5. Jebak-Jebakan Yuk

"Pak, apa ini nggak sedikit keterlaluan?"

Mendehem demi mengusir seringai geli yang masih bertahan di wajahnya, Haris mengangkat kepala. Melihat pada Astrid yang tampak menjeda makan siangnya. Wanita paruh baya itu melihat padanya dengan sorot tak tega. Tapi, jelas sorot itu bukan untuk dirinya. Alih-alih untuk seseorang yang kebetulan tidak turut menikmati makan siang bersama dengan mereka.

"Ehm ... sedikit keterlaluan?" tanya Haris pura-pura tak mengerti. "Maksud Ibu?"

Astrid mengembuskan napas panjang. Kali ini ia memutuskan untuk menaruh sejenak sendok dan garpu yang ia gunakan. Wanita paruh baya yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun itu menatap pada bos yang sudah ia layani selama empat tahun belakangan. Memang bukan waktu yang lama, tapi tentu saja bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu ia tau persis bagaimana sifat putra mantan bosnya terdahulu itu.

"Pak, kalau Pak Arif tau hal ini---"

"Ssst!"

Haris buru-buru menaruh jari telunjuk di depan bibirnya sendiri. Dengan desisan yang mengiringi, mata cowok itu membesar.

"Pamalik, Bu, pamalik. Jangan ngomong yang aneh-aneh ah. Ntar malaikat lewat malah jadi doa lagi."

Astrid meneguk ludah. Menelan kata-kata yang tadi sudah siap ia ucapkan. Haris pun membuang napas lega.

"Papa nggak bakal tau kalau nggak ada yang ngasih tau. Dan kalau Papa tau, kita udah ada alasan. Sama dengan alasan yang kita kasih ke Vanny," ujar Haris yang diikuti oleh senyum lebar di wajahnya. "Karena Ibu sudah nggak bisa nemani aku ke mana-mana full time."

Pundak Astrid tampak jatuh. Tapi, wajahnya benar-benar tidak bisa berbohong.

"Saya kasihan loh sama Vanny, Pak. Dia keliatan banget tertekan gara-gara pinalti itu."

Haris buru-buru menutup mulutnya. Tapi, nahas. Tawanya justru semakin meledak. Menyembur tak terkira.

"Hahahahaha."

Tawa di atas penderitaan? Inilah bentuk nyatanya. Astrid sudah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Di mana ketika ada seorang cewek yang tampak nelangsa ketika mendapati ada pinalti sebesar satu milyar rupiah, ternyata ada seorang cowok yang justru tertawa terbahak-bahak.

"Kan dia nggak perlu bayar pinalti sih kalau dia tetap mau kerja. Dia cuma bayar pinalti kalau dia mundur dari kerjaan ini. Simple kan?"

Tidak sesederhana itu. Tentu saja. Astrid pun tau.

"Malah sebenarnya aku itu baik hati loh, Bu. Aku tuh hanya ingin memastikan kalau Vanny akan memanfaatkan lowongan pekerjaan ini dengan sebaik mungkin. Cari kerjaan itu susah. Eh dia malah mau mundur seenak dia."

"Yang Bapak bilang memang benar sih," kata Astrid seraya menahan ringisannya. "Tapi, nggak gini juga kali, Pak. Gimanapun saya itu bisa lihat kalau Vanny beneran nggak mau kerja jadi sekretaris Bapak. Dia kayak yang nggak mau deket-deket dengan Bapak."

Tawa Haris menghilang seketika. Bahkan langsung tergantikan manyun.

"Ibu kalau ngomong jangan kelewat jujur bisa nggak sih? Buat aku bad mood saja."

Astrid membuang napas panjangnya. Tak ingin, tapi sekelumit senyum geli muncul di sudut bibirnya.

"Nggak bisa, Pak. Sebagai tangan kanan Bapak, saya dituntut untuk harus jujur."

Haris mencebik. Memutuskan untuk membasahi sejenak tenggorokannya yang terasa kering dengan dua tegukan air putih.

"Terutama untuk yang satu ini."

Kali ini wajah Haris yang tampak lesu. Pundaknya pun ikut-ikutan jatuh.

"Bapak nggak kasihan gitu lihat Vanny?" tanya Astrid kemudian. "Dia keliatan banget stres loh, Pak. Wajahnya keliatan kusut gitu semenjak dia tau soal pinalti di surat kontrak."

