45. Oh, No! Oh, No! Oh, No!
Mondar-mandir tanpa menghiraukan permintaan maaf Astrid, sepertinya Haris menyadari bahwa ada sesuatu yang ia lewatkan. Sesuatu yang seharusnya membuat ia curiga.
"Tasya. Mungkin sekali Haris nggak cinta kamu. Dan kamu tau apa alasannya?"
"Kenapa?"
"Karena Haris cinta cewek lain!"
Haris meremas rambut dengan kedua tangannya. Mata cowok itu melotot dan keringat mulai timbul membasahi dahinya.
Astaga. Harusnya aku curiga dengan yang Mama omong waktu itu. Tapi, kenapa aku nggak ngeuh dikit pun sih?
Namun, kejadian kala itu benar-benar begitu heboh. Membuat Haris tidak bisa berpikir tatkala ia berusaha untuk menyelamatkan diri dari Tasya. Dan itulah yang membuat ia geram sekarang.
Jelas banget waktu itu Mama ngomong kalau aku cinta cewek lain. Dan aku bukannya curiga, eh yang ada aku malah santai saja? Oh, Tuhan. Di mana otak aku? Apa sakit kemaren ngebuat otak aku nggak berfungsi?
Kaki Haris kembali melangkah. Melanjutkan aksi mondar-mandirnya dengan tangan yang tetap di atas kepala. Remasan pada rambutnya makin lama semakin menjadi-jadi.
Kalau begitu, berapa hari belakangan ini, Mama udah tau dong hubungan aku dan Vanny?
Satu pertanyaan itu melintas di benak Haris dan dengan dahsyat memberikan efek padanya. Ngeri, itulah yang Haris rasakan saat ini. Pun lebih dari itu, Haris pun mendapati kakinya yang lemas mendadak. Tiba-tiba saja ia tidak bisa melangkah lagi. Tenaganya menghilang.
Karena jelas sekali pertanyaan itu akan menarik pertanyaan lainnya. Pertanyaan yang benar-benar menjadi malapetaka bagi Haris. Bagi harga diri Haris yang selama ini berdiri dengan kokoh hingga membumbung ke langit sana. Harga diri yang terancam untuk runtuh seketika.
Ya Tuhan. Apa kata Mama kalau tau aku diputusin Vanny?
Untuk satu pertanyaan itu, rasa dingin dengan cepat menjalari tubuh Haris. Ia membeku. Dan ujungnya lagi-lagi Haris menjerit. Sontak membuat Astrid melonjak kaget dengan mata terpejam.
"Tidaaak!"
*
Vanny hanya terbengong-bengong melihat kekalutan Haris sore itu. Tampak tidak seperti biasanya, Haris langsung menyambar tas kerja dari tangannya dan masuk ke mobil. Tidak berbasa-basi, juga tidak mengatakan sepatah kata pun padanya.
"Jalan, Pak."
Bahkan ketika pintu mobil belum ditutup, Haris sudah memberikan perintah pada sopirnya itu. Maka Vanny buru-buru menutup pintu mobil. Dan hanya bisa membuang napas panjang melihat kepergian.
Dia bukannya ngindarin aku kan?
Vanny bergeming di tempatnya berdiri. Benar-benar tidak bergerak sampai mobil yang membawa Haris menghilang dari pandangannya.
"Kenapa aku jadi gini?" tanya Vanny pelan pada dirinya sendiri. "B-bukannya justru bagus ya kalau Haris ngindarin aku? Tapi, setelah yang kemaren ...."
Menarik napas dalam-dalam, Vanny meremas tas kerjanya. Ia tidak menuntaskan perkataannya. Alih-alih berusaha meneguk getir yang mendadak muncul di pangkal tenggorokan.
"Lebih baik aku jalan sekarang. Kan aku mau mampir ke supermarket dulu."
Karena belanja adalah salah satu cara terampuh bagi setiap wanita untuk mengusir stres. Sekalipun itu belanja bulanan atau keperluan dapur. Yang penting bisa melihat aneka barang yang berjajar saja sudah bisa menjadi obat penenang jiwa yang lelah.
Sementara itu Haris di dalam mobil berulang kali berkata pada Diman.
"Pak, bawa mobilnya cepetan dikit."
Diman melirik ke belakang melalui pantulan spion. Mengangguk. "Baik, Pak."
Walau Diman merasa ada yang aneh dengan sikap Haris sore itu, tapi ia memutuskan untuk tidak banyak bertanya. Itu bukan ranah pekerjaannya. Maka alih-alih melayangkan pertanyaan akan rasa penasaran yang ia rasa, Diman pun berusaha untuk mematuhi perkataan Haris. Mempercepat laju mobil kendatipun itu adalah hal yang mustahil.
