48. Nggak Gitu Konsepnya

Berusaha untuk tetap sabar dan tenang ketika makan malam bersama itu berlangsung, pada akhirnya Haris mendapatkan kesempatannya. Untuk bicara berdua saja dengan Vanny. Yaitu ketika makan malam berakhir dan Haris segera bangkit dari duduknya seraya mengambil alih piring yang sudah Vanny tumpuk.

"Mama nonton aja ya. Biar aku bantuin Vanny bentar."

Semula Sekar tampak ingin mengatakan sesuatu. Tapi, ketika dilihatnya Haris yang sudah keburu bangkit seraya membawa setumpuk piring, maka wanita paruh baya itu mengurungkan niatnya. Ia mengangguk.

"Oke. Mama nonton aja."

Sekar beranjak dari sana. Layaknya pemilik asli hunian itu, ia pun menuju ruang menonton. Meninggalkan Haris dan Vanny.

Setelah memastikan sang ibu benar-benar telah pergi, Haris dengan serta merta menarik Vanny. Melupakan tumpukan piring yang kembali ia taruh di atas meja, ia membawa Vanny untuk ke dapur.

"Ris."

Haris tidak menghentikan langkah kakinya walaupun Vanny dengan terang-terangan berontak di sepanjang jalan. Vanny memukul Haris. Tapi, Haris benar-benar bergeming. Terus berjalan hingga mereka benar-benar tiba di dapur.

"Ris! Apa-apaan sih?"

Vanny cemberut. Meraba pergelangan tangannya yang baru saja terbebas dari genggaman Haris.

"Aku, Van," geram Haris panik. "Aku yang harusnya nanya. Apa-apaan sih? Ini ada apa?"

Masih meraba pergelangan tangannya, Vanny mengangkat wajahnya. Melihat Haris dengan wajah cemberut.

"Menurut kamu ada apa?" balik bertanya Vanny dengan wajah tertekuk. Manyunnya terlihat semakin menjadi-jadi. "Mama kamu datang ke sini dan untuk itu rasa-rasanya aku kan yang wajarnya nanya ke kamu?"

Haris menggaruk kepalanya. Yang dikatakan oleh Vanny memang benar sih. Tapi ...

"Argh!" geram Haris. Matanya melirik tajam ke ambang pintu dapur. Seolah bisa melihat sang ibu dari sana. "Mama ini bener-bener deh."

"Jadi ..."

Suara Vanny membuat Haris kembali beralih pada cewek itu. O oh! Haris bisa melihat dengan jelas sorot penuntutan yang memancar dari sepasang mata bening Vanny.

"... ini ada apa, Ris?"

Haris berdecak. Bingung dan pusing. Harus bagaimana ia menjawab pertanyaan itu sementara Vanny terlihat amat mendesak?

"Ada apa?"

Mengulang kembali pertanyaannya untuk yang kesekian kali, Vanny mendelik pada Haris. Dan pada akhirnya Haris membuang napas panjang. Masih ragu juga untuk menjawab pertanyaan itu dengan jujur.

Kira-kira, Vanny bakal ngamuk nggak ya kalau aku jawab apa yang sebenarnya terjadi?

Haris meneguk ludah. Cepat matanya memindai keadaan di sekeliling. Sial! Mereka saat itu berada di dapur. Tempat di mana beberapa senjata tajam berkamuflase sebagai peralatan memasak.

Ada pisau buah, pisau sayur, hingga pisau daging. Itu semua jelas adalah senjata tajam yang sedang berpura-pura menjadi alat-alat dapur. Astaga! Nyawa Haris jelas terancam.

"Ris."

Namun, Haris pun menyadari ia tidak punya pilihan lain. Terlebih lagi kalau besok Sekar benar-benar datang ke sana lagi. Cepat atau lambat semuanya pasti akan terbongkar pula.

Maka Haris pun meraih tangan Vanny. Mungkin sikapnya itu membuat jantung Vanny sedikit bergemuruh. Terlebih lagi dengan tatapan mata Haris yang tertuju padanya dengan tanpa kedip. Tentunya menghadirkan suasana yang membuat Vanny menjadi berdebar-debar tak karuan.

