47. Nggak Ibu Nggak Anak, Sama Aja!

"Haris itu paling suka tumis kangkung pakai terasi, bukan pakai saus tiram. Oke?"

"O-oke, Bu."

"Nah! Terus pastikan kamu belah batang kangkungnya jadi dua. Biar kamu bisa pastikan nggak ada cacing, telor bekicot, atau berudu di dalamnya. Oke?"

Sejak kapan ada berudu di dalam batang kangkung? Tapi, tetap saja. Untuk pertanyaan itu, adalah jawaban aman yang terdengar.

"O-oke, Bu."

"Dan yang paling penting. Tumisnya jangan pake api yang besar. Nanti kangkung kamu gosong, tapi belum masak. Itu rasanya nggak enak. Oke?"

"O-oke, Bu."

"Yang pasti, Haris nggak suka kangkung yang terlalu lembek. Haris suka kangkung yang masih sedikit renyah."

"O-oke, Bu."

"Bagus. Kalau begitu coba kamu tumis kangkung itu sekarang. Ntar biar Mama koreksi kalau rasanya nggak enak."

"O-oke, Ma."

Eh?

Ma?

Mama?

Tunggu. Bukannya dari tadi Vanny selalu mengatakan 'ibu' ya? Tapi, kenapa mendadak berubah menjadi 'mama'?

Oh, tidak. Ini sebenarnya aku lagi halusinasi stadium berapa sih?

Menyadari apa yang baru saja terucap dari bibirnya, tentu saja membuat Vanny membeku jiwa raga. Matanya melotot dengan tangan yang meremas baskom berisi kangkung. Jari-jari tangan Vanny memutih. Tapi, belum seputih bibirnya yang lantas memucat.

K-kenapa aku manggil mamanya Haris dengan panggilan Mama? H-harusnya Ibu kan? Atau kalau nggak formal, Tante mungkin. Tapi, ini? Mama?

Tak bergerak di tempatnya berdiri, Vanny melihat Sekar dengan menahan napas. Ingin meralat perkataannya. Tapi, bagaimana caranya?

Terlebih karena sejurus kemudian ada satu tepukan lembut di pundak Vanny. Sontak membuat Vanny meneguk ludah menahan panik.

"Mama tunggu," ujar Sekar. "Kalau ada yang kamu nggak ngerti, panggil Mama. Oke?"

Vanny meremas baskom lebih kuat lagi. Tak berdaya ketika terpaksa menjawab.

"Oke, Ma."

"Good!"

Sekar tersenyum dan melenggang dari sana. Beranjak demi melihat-lihat isi kantung belanjaan Vanny yang lain. Senyumnya terlihat begitu semringah ketika mengagumi buah-buah segar yang Vanny pilih. Seolah tak peduli bahwa saat itu ada seorang cewek yang nyaris ingin pingsan di tempat karena dirinya.

Tentu saja. Cewek itu adalah Vanny yang hanya bisa menjerit di dalam hati.

Hariiis!

*

"Ciiit!"

Tidak salah Haris mengeluarkan uang dengan deretan nol yang banyak saat memilih mobil itu. Rem dan bannya benar-benar bisa diandalkan untuk urusan berhenti mendadak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan tentunya tidak menjadi hal yang mengherankan bila dalam hitungan detik yang singkat, Haris sudah keluar dari mobil.

Terburu-buru layaknya sedang berlomba dengan waktu, Haris mengeluarkan tanda pengenalnya pada resepsionis. Lalu ia langsung meluncur menuju lift setelah mendapatkan akses.

"Mama, please. Jangan buat aku malu tujuh turunan," ujar Haris ketika lift membawa dirinya untuk naik, melewati lantai demi lantai dengan rasa panik. "Satu turunan aja aku belum punya, masa udah dibuat malu tujuh turunan?"

Meremas rambut dan melompat-lompat di dalam lift, Haris tidak peduli kalau petugas keamanan menertawai dirinya melalui rekaman kamera pengawas. Mungkin saja kan nanti ada orang yang mengira kalau ia sudah gila. Tapi, astaga. Haris memang nyaris gila.

"Lift! Buruan dong. Argh! Kok lama banget."

Haris nyaris mau menangis rasanya ketika pada akhirnya lift berhenti pula. Ia lompat-lompat kecil layaknya atlet yang pemanasan. Dan ketika pintu lift membuka, ia langsung berlari.

Haris persis seperti atlet lari yang sedang mengikuti perlombaan Olimpiade. Berlari dengan sekuat tenaga dengan unit apartemen Vanny sebagai garis finish-nya. Menekan bel dengan perasaan campur aduk. Dan ketika pintu itu membuka, suara yang menyambutnya bukanlah suara yang ia harapkan.

"Eh! Anak Mama datang."

Sekar berdiri di depan Haris dengan senyum mengembang sempurna. Tak peduli dengan keadaan Haris yang sudah megap-megap seperti ikan kekurangan air. Wajahnya pucat. Tubuhnya membeku. Dan lalu Haris histeris.

"Mamaaa!"

*

"Tadi Mama ngajarin Vanny masak tumis kangkung pakai terasi."

Sepertinya Haris mulai percaya dengan apa yang Vanny katakan. Bahwa dirinya memang terjangkit penyakit halusinasi. Karena. Karena. Karena kok bisa seperti ini sih? Karena tidak masuk akal kan kalau sekarang ada Sekar, Haris, dan Vanny di satu meja makan yang sama? Di apartemen Vanny? Tidak masuk akal kan?

Iya. Pasti banget. Ini pasti aku lagi halu.

Namun, halusinasi apa yang terasa begitu nyata seperti ini? Bukan hanya apa yang matanya lihat. Alih-alih apa yang hidungnya cium pula.

"Seperti kesukaan kamu, Ris. Ini dicoba dulu. Udah sesuai dengan selera kamu belum?"

Sekar melirik pada tumis kangkung yang ada di atas meja. Memberikan isyarat pada sang putra untuk mengambilnya. Dan Haris melakukannya. Mengambil sesendok dan menaruh di piringnya.

"Gimana?" tanya Sekar dengan ekspresi penasaran. "Kangkung masakan Vanny sudah sesuai dengan selera kamu?"

Sungguh. Sepertinya halusinasi bisa terjadi secara massal. Karena bagaimana mungkin Haris dan Vanny membayangkan hal yang sama? Bahkan saking samanya hal yang mereka bayangkan, Vanny pun bisa dengan jelas mendapati lirikan mata Sekar ketika ia bertanya pada Haris.

"Tadi Vanny udah masak dengan sepenuh hati banget. Pasti rasanya enak."

Haris meneguk ludah. Tangannya gemetar ketika menyendok nasi dan tumisan kangkung. Perlahan mengangkat sendok dan mengarahkannya ke mulut.

Sekar dan Vanny melihat Haris yang melakukan suapan pertamanya. Mengunyah dengan pelan dalam rutukan yang menggema di benaknya.

S-seumur hidup aku nggak pernah makan dalam kondisi mental tertekan kayak gini. Nggak pernah, Tuhan.

Karena pada saat itu baik Sekar ataupun Vanny sama-sama tidak ada yang berkedip sedikit pun. Mereka dengan kompak melihat pada Haris. Lekat ketika Haris mulai mengunyah.

"Gimana? Enak? Sesuai dengan selera kamu?" tanya Sekar lagi dengan penuh semangat. "Karena kalau belum sesuai dengan selera kamu, bilang aja. Biar besok Mama ke sini lagi buat ngajarin Vanny lagi."

"Hah?!"

"Hah?!"

Terkesiap kaget mendengar perkataan Sekar, Haris dan Vanny tentu saja langsung melotot syok karenanya. Bahkan saking syoknya membuat Haris terlupa dengan kangkung yang ada di mulutnya. Alih-alih dikunyah, Haris malah spontan menelannya langsung. Dan sejurus kemudian.

"Hueek!"

Haris megap-megap dengan kangkung yang sebagian ada di tenggorokannya dan sebagian lagi masih berada di mulutnya!

"Haris!"

Sekar dan Vanny sama-sama panik. Secepat mungkin bangkit dari duduknya, Vanny yang kebetulan lebih dekat dengan cepat menyodorkan air pada Haris.

Haris menyambar gelas dan tergesa-gesa meneguk isi di dalamnya. Demi meluncurkan kangkung itu untuk amblas ke dalam perutnya.

"Ya Tuhan. Ya Tuhan."

Haris menaruh gelas kosong di atas meja dengan geram. Matanya memerah dan hidungnya tampak berair. Ia melihat Sekar dengan tatapan yang membuat sang ibu memutar bola matanya.

"Ehm ... Mama kan cuma nanya," cicit Sekar.

"Wah!"

Kesiap itu meluncur dengan satu pemikiran yang melintas di benak Haris. Apakah benar wanita paruh baya yang nyaris membuat ia putus napas itu adalah ibu kandungnya? Bisa saja kan itu adalah pembunuh bayaran yang diutus oleh pesaing bisnisnya? Pembunuh bayaran yang menyamar menjadi ibunya dan berencana menyerangnya di titik terlemah.

"Mama ini."

Haris menutup mulutnya. Berusaha menahan geram dan menarik napas dalam-dalam. Mengingat di dalam hati bahwa Sekar adalah pemegang kunci surganya.

Sabar ya, Ris. Namanya juga orang tua.

Maka ketika Haris membuka mata, ia mencoba untuk tersenyum pada Sekar. Alih-alih menuruti rasa kesalnya akan tindakan sang ibu.

"M-Mama cuma nanya loh, Ris," ujar Sekar lagi. "Gimana kangkung masakan Vanny? Sesuai dengan selera kamu atau nggak? Kan kalau nggak sesuai ... Mama besok bisa datang ke sini lagi buat ngajarin Vanny."

Sekar melihat pada Vanny yang sekarang duduk di sebelah Haris. Tampak tersenyum dan bertanya pada cewek itu dengan begitu entengnya.

"Iya kan, Van?"

Vanny meneguk ludah demi melihat gerlingan mata Sekar. Berusaha untuk tetap bernapas ketika ia terpaksa mengangguk demi menjawab.

"Tuh kan!" seru Sekar. "Jadi gimana, Ris? Rasa tumisan kangkung Vanny gimana?"

Ketika Sekar melayangkan pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya, secara refleks Haris pun menoleh pada Vanny. Dan pada saat itu ia dapati Vanny mengerutkan dahi dengan sorot mata meminta yang tertuju padanya. Seolah Vanny tengah memohon.

Please, Ris. Bilang masakan aku enak. Please, aku mohon.

Kaku, Haris memutar kepala. Kali ini beralih pada Sekar yang menunggu jawaban Haris dengan penuh antusias. Tentu. Ia tidak punya pilihan lain.

"Gimana?" tanya Sekar lagi tak sabaran. "Enak?"

"Enak, Ma."

Mata Sekar terlihat berbinar. Tapi, itu belum cukup untuk memuaskannya. "Sesuai selera kamu?"

"Sesuai, Ma."

Sekar bertepuk tangan sekali. Ia beralih pada Vanny. Terlihat begitu bangga.

"Tuh kan. Kamu dengar apa yang Haris bilang, Van? Katanya dia suka. Ck. Kamu pinter."

Vanny tertawa kaku. Berusaha sekuat tenaga untuk menahan ringisannya. "I-iya, Ma."

"Kalau bukan Mama yang ajarin, belum tentu Haris suka."

Ekspresi bangga benar-benar tercetak di wajah Sekar. Ia sampai menepuk dadanya berulang kali. Dan untuk itu Vanny pun mengucapkan terima kasihnya. Tepat ketika ada satu senggolan mengganggu kakinya di bawah sana.

"Makasih, Ma."

Vanny menunduk. Mendapati ada kaki Haris yang menyenggol kakinya di bawah sana. Dan ketika Vanny kembali mengangkat kepala, ia melihat mata Haris yang kedip-kedip padanya. Seolah sedang bertanya pada cewek itu.

Sejak kapan kamu manggil Mama aku Mama?

Vanny mendelik. Berusaha untuk mengusir kaki Haris yang masih terus berusaha menyenggol kakinya di bawah.

Haris tidak berhenti. Masih menyenggol kaki Vanny dan masih kedip-kedip mata. Hingga pada akhirnya Vanny membuang napas panjang dengan mata melirik tajam. Dan sejurus kemudian suara Sekar terdengar.

"Sama-sama."

Baik Vanny ataupun Haris sontak kembali melihat pada Sekar. Wanita paruh baya itu mengambil nasi untuk dirinya sendiri seraya menyuruh Haris dan Vanny untuk melanjutkan makannya.

"Mama sejujurnya merasa senang udah ngajarin kamu masak. Haris ini agak rewel kalau masalah makanan," lanjut Sekar. "Makanya Mama khawatir kamu nggak tau mau Haris itu gimana."

Vanny hanya bisa angguk-angguk kepala dengan ekspresi serba salah. "Ah, iya, Ma."

"Tapi, kamu nggak usah khawatir, Van."

Sekar menaruh sejenak sendoknya di piring. Ia memegang dadanya ketika melanjutkan perkataannya. Seolah-olah ingin meyakinkan Vanny akan keseriusannya.

"Mama bakal bantuin kamu buat tau apa yang Haris suka."

Vanny bengong. Haris pun bengong. Saling pandang untuk beberapa saat, sepertinya Vanny dan Haris tidak paham dengan apa yang Sekar katakan.

"A-apa?"

Sekar tersenyum. "Hari ini Mama ajarin tumis kangkung. Besok Mama ajarin bening bayam. Lusa Mama ajarin rebus labu. Pokoknya ntar Mama ajarin semua."

Ya ampun. Vanny membeku ketika mendapati Sekar yang sudah menyusun jadwal kelas memasaknya. Bening bayam? Rebus labu? Terus selanjutnya apa lagi?

Vanny yakin ia tidak akan bisa bertahan. Bukan. Bukan karena mengikuti kelas memasak dadakan yang diadakan oleh Sekar. Bukan. Bukan karena itu. Alih-alih karena ia tidak mengerti mengapa ia harus menjalani hal itu.

Please, seseorang tolong aku dong. Ini sebenarnya ada apa?

Namun, entah mengapa Sekar seolah bisa menebak kebingungan Vanny. Karena di detik selanjutnya dengan penuh percaya diri Sekar berkata pada Vanny seperti ini.

"Gimana? Kamu senang kan Mama ajarin masak? Ehm ... karena jarang banget loh ada cewek yang seberuntung kamu, Van. Yang dapat mertua kayak Mama. Yang mau ngajarin calon mantunya."

Sendok lepas dari tangan Vanny. Jatuh di piring tepat di saat Sekar menuntaskan perkataannya dengan dua kata.

"Iya kan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top