohongan itu menuntut ia merogoh kocek yang tidak sedikit.
Haris tidak peduli dengan uang. Yang ia pedulikan adalah nyawanya. Dan yang pasti ia tidak ingin membuat Vanny marah.
"Lagipula aku nggak rugi-rugi amat kok," ujar Haris seraya membuang napas panjang. "Toh duit yang aku keluarkan ada bentuknya. Dalam bentuk gaun pengantin yang pastinya bakal cocok banget buat Vanny."
Eh, tapi tunggu dulu. Sepertinya ada yang terlewatkan oleh Haris. Sesuatu yang sejurus kemudian membuat Haris bertanya pada dirinya sendiri.
"Bentar. Apa ini artinya aku beneran nyiapin gaun pengantin buat Vanny ya?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top