Namun, yang sebenarnya terjadi adalah Haris sedang memasang antisipasi. Menahan tangan Vanny demi memastikan cewek itu tidak akan mengambil senjata tajam. Pun menatap mata Vanny demi mengintai pergerakan yang mungkin ia lakukan.

Benar. Itu bukan sikap pria sejati yang sedang Haris lakukan. Alih-alih justru sikap pria yang sedang ketakutan kalau ada pisau yang menancap di tubuhnya dalam waktu dekat. Karena sejurus kemudian Haris pun menceritakan apa yang terjadi.

"Aku nggak tau Mama tau dari mana. Tapi, Mama tau kalau kita ada hubungan. Dan ...."

Dan semua yang Haris katakan tidak benar-benar tertangkap oleh indra pendengaran Vanny. Suara Haris berubah layaknya suara televisi zaman dulu saat masih era layar hitam putih. Yang di saat tengah malam hanya ada semut yang menjadi tayangannya.

Terdiam dan melihat mulut Haris yang komat-kamit menjelaskan semuanya, Vanny mendapati tubuhnya yang kian lemas dari detik hingga detik. Hingga terpaksa membuat ia bersyukur karena ada Haris yang memegang dirinya. Karena kalau tidak, Vanny pikir ia akan jatuh merosot di lantai sana.

"Jadi gitu ceritanya, Van. Aku aja nggak ngira kalau Mama sampe nekat nyamperin kamu ke sini."

Vanny berusaha sekuat tenaga untuk tetap bernapas. Walau tanpa sadar tangannya justru balik memegang Haris.

"M-Mama kamu tau tentang kita?"

Menahan ringisan, Haris mengangguk. "Iya."

"Y-ya Tuhan."

Tubuh Vanny kehilangan kekuatan. Nyaris benar-benar akan terjatuh andaikan Haris tidak sigap meraih pinggangnya.

"Van," lirih Haris khawatir. Ia tau, pasti Vanny benar-benar syok. "Kamu nggak apa-apa?"

Bertahan pada Haris, Vanny meringis dramatis. "Gimana bisa aku nggak apa-apa, Ris?"

Vanny benar. Maka Haris pun buru-buru mengajak Vanny duduk di kitchen island. Memberikannya segelas air dengan harapan itu bisa meredakan sedikit syoknya.

"Kamu harusnya tau gimana kagetnya aku pas Mama kamu nyamperin aku," ujar Vanny sejurus kemudian. "Kamu tau? Mama kamu udah ngasih aku seabrek daftar makanan dan minuman kesukaan kamu. Nggak cuma itu. Waktu kami cuci buah tadi, Mama kamu juga cerita panjang lebar mengenai kebiasaan kamu."

Haris tidak tau kalau Sekar telah bertindak sejauh ini. Astaga. Haris mau gila rasanya.

"R-Ris, ini jadinya gimana? Aku nggak mau Mama kamu salah paham gini. Astaga. Dan tadi kamu denger sendiri kan? Mama kamu tadi jelas banget ngomong mantu dan mertua."

Vanny memejamkan mata. Menggeram dan berusaha sekuat tenaga menahan ringisannya. Agar tidak menggema dan justru menarik perhatian Sekar.

"Aku nggak mau Mama kamu salah paham, Ris."

Yang dikatakan oleh Vanny memang benar. Terlepas dari apa yang terjadi, sejujurnya Haris pun merasa kasihan juga pada Vanny. Tidak bisa membayangkan betapa tertekannya Vanny sedari tadi. Karena kalau yang dikatakan Vanny memang benar, tentu saja bukan hanya dirinya seorang yang berpotensi gila dadakan. Alih-alih Vanny juga. Karena mana ada cewek yang tidak akan hilang kewarasan tiba-tiba kalau mendadak ada seorang wanita paruh baya membahas soal menantu dan mertua?

"Gimanapun juga antara kita kan nggak ada hubungan apa-apa."

Tunggu. Haris memang bersimpatik dengan keadaan Vanny. Tapi, kayaknya bukan begini juga sih.

Wajah Haris berubah. Tampak tertekuk seketika dengan ekspresi tak terima yang tidak ia tutupi.

"Nggak ada hubungan apa-apa?" tanya Haris ketus. "Dua kali kita tidur dan kamu ngomong nggak ada hubungan apa-apa? Seintim itu nggak termasuk hubungan?"

"Haris."

Vanny buru-buru menutup mulut Haris dengan mata melotot. Kaget, ia sama sekali tidak mengira kalau Haris akan menyenggol hal tersebut.

"Kamu apa-apaan sih? Malah bahas soal itu lagi."

Haris menarik tangan Vanny dari mulutnya. Memperlihatkan cemberut yang terang-terangan tertuju untuk cewek itu. Ia menggerutu.

"Apa-apaan apa-apaan. Kamu tuh yang apa-apaan. Oke deh kalau Mama buat kamu syok. Tapi, nggak gini juga, Van. Kamu ngomong kita nggak ada hubungan apa-apa?"

Vanny menjadi kicep juga. Hanya bisa meneguk ludah.

"Dua kali loh kita tidur dan b-u-l-l-shit banget kalau kamu ngomong kita ada hubungan apa-apa. Ck. Awas aja kalau pas hamil ntar baru kamu bilang kita ada hubungan."

Astaga, Haris. Vanny sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi dibuatnya.

"K-kamu bukannya berharap aku hamil kan?"

Haris membuang muka. Masih kesal. "Ntah."

"Ya Tuhan."

Vanny menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tetap sabar. Karena alih-alih mempersoalkan hamil atau tidak, Vanny tau ada hal lebih penting yang harus mereka hadapi.

"Ris."

Haris menarik tangannya ketika Vanny memegangnya. Bibirnya masih cemberut dengan mata yang benar-benar tidak melihat pada cewek itu.

"Apa?" tanya Haris dengan nada ketus. "Sekarang takut? Khawatir kalau beneran ntar kamu hamil?"

Ya ampun. Kalau tidak ingat ada Sekar yang sedang menonton televisi, mungkin saja Vanny benar-benar akan meraih pisau daging dan talenan. Kebetulan ada penggiling daging yang belum ia coba. Sepertinya bagus untuk membuat adonan baso.

"Nggak. Aku nggak takut hamil."

Haris langsung menoleh pada Vanny. Matanya melirik pada perut ramping Vanny. Mengapa Vanny bisa seyakin itu?

"Karena saat di Bengkulu, sehari setelah kita berhubungan, aku langsung bulanan."

Mata Haris mengerjap sekali.

"Dan yang kemaren itu aku baru aja sehari selesai bulanan."

Mata Haris kembali mengerjap.

"Jadi aku nggak bakal hamil karena aku lagi nggak masa subur."

Kali ini mata Haris melotot. "Terus kapan masa subur kamu?"

Mana pisau daging?

Haris buru-buru menahan tangan Vanny ketika cewek itu tampak ingin bangkit dari duduknya. Tidak ingin mengambil risiko untuk pertanyaan gila yang baru saja terlontar begitu saja dari bibirnya.

"Ssst! Di depan ada Mama."

Lihat? Sekarang Haris malah bersyukur karena ada Sekar di sana. Karena kalau tidak, nyawanya pasti sudah melayang dan dagingnya akan dijadikan Vanny adonan baso.

"Kita urusin dulu soal Mama aku. Urusan yang lain kita urusin belakangan. Gimana?"

Bibir Vanny mengatup hingga tampak mengerut. Bukan hanya sebagai upaya demi menahan aneka macam rutukan yang meminta untuk dilontarkan. Alih-alih juga usaha untuk menyabarkan dirinya sendiri.

"Harusnya kamu yang beresin soal Mama kamu, Ris. Aku nggak tau apa-apa. Dan ini murni kesalahan kamu. Kalau kamu nggak gila sejak awal, semua ini nggak bakal terjadi."

"Kamu ini bisanya cuma nyalahin aku aja. Memangnya kamu nggak nyadar? Dikit banyak ini juga gara-gara kamu."

Vanny menunjuk hidungnya. "Gara-gara aku?"

"Kalau kamu dulu nggak mutusin aku tiba-tiba dan kalau kamu mau aku ajak balikan, aku nggak perlu sampe buat jebakan pinalti itu."

Vanny mencoba untuk tetap sabar. Ia tidak boleh terpancing emosi. Tapi, sungguh. Apa Haris menyadari bahwa ia dengan tanpa sadar mengakui pinalti itu untuk menjebak Vanny?

"Ah!" geram Vanny. "Aku nggak mau tau asal muasal semua ini bisa terjadi. Yang aku mau cuma satu."

"Apa?"

"Aku mau semua salah paham ini harus diluruskan."

Harusnya Haris tidak perlu bertanya lagi apa yang menjadi keinginan Vanny. Tentunya ia ingin Haris menjelaskan pada ibunya. Bahwa tidak ada label mertua dan menantu yang tersemat pada mereka berdua.

"Tapi, gimana caranya, Van?" tanya Haris tidak bisa berpikir. "Gimana caranya agar salah paham ini bisa diluruskan? Kan kamu lihat sendiri gimana Mama yang udah mikir kita pacaran."

"Aku nggak mau tau gimana caranya. Pokoknya kamu yang harus cari cara. Aku nggak mungkin sanggup, Ris, kalau Mama kamu datangi aku terus-menerus. Apa kabar jantung aku? Kamu nggak lihat? Aku udah gemetaran dari tadi."

Terlalu fokus dengan kepanikannya sendiri sepertinya membuat Haris mengabaikan sesuatu. Bahwa bukan hanya dirinya seorang yang menjadi pihak tertindas kala itu. Alih-alih Vanny juga.

"Bayangkan, Ris. Aku baru balik dari kantor dengan dua kantung belanjaan. Tiba-tiba Mama kamu udah ada di lobi dan nyamperin aku. Dan nggak sampe di sana. Mama kamu juga ngajarin masak. Ngajak aku ngobrol panjang lebar. Sampe bahas banyak topik yang aku sendiri nggak tau apa itu, Ris."

Haris tidak berniat sih. Tapi, otomatis saja otaknya bekerja. Langsung membayangkan keadaan Vanny kala itu.

"Dan untuk itu semua ...," ringis Vanny tak berdaya. "... aku rasa-rasanya udah kayak mau mati di tempat, Ris."

Haris sontak tertawa. Lucu melihat penderitaan Vanny yang terpampang nyata di depan matanya dan yang terbayangkan di dalam benaknya.

"Ris, please. Tolong luruskan semua salah paham ini. Aku nggak mau Mama kamu keterusan salah pahamnya."

Mencoba untuk menahan tawanya, Haris sekarang malah cengar-cengir. Geli juga melihat Vanny yang tak berkutik menghadapi Sekar. Hingga kemudian satu ide melintas di benaknya. Haris mendeham.

"Oke, Van. Karena kamu yang minta, aku bakal bantuin. Aku udah nemu cara agar Mama nggak salah paham lagi."

Ringisan Vanny berhenti. Kedua tangannya bergerak. Memegang Haris. Terlihat matanya berbinar-binar penuh harap.

"Beneran?"

"Bener," angguk Haris mantap. "Aku ada satu cara biar Mama nggak salah paham lagi. Kamu mau tau apa caranya?"

Vanny mengangguk penuh semangat dan pengharapan. "Apa?"

"Gampang," jawab Haris tersenyum lebar. "Kita buat aja biar Mama nggak salah paham lagi dengan hubungan kita."

Memang sih Haris belum tuntas bicara. Tapi, seketika saja tubuh Vanny sudah kehilangan kekuatannya. Tangan Vanny lepas dari tubuh Haris. Tepat ketika Haris menuntaskan perkataannya.

"Kita beneran pacaran aja. Selesai deh salah paham."

Lalu, Haris tertawa terbahak-bahak.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top