4. Terlambat Sudah

"Coba kamu sortir berkas ini. Untuk revisi terbaru, langsung kamu taruh di meja Pak Haris."

Tak bisa mengelak, setidaknya ada tumpukan map setinggi empat puluh sentimeter yang berpindah ke tangan Vanny. Membuat cewek itu buru-buru mengerahkan tenaganya agar map tersebut tidak jatuh.

"B-Bu---"

"Setelah kamu selesai sortir ini, kamu cross check jadwal Pak Haris seminggu ke depan. Ada email yang baru masuk dan itu perubahan kegiatan tahunan perusahaan. Kamu lihat acara yang harus dihadiri oleh Pak Haris, apa ada bentrok dengan jadwal beliau atau nggak."

"B-Bu---"

"Dan setelah itu, jangan lupa untuk ngecek semua akomodasi terkait dengan perjalanan dinas Pak Haris dua minggu ke depan. Pastikan dari pesawat, hotel, dan semuanya sudah beres."

"B-Bu---"

"Ah, bener. Karena kamu juga bakal pergi, kamu jangan lupa untuk ngurus kebutuhan kamu. Kalau misalnya ada yang kamu butuhkan atau apa gitu, kamu tinggal ngurusnya sendiri. Oke?"

Vanny mengerjapkan mata. Membeokan satu kata itu dengan irama yang sama, yaitu dalam nada bertanya.

"Oke?"

Astrid mengangguk. "Oke."

T-tunggu dulu.

Vanny tersadar. Ia buru-buru menaruh tumpukan map itu di mejanya dan langsung menghampiri Astrid yang kembali berkutat dengan pekerjaannya. Tangan cewek itu terulur, menggamit lengan kemeja sang sekretaris pertama.

"B-Bu."

Takut-takut, Vanny memanggil Astrid. Bagaimanapun juga wajah serius wanita paruh baya itu lumayan membuat Vanny merasa ragu.

Ngomong sekarang atau ntar ya? Tapi ....

Astrid menoleh dengan sepuluh jari yang masih bergerak di atas papan ketik komputer. Hal itu membuat Vanny berdecak kagum.

Yang namanya sekretaris itu memang bukan kaleng-kaleng ya? Cantik, pintar, dan multitalenta.

"Kenapa?"

Suara Astrid membuyarkan semua bentuk kekaguman di benak Vanny. Cewek itu mengerjap sekilas. Lalu teringat akan tujuan awal dirinya datang pagi itu. Adalah untuk mundur dari pekerjaan tersebut.

Vanny menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Tanpa kedip menatap Astrid yang lantas mengerutkan dahi. Tampak bingung.

"Bu," lirih Vanny kemudian. "Saya bukannya nggak mau ngerjain semua kerjaan yang udah Ibu suruh tadi, tapi saya mau ngomong sesuatu."

Astrid membalas tatapan Vanny. "Apa?"

"Sepertinya saya nggak bisa lanjut jadi sekretaris kedua di sini."

Astrid diam. Tidak mengatakan apa-apa ketika kerutan di dahinya semakin bertambah. Sepertinya ia tidak mengerti apa yang Vanny katakan.

"Maksud kamu?"

Vanny menguatkan dirinya. "Saya mau mundur dari kerjaan ini, Bu."

Tuntas mengatakan itu, Vanny diam. Sengaja tidak bicara lagi dan menunggu reaksi Astrid.

"M-mundur?"

Persis seperti dugaan Vanny, Astrid tampak tidak percaya.

"Iya, Bu," angguk Vanny. "Saya mau mundur. Saya nggak mau jadi sekretaris kedua Pak Haris."

Mata Astrid mengerjap berulang kali. Sekarang tangannya meninggalkan papan ketik komputer. Sedikit memutar tubuh, Astrid mengubah posisinya untuk benar-benar menghadapi Vanny.

"Kalau kamu nggak mau jadi sekretaris kedua ...," lirih Astrid kemudian. "... apa itu artinya kamu mau jadi sekretaris pertama?"

Vanny melongo.

"Ehm ... itu ..." Astrid tampak kebingungan. "... sepertinya---"

"Bukan gitu maksudnya, Bu," potong Vanny seraya memegang tangan Astrid. "Saya bukannya mau jadi sekretaris pertama. Nggak. Tapi, saya beneran nggak mau jadi sekretaris Pak Haris. Mau yang pertama atau yang kedua ..." Vanny mempertegas maksudnya. "... saya tetap nggak mau."

Hening, Astrid hanya bisa menatap Vanny dalam diam. Sepertinya ia butuh waktu untuk bisa mencerna perkataan Vanny dengan baik. Tapi, setelah beberapa detik berlalu, kebingungan itu masih tercetak jelas di wajahnya.

"N-nggak mau?"

Vanny mengangguk. "Iya, Bu. Saya nggak mau."

"I-itu artinya?"

"Saya mau mundur dari kerjaan ini. Saya nggak mau kerja di sini."

"Kok bisa?"

"Itu---"

Vanny tidak bisa menjawab pertanyaan polos Astrid yang satu itu. Memaksa otaknya untuk mencari jawaban yang masuk akal pun rasanya percuma. Otak Vanny seperti tidak bisa bekerja saat itu.

Ya kali kan aku bilang ke Bu Astrid kalau aku nggak mau jadi sekretaris kedua gara-gara Haris itu mantan aku. Hiks. Memalukan aja.

Sumpah demi apa pun, Vanny tidak akan mengatakan itu pada Astrid. Harga dirinya yang tidak seberapa itu bisa hancur runtuh seketika.

"Itu?"

Astrid mengulang satu kata yang sempat diucapkan oleh Vanny tadi. Dengan irama yang berbeda tentunya. Dalam nada bertanya yang membuat Vanny menggigit bibir bawahnya. Astrid jelas menunggu alasannya.

"Kriiing!"

Suara telepon di meja Astrid membuat kedua orang wanita berbeda zaman itu sama-sama terlonjak kaget. Kompak, mereka pun melihat pada alat telekomunikasi itu. Astrid segera menggeser kursi yang ia duduki. Berkat roda-roda di kaki kursi, Astrid tidak perlu bersusah payah demi menjangkau telepon tersebut.

"Halo, Pak."

Vanny menahan napas tatkala mendengar sapaan yang Astrid berikan. Ia bisa menebak bahwa itu adalah Haris yang menghubunginya.

"Baik, Pak. Akan segera diantar ke ruangan Bapak secepatnya."

Astrid terlihat mengangguk sekali sebelum menaruh kembali gagang telepon itu di tempatnya semula. Ia berpaling pada Vanny.

"Van, berkas yang tadi buruan disortir. Pak Haris minta revisiannya."

Vanny gelagapan. "T-tapi, Bu---"

"Revisian itu mau dipake Pak Haris buat rapat besok. Jadi buruan ya? Saya juga masih lanjut buat kerjaan yang lain."

Tak mengindahkan apa yang ingin Vanny katakan, Astrid kembali meluncur di atas kursinya. Kali ini kembali ke depan komputernya yang sudah menggelap layarnya. Ia langsung melanjutkan pekerjaannya.

Vanny membuang napas. Melihat pada Astrid yang kembali fokus dengan komputernya dan lalu beralih pada tumpukan map di mejanya. Ia tak punya pilihan lain. Pada akhirnya ia harus mengerjakan apa yang menjadi tanggungjawabnya kala itu.

"Tapi, Bu."

Walau faktanya ternyata Vanny tidak bisa benar-benar fokus dengan pekerjaan itu. Ia kembali memanggil Astrid.

"Saya beneran nggak bisa kerja di sini," ujar Vanny lagi ketika Astrid melihat padanya. "Saya beneran mau mundur."

Bola mata Astrid berputar dengan dramatis. "Dari tadi ngomongin mundur, emangnya kamu serius?"

"Serius, Bu."

"Kalau serius," kata Astrid kemudian. "Alasan kamu mau mundur apa?"

"Ehm ... alasannya ...."

Vanny tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tentu saja. Dan Astrid yang lagi-lagi tidak mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya, menepuk pundak Vanny.

"Percaya sama saya. Kerja jadi sekretaris itu nggak semenakutkan yang kamu pikir kok."

"Semenakutkan yang saya pikir?"

Astrid mengangguk. Matanya sempat melirik pada buku agenda yang tadi ia berikan pada Vanny. Buku agenda yang memuat banyak hal mengenai apa saja yang harus ia lakukan sebagai sekretaris kedua Haris itu tampak tergeletak di meja Vanny.

"Saya tau kerjaan jadi sekretaris itu memang banyak," lanjut Astrid sambil menarik napas dalam-dalam. Ekspresi wajahnya menyiratkan empati. "Tapi, kalau kamu jalani pelan-pelan, semua bakal enjoy juga kok."

Vanny meneguk ludah. Dalam hati ia menggerutu.

Jalani pelan-pelan? Semua bakal enjoy? Ha ha ha ha. Mana mungkin ketemu mantan tiap hari bisa buat enjoy?

Tangan Astrid pindah. Dari pundak turun ke jari-jari tangan Vanny. Meremasnya pelan seolah tengah memberikan dorongan moril pada rekan kerjanya itu.

"Kerja sama Pak Haris itu enak, Van. Saya bisa jamin. Kalau kamu pergi nemenin dia dinas ke luar, itu berasa kayak kamu lagi liburan. Pak Haris itu orangnya enjoy banget loh."

Vanny meneguk ludah. Menahan ringisan ketika ia tidak bisa membalas perkataan Astrid yang satu itu secara gamblang.

Saya tau, Bu, saya tau. Saya tau se-enjoy apa Haris itu. Makanya saya jadi tambah nggak mau lanjut kerja di sini. Apalagi jadi sekretaris kedua dia. Saya nggak mau.

"Jadi ..."

Remasan tangan Astrid di jari-jari Vanny menguat. Seiring dengan senyumnya yang kemudian muncul.

"... kamu langsung selesaikan kerjaan kamu dan buruan antar revisian tadi ke Pak Haris."

Tuntas mengatakan itu, Astrid kembali pada komputernya. Meninggalkan Vanny yang nelangsa. Menggigit bibir bawahnya dengan mata yang memejam dan kedua tangan mengepal di depan wajah. Tak bisa menyuarakan frustrasinya membuat Vanny tak punya pilihan lain.

Ya udah deh. Kalau gitu aku bilangin aja langsung sama Haris kalau aku mau mundur.

Pada akhirnya Vanny tau bahwa itu adalah satu-satunya jalan yang bisa ia ambil. Ia akan memanfaatkan berkas terbaru yang telah direvisi dan mengutarakan keinginannya untuk mundur dari pekerjaan itu.

Vanny menarik napas dalam-dalam. Menguatkan diri dan mengetuk pintu ruangan Haris. Lalu terdengar suara itu dari dalam.

"Masuk."

Tak perlu bertanya sebanyak apa doa yang Vanny baca di dalam hati ketika ia mendorong pintu itu untuk membuka. Ia butuh kekuatan jiwa dan raga agar tidak mendadak pingsan di sana.

Ya Tuhan, tolong kuatkan hamba.

Menutup pintu di belakang punggungnya, Vanny melangkah masuk. Matanya terarah ke seberang sana. Pada Haris yang duduk di balik meja kerjanya.

Saat itu hari sudah menginjak angka sebelas. Penampilan Haris sudah tidak sesegar saat Vanny bertemu dengannya pagi tadi. Tapi, Haris jelas masih terlihat menawan di mata Vanny.

E-eh?

Vanny mengerjapkan mata tepat ketika Haris tersenyum padanya. Sekilas, lalu ia melirik pada berkas di tangan Vanny.

"I-ini, Pak."

Gugup dan terbata, Vanny menyerahkan map tersebut pada Haris. Cowok itu menerimanya acuh tak acuh. Menaruhnya di sisi meja.

Membawa kedua tangan untuk bertumpu di atas meja, Haris menatap Vanny. Ekspresi wajahnya terlihat santai. Pun sama santainya dengan dirinya yang lantas bertanya.

"Gimana dengan hari pertama kamu kerja? Lancar kan?"

Vanny tidak tau ia harus bersyukur dengan cara apa, tapi yang pasti pertanyaan Haris memberikan ia kesempatan untuk dirinya mengutarakan niatannya.

"Lancar."

Satu kata itu membuat Haris kembali tersenyum. Hanya saja senyum itu tidak bertahan lama. Karena di detik selanjutnya perkataan Vanny membuat senyum itu menghilang seketika.

"Tapi, ini bukan pekerjaan yang saya mau."

Haris mengerutkan dahinya. Diam sejenak dengan mata yang tak berkedip melihat pada Vanny.

"Maksud kamu?"

Vanny menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sungguh! Jantungnya benar-benar berdegup kencang saat itu. Ia benar-benar gemetaran dari atas hingga bawah.

"Maksud saya," kata Vanny kemudian. "Saya nggak pernah berpikir untuk bekerja jadi sekretaris. Dan karena itulah mengapa ..." Kedua tangannya mengepal dengan kuat di sisi tubuh. "... saya mau mundur dari kerjaan ini."

Hening sejenak. Dalam keadaan tanpa ada suara sedikit pun di antara mereka berdua, Vanny merasa jantungnya kian bertalu-talu. Ia tegang dan tubuhnya sudah berkeringat.

"Kamu mau mundur dari pekerjaan ini? Mundur sebagai sekretaris kedua aku?"

Seakan perkataan Vanny belum cukup jelas, Haris bertanya pada cewek itu. Dan anggukan kepala yang cepat ia terima membuat Haris membuang napasnya dengan penuh irama.

"Well well well," decak Haris sambil geleng-geleng. "Kita udah berapa lama sih nggak ketemu?"

Menanyakan hal yang benar-benar di luar topik pembicaraan mereka, Haris sukses memutar balik keadaan. Bila tadi adalah dirinya yang tampak mengerutkan dahinya, maka sekarang sebaliknya. Justru Vanny yang terlihat bingung.

"Sembilan tahun? Ehm ... atau sepuluh tahun?" tanya Haris dengan ekspresi tak yakin. Kepalanya meneleng ke satu sisi dengan jari yang mengusap ujung dagu. Benar-benar menampilkan mimik seseorang yang tengah berpikir.

"Sebelas tahun," ralat Vanny. "Kurang lebih."

Fokus mata Haris kembali pada Vanny. Dengan binar-binar yang menyertainya.

"Ah, benar. Kurang lebih sebelas tahun. Terakhir kali kita ketemu pas perpisahan SMA kan? Waktu itu kamu ngasih aku balon warna merah dan ngajak aku buat putus."

Ya Tuhan.

Vanny memejamkan mata. Tidak ingin, tapi ia tertarik ke masa lalu. Bagaimana bisa ia memberikan balon pada Haris dan kemudian ia malah mengajak cowok itu untuk putus?

"Oke, terlepas dari balon merah itu ..."

Haris kembali melanjutkan perkataannya. Sesuatu yang tanpa sadar membuat Vanny turut membuka mata. Melihat pada cowok itu dan tidak mendapati ada jejak emosi di wajahnya. Sedikit banyak itu membuat Vanny mengembuskan napas lega.

"... sekarang aku jadi bertanya-tanya. Selama kurang lebih sebelas tahun nggak ketemu, kerjaan kamu apa?"

Apa ini taktik mempermalukan mantan versi terbaru? Menanyakan soal pekerjaan agar bisa meninggikan strata diri sendiri?

Itu adalah tudingan yang sempat terbersit di benak Vanny ketika mendapati pertanyaan tersebut. Tudingan yang tentu saja membuat Vanny ciut seketika. Karena dengan apa ia akan menjawab pertanyaan itu? Dengan kejujuran memalukan yang ia alami? Pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam kurun waktu yang tak lama?

"Maaf. Aku bukannya mau nyinggung kamu atau gimana, Van," kata Haris tatkala tak ada jawaban yang ia dapatkan. "Karena aku mau mastiin aja kalau selama ini kamu kerja dan ada uang."

Wajah Vanny benar-benar tertekuk kali ini. Yakin pada tudingannya.

Tuh kan bener? Ini pasti teknik mempermalukan mantan versi ter-update.

Vanny mengingatkan diri untuk tidak terpancing emosi. Ia harus tetap sabar mengingat di sana posisi dirinya dan Haris jelas berbeda. Bawahan dan atasan.

"Mudah-mudahan kalau untuk uang ...," jawab Vanny dengan tenang. Seulas senyum pun ia pamerkan."... saya ada kok."

Mata Haris mengerjap sekali. "Banyak?"

"Ba--- eh?"

Senyum Vanny menghilang.

Kok nggak sopan sih Haris nanya duit orang banyak atau nggak?

Wajah Vanny tentu saja tidak bisa menyembunyikan rutukan yang kembali menggema di benaknya. Alih-alih sebaliknya. Ekspresi di sana layaknya cerminan yang memperlihatkan apa yang tengah Vanny pikirkan. Dan Haris buru-buru berkata.

"Sorry, Van. Sekali lagi aku bukannya mau nyinggung kamu atau gimana. Tapi, aku murni cuma mau tau aja."

Samar, tapi Vanny jelas cemberut. "Untuk apa Bapak tau soal itu?"

Dalam situasi seperti itu, Vanny jelas memuji dirinya sendiri yang masih bisa bertahan pada akal warasnya. Setidaknya ia masih mempertahankan sopan santun pada mantan pacar yang sekarang adalah atasannya. Karena alih-alih mengumpati Haris yang menyinggung soal pekerjaan dan uang, Vanny justru tetap memanggil cowok itu dengan panggilan 'bapak'.

"Untuk memastikan bahwa kamu benar-benar mau mundur jadi sekretaris kedua aku."

Hubungannya?

Vanny jelas makin bingung karena Haris melihat bahwa kerutan di dahinya bertambah. Dan untuk itu, Haris turut mengerutkan dahinya pula. Matanya menyipit dengan sorot menebak.

"Ehm ... sebelum kamu ngomong mau mundur dari kerjaan ini ... aku mau nanya, deh," kata Haris dengan lirih. "Kamu udah ngecek surat kontrak kerja kamu kan, Van?"

Mengerjapkan mata, Vanny mencoba mengingat. Tapi, ia tidak yakin. Dan melihat keraguan di wajah cewek itu, senyum seketika mengembang di wajah Haris.

"A-aku ...."

Bahkan Vanny sendiri ragu kalau ia pernah membaca surat kontrak kerja itu. Hingga membuat Haris berdecak. Tangan cowok itu bertepuk sekilas dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat dan lantas punggungnya bersandar di kursi.

"Ah! Kamu ini gimana sih, Van? Aku pikir kamu udah baca surat kontrak kerja kemaren."

Ada yang berbeda dari nada bicara Haris kala itu. Sesuatu yang membuat Vanny merasa perutnya kembali mual-mual. Astaga! Padahal jam makan siang saja belum datang, kok Vanny sudah merasa magh dadakan?

"M-memangnya ada apa dengan surat kontrak itu?"

Bodoh memang, tapi Vanny spontan saja menanyakan hal tersebut. Hal fatal sebenarnya mengingat bagaimana Haris yang lantas tertawa, alih-alih menjawab.

"P-Pak---"

"Vanny, menurut aku lebih baik kamu baca dulu surat kontrak kamu itu benar-benar," potong Haris di sela-sela tawanya. "Kalau sudah kamu baca, baru deh kamu ke sini lagi dan kita bicarakan soal kemungkinan kamu untuk mundur dari kerjaan ini."

Mendengar hal itu bukannya Vanny merasa tenang, tapi justru sebaliknya. Perasaannya menjadi was-was. Dan ia benci karena ia tidak tau penyebabnya apa.

"Sekarang kamu boleh keluar dan lanjutin kerjaan kamu."

Vanny masih berdiri di tempatnya. Belum beranjak ketika dilihatnya bagaimana Haris yang masih tertawa seraya geleng-geleng kepala. Ditambah dengan lirihan yang samar ia dengar.

"Hahahahaha. Vanny, Vanny."

Hal itu membuat kecurigaan Vanny semakin menjadi-jadi. Berikut dengan rasa khawatir yang makin besar memenuhi kepalanya. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Selain pergi dari ruangan Haris dengan satu pertanyaan besar.

Emangnya ada apa sih dengan surat kontrak kerja itu?

Vanny nyaris merasa gila dalam ketidaktahuan yang membuat ia tak tenang sepanjang waktu. Hingga butuh kesabaran ekstra untuk dirinya bisa melewati sisa hari itu dengan kepala dingin. Alih-alih langsung pulang ke apartemennya demi memeriksa apa tepatnya yang tertulis di surat kontrak tersebut. Dan ketika pada akhirnya ia membacanya, maka Vanny merasa lehernya tercekik.

"P-pinalti sebesar satu milyar rupiah?"

Vanny pikir mungkin saja matanya mendadak rabun dekat, jadi ia jauhkan surat kontrak itu. Tapi, sial! Angka yang tertera di sana tidak berubah.

"I-ini beneran satu milyar rupiah?"

Bahkan ketika Vanny mengucek matanya berulang kali, angka itu tetap tidak berubah. Masih sama.

"Ya Tuhan. Ini beneran satu milyar rupiah?"

Surat kontrak lepas dari tangan Vanny. Terjatuh dan mendarat di lantai sementara Vanny langsung mencengkeram rambutnya. Ia syok.

"Aaah!!!"

Benar-benar menjerit, Vanny tak mampu menahan frustrasinya ketika bayangan Haris mendadak melintas di benaknya. Berikut dengan perkataannya tadi siang.

"Vanny, menurut aku lebih baik kamu baca dulu surat kontrak kamu itu benar-benar. Kalau sudah kamu baca, baru deh kamu ke sini lagi dan kita bicarakan soal kemungkinan kamu untuk mundur dari kerjaan ini."

Sial!

Vanny meneguk ludah. Sekarang ia tau mengapa Haris sampai tertawa. Karena mau sekaya apa pun ia, rasanya tetap mustahil untuknya mampu membayar pinalti sebanyak itu.

Satu milyar rupiah? Oh, astaga! Yang benar saja.

Maka sudah bisa dipastikan betapa terguncangnya Vanny saat itu. Semua seperti berputar-putar memenuhi kepalanya. Dari fakta menjadi sekretaris kedua mantan pacar dan bayangan pinalti sebesar satu milyar rupiah. Nahas memang. Tapi, di saat ia sudah bertekad untuk melepaskan pekerjaan dengan gaji fantastis itu demi menghindari Haris, ia justru mendapati fakta lain. Bahwa ada pinalti yang harus ia bayar bila mundur dari pekerjaan tersebut. Pinalti dalam nilai yang tak main-main.

Vanny melihat kembali surat kontrak itu. Membaca kembali hanya untuk mendapati bahwa kenyataan memang tidak berubah. Hingga membuat ia kian depresi.

"Astaga. Kerjaan apa yang mencantumkan pinalti satu milyar rupiah? Kerjaan apa?!" tanya Vanny meraung. Mata melotot dan wajahnya memerah. "Dan orang bodoh mana yang menandatangi surat kontrak dengan pinalti sebesar satu milyar rupiah?!"

Sungguh! Vanny yakin dirinya akan gila sebentar lagi!

"Orang bodoh mana?!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top