Haris merasa dirinya kehilangan nafsu makan. Mendadak saja perutnya terasa kenyang padahal masih tersisa setengah porsi yang belum ia nikmati.

"Kasihan kasihan," gerutu Haris. "Dia aja nggak kasihan pas mutusin aku dulu. Mana aku diputusin pas masih sayang-sayangnya lagi."

Mata Astrid memejam dengan dramatis. Ia geleng-geleng kepala dan tangannya lantas naik. Mendarat di pelipis demi memberikan satu pijatan di sana.

Tidak ingin mengingat ke belakang, tapi sejujurnya inilah alasan mengapa Astrid masih bertahan dengan posisi sekretaris di perusahaan Bumi Pertiwi. Posisi sekretaris yang marak diisi oleh wanita muda yang pintar, cantik, dan seksi, seolah mendapatkan pengecualiannya di sini. Lantaran bos terdahulu yang bernama Arif Cahyo Wiguna meminta dirinya untuk berperan ganda ketika puncak pimpinan berpindah pada sang putra. Tak hanya sebagai sekretaris, alih-alih juga sebagai orang tua untuk cowok itu kala di kantor.

Astrid yang sudah lama menjadi sekretaris Arif tak akan abai fakta di mana Haris sebagai anak tunggal memang kerap dimanja oleh sang ibu, Sekar. Terlebih karena ia pun memang akrab dengan keluarga itu sehingga ia benar-benar mengetahui bagaimana kepribadian Haris terbentuk. Cowok itu memang pintar dan bertanggungjawab, tapi sikap manja tidak akan lepas darinya. Dan bila berbicara mengenai manja, Haris dengan ego anak tunggalnya tidak akan ada yang bisa mengalahkan.

Perlahan, Astrid membuka matanya kembali. Melihat pada Haris.

"Masa cuma gara-gara itu Bapak jadi berbuat gini sih?" tanya Astrid tak percaya. "Ini bukannya kayak lagi ngejebak Vanny ya?"

"Ngejebak? Ehm ...."

Haris mengusap ujung dagunya seraya mendehem dengan penuh irama. Matanya tampak melihat tak fokus ke atas sana.

"Sebenarnya aku bukannya mau ngejebak dia, Bu. Tapi, nggak apa-apa juga kalau aku dianggap lagi ngejebak."

Tanpa malu, Haris tampaknya tak keberatan dengan tudingan Astrid. Alih-alih ia terlihat semringah, walau sedikit.

"Salah dia sendiri sih. Kalau dia nggak buat ulah duluan, aku nggak bakal kayak gini," gerutu Haris kemudian. "Dia dulu juga udah ngejebak aku."

"Ngejebak Bapak gimana?"

"Ngejebak aku dalam kenangan."

Astrid sontak memejamkan mata. Sekuat tenaga ia berusaha agar tidak menepuk dahinya saat itu juga. Tapi, bagaimana bisa Haris mengatakan hal seperti itu?

Ehm ... sepertinya Haris tidak sadar dengan apa yang ia katakan. Karena sedetik setelah kata-kata itu terlontar dari lidahnya, ia pun tampak cengar-cengir dengan wajah kaku.

"I-intinya ... ini juga nggak benar-benar merugikan siapa pun, Bu," ujar Haris kemudian. "Kerjaan Ibu ada yang bantu dan setau aku Vanny itu pinter kok. Untuk kategori sekretaris kedua yang jadi tukang suruh-suruh ... dia cukup kompeten."

Dalam hati, Astrid tak mampu menahan ringisannya. Sekretaris kedua yang jadi tukang suruh-suruh? Seumur hidup Astrid tidak tau kalau tugas sekretaris sekarang bertambah satu. Yaitu, tukang suruh-suruh. Yang benar saja deh.

"Jadi Bapak nggak bakal mundur?"

Mata Haris membesar. Tangan cowok itu sontak naik dan memegang dadanya sendiri. "Kok malah aku yang mau mundur? Emangnya aku mau bayar pinalti satu milyar apa? Kan nggak."

Astaga! Tapi, kali ini Astrid tidak bisa bertahan lagi. Pada akhirnya ia benar-benar menepuk dahi.

