41. Sedia Payung Sebelum Hujan Dan Kepanasan
Bersama-sama, Sekar dan Arif menemui Widia. Wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Tasya itu duduk dengan santai di ruang tamu. Sudah ada minuman dan camilan yang tersedia di sana. Tapi, sedikit pun sajian itu tidak disentuh oleh Widia.
"Widia."
Sekar langsung menyapa. Widia yang semula melihat ke luar seketika berpaling. Mendapati kedatangan Sekar dan Arif membuat Widia langsung bangkit dari duduknya. Mereka bersalaman sejenak sebelum pada akhirnya duduk kembali.
Sekar melirik Arif. Suaminya itu tampak membuang napas panjang. Tidak merasa heran sama sekali dengan kedatangan Widia kala itu.
"Aku yakin kamu udah tau maksud kedatangan aku, Sekar," ujar Widia kemudian tanpa basa-basi sama sekali. "Ini mengenai perjodohan Haris dan Tasya."
"Aaah."
Sekar melirih panjang seraya melirik pada suaminya lagi. Kali ini Arif hanya mengangkat bahunya sekilas. Membuat Sekar mencibir samar padanya.
"Jujur aja aku syok saat Mas Bhakti bilang kalau perjodohan Haris dan Tasya harus dibatalkan. A-aku benar-benar syok. Sama sekali nggak mengira. Kenapa bisa perjodohan ini dibatalkan sebelah pihak?"
Sekar menarik napas dalam-dalam. Berusaha berpikir untuk cepat untuk memberikan penjelasan yang tepat. Tapi, sebelum ia sempat bicara, sang suami telah berkata.
"Aku minta maaf sebelumnya, Wid. Tapi, Haris memang nggak bisa menerima perjodohan ini."
"Tapi, kenapa? Aku pikir selama ini kita sudah sepakat kalau Haris akan dijodohkan dengan Tasya. Dan sekarang?"
Widia membuang napas dengan ekspresi tak terima. Terlihat jelas ia tengah mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam dada. Hal yang sulit pastinya. Terlebih kalau ia ingat bagaimana menyedihkannya keadaan Tasya beberapa hari belakangan ini.
"Aku nggak terima loh perjodohan ini dibatalkan begitu saja," geleng Widia berulang kali. "Kasihan Tasya kalau perjodohan ini dibatalkan."
"Sekali lagi aku mewakili Haris dan keluarga, minta maaf yang sebesar-besarnya, Wid. Tapi, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Nyatanya Haris memang nggak bisa menerima perjodohan ini."
Sekar yang sedari tadi memilih diam, akhirnya memutuskan untuk turut bicara. Mungkin bila sesama wanita yang bicara, semua akan menjadi lebih mudah.
"Wid, aku tau ini bukan yang kita harapkan. Tapi, mau bagaimana lagi? Kami nggak bisa maksa Haris untuk menerima perjodohan ini kalau dia sendiri nggak mau."
Widia berdecak. Jelas tidak terima dengan penjelasan yang diberikan oleh sepasang suami istri itu.
"Aku benar-benar nggak nyangka kalau kalian bisa bersikap seperti ini. Benar-benar nggak menghargai aku, Mas Bhakti, dan juga Tasya."
Arif dan Sekar saling lirik. Perkataan Widia benar-benar menyudutkan mereka. Membuat rasa tidak enak itu semakin menjadi-jadi.
"Maaf sebelumnya, Wid," ujar Sekar berusaha untuk tetap tersenyum. "Kami bukannya nggak menghargai. Tapi, sebagai orang tua kita pasti tau kalau ada hal yang nggak bisa dipaksakan. Dan ..." Sekar kembali melirik pada suaminya sebelum lanjut bicara. "... kami bukannya nggak tau tata krama atau apa. Cuma Haris dan Tasya belum terikat hubungan apa pun. Jadi kami pikir kami tidak perlu datang ke rumah kamu dan meminta maaf secara formal."
Tentu saja. Itu baru pembicaraan perencanaan perjodohan. Baru rencana. Haris dan Tasya belum benar-benar dijodohkan. Maka bukan hal yang aneh bila tempo hari Arif dan Bhakti pun membicarakan soal tersebut dengan santai di sela-sela pekerjaan mereka.
"Ck."
Decakan Widia menyentak Sekar. Sikap wanita itu terlihat jelas tidak terima akan penjelasan yang Sekar berikan.
"Aku nggak peduli dengan kalian datang ke rumah atau apa. Yang aku pedulikan cuma satu. Kenapa bisa kalian melakukan hal seperti ini pada kami? Kalian benar-benar tidak punya perasaan."
Astaga.
"Widia."
Suara Arif terdengar sedikit berat. Sekar menoleh. Wajah Arif berubah serius.
"Sekali lagi kami minta maaf. Tapi, kalau sampai kamu mengatakan kami tidak punya perasaan, itu jelas menyinggung keluarga kami. Karena seperti yang dikatakan Sekar, anak kita belum dijodohkan. Kita baru sebatas membicarakan kemungkinan mereka untuk dijodohkan. Dan karena itulah kenapa ketika Bhakti bertanya ke aku beberapa hari yang lalu, aku pun langsung memberikan jawaban."
Bola mata Widia berputar dengan kesan malas. Ia menggeleng berulang kali.
"Apa pun alasannya, tetap saja. Aku nggak terima kalian main batal-batal seenak kalian. Kasihan Tasya. Di mana tanggung jawab Haris sebagai cowok?!"
Pertanyaan dengan nada tinggi itu menyentak Sekar. Jantungnya seolah tidak berdetak lagi ketika Widia dengan jelas menuding Haris.
Awalnya Sekar memang merasa tidak enak dengan kedatangan Widia. Bagaimanapun juga pembatalan perjodohan pasti akan menimbulkan kesan tak nyaman untuk salah satu pihak. Tapi, itu awalnya.
Ketika Widia sudah menyinggung tanggung jawab Haris, sontak saja rasa tidak enak itu hilang. Bola mata Sekar membesar seketika.
"Tanggung jawab Haris sebagai cowok?"
Kali ini Arif yang menyadari perubahan pada istrinya. Ia menoleh dan buru-buru meraih tangan istrinya. Meremasnya pelan. Berbisik lirih.
"Ma."
Sekar menatap pada Widia. Tidak peduli sang suami berusaha untuk menenangkannya.
"Memangnya Haris ada ngapain Tasya sampai-sampai dia harus tanggung jawab?" tanya Sekar dengan suara bergetar. "Jangan ngomong sembarangan ya. Aku itu udah mendidik Haris dari kecil. Kalau memang Haris ada salah, aku duluan yang suruh dia minta maaf. Sekarang bilang. Apa yang sudah Haris lakukan sampai dia harus tanggung jawab?"
Tuh kan! Arif hanya bisa memejamkan mata. Tidak heran sama sekali melihat sikap Sekar. Kapan pun dan di mana pun, Sekar akan menjadi ibu singa kalau itu menyangkut Haris.
Namun, tentu saja bukan tanpa alasan. Itu karena Sekar yakin bahwa Haris tidak akan berbuat sesuatu yang salah. Terlebih lagi untuk urusan yang satu ini.
"Ayo. Bilang ke aku. Haris ada ngapain Tasya?"
Widia diam. Tentu saja tidak bisa menjawab. Karena nyatanya kan Haris memang tidak ada melakukan apa-apa pada Tasya.
"K-kamu masih nanya Haris ngapain Tasya?" tanya Widia mendengkus. "Pembatalan ini apa bukan Haris yang melakukannya?"
Arif mencoba untuk mengambil kesempatan. Ingin bicara. Lantaran ia tau bahwa dua orang wanita yang berdebat pastilah bentuk lain dari bencana alam. Tapi, apa boleh buat? Sekar pun sudah tersulut emosinya.
"Widia, kita itu baru membicarakan kemungkinan perjodohan mereka loh. Haris dan Tasya bahkan belum benar-benar dijodohkan. Aku malah ragu ini bisa dikatakan pembatalan perjodohan. Toh nyatanya mereka belum ada diikat hubungan perjodohan apa pun."
Wajah Widia memerah. Memang belum ada ikatan apa pun. Pertemuan dua keluarga pun belum ada. Tapi, Widia tidak akan mundur. Bayangan Tasya yang menangis tiap malam melintas di benaknya.
"Pokoknya aku tetap nggak terima. Haris dan Tasya tetap harus dijodohkan," ujar Widia ngotot. "Aku nggak mau lihat Tasya sedih."
"E e eh!"
Arif meneguk ludah. Kali ini ia bukan lagi meremas jari Sekar, alih-alih menahannya dengan terang-terangan. Khawatir kalau Sekar bangkit dari duduknya dan benar-benar menghadapi Widia.
"Aku juga nggak mau lihat Haris sedih. Kalau dia nikah dengan Tasya sementara dia nggak cinta, artinya Haris yang bakal sedih."
Bertahan pada pendiriannya masing-masing, kedua orang ibu itu tetap bersikukuh. Sama-sama mempertahankan keinginan mereka.
"Mustahil Haris nggak cinta sama Tasya. Dia itu cantik, baik, dan semua cowok tergila-gila sama Tasya."
Sekar mengangguk. Tampak mengusap dada. "Iya, Wid, iya. Kalau banyak yang tergila-gila sama Tasya, artinya nggak apa-apa kan perjodohan ini batal? Pasti Tasya mudah kan cari cowok lain?"
"Kamu---"
"Widia, maaf."
Arif buru-buru memotong perkataan Widia. Tidak ingin mengambil risiko. Perdebatan itu bisa saja menjadi pertikaian.
"Mungkin ada baiknya kalau hal ini aku bicarakan dengan Bhakti saja. Mudah-mudahan besok aku akan menemui Bhakti. Bagaimanapun juga aku nggak mau hubungan baik kita rusak karena ini."
Arif melihat Sekar dan Widia berulang kali. Menunggu dengan penuh harap. Dan pada akhirnya, Sekar yang sudah menegang sedari tadi, membuang napas panjang. Tubuhnya melembut kembali. Dan pada saat itu ia bersuara.
"Mereka belum menikah aja kita udah cek-cok gini, Wid. Kamu yakin kita mau jadi besan? Alamat perang dunia ketiga."
*
Bersiap untuk membasahi tubuhnya dengan air pancuran, nyatanya Haris belum melepaskan pakaian dari tubuhnya. Haris celingak-celinguk. Melihat sekeliling di kamar mandi dan merasa ada sesuatu yang terlewatkan. Ada sesuatu yang tidak ada. Dan butuh waktu semenit untuk Haris menyadarinya. Ia pun lantas berteriak.
"Van! Di sini nggak ada sabun ya?"
Vanny yang baru saja memberikan sehelai handuk pada Haris, tertegun. Langkah kakinya terhenti sekitar tiga meter di depan pintu kamar mandi. Ia berbalik. Melihat pada pintu yang masih menutup itu layaknya bisa melihat Haris di baliknya.
"Nggak ada sabun ya, Ris?"
Di dalam kamar mandi, Haris kembali celingak-celinguk. Mencoba melihat dengan lebih saksama. Tapi, ia benar-benar yakin.
"Nggak ada, Van! Di sini nggak ada sabun. Ya kali aku mandi bebek. Pek kepek pake air doang, sabunan nggak."
Tawa Vanny terdengar bahkan sampai ke dalam kamar mandi. Haris membuka pintu. Berkacak pinggang melihat Vanny yang terbahak.
"Sorry. Soalnya kamar mandi itu memang jarang dipakai. Ehm ...."
Vanny mengerutkan dahi. Tampak berpikir sejenak.
"Kayaknya emang nggap pernah dipakai sih. Udah berapa tahun gitu. Jadi wajar kalau nggak ada perlengkapan mandi di sana."
Mata Haris membesar dengan ekspresi horor. "Kamu nyuruh aku mandi di kamar mandi yang nggak pernah dipake? Kalau ada bakterinya gimana? Ntar badan aku bisa gatal-gatal."
"Hahahahaha."
Tawa Vanny benar-benar meledak. Untuk yang satu ini tentu saja Haris tidak salah. Yang dikatakan olehnya memang benar. Bahkan sekelas kamar mandi yang seharusnya menjadi tempat membersihkan diri pun bisa menjadi sarang bakteri kalau tidak pernah dipakai dan dibersihkan.
"Sorry, Ris. Tapi, mau gimana lagi? Ehm ... aku ambil sabun aku dulu."
Vanny sudah bersiap untuk pergi dari sana. Tapi, Haris menyusulnya. Dengan handuk yang melingkar di lehernya, ia bertanya.
"Mau ambil sabun di mana?"
"Di kamar mandi aku."
Mata Haris berbinar-binar. "Nggak usah, Van. Nggak usah diambil sabunnya."
"Terus? Kamu mau mandi kayak bebek?"
Langkah kaki Vanny terhenti seketika. Berencana untuk menuju ke kamarnya, tapi sesuatu yang melintas di benaknya membuat ia sontak memucat. Ia melotot dan Haris cengar-cengir. Cowok itu bergegas beranjak dari sana. Melihat ke sana dan kemari dengan penuh semangat.
"Kamar kamu yang mana, Van?"
Vanny panik. Kengerian sontak memenuhi benaknya ketika Haris dengan cepat memeriksa apartemennya. Dan tentu bukan hal yang sulit untuk Haris bisa menemukan satu ruangan yang ia tebak sebagai kamar Vanny.
Haris memegang daun pintu. "Ini kamar kamu?"
"Nggak," geleng Vanny. "Bukan."
Tentu saja Haris tidak percaya. "Mau bohongin aku ya?"
"Nggak," geleng Vanny lagi. "Aku nggak bohong."
Senyum geli mengembang di wajah Haris. "Kalau gitu ... aku masuk ya?"
"Jangan!" seru Vanny langsung.
"Loh kok jangan? Kan katanya bukan kamar kamu? Ehm ... aku numpang mandi di sini aja ya?"
Vanny meneguk ludah. Haris memberikan pertanyaan yang benar-benar menjebak. Harus bagaimana ia menjawabnya?
"I-itu kamar mandinya juga jarang dipake, Ris. Banyak bakterinya."
Tangan Haris melepaskan daun pintu. Vanny membuang napas panjang. Merasa lega. Tapi, ternyata semua belum berakhir sampai di sana.
"Jadi ... menurut kamu aku lebih baik mandi di mana, Van? Kalau kamar mandi di sini juga jarang dipake, artinya di sini juga banyak bakteri kan? Ehm ...."
Haris mengusap ujung dagunya. Manggut-manggut dengan penuh keyakinan.
"Kayaknya memang aku harus mandi di kamar kamu deh."
"Hah?!"
"Oke. Mana kamar mandi kamu?"
Haris tampak penuh semangat. Bukan. Bukan semangat ingin mandi. Tapi, semangat mengerjai Vanny. Karena oh ... tentu saja Haris tau. Bahwa kamar yang sedang mereka tuju saat ini adalah kamar Vanny.
Hihihihi. Jadi pengen tidur di kasur Vanny.
Dan Vanny semakin bingung. Ingin membawa Haris ke kamar tamu, oh tentu saja nanti ia ketahuan telah berbohong. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana caranya membawa Haris pergi dari depan kamarnya? Jujur, perasaan Vanny tidak tenang karenanya.
"Vanny. Vanny. Udah deh. Kamu jujur aja kenapa?"
Vanny mengerjap. "Ya?"
"Ini kamar kamu kan?" tanya Haris melirik kamar di belakang punggungnya. "Aku tuh cuma mau numpang mandi loh. Dan aku nggak bohong kalau aku mudah alergi. Kalau kamar mandi yang lain emang banyak bakterinya gimana? Ntar aku kegatalan lagi sama kamu."
Haris terdiam sejenak. Ehm ... sepertinya ada yang jujur ya? Eh?
"M-maksudnya ntar aku gatal-gatal," ralat Haris seraya tertawa.
Wajah Vanny memerah. Tanpa dijelaskan pun ia sudah tau. Haris memang mudah alergi, makannya harus dijaga, dan banyak lagi yang lainnya. Dan menyinggung soal alergi, satu-satunya kamar mandi yang terjamin, ya pasti kamar mandi Vanny.
"Janji cuma mau mandi aja?"
Mata Haris berbinar-binar. Ia mengangguk patuh. "Janji. Aku cuma mau mandi aja. Nggak lebih kalau bukan kamu yang nawarin lebih."
"A-apa?"
Sementara Vanny tampak syok, Haris justru buru-buru menutup mulutnya. Ia cengengesan dengan tampang yang tak merasa berdosa sama sekali.
"Ups! Keceplosan deh."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top