42. Indahnya Pikiran Positif

"Van, hair dryer kamu di mana ya?"

Suara Haris terdengar kembali. Heran. Tapi, Vanny jadi bertanya-tanya. Apa sebenarnya Haris memiliki towa tersembunyi? Sehingga cowok itu bisa berteriak di mana pun dengan semudah itu?

Vanny baru saja akan menikmati drama Korea tadi. Tapi, berkat teriakan Haris yang lagi-lagi menggema, ia terpaksa menjeda tayangan itu kembali. Vanny bangkit. Menuju ke kamarnya. Dan langsung meraih daun pintu, membukanya dengan kesal.

"Apaan lagi sih, Ris? Ka---"

Perkataan Vanny menggantung di udara. Begitu pula dengan langkah kakinya yang terhenti di tengah jalan. Hanya pintu yang terlepas dari tangannya yang bergerak. Secara otomatis mengikuti kehendak engsel untuk menutup dengan sendirinya.

Haris berdiri di depan meja rias Vanny. Hanya berbalutkan handuk di sekitaran pinggang. Rambutnya basah. Tetesan air berjatuhan dari tiap helainya. Memberikan jejak-jejak lembab di sepanjang kulit telanjangnya.

Haris menyadari kedatangan Vanny. Berbalik dan melihat Vanny dengan acuh tak acuh.

"Hair dryer, Van," ulang Haris. "Aku butuh hair dryer. Di mana?"

"Di ... di ...."

Vanny berusaha untuk mengingat. Tapi, sepertinya sulit. Bahkan ia sempat meragukan kalau ia tau hair dryer itu apa.

Haris mengerutkan dahi. Menghampiri Vanny, berkacak pinggang di hadapannya dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain? Melambai beberapa kali di depan wajah Vanny.

"Van?"

Vanny mengerjap. "A-apa?"

Mata Haris menyipit. Lalu seringai pelan-pelan timbul di wajahnya. Ia terkekeh samar.

"Jangan bilang kalau kamu lagi terpesona sama aku, Van."

Astaga. Wajah Vanny seketika terasa panas. Haris menyugar rambutnya yang berantakan karena baru selesai keramas. Dalam ekspresi layaknya model-model kelas atas yang sedang dalam sesi pemotretan.

"Aku cakep kan?" tanya Haris dengan penuh rasa percaya diri. "Ya iyalah cakep. Nggak tau aja susahnya ritual yang dilakukan Mama dan Papa untuk dapat keturunan yang berkualitas kayak aku."

Bola mata Vanny melotot. Berusaha untuk bertahan ketika rasa malu membuat wajahnya terasa makin kaku. Sial! Tapi, tanpa bercermin sekalipun Vanny bisa menebak apa warna wajahnya saat ini. Jawabannya satu. Pasti merah.

"Nggak usah GR ya, Ris."

"Aku nggak GR, by the way. Tapi, aku itu tau diri. Lagi pake baju aja aku cakep kan?" tanya Haris dengan gerlingan mata menggodanya. "Apalagi kalau nggak pake baju. Iya kan?"

Tuntas melayangkan pertanyaan gila itu, Haris langsung tertawa terbahak-bahak. Sementara Vanny jangan ditanya lagi. Wajahnya sudah warna-warni saking malunya.

Vanny menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tidak langsung melarikan diri dari sana. Tidak. Vanny tidak ingin tambah mempermalukan dirinya sendiri.

"K-kamu nyari apa?" tanya Vanny berusaha tenang. Mencoba untuk tidak goyah dengan ledekan Haris. Tapi, sialnya suara yang terdengar bergetar itu tidak menolongnya sama sekali. "H-hair dryer?"

Tawa Haris sedikit mereda. "Iya. Rambut aku basah. Ntar aku masuk angin."

Astaga. Vanny yakin Haris itu lebih merepotkan dari seorang anak batita.

"Bentar. Aku ambilin."

Haris mengangguk. Memberikan jalan untuk Vanny. Tapi, ketika baru tiga kali kaki Vanny melangkah, ia berhenti.

Vanny berbalik. Dan lalu melihat Haris dengan ekspresi bingung.

"Aku baru ingat, Ris. Aku nggak punya hair dryer."

Karena kalau Vanny ada pengering rambut, tentu saja ia tidak mungkin ke mana-mana dengan handuk di atas kepala. Seharusnya ia sadar sedari tadi. Tapi, ketika Vanny melihat tampilan Haris yang hanya mengenakan handuk, semua itu seperti menghilang dari benaknya.

Haris menyipitkan mata melihat Vanny. Dalam tatapan penuh selidik, ia menuding cewek itu.

"Kamu bukannya sengaja nggak mau ngasih pinjam aku hair dryer kan? Biar aku sakit lagi? Terus kamu bisa kerja di kamar bareng aku lagi?"

"Sorry. Aku nggak mungkin punya ide gila kayak gitu."

Haris mengulum senyum geli. "Padahal kalau kamu mau gitu ... aku sih juga nggak masalah."

"Gila!" tukas Vanny. "Udah. Jadi kamu keringin aja rambut kamu pake handuk."

Manggut-manggut, Haris mengerutkan dahi. Ia menunduk. Melihat handuk di pinggangnya. Ia menunjuk.

"Pake handuk ini keringin rambut aku?" tanya Haris dengan ekspresi polos. Tangannya meraih simpul handuk tersebut. "Iya?"

Mata Vanny sontak melotot. Tangannya naik mencegah.

"Stop! Jangan dilepas!"

Tangan Haris berhenti bergerak. Cengar-cengir seolah tanpa dosa.

"Hehehehe. Memangnya kenapa kalau dilepas?"

"Masih juga ditanya kenapa?" tanya Vanny horor.

Haris terkekeh. "Aku lepas ya? Aku lepas nih. Ya ya ya?"

Vanny panik. Melihat tangan Haris yang berulang kali tampak ingin menarik simpul itu. Tapi, eh ... sedetik kemudian tidak jadi menarik.

Hanya saja ketika Vanny sedikit lega, Haris justru tampak ingin menariknya lagi. Vanny panik kembali. Dan Haris tidak jadi menariknya.

Begitulah berulang kali hingga Haris terpingkal-pingkal. Wajah Vanny kaku. Dalam rasa malu dan marah yang bercampur menjadi satu.

"Haris!"

Haris tersentak. Tapi, tawanya masih berlanjut.

"Udah deh! Nyesel banget aku ngizinin kamu mandi."

Vanny menukas dengan kesal. Langsung balik badan. Berencana untuk pergi dari kamarnya sendiri sebelum emosi benar-benar menguasai dirinya.

Namun, Haris tidak akan membiarkan Vanny pergi. Ia meraih tangan Vanny dengan cepat. Menahan langkah cewek itu dan dengan cepat memerangkap tubuh Vanny dalam pelukannya.

Vanny tertegun. Ia tak bisa meneruskan langkahnya ketika Haris memeluknya dari belakang. Membuatnya bisa merasakan dengan pasti kelembaban yang menembus bajunya di bagian punggung.

Satu tangan Haris menahan dada Vanny. Wajahnya mendarat di lekuk pundak Vanny. Dan pada detik itu pula Vanny bisa merasakan debar jantung Haris.

"Kamu cinta aku nggak, Van?"

Vanny menutup mata. Mengembuskan napas panjang. Membiarkan keheningan yang menjadi satu-satunya jawaban untuk pertanyaan itu.

"Van."

Haris tidak menyerah. Dari nada suaranya, jelas. Ada penuntutan di sana. Yang mengindikasikan bahwa ia tidak akan mundur sebelum mendapatkan jawaban.

Dan Vanny merasa pelukan Haris makin memerangkap dirinya. Tak hanya menjerat tubuhnya. Alih-alih juga perasaannya.

Ya Tuhan.

Vanny berusaha untuk bertahan. Tapi, ini adalah godaan terdahsyat yang pernah hadir di dalam hidupnya. Godaan yang sedari awal harusnya ia hindari.

Ingatan Vanny tertarik ke belakang. Melihat dengan jelas penderitaan ibunya ketika manusia terkotak-kotak dalam kasta dan level berdasarkan kekayaan. Cinta si pangeran dan rakyat jelata tidak akan pernah sukses di kehidupan nyata.

"Please, Van. Untuk kali ini aja. Jujur sama aku."

Bisikan Haris membelai daun telinga Vanny. Mengirimkan gelenyar yang membuat tubuhnya gemetar. Sadar atau tidak, nyatanya itu membuat Vanny berpegang pada tangan Haris.

"Kamu cinta aku kan?"

Vanny menggigit bibir bawahnya. Berusaha untuk membendung desakan di dalam dadanya. Tapi, pelukan dan suara Haris membuat gejolak itu makin tak terkendali.

Vanny mengambil risiko. Dan ia tau. Seharusnya dari awal ketika mereka bertemu kembali, ia segera pergi.

Namun, inilah yang sekarang terjadi. Vanny di dalam pelukan Haris. Berusaha untuk memenangkan pertarungan melawan kehendak hatinya yang terdalam. Dan ia kalah.

"Iya."

Vanny menggigit bibir bawahnya. Akal sehat sepertinya tak berdaya dalam desakan alamiah yang menuntut pemenuhan keinginan emosional.

"Aku cinta kamu."

Tak butuh waktu lama. Haris memutar tubuh Vanny. Dua pasang tangan saling bergerak. Menyasar wajah satu sama lain. Demi memastikan bibir mereka bertemu dalam satu ciuman.

*

Arif yakin ada yang disembunyikan oleh sang istri. Bagaimana tidak? Sedari tadi ponsel tidak lepas dari tangannya. Entah apa pun yang ia lakukan, Sekar akan memastikan bahwa ponsel terus mengikuti tiap langkah kakinya.

"Hihihihi."

Tak hanya itu. Bahkan sekarang Arif bisa melihat Sekar tampak cekikan dengan ponselnya. Sungguh. Arif tidak bisa menahan rasa penasarannya.

"Ma."

Arif menghampiri Sekar. Duduk di sebelahnya. Melongok, mencoba untuk melihat pada ponsel istrinya itu. Tapi, dengan gesit Sekar menutup ponselnya di dada.

"Ih, Papa mau ngintip ya?"

Arif berdecak. "Ada apa sih dengan hp Mama? Dari tadi kayaknya Mama sibuk banget sama hp."

"Rahasia."

Lihatlah wajah Sekar yang penuh dengan ekspresi bahagia dan senyum lebar itu. Bukannya membuat Arif juga merasa senang. Alih-alih sebaliknya.

"Mama bukannya selingkuh kan?"

Senyum Sekar menghilang. "Memangnya ada orang selingkuh yang terang-terangan sebahagia ini di depan suami sah?"

Yang dikatakan oleh Sekar memang benar sih. Tapi, itu tetap tidak cukup untuk menenangkan Arif. Terlebih lagi setelah kunjungan Widia tadi Sekar jelas sekali tampak suntuk. Hanya saja suntuk itu langsung pergi dari wajah istrinya. Tepat setelah ia melihat sesuatu di ponselnya.

Itu adalah foto-foto yang dikirimkan oleh Fikri yang membuat Sekar bahagia seketika. Melupakan langsung kekesalan hatinya berkat kedatangan dan perkataan Widia. Yang mendorong ia untuk bangkit dan pindah ke sofa lain, menjauh dari Arif tatkala ia kembali ingin melihat hasil kerja Fikri.

Waduh. Gaun pengantinnya cakep banget. Pilihan Haris ini memang nggak pernah keliru.

Jemari Sekar dengan lincah menggulir foto demi foto. Menampilkan bukti nyata bahwa Haris benar-benar sedang melihat gaun pengantin di butik itu.

Emang sih. Namanya aja anak aku. Seleranya nggak perlu diragukan lagi.

Benak Sekar membayang. Menampilkan Haris dan Vanny dalam balutan pakaian pengantin. Mereka tampak berbahagia. Dan hanya dengan mengkhayalkannya saja Sekar sudah benar-benar melayang. Apalagi kalau itu jadi kenyataan.

Ponsel Sekar berdering. Fikri menghubunginya. Berniat untuk langsung mengangkatnya, Sekar melihat ke depan. Tapi, Arif sudah tidak ada di sana.

"Eh? Papa ke mana?"

Sekar melihat ke sekeliling kamar. Tapi, Arif memang sudah tidak ada. Karena pada kenyataannya tadi sang suami memang telah pergi. Memutuskan untuk ke ruang kerjanya saja ketimbang harus menahan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi.

"Halo, Fik."

Sekar dengan cepat menyapa Fikri ketika panggilan itu tersambung. Tak butuh waktu lama, suara Fikri membalas sapaannya.

"Halo, Nya."

Senyum masih bertahan di wajah Sekar. "Kenapa? Haris udah jalan pulang?"

"Bukan, Nya. Saya justru nelepon Nyonya buat nanya. Ini saya benar-benar nunggu sampai anak Nyonya pulang?"

Sekar mengerutkan dahinya. "Iya dong. Memangnya kenapa?"

"Bukannya apa, Nya. Ini sudah mau jam setengah tujuh malam dan kira-kira kapan ya Tuan Haris pulangnya?"

"Hah?"

Sekar buru-buru melihat ke jam dinding. Kalau bukan Fikri yang mengatakannya mungkin Sekar tidak akan pernah sadar bahwa hari sudah beranjak malam kala itu.

Bola mata Sekar membesar. Terkesiap.

"Astaga. Kamu benar. Ini udah mau malam."

Samar, terdengar embusan napas Fikri di seberang sana. "Jadi gimana, Nya? Tetap saja tungguin? Kalau Tuan Haris pulang besok pagi gimana?"

"Nggak nggak nggak," jawab Sekar cepat. "Nggak mungkin Haris pulang besok pagi. Tenang aja. Dia pasti pulang bentar lagi. Pokoknya kamu tungguin aja."

Sekar tidak mengira bahwa akan selama itu Haris di apartemen Vanny. Tapi, setelah ia pikir-pikir, sepertinya wajar saja.

"Aku yakin Haris pasti bakal pulang sebentar lagi. Dan kamu nggak usah khawatir, Fik. Nanti aku akan kirim seratus kali lipat dari tarif yang ada di aplikasi."

"Hah?! Seratus kali lipat, Nya?"

"Iya. Jadi kamu tungguin aja ya Haris dengan tenang."

"Baik, Nya, baik. Siap laksanakan!"

Sekar memutuskan sambungan telepon itu dengan penuh rasa bahagia. Seratus kali lipat? Ehm ... tenang saja. Uang kisaran sepuluh juta bukan hal yang sulit dikeluarkan oleh Sekar. Apalagi bila itu berkaitan dengan putra sematawayangnya.

"Udah jam setengah tujuh malam dan Haris belum pulang."

Sekar mendesah seraya kembali melihat foto-foto Haris di butik. Senyum lebar pun kembali mekar di wajahnya. Dan sambil terus menikmati foto-foto itu, Sekar berkata lirih pada dirinya sendiri.

"Haris dan Vanny pasti sibuk banget membahas soal pernikahan mereka. Ehm ...."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top