*

Kalau aku bisa nabung satu juta tiap bulan, itu artinya aku butuh sekitar seribu bulan untuk ngumpulin duit satu milyar. Dengan kata lain itu duit terkumpul setelah 83 tahun. Sementara sekarang umur aku udah dua puluh sembilan tahun. Apa ada jaminan umur aku bakal nembus satu abad? Atau ini sebenarnya aku lagi mewarisi utang ke anak cucu aku ntar?

Sungguhpun dalam mimpi terburuk sekalipun Vanny tidak pernah berpikir dirinya akan mengumpulkan uang satu milyar rupiah hanya untuk diberikan pada orang lain secara cuma-cuma. Dan orang lain itu adalah mantan pacar sendiri.

Ngenesnya paket komplit nggak sih?

Lebih dari paket komplit. Karena saking komplitnya, Vanny mendapati dirinya tak nafsu makan setelah hari itu. Nasi ayam geprek yang biasa ia santap dua porsi sekaligus pun seolah tak berdaya menghadapi dirinya yang mendadak tak berselera makan. Hingga pada akhirnya Vanny hanya bisa bertahan pada minuman sereal yang ternyata masih memiliki sedikit pesona di matanya. Berbekal minum makanan bergizi itu, Vanny pun melewati istirahat siangnya di pantry.

"Vanny? Kamu nggak makan siang?"

Vanny menoleh. Melihat pada Astrid yang muncul di ambang pintu pantry. Ia menggeleng dengan senyum lemah di wajahnya.

"Nggak, Bu. Saya nggak makan siang," jawab Vanny lesu. "Saya harus mulai nabung dari sekarang."

Astrid yang semula ingin membuat kopi, mendadak membeku tubuhnya. Ia melihat pada Vanny dengan sorot kasihan. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Haris sudah mengambil tindakannya dan ia tak bisa mencegah.

Beberapa hari yang lalu, ketika Astrid mengetahui rencana Haris untuk merekrut sekretaris kedua, ia memang antusias. Tubuhnya yang mulai memasuki angka empat puluh memang tidak bisa berbohong. Ia mudah lelah dan ia terkadang kerepotan. Tapi, ia kecele ketika mengira niatan Haris itu karena benar-benar peduli pada posisi sekretaris itu. Melainkan karena ada urusan pribadi di sana.

Pada akhrinya Astrid tau bahwa Vanny adalah mantan pacar Haris dulu ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Pemutusan sepihak merupakan alasan utama mengapa cowok itu akhirnya nekat untuk memanfaatkan situasi. Ia merekrut Vanny sebagai sekretaris kedua. Dan itu membuat Astrid sedikit ragu dengan satu pemikiran yang melintas di benaknya.

Pak Haris bukannya mau balas dendam kan ya? Karena kalau emang iya, jelas sekarang rencana itu berhasil. Lihat. Baru berapa hari Vanny udah keliatan kayak udah mau gila saja.

Astrid merasa sedih, tapi sayangnya tak ada yang bisa ia lakukan.

"Nabung dari muda emang bagus sih," ujar Astrid pura-pura tidak tau. "Karena nggak ada yang tau masa depan itu kayak gimana."

Vanny meringis. Tertawa kaku dengan wajah yang frutrasi. "Aku kayaknya udah nggak ada masa depan lagi, Bu."

Lagi, Astrid yang berniat untuk meraih cangkir kopi mendadak membeku tubuhnya. Dan lagi-lagi ia menoleh kembali. Melihat pada Vanny dan hanya bisa meneguk ludah.

"J-jangan ngomong kayak gitu, Van. Pamalik. Ntar salah-salah bisa jadi doa lagi."

Membuang napas seraya meneruskan niatannya untuk membuat secangkir kopi, Astrid meringis ketika menyadari bagaimana dirinya yang meniru perkataan Haris. Sementara di lain pihak ia tau sekali bahwa penyebab Vanny nelangsa seperti itu lantaran perbuatan Haris.

Hanya bisa membenarkan perkataan Astrid dengan anggukan samarnya, Vanny lantas menandaskan isi gelasnya. Semua air berikut dengan sereal yang dicap bergizi itu lenyap ke dalam saluran pencernaannya. Bersama dengan Astrid, Vanny kemudian kembali ke meja sekretarisnya.

"Gimana dengan akomadasi Pak Haris di Bengkulu? Sudah diurus semua kan?"

Vanny mengangguk lemas. "Hotel, mobil, dan lain-lain sudah siap, Bu. Nggak ada yang terlewatkan sedikit pun."

"Baguslah kalau begitu," angguk Astrid. "Dan untuk kamu sendiri gimana? Udah beres juga?"

Vanny melihat Astrid dengan sorot putus asa. Tiba-tiba, ia meraih tangan Astrid. Memegangnya dengan erat. Tindakan Vanny yang mendadak itu tentu saja membuat Astrid kaget.

"E-eh kamu kenapa, Van?"

Lekat dan penuh harap, Vanny menatap Astrid. "Kita bisa tukaran kerjaan nggak, Bu?"

"T-tukaran pekerjaan?"

Vanny mengangguk. "Biarin deh saya kerjain semua tugas Ibu di sini. Apa pun itu. Asal saya nggak ikut ngedampingi Pak Haris buat pergi."

"E-ehm itu---"

"Saya mabuk udara, Bu. Saya mabuk laut. Bahkan kalau naik mobil kelamaan saya juga bisa mabuk Stella. Saya itu beneran nggak bisa pergi jauh-jauh."

Terlepas dari benar atau tidaknya perkataan Vanny, sedikit banyak rasa kasihan itu benar-benar timbul di hati Astrid. Ia bisa membayangkan betapa Vanny yang merasa tidak nyaman dengan keadaannya sekarang. Bekerja sebagai bawahan dari mantan pacar yang dengan licik memanfaatkan situasi dan kondisi seperti Haris? Astrid tidak tega. Tapi, lagi-lagi ia pun tak bisa berbuat apa-apa.

Bahkan kalaupun Astrid ingin bertukar kerja seperti yang dikatakan oleh Vanny tadi, itu tentu saja tidak mungkin. Pekerjaan sekretaris bukan hal sepele. Dan bila Astrid tinggal di kantor maka ia adalah wajah pengganti Haris selama cowok itu tidak ada. Tentunya bukan hal yang bisa diemban oleh Vanny mengingat ia pun baru sebentar bekerja di sana.

"Saya bukannya nggak mau, Van."

Perkataan Astrid sontak membuat remasan tangan Vanny di jari-jari wanita itu mengendur seketika.

"Tapi, semua sudah ada tugasnya. Dan kita nggak bisa ngubahnya semau kita."

Tangan Vanny terjatuh. Menggantung di udara.

"Maaf ya?"

Vanny hanya bisa mengangguk lemah. Bahkan sebenarnya sebelum ia mencoba peruntungannya ia sudah bisa menebak. Bahwa kemungkinan permintaannya akan berhasil pasti sangat kecil.

"Kriiing!"

Bunyi telepon lagi-lagi datang di saat yang tepat. Memberikan alasan untuk Astrid keluar dari situasi yang tidak nyaman itu. Ia meraih gagang telepon.

"Halo, Pak."

Tentu saja itu adalah Haris. Vanny yakin seratus persen.

"Baik, Pak. Akan segera saya sampaikan."

Astrid menutup telepon. Ia berpaling kembali pada Vanny yang sontak menegang tubuhnya. Alarm kebakaran seperti berdenging di benaknya.

"Van, kamu buatin kopi buat Pak Haris. Antar ke ruangannya."

Vanny melongo sedetik. Lalu ia menujuk hidungnya sendiri. "Pak Haris minta saya buatin kopi?"

"Iya," angguk Astrid. "Kopi hitam pahit tanpa gula."

Astaga. Vanny mendengkus tak percaya. Ketika ia sedang berusaha mencari jalan untuk bisa lepas dari cowok itu -bahkan dengan rela tidak makan siang demi menabung, eh ... Haris justru melakukan hal sebaliknya?

Pada akhirnya, mungkin karena Vanny yang sudah teramat stres, satu ide pun melintas di benaknya. Sesuatu yang membuat cewek itu segera bergegas ke pantry. Dengan bibir yang menggeram.

"Jadi kamu suka kopi pahit, Ris? Ehm ... kalau kopi manis gimana?"

Tidak tanggung-tanggung, setengah cangkir itu Vanny isi dengan gula!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top