44. Tuh Kan!

Kalau sudah memeluk Vanny seperti ini, rasa-rasanya Haris tidak ingin beranjak lagi. Tapi, setitik akal sehatnya yang masih tersisa memperingatkan dirinya. Ia harus pulang dan itulah tepatnya yang diingatkan Vanny padanya.

"Ris, kamu nggak pulang?"

Vanny melihat pada jam dinding. Saat itu sudah jam tujuh malam. Waktu yang benar-benar tidak ia antisipasi ketika menerima kedatangan Haris siang tadi.

"Ehm."

Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Haris justru mendehem. Mengeratkan pelukannya dengan mata terpejam dan hidung menyusup di helaian rambut Vanny. Mengendus aroma wangi di sana.

"Ntar kamu dicariin mama kamu, Ris."

Kali ini Haris mengelus punggung Vanny. Merasakan kehalusan dan kelembutannya.

"Bentar lagi, Van," erang Haris berat. "Bentar lagi aku balik. Tapi, aku masih mau gini sama kamu."

Vanny menahan napas. Tidak mendebat, nyatanya ia justru memejamkan kata seraya merutuk di dalam hati. Menuding dirinya sendiri yang terbawa suasana dan kalah akan perasaan. Hingga pada akhirnya ia kembali berakhir dalam pelukan Haris. Di tempat tidur. Tanpa ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Selain selimut.

Haris bergerak. Membuat Vanny membuka mata dan mendapati tubuhnya yang didorong pelan oleh cowok itu. Dalam keadaan berbaring, ia melihat Haris yang menaunginya.

Bergeming, Vanny bahkan sampai menahan napas ketika Haris menatapnya dengan amat lembut. Penuh dengan perasaan yang membuat jantung Vanny bertalu-talu rasanya.

Satu tangan Haris pindah. Menyasar pada rambut Vanny. Membelainya dan membuat Vanny semakin berdebar-debar tak karuan karenanya.

"Aku cinta banget sama kamu, Van."

Tak hanya mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, Haris lantas menunduk. Memberikan kecupan-kecupan di sekujur wajah Vanny. Di dahi, di mata, di pipi, di puncak hidung, dan di bibir.

Vanny merengkuh leher Haris ketika bibir mereka bertemu. Mata mereka sama terpejam. Tak butuh melihat ketika rasa itu kembali tercipta di antara mereka. Dalam lumatan dan buaian yang dengan amat cepat menghanyutkan perasaan keduanya.

Haris mencium dengan irama yang mampu menerbangkan Vanny hingga ke langit sana. Benar-benar menyentuh hingga ke lubuk sanubarinya. Dan ketika Haris menarik ciumannya, Vanny merasakan kehampaan.

Di atas bibir Vanny, Haris tersenyum lembut. Menatapnya dengan mata yang penuh akan cinta.

"Aku harus balik sekarang, Van."

Vanny tertegun. Itu adalah hal yang ia katakan beberapa saat yang lalu. Tapi, ketika Haris mengatakannya entah mengapa Vanny merasakan kekosongan dalam dirinya.

Namun, Vanny mengingatkan diri untuk tidak lagi-lagi lepas kendali. Maka dari itu ia meremas selimut di dadanya. Menggigit bibir bawahnya. Hanya memberikan satu anggukan singkat pada Haris.

Turun dari tempat tidur, mau tak mau Haris harus kembali ke kamar mandi. Membasuh tubuhnya demi menghilangkan keringat yang tersisa. Sebenarnya ia enggan menghapus jejak percintaan itu, tapi apa boleh buat.

Ketika Haris tuntas berpakaian, ia mendapati Vanny yang membelakanginya. Vanny tidak bersuara sedikit pun. Dan itu membuat Haris membuang napas dengan berat.

"Aku balik, Van."

Haris menghampiri Vanny. Melabuhkan kecupan terakhir untuk hari itu di kepalanya. Lalu ia pun pergi. Meninggalkan Vanny yang memejamkan mata dan mencoba untuk menahan jeritan pilu di dalam hatinya.

*

"N-Nyonya, ini beneran ditransfer lima belas juta?"

Sekar berdecak. Seraya mengintip di jendela, ia bisa melihat dengan jelas mobil Haris yang baru saja melewati gerbang rumah.

"Iya. Masa aku bohong sih?"

"Wah! Makasih, Nya. Makasih banyak."

Sekar beranjak dari jendela. Ia sudah tidak sabar ingin menemui putranya. Mungkin saja Haris akan membahas soal pernikahan dirinya dan Vanny.

"Iya iya iya. Sama-sama."

Rasanya Sekar ingin menyudahi percakapan itu secepat mungkin. Dirinya ingin bertemu dengan Haris saat itu juga. Maka dari itu ia hanya membalas semua perkataan Fikri dengan satu kata.

"Iya."

"Nanti kalau Nyonya butuh bantuan apa-apa lagi, hubungi saya langsung ya? Saya bakal stand by 24 jam."

"Iya iya," ujar Sekar mulai geregatan. "Aku tutup ya. Makasih."

Tuntas mengatakan itu, Sekar langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Bukannya bermaksud tidak sopan, tapi ia benar-benar ingin menemui Haris.

Sekar keluar dari kamar. Dan sungguh kebetulan yang menyenangkan. Haris baru saja menjejakkan kakinya di lantai dua itu.

"Haris."

Langkah Haris terhenti. Ia menoleh dan tersenyum samar. "Ma."

"Kamu dari mana? Kok baru balik?"

Haris mengubah niatannya. Yang semula jelas ingin ke kamar jadi menghampiri Sekar. Mendatangi sang ibu yang terlihat begitu senang. Tapi, ada sesuatu di wajah Haris yang membuat antusiasme Sekar menghilang.

"Dari rumah teman, Ma," jawab Haris lesu.

Kekhawatiran di diri Sekar timbul seketika. Ia langsung meraba dahi Haris. Mencoba merasai suhu tubuh sang putra. Tapi, tidak. Haris tidak sakit lagi.

"Kamu kenapa lesu gini, Ris?"

Haris menggeleng. "Cuma capek aja, Ma. Aku mau istirahat ya dulu."

Tuntas mengatakan itu Haris memberikan satu pelukan dan kecupan singkat di dahi Sekar. Lalu beranjak. Tak membalas perkataan Sekar ketika ibunya berkata.

"Nanti Mama bawain air susu telur ke kamar."

Tidak ada respon dari Haris walau hanya sepatah kata pun membuat Sekar tertegun di tempatnya berdiri. Bergeming sampai putranya itu benar-benar menghilang dari jangkauan matanya.

Sekar ke dapur dengan penuh tanda tanya di benaknya. Mendapati sikap Haris yang berbeda dengan khayalannya jelas membuat ia bertanya.

Ini Fikri nggak bohongin aku kan?

Sempat terbersit di benak Sekar bahwa bisa saja Fikri membohonginya. Karena Haris tidak menunjukkan ekspresi yang biasa diperlihatkan oleh mereka yang baru saja melihat gaun pengantin. Seharusnya senang kan? Tapi, mengapa Haris tampak sebaliknya?

Hanya saja Sekar langsung menepis hal tersebut. Berkat benaknya yang dengan cepat mengingat foto yang dikirimkan oleh Fikri. Bukti valid yang tak terbantahkan.

"Ehm."

Sekar memainkan sebongkah jahe di tangannya. Dengan dahi mengerut, ia bertanya di dalam hati.

Kira-kira Haris kenapa ya? Apa jangan-jangan mereka berantem gara-gara katering? Atau soal bulan madu?

Tentunya bukan itu yang membuat Haris terlihat lesu. Melainkan karena pemandangan terakhir yang harus ia lihat saat meninggalkan Vanny tadi.

Kenapa aku merasa jadi cowok yang jahat ya? Sudah tidurin Vanny, eh ... malah langsung pulang gitu.

Haris meringkuk di atas tempat tidur. Wajah tertekuk bibir manyun.

Harusnya langsung nikahin kan?

Haris memejamkan matanya dengan dramatis. Tak perlu ditanya seberapa besarnya keinginan Haris untuk menikahi Vanny. Tapi, ia yakin semua itu tidak akan mudah. Terlebih lagi karena ia ingat perkataan Esti.

Ketukan di pintu membuat Haris bangkit. Sekar masuk ke kamarnya dengan segelas minuman hasil racikan antara susu, telur ayam kampung, jahe, dan madu. Menyerahkannya pada Haris dan membiarkan sang putra meminumnya.

"Makasih, Ma."

Haris menyerahkan kembali gelas itu pada Sekar. Yang sudah kosong tanpa ada setetes pun yang tersisa lagi.

"Kamu lagi ada masalah?" tanya Sekar kemudian. "Kok pulang-pulang dari rumah temen ... kamu lesu gini sih? Ehm atau kamu lesu karena belum makan?"

Haris memang belum makan malam. Tapi, bukan itu yang membuat ia lesu seolah tak bertenaga lagi saat ini.

"Aku udah makan kok, Ma," dusta Haris. "Aku cuma capek aja. Kan aku juga baru sembuh. Jadi masih belum fit banget."

Kebohongan Haris terdengar masuk akal. Dan mungkin karena itulah mengapa Sekar tidak bicara apa-apa lagi selain.

"Ya udah. Kalau gitu kamu istirahat aja. Besok kan kamu udah ke kantor lagi."

Yang dikatakan oleh Sekar memang benar. Maka ketika sang ibu beranjak keluar dari kamarnya, Haris memejamkan mata. Tapi, sialnya malah wajah Vanny yang membayang.

*

"Selamat pagi, Pak. Bagaimana kabarnya?"

Astrid menyapa pada Haris yang datang pagi itu bersama dengan Vanny di belakangnya. Terlihat sehat, tapi Astrid mendapati wajah sang atasan yang tampak sedikit tidak bersemangat.

"Sehat," jawab Haris. "Ehm sebentar lagi tolong ke ruangan saya, Bu. Saya ingin laporan beberapa hari belakangan ini."

Astrid mengangguk. Tau dengan pasti bahwa Haris akan mengecek keadaan kantor selama ia tidak masuk.

"Oh ya, Vanny."

Haris menoleh. Ia mengambil alih tas kerjanya dari cewek itu.

"Jangan lupa kopi saya."

Tak melihat pada Haris sedikit pun, Vanny hanya menjawab pertanyaan itu seraya memberikan satu anggukan kepala.

"Baik, Pak."

Haris berlalu dari sana. Menuju ke ruangannya sementara Vanny pun yang beranjak. Menaruh tas kerjanya di meja dan langsung ke pantry. Mereka berdua meninggalkan Astrid yang tampak bersedekap sejurus kemudian.

"Ehm ... sepertinya ada yang aneh."

Mata Astrid menyipit dan dahinya mengerut. Tidak ingin memikirkan hal di luar pekerjaan, tapi nyatanya pemandangan yang tersaji di hadapannya beberapa detik yang lalu itu sukses menyita pikirannya.

Ada yang berbeda dari Haris dan Vanny. Astrid yakin itu. Karena jelas sekali mereka berdua terlihat menghindari kontak mata satu sama lain.

Vanny melintas di depan Astrid. Dengan membawa secangkir kopi. Dan meihat air muka cewek itu, Astrid semakin yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

"Bu."

Suara Vanny menyadarkan Astrid bahwa dirinya telah melamun untuk kurun waktu yang tidak ia sadari sudah berapa lama. Tampak gelagapan, Astrid bertanya hanya dengan satu kata.

"Ya?"

"Pak Haris nyuruh Ibu ke dalam."

"Ah!"

Astrid ingin akan laporan yang harus ia serahkan. Mengangguk seraya mengambil beberapa berkas yang memang sudah ia persiapkan, ia berkata.

"Makasih. Saya ke dalam dulu."

Ketika Haris tengah memeriksa laporan tersebut, Astrid tidak bisa menahan diri untuk menatap lekat sang atasan. Dengan sorot penuh selidik, matanya menyipit.

Kayaknya memang ada sesuatu yang terjadi sama Pak Haris dan Vanny. Mereka berdua kelihatan agak aneh pagi ini. Ehm ....

Tiba-tiba, wajah Astrid membeku seketika. Tepat setelah pemikiran itu melintas di benaknya dan wajah Sekar muncul.

"Ini laporan Amdal dari Pak Bachtiar?"

Haris membuka satu map. Terburu-buru ingin membaca lantaran itu adalah laporan penting yang berkaitan dengan pembangunan resort di Bengkulu. Proyek yang sempat Haris kunjungi beberapa waktu yang lalu bersama dengan Vanny.

"Jadi kira-kira kapan pembangunan bisa dimulai?"

Melihat sekilas, Haris bisa menyimpulkan bahwa semua berjalan dengan lancar. Perizinan kelayakan sudah aman dan perusahaan siap untuk bergerak.

"Bu?"

Haris menaruh sejenak laporan yang tengah ia baca. Melihat pada sang sekretaris pertama dan mendapati Astrid yang tampak pucat wajahnya.

"Bu?" panggil Haris lagi. "Ibu kenapa?"

Astrid mengerjap. Wajah pucatnya terlihat penuh dengan rasa bersalah.

"Pak. Maafkan saya."

"Eh?"

Bengong dengan dahi mengerut, Haris melihat Astrid dengan bingung. Termenung dengan wajah memucat dan sekalinya bicara maka itu adalah permintaan maaf? Ehm ....

"Ibu kenapa?"

Astrid menghampiri Haris dengan kepanikan yang tak mampu ia tahan lagi. Rasa bersalah itu benar-benar membuat Astrid tidak berdaya.

"Saya minta maaf, Pak. Tapi, saya bukan bermaksud untuk mengkhianati Bapak. Saya terpaksa, Pak."

Haris garuk-garuk kepala. Sekilas ia sempat mempertanyakan kewarasan dirinya. Apa ia benar-benar pengidap halusinasi seperti tudingan Vanny?

"Ehm ...," deham Haris. "Ibu kenapa ya? Kalau Ibu merasa nggak enak badan ... Ibu bisa cuti kok."

Astrid menggeleng dengan wajah putus asa. "Saya mohon maafkan saya, Pak. Tapi, saya nggak bisa ngelak sewaktu Bu Sekar terus nanyain saya."

Haris menatap Astrid. "Mama? Maksud Ibu apa?"

Jujur saja, sebenarnya Astrid sudah berusaha untuk menyingkirkan bayangan kejadian itu dari benaknya. Tapi, tidak bisa. Rasa bersalah benar-benar bercokol di dalam hatinya. Hingga ketika ia mendapati Haris dan Vanny dengan sikap yang aneh pagi itu, rasa bersalah Astrid semakin menjadi-jadi. Lantaran satu kesimpulan muncul di kepalanya.

Pasti Pak Haris dan Vanny dimarahin Bu Sekar gara-gara aku.

Astrid tidak bisa hidup dengan menanggung rasa bersalah itu sepanjang waktu. Terlebih lagi karena ia tidak tega pada Haris. Terlepas dari sifat Haris yang sering buat ia geleng-geleng kepala, tapi Astrid tau Haris adalah atasan yang baik. Rasanya tidak manusiawi bila kebaikan Haris justru ia balas sebaliknya.

"Di hari pertama Bapak nggak masuk, Bu Sekar datang ke kantor. Dan Bu Sekar nanyain soal Vanny."

Itu jelas bukan jawaban yang diantisipasi oleh Haris. Ia kaget. Bola matanya membesar. Mulutnya pun sontak menganga. Dan Astrid terlihat makin tak berdaya.

"Saya udah berusaha nggak jujur, Pak. Tapi, Bu Sekar maksa. Dan akhirnya saya nggak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya pada Bu Sekar."

Haris berusaha untuk tetap bernapas. Tapi, tunggu dulu. Cara bernapas bagaimana? Sial! Haris panik.

"A-apa, Bu?" tanya Haris megap-megap. "Mama nanya soal Vanny dan Ibu menceritakan semuanya?"

Putus asa, Astrid mengangguk. Dan melihat itu, Haris sontak menjerit.

"Tidaaak!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top