Itu adalah jam pulang kerja. Jalanan tentu saja dipadati oleh banyak kendaraan. Tidak hanya roda empat, tapi juga ada roda dua yang seringkali memanfaatkan keuntungannya untuk menyalip. Praktis mempercepat laju mobil menjadi hal yang sulit untuk Diman lakukan.
Haris nyaris gila sepanjang perjalanan pulang itu. Berusaha untuk bersabar sebentar lagi ternyata adalah hal yang sulit untuknya. Rasa-rasanya kesabaran cowok itu sudah menipis tiap detik yang berlalu.
Tadi di kantor, setelah Astrid menceritakan semua yang terjadi, sempat terbersit di benak Haris untuk pulang saja. Demi bisa menemui Sekar secepat mungkin. Ia bisa saja beralasan masih sakit atau mendadak mulas. Pokoknya apa pun demi bisa bertemu Sekar.
Namun, Haris sadar. Setelah beberapa hari ia tidak masuk kantor, ada banyak jadwal yang harus ia jalani. Setidaknya rapat dan pertemuan dengan beberapa orang kolega menjadi hal yang harus ia prioritaskan.
Maka bayangkan saja betapa gilanya Haris sepanjang hari itu. Berusaha untuk tetap waras dan sabar ketika desakan dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Beruntung sekali ia tidak sampai menggigit kertas atau garuk-garuk dinding saking tak sabarnya lagi.
Mobil akhirnya berhenti bergerak di depan pelataran rumah. Tidak menunggu Diman membuka pintu mobil seperti biasanya, Haris langsung membukanya sendiri. Turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Diman yang terbengong-bengong.
Ada asisten rumah tangga yang menyapa Haris tepat ketika cowok itu melintas di ruang tamu, tapi ia diabaikan. Haris justru mempercepat larinya seraya berseru.
"Ma! Mama!"
Beberapa orang asisten rumah tangga yang kebetulan sedang bersih-bersih saling pandang dengan wajah heran. Tapi, tidak terlalu heran sih sebenarnya. Sejujurnya itu bukan pemandangan baru. Beberapa kali sejak dulu Haris memang sering bertingkah seperti itu.
"Mama di mana?"
Kebetulan Haris bertemu dengan Yuli tatkala baru menginjakkan kaki di lantai dua. Gadis itu menjawab.
"Sepertinya ada di ruang baca, Tuan."
Haris meneguk ludah. Mengangguk sekilas. "Makasih."
Yakin bahwa kakinya akan kram kalau ia memaksa diri menaiki tangga satu lantai lagi, Haris buru-buru membelokkan tujuannya. Menuju lift dan dengan cepat masuk ke dalamnya.
"Mama!"
Bahkan rasa-rasanya Haris ingin membantu pintu lift membuka saat kesabarannya benar-benar kritis kala itu. Ia memiringkan tubuh. Menyelinap keluar di saat pintu lift belum membuka seutuhnya.
Haris kembali berlari. Ke ruang baca dan membuka pintunya dengan terburu-buru.
"Astaga!"
Buku di pangkuan Sekar terlempar ketika ia kaget. Horor, ia melihat ke pintu. Mendapati Haris yang terengah-engah masuk dan menghampirinya.
"Kamu apa-apaan sih, Ris? Pulang-pulang kok malah buat kaget Mama?"
Sekar melotot seraya meraih kembali bukunya yang jatuh di lantai. Mengacungkannya dengan ekspresi kaget yang masih tersisa.
"Lihat. Mama jadi nggak tau tadi sudah baca sampai mana."
Haris tidak peduli dengan novel yang sedang dibaca oleh ibunya itu. Alih-alih ia justru duduk seraya menaruh asal tas kerjanya di sofa. Ia pun meraih novel itu dan menaruhnya di atas meja.
"Ma."
Ketika rasa kaget yang Sekar alami perlahan terkikis, ia menyadari sesuatu. Bahwa Haris tampak tidak seperti biasa. Terlihat panik dan kalut.
"Kamu kenapa, Ris?" tanya Sekar dengan dahi mengerut. Mata menyipit dan tatapannya penuh selidik. "Kok keliatan panik? Ada apa?"
Haris garuk-garuk kepala. Tingkahnya persis seperti bocah yang kehilangan mobil-mobilan. Ia merengek.
"Ma. Mama ada ke kantor ya?"
Kerutan di dahi, mata yang menyipit, dan tatapan menyelidik, seketika berangsur menghilang dari wajah Sekar. Terdiam, ia terlihat tidak siap dengan pertanyaan itu. Ia gelagapan bingung.
"Ma."
Haris merengek seraya meraih tangan Sekar. Mengguncangnya berulang kali. Karena sekarang ia ingat betul. Bahwa di hari pertama ia dan Vanny bekerja di kamarnya, Sekar pun berpamitan pergi padanya. Tapi, Haris tidak pernah mengira bahwa kala itu sang ibu pergi ke kantor. Dan lebih tidak mengira lagi tujuan Sekar pergi ke kantor adalah untuk menginterogasi Astrid.
"Mama ke kantor ya pasti aku sakit kemaren?"
Sekar berdecak. Tidak berniat menyalahkan Astrid, tapi ia tak bisa menahan rutukan di dalam hatinya.
Ah, Bu Astrid kenapa sampai ngomong sama Haris sih.
Dan melihat sang ibu yang diam, kepanikan Haris semakin menjadi-jadi. Makin tidak terkendali lagi.
"Ma," rengek Haris lagi. "Mama beneran nemuin Bu Astrid?"
Sekar tampak serba salah. Bingung harus menjawab apa.
"Ma, please."
Sekar tidak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya ia mengangguk dan Haris membeku.
"Iya," jawab Sekar dengan wajah bersalah. "Mama nemuin Bu Astrid."
Tangan Sekar terlepas seketika dari genggaman Haris. Wajah cowok itu terlihat memucat.
"Mama ngapain nemuin Bu Astrid?"
Itu jelas adalah pertanyaan yang tida butuh jawaban sedikit pun. Baik Haris atau Sekar sama-sama tau apa jawabannya. Maka dari itu Sekar langsung pada intinya.
"Mama tuh penasaran, Ris. Mama bisa lihat ada yang beda dari pertama kali Vanny datang ke rumah ini. Kamu yang lemes dan nyaris kayak suster ngesot yang nggak bisa jalan, eh mendadak aja bisa melambai-lambai nyambut kedatangan Vanny. Belum lagi kamu yang nggak nafsu makan eh malah jadi nafsu makan gara-gara ada dia."
Pundak Haris jatuh. Dalam hati, ia bertanya pada dirinya sendiri.
Segitunya ya aku pas ada Vanny?
Jawabannya bahkan lebih dari segitunya. Sekar membuang napas dan melanjutkan penjelasannya.
"Mama penasaran, Ris. Apalagi setelah Mama pikir-pikir aneh sekali kamu nyari sekretaris kedua padahal selama ini kamu anteng-anteng aja tuh dengan keadaan Bu Astrid."
Memang. Itu adalah kecurigaan valid.
"Jadi ..."
Sebenarnya tidak ingin menanyakan hal ini, tapi Haris terdesak. Ia harus tau sejauh apa Sekar mengetahui hubungannya dengan Vanny.
"... apa aja yang Mama tau soal Vanny sekarang?"
Sungguh itu adalah pertanyaan yang sia-sia. Karena berbekal penjelasan Astrid, maka Haris bisa menyimpulkan bahwa tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh ibunya. Terlebih lagi ketika Haris melihat bagaimana berbedanya Sekar melihat padanya kala itu.
Haris meneguk ludah. Tubuhnya seperti mati rasa tepat di saat Sekar menjawab.
"Mama tau semuanya."
Mata Haris terpejam seketika. Menolak untuk melihat kenyataan itu. Ibunya tau. Ibunya tau semuanya.
"Mama tau dari awal sampe akhir," lanjut Sekar. "Dari kalian pacaran pas SMA."
Haris membuka matanya kembali. Kali ini ia yang menatap horor pada sang ibu. Ia menggeleng.
"No."
Sekar menggigit bibirnya sekilas. "Terus Vanny mutusin kamu pas acara perpisahan sekolah."
Haris kembali menggeleng. "No."
Namun, Sekar tidak berpikir untuk menghentikan perkataannya sampai di sana. "Terus kamu manfaatin keadaan untuk jadiin dia sekretaris kamu."
Haris meringis. "No."
Hanya saja Sekar tetap bicara. "Dan Vanny berusaha untuk mengundurkan diri saat tau kamu CEO-nya."
Harga diri Haris tersentil. "No."
Dan untuk itu Sekar menuntaskannya dengan satu kalimat pamungkas. "Tapi, kamu menjebak Vanny dengan pinalti satu milyar."
Sudahlah. Apa itu harga diri? Yang ada sekarang Haris menjerit saking malunya pada sang ibu.
"Nooo!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top