40. Bukan Waktu Yang Cepat, Tapi Yang Tepat

Arif baru saja menutup pintu kamar di balik punggung ketika ia mendapati ada yang aneh dari istrinya. Sekar terlihat bersenandung seraya menari-nari seperti orang yang baru mendapat harta karun. Wajahnya terlihat begitu senang. Bahkan saking senangnya, Sekar terlihat seperti ingin melompat-lompat tatkala menghampiri dirinya.

"Papa."

Bukannya senang melihat istrinya yang bahagia, tentu saja Arif justru merasa sebaliknya. Heran dan bingung. Ia mengernyitkan dahi.

"Mama kenapa?" tanya Arif dengan tatapan penuh selidik. "Kok keliatan kayak lagi senang? Ada apa?"

Tak langsung menjawab pertanyaan sang suami, Sekar justru mengusap-usap dada Arif. Percayalah. Arif bukannya senang karena perlakuan lembut istrinya itu. Alih-alih sebaliknya. Merinding. Bulu kuduknya seperti berdiri semua. Alarm peringatannya berbunyi. Seolah sedang mengirimkan sinyal bahwa dirinya harus berhati-hati.

"Mama memang lagi senang, Pa. Ehm ... Papa tau penyebabnya apa?"

Mata Arif menyipit dengan tatapan penuh selidik. "Apa?"

"Haris ..."

Senyum di wajah Sekar sontak mekar. Pun matanya terlihat penuh dengan binar-binar kebahagiaan.

"... bentar lagi mau nikah."

"Hah?!"

Bukannya senang seperti perasaan Sekar, Arif justru tampak sebaliknya. Terkejut dengan sikap penuh antisipasi.

"N-nikah? Haris mau nikah?" tanya Arif gelagapan. Kebingungan semakin menjadi-jadi di wajah Arif, terlebih lagi ketika Sekar mengangguk. "Haris mau nikah sama siapa, Ma? Kan Haris nolak dijodohin sama Tasya."

Usapan lembut tangan Sekar di dada Arif berhenti seketika. Berubah menjadi satu pukulan yang lumayan keras hingga membuat Arif mengaduh. Ia mengusap dadanya demi meredakan rasa sakitnya.

"Papa ini kadang-kadang keterlaluan juga ya," gerutu Sekar cemberut. "Memangnya yang mau sama anak Mama itu cuma Tasya apa? Iiih! Nggak lah yau! Di luar sana ..."

Tangan Sekar menunjuk entah ke mana. Hingga buru-buru membuat Arif mengangguk dengan cepat.

"... banyak cewek yang mau sama Haris."

"Iya, Ma, iya. Papa tau banyak yang mau sama anak Mama itu," ujar Arif seraya meneguk ludah. Dalam hati ia menggerutu juga.

Kayak Haris bukan anak aku aja. Kan buatnya dulu juga berdua sih.

Namun, gerutuan Arif tidak bisa menyingkirkan rasa penasarannya. Kembali, ia bertanya.

"Jadi Haris mau nikah sama siapa?"

Sekar mengangkat wajah. Melihat Arif dengan senyum simpulnya.

"Papa mau tau ya siapa calon istri Haris?" tanya Sekar menggoda. "Penasaran ya cewek mana yang beruntung mendapatkan cinta Haris?"

"Astaga."

Arif melirih seraya menarik napas dalam-dalam. Geregetan juga melihat tingkah istrinya itu. Padahal sudah berapa tahun sih usia mereka? Masih juga bersikap gemas-gemasan layaknya pasangan baru.

Sekar terkikik. "Nanti, Pa. Nanti Papa juga pasti tau kok siapa cewek itu. Tapi, untuk sekarang Papa nggak usah tau dulu. Tungguin aja ntar Haris yang ngenalin dia ke kita."

Sepertinya ada sesuatu yang membuat Arif bingung di sini.

"Kalau nunggu Haris yang ngenalin ke kita ... itu artinya Haris juga belum ngenalin cewek itu ke Mama?"

Satu gelengan langsung menjawab pertanyaan Arif. Tapi, gelengan itu langsung menyambut pertanyaan Arif yang lainnya.

"Kalau gitu, dari mana Mama tau kalau Haris udah mau nikah?"

Kekehan Sekar terdengar lagi. Ia buru-buru menggeleng berulang kali.

"Mama nggak mau kasih tau Papa ah ...."

Ya Tuhan. Arif hanya bisa membuang napas panjang seraya geleng-geleng kepala. Ternyata walau usia terus bertambah setiap tahunnya, ada beberapa sikap manusia yang tidak akan pernah berubah. Begitu pula dengan istrinya.

"Ntar. Tunggu aja waktunya."

Sekarang rasa penasaran Arif hilang. Yang ada malah rasa kesal karena tingkah istrinya. Ia tampak geregetan. Sekar hanya tertawa-tawa melihat ekspresi suaminya.

"Tok! Tok! Tok!"

Ketukan di pintu membuat sepasang suami istri itu berpaling. Sedikit menciptakan jarak, Arif memberikan izin.

"Masuk."

Pintu membuka dan seorang asisten rumah tangga masuk. Dengan sikap sopan ia berkata.

"Tuan, Nyonya. Di luar ada Nyonya Widia."

Wajah Sekar yang tadi penuh kebahagiaan menghilang seketika. Sekarang matanya tampak membesar dengan ketidakpercayaan dengan apa yang telinganya dengar.

"A-apa?" tanya Sekar terbata. "Widia?"

Asisten rumah tangga itu mengangguk. Sekar dan Arif sontak saling lihat satu sama lain. Tanpa perlu bertanya, mereka paham. Widia datang pasti terkait dengan batalnya perjodohan antara Haris dan Tasya.

*

Entah ini sudah yang ke berapa kalinya Vanny melihat Haris. Berharap cowok itu sudah bangun dari tidurnya. Tapi, di saat jam sudah menunjukkan angka dua, Haris tetap bergeming dalam posisi nyamannya itu. Benar-benar terlihat nyenyak.

Vanny yang semula sempat berpikir untuk membangunkan Haris pun jadi tak tega. Wajah Haris yang tampak damai ketika tidur membuat Vanny menjadi tidak tega. Terlebih lagi dengan sikap Haris yang aneh seharian ini. Semakin membuat Vanny berpikir dua kali untuk melakukan niat awalnya.

Biarin aja deh. Mungkin dia emang masih agak sakit. Nggak apa-apa dia istirahat bentar. Timbang aku kerja lagi di kamar dia.

Maka selagi menunggu Haris bangun, Vanny pun bersantai tak jauh dari cowok itu. Dengan ponsel di tangan, ia berselancar di dunia maya. Tidak ada yang benar-benar menarik perhatian dan minatnya. Cuma untuk menghabiskan waktu saja.

Jam kembali berputar. Ketika Vanny sadar, sekarang sudah menunjukkan jam tiga sore. Dan ketika ia melihat pada Haris. Cowok itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

Udah berapa jam ini dia tidur. Nggak ada rencana buat bangun apa?

Pada akhirnya Vanny menyerah. Ia tidak ingin mengambil risiko kalau Haris tidak bangun-bangun sampai malam. Kan gawat.

"Ris. Ris. Ris ...."

Berusaha membangunkan selembut mungkin agar tidak mengagetkan cowok itu, Vanny mengguncang tubuh Haris. Beberapa kali seraya terus menyebut namanya.

"Ris, bangun dong. Ini udah jam tiga lewat. Kamu mau bangun jam berapa?"

Rasa sabar Vanny pelan-pelan mulai terkikis. Sekarang ia benar-benar panik kalau Haris tidak bangun.

"Ris," panggil Vanny dengan putus asa. "Bangun dong. Ini udah sore. Kamu nggak mau balik ke rumah apa? Ntar kalau mama kamu nyariin kamu ... gimana?"

Tidak ingin, tapi mendadak saja bayangan itu melintas di benak Vanny. Sekar yang datang ke unitnya dengan mata melotot. Menuding dirinya menghasut Haris hingga tidak ingat jam pulang.

Ih! Vanny merinding. Hanya membayangkannya saja ia ketakutan, apalagi kalau benar-benar kejadian?

Hingga kemudian rasa takut Vanny berkurang sedikit. Itu adalah ketika Vanny mendengar erangan samar Haris. Dan tak hanya itu, Haris juga tampak menggeliat berulang kali. Vanny membuang napas lega.

Akhirnya Haris bangun juga.

Mata Haris membuka dengan kedua tangannya yang naik ke atas. Mengerang seraya memfokuskan retinanya pada Vanny.

"Vanny."

Dahi Haris mengerut. Sepertinya ia sedikit bingung dengan situasi kala itu. Melihat berkeliling dan tatapannya terhenti pada jam dinding. Nyaris jam setengah empat sore.

"Astaga," kesiap Haris sambil bangkit duduk. "Aku ketiduran selama itu ya?"

"Akhirnya kamu sadar."

Vanny geleng-geleng kepala sementara Haris tampak menguap. Sisa kantuk masih menggelayuti kelopak matanya.

"Sorry sorry. Aku tadi niatnya cuma tidur bentar. Mata aku ngantuk gara-gara kekenyangan. Eh ... nggak taunya malah kebablasan."

"Ck. Lebih dari kebablasan. Ini udah jam setengah empat sore. Kalau aku nggak bangunin, bisa-bisa kamu tidur sampe malam."

Wajah Haris tampak suntuk. Terlihat kesal dengan perkataan Vanny.

"Yaaah! Kalau gitu kenapa kamu bangunin aku sih? Kenapa kamu nggak biarin aku tidur aja sampe malam?"

Vanny melongo. "Hah?"

Haris cengar-cengir. Menyugar rambutnya dengan lima jari, ia merasa tenggorokannya kering. Bukan hal yang aneh mengingat betapa lamanya ia tidur.

"Aku haus, Van."

"Mau minum?"

"Nggak," geleng Haris. "Mau kamu."

Wajah Vanny memerah seketika. Cengiran Haris berubah kekehan.

"Ya iyalah aku mau minum. Pake ditanya lagi."

Vanny buru-buru bangkit. Menuju ke dapur demi mengambil minum untuk Haris. Demi menyelamatkan mukanya untuk sejenak.

Astaga!

Dengan segelas air di tangannya, Vanny baru akan membalikkan badan ketika ia mendengar ada derap halus langkah kaki. Haris tepat berada di belakangnya. Dan saat pandangan mereka bertemu, Vanny kaget. Untung saja gelas tidak lepas dari tangannya.

"Kamu ini ngagetin aja."

Haris sudah sangat kehausan. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dan karena alasan itulah mengapa ia menyusul Vanny ke dapur.

"Sorry."

Haris mengambil alih gelas dari tangan Vanny. Tanpa basa-basi sedikit pun, ia langsung meneguk isinya tepat di hadapan Vanny. Napas Vanny tertahan di dada. Merasa sesak ketika melihat pemandangan unik itu mengganggu penglihatannya. Yaitu jakun Haris tampak naik turun.

Vanny langsung membuang tatapannya ke arah lain. Membiarkan Haris untuk menandaskan isi gelas itu.

Haris mendesah puas. Menaruh gelas kosong di kitchen island seraya mengipasi bajunya. Sedikit merasa gerah.

"Udah kan minumnya?" tanya Vanny seraya melihat pada gelas yang telah kosong itu. "Kalau udah ... lebih baik kamu pulang sekarang deh. Ini udah sore. Ntar Tante nyariin kamu lagi."

Haris mencibir. "Aku udah gede kali, Van. Nggak bakal dicariin kalau balik kesorean."

Tak mau, tapi sekelumit geli membentuk senyum kecil di bibir Vanny. Haris tertegun. Matanya tidak akan salah melihat ekspresi langka itu.

Di sore itu, Vanny tampak begitu alami. Ehm ... maaf. Tapi, Haris tidak tau kata apa yang tepat untuk menggambarkan Vanny kala itu.

Rambut Vanny yang tadi dikeringkan oleh handuk kecil, sudah tersisir dan terurai. Jatuh lemas di menutupi punggungnya. Ia tidak berdandan. Tanpa polesan make up yang biasa dikenakan saat kerja. Tapi, itu justru memberikan daya tarik tersendiri di mata Haris.

Ya. Benar kata Haris tadi. Vanny terlihat begitu alami. Ia tampak lepas. Terlebih lagi dengan senyum geli tadi.

"Ya udah kalau kamu memang udah gede."

Suara Vanny membuyarkan keterpanaan Haris. Ia mengerjap sekali.

"Tapi, seenggaknya kamu memang harus balik sekarang. Ini udah sore. Khawatir jalanan macet. Ntar kamu lama di jalan lagi," ujar Vanny kemudian panjang lebar. "Kamu baru mau sembuh. Jangan capek-capek dulu."

Ah, sudahlah. Perhatian itu membuat Haris menjadi salah tingkah. Tapi, ia mencoba untuk menguasai diri.

"Iya, aku bakal balik sih, Van. Kamu nggak perlu khawatir."

Vanny tersenyum mendengar perkataan Haris.

"Tapi ...."

Senyum Vanny hilang seketika. Ia dan semua makhluk di planet ini sudah sepakat kalau kata tapi harus disingkirkan dari KBBI.

"Aku boleh numpang mandi nggak?" tanya Haris sambil mengipasi bajunya kembali. Merasa tidak nyaman dan lengket karena keringat yang timbul saat tidur tadi. "Aku gerah banget."

Tuntas mengatakan itu, Vanny memejamkan mata. Tidak ingin melihat mata Haris yang berbinar-binar dalam sorot memohon. Dalam hati ia menggerutu.

Ini cowok pasti selalu aja ada alasan kan? Dari haus, lapar, ngantuk, eh ... sekarang gerah. Mau numpang mandi coba. Ntar abis mandi, dia mau ngasih alasan apa lagi?

Maka tidak heran bila ketika Vanny membuka mata, Haris mendapati sorot kematian yang terpancar dari mata cewek itu. Haris meneguk ludah. Berusaha untuk santai ketika berkata.

"Aku mandi nggak lama kok. Paling cuma setengah jam."

Vanny melongo. "Setengah jam nggak lama? Wah! Kenapa nggak lebih dari itu, Ris? Sejam misalnya."

Mengabaikan nada sindiran di suara Vanny, Haris justru terlihat semringah. Ia bersemangat seraya meraih tangan Vanny.

"Kamu mau? Karena kalau sama kamu ..."

Wajah Vanny berubah. Membeku dan memerah. Sementara Haris tampak sebaliknya. Penuh antusiasme yang membuat Vanny rasa-rasanya mulas seketika.

"... aku tahan mandi dua jam, Van. Gimana?"

Astaga!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top