39. Tanpa Bicara, Siapa Yang Tau Isi Dalam Kepala?
"H-Haris, kamu jangan gila ya."
Haris datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan sama sekali. Ketika mata mereka bertemu, Haris langsung memeluknya. Dan selang beberapa detik kemudian, Haris mengungkapkan cintanya. Bayangkan. Seperti apa keadaan jantung Vanny di dalam sana?
Y-ya Tuhan. I-ini Haris kenapa?
Vanny berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Haris. Tapi, cowok itu tidak memberikan sedikit celah pun untuknya. Vanny megap-megap. Napasnya sekarang terasa makin payah. Antara karena kuatnya rengkuhan Haris atau karena dirinya yang mulai hanyut dalam suasana.
Berusaha mengingatkan dirinya berulang kali, Vanny mencoba untuk tetap waras. Jangan sampai dirinya terbuai oleh sikap dan kata-kata Haris kala itu. Terlebih lagi jangan sampai ia kehilangan akal sehatnya.
Vanny berusaha untuk menyadarkan Haris. Tapi, cowok itu bergeming. Memberikan beberapa tepukan di punggung Haris pun rasanya percuma. Ia tetap memeluk Vanny hingga cewek itu merasa putus asa.
"Ris, lepasin aku. Jangan meluk aku kayak gini. Kalau dilihat orang gimana?"
Haris tetap tidak melepaskan pelukannya. Alih-alih ia justru melangkah maju. Mau tak mau membuat Vanny melakukan hal yang sebaliknya. Kakinya tersurut ke belakang. Mereka masuk dan lantas satu kaki Haris mendorong pintu untuk menutup.
Bola mata Vanny membesar seketika. Memang ia tidak ingin dilihat orang-orang. Tapi, bukan ini maksudnya.
"Haris."
Vanny meronta. Sungguh ia tidak tau. Entah dipeluk di luar atau dipeluk di dalamkah yang lebih berbahaya?
"Please, Van. Biarin aku meluk kamu."
Rontaan Vanny seketika berhenti. Ia tertegun. Menyadari ada yang berbeda dari suara Haris. Terdengar letih. Seolah tak bertenaga.
Dan pada akhirnya itu berhasil membuat tangan Vanny yang semula terus-menerus menepuk punggung Haris berhenti bergerak. Luruh dan jatuh.
Untuk beberapa saat lamanya, Vanny pun memutuskan untuk diam. Sama seperti Haris yang kembali tidak bersuara. Vanny mengira-ngira di benaknya. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Haris?
Apa dia sakit lagi? Tapi ....
Sepertinya tidak. Karena Vanny bisa dengan jelas merasakan suhu tubuh Haris yang normal. Tidak terasa panas seperti tempo hari ketika ia tengah sakit.
Maka Vanny pun semakin bertanya-tanya. Hingga kemungkinan lain pun muncul. Bisa saja Haris sedang ada masalah.
"Ris," panggil Vanny lirih beberapa saat kemudian. Suaranya terdengar lembut. "Kamu baik-baik aja?"
Kepala Haris bergerak samar. Dalam bentuk beberapa gelengan di lekuk pundak Vanny. Jawaban yang membuat jantung Vanny seperti berhenti berdetak.
Mata Vanny melirik. Tapi, tidak bisa melihat cowok itu. Perasaannya jadi tidak enak.
"Kamu lagi ada masalah? Atau kenapa?"
Tidak ada jawaban yang Vanny dapatkan kali ini. Tidak dalam bentuk kata-kata ataupun tindakan lainnya.
Maka ketika Vanny tidak tau apa yang sedang terjadi pada Haris, pikirannya buruknya pun semakin menjadi-jadi. Khawatir bila ada sesuatu yang serius tengah terjadi pada cowok itu. Hingga mendorong Vanny untuk mencoba menenangkan Haris. Alih-alih mengusirnya.
Vanny mengelus punggung Haris. Dengan lembut dan menenangkan.
*
"Ini. Diminum dulu."
Vanny memberikan segelas air putih untuk Haris. Cowok itu duduk di depan televisi yang masih menayangkan drama Korea pilihan Vanny tadi. Dalam keadaan terjeda dan menampilkan seorang aktris berambut merah yang sedang berkelahi.
Membuang napas panjang, Vanny meraih remot televisi. Mungkin ia harus menunda keinginannya untuk menonton drama tersebut. Karena dengan keberadaan Haris di sini, tentu saja semua rencana hari Minggunya terpaksa berubah.
Haris menyambut gelas itu. Meneguk isinya tanpa semangat sama sekali. Tampak lesu. Hingga membuat Vanny terpikir sesuatu.
"Kamu udah makan, Ris?"
Mata Haris mengerjap sekali. Seraya menaruh gelas di atas meja, ia berpaling. Melihat Vanny yang tampak cuek dengan handuk di atas kepalanya. Ia menggeleng.
Decakan samar Vanny terdengar. Ia yang baru saja mendaratkan bokongnya di sofa empuk itu, bangkit kembali.
"Kamu itu baru sembuh. Udahlah belum makan, terus malah ke sini lagi. Beneran mau sakit lama-lama."
Haris meraih tangan Vanny tepat ketika cewek itu akan beranjak. Wajahnya terangkat.
"Kamu mau ke mana?"
"Ke dapur," jawab Vanny. "Aku nggak mau kamu tiba-tiba kena magh dan terus kamu sakit lagi."
Haris menatap Vanny tanpa mengatakan sepatah kata pun. Pada saat itu Vanny sepertinya menyadari sesuatu. Bola matanya membesar.
"Kamu jangan GR ya. Aku mau masakin kamu makanan itu karena aku nggak mau kerja di kamar kamu lagi. Bukan karena aku peduli atau perhatian sama kamu. Nggak sama sekali."
Ah, seandainya saja Haris tidak bertemu dengan Esti sebelumnya, ia pasti akan mencak-mencak karena perkataan Vanny. Tapi, karena yang terjadi sebaliknya, maka tentu saja sikap Haris pun berbeda. Alih-alih merajuk seperti biasanya, Haris justru tampak mengangguk.
"Iya," ujar Haris penuh pemakluman. "Aku tau. Makasih, Van."
Haris melepaskan tangan Vanny. Kembali mengambil gelas dan meminum isinya dengan tenang. Sementara Vanny? Alih-alih langsung ke dapur seperti keinginannya semula, ia justru tertegun. Melihat heran pada Haris yang tampak lebih tenang. Tidak seperti biasanya.
Aneh. Kenapa dia mendadak kalem gini? Apa dia memang belum sembuh beneran ya?
Memikirkan kemungkinan itu, tentu saja Vanny merinding. Bukannya apa. Tapi, ia tidak ingin kembali melewatkan hari-hari kerjanya di kamar Haris.
Vanny ke dapur. Membuka kulkas dan menyadari bahwa persediaannya tidak terlalu bisa diharapkan.
Sebenarnya bukan hal yang aneh. Vanny tinggal seorang diri. Mana yang lebih hemat? Masak setiap hari atau beli makan di luar? Setidaknya Vanny bisa menghemat energinya.
Vanny membuka kabin dapur. Stok makanan paling mewah yang ia miliki adalah mi instan. Sesuatu yang tidak bisa dimakan Haris.
Bisa nambah parah lagi sakit itu cowok.
Sempat terbersit di benak Vanny untuk menggunakan kemajuan teknologi. Berupa layanan pesan antar. Tapi, khawatir jalanan di hari Minggu membuat makanan akan lama sampai di sana.
Baiklah kalau gitu. Keadaan nggak ngasih aku banyak pilihan.
Beruntung ada bumbu praktis nasi goreng, sayur kemasan, telur, dan sosis. Itu sudah lebih dari cukup untuk Vanny.
Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Vanny meracik semua bahan-bahan itu di dalam wajan. Mencampurnya menjadi satu hingga memberikan aroma wangi yang menguar di udara. Memenuhi ruangan dan terbawa oleh angin.
"Kamu masak apa, Van?"
Vanny memadamkan kompor seraya menoleh. Melihat Haris sudah melewati ambang pintu dapur.
"Cuma masak nasi goreng aja. Kamu tunggu aja di meja makan atau di mana kamu mau. Ntar aku anterin."
Haris mengangguk seraya keluar dari dapur. Rasa penasaran Vanny timbul. Maka dengan berjingkat-jingkat, ia pun menuju ambang pintu dapur. Mengintip dan mendapati Haris yang benar-benar duduk di meja makan.
Ehm ....
Vanny beranjak mengambil piring. Dahinya berkerut. Semakin merasa aneh dengan sikap Haris kala itu.
Kayaknya dia beneran masih sakit deh. Karena kalau nggak sakit, mustahil banget dia betingkah kayak gini. Jadi cowok penurut kan bukan tipe Haris sama sekali.
Karena yang ada di bayangan Vanny ketika Haris menghampirinya di dapur tadi adalah Haris yang akan mengganggunya. Menggodanya. Dan mungkin melakukan beberapa tindakan yang bisa membuat darahnya naik.
Memeluknya. Menciumnya. Atau ....
Astaga! Aku mikirin apa sih?
Vanny harus menyibukkan diri agar pikirannya tetap terkendali. Maka ia segera menyajikan nasi goreng tadi di piring.
Ketika Vanny membawa dua piring nasi goreng ke meja makan, Haris menyambutnya dengan sikap yang terkesan sopan. Meraih piringnya, tersenyum, dan mengangguk.
"Makasih."
Vanny jadi garuk-garuk kepala. Pada saat itu ia baru sadar kalau masih ada handuk di sana.
"Kamu kenapa, Ris? Kok beda banget hari ini."
Vanny duduk di depan Haris. Melihat cowok itu yang mulai menikmati makan siangnya. Ia menggeleng.
"Nggak kenapa-napa, Van. Kan aku ngucapin makasih karena kamu udah masakin aku nasi goreng."
Yang dikatakan Haris memang benar sih. Tapi, rasa-rasanya tidak benar seutuhnya.
Ah, udahlah. Mungkin aja sisa sakitnya masih nempel.
Memutuskan untuk memikirkan keanehan sifat Haris kala itu, Vanny pun mulai menikmati makan pagi rangkap makan siangnya. Dengan mata yang sesekali melihat pada Hari tentunya. Tapi, cowok itu benar-benar terlihat tenang dan tidak banyak tingkah. Berbeda sekali dengan Haris biasanya. Yang kerap membicarakan banyak hal hingga Vanny kadang merasa muak karenanya.
Setelah makan, Vanny membawa piring kotor mereka ke dapur. Dan sementara Haris kembali ke ruang menonton, Vanny justru ke kamar. Demi melepas handuk dan menyisir rambutnya. Hingga ketika ia kembali keluar, ia tertegun lantaran mendapati Haris yang tertidur di sofa.
Astaga.
*
"Tadi Tuan Haris ke butik Hi Lady Gallery, Nyonya. Dan sekarang Tuan Haris pergi ke apartemen. Ehm ... saya nggak tau siapa yang Tuan Haris kunjungi."
"T-tunggu. Haris ke butik?"
"Iya, Nyonya."
"Ngapain Haris ke butik? Dia beli baju atau apa?"
"Saya nggak terlalu tau, Nyonya. Tapi, sepertinya sih iya. Tuan Haris mau beli baju. Lebih tepatnya mau beli gaun pengantin."
"Apa?!"
Itu jelas adalah Sekar yang langsung syok. Ketika ia mendengar lawan bicaranya mengatakan 'gaun pengantin', jiwa raga Sekar tersentak seketika. Ia refleks berdiri dari duduknya. Dengan mata melotot dalam ekspresi keterkejutan, ia bertanya.
"B-beli gaun pengantin?"
Sekar mengingatkan diri agar ia bernapas. Manusia bisa meninggal bila kekurangan oksigen. Tapi, astaga. Saat ini paru-paru Sekar nyaris tidak bisa berfungsi seperti biasanya.
"Kamu jangan main-main, Fik. M-masa Haris mau beli gaun pengantin?"
Sekar berusaha menarik napas dalam-dalam. Menahannya sejenak. Tapi, jawaban yang ia dapatkan kembali memporak-porandakan metabolisme tubuhnya.
"Saya nggak main-main, Nyonya. Saya berani sumpah. Tuan Haris berdiri lama di depan patung yang pake gaun pengantin. Warna putih. Beuh! Cakep banget gaun pengantinnya, Nyonya. Dan ah! Tuan Haris juga ngobrol lama banget sama pelayannya."
"Ya Tuhan."
Sekar menutup mulutnya. Tiba-tiba kakinya seperti kehilangan kekuatan. Pada akhirnya ia duduk kembali di sofa.
"Ini beneran? H-Haris mau beli gaun pengantin?"
"Iya, Nyonya. Kalau nggak, mana mungkin Tuan Haris selama itu di butik. Dan kalau saya perhatikan, sepertinya ini butik mewah, Nyonya."
"Tentu saja itu butik mewah. Aku udah sering keluar masuk butik itu. Tapi, ya Tuhan. Aku nggak pernah ngira kalau Haris mau beli gaun pengantin sekarang."
Aneka perasaan berkecamuk di dalam dada Sekar. Ia nyaris tidak bisa bicara apa-apa. Benar-benar syok.
"Iya, Nyonya. Percaya deh. Ini beneran. Saya nggak bohong sama sekali. Toh, nggak ada untungnya juga buat saya kalau bohong. Tuan Haris sepertinya memang mau beli gaun pengantin. Mana tadi itu sudah dipegang-pegang sama dia itu gaun."
Penjelasan itu membuat Sekar semakin tidak karuan.
Ya Tuhan. Haris udah mau nyiapin gaun pengantin untuk Vanny. Mereka mau nikah.
Sekar merasa matanya memanas dalam luapan bahagia itu. Mungkin dalam waktu dekat ia akan menangis.
"Nyonya, terus saya harus ngapain? Saya tungguin Tuan Haris sampe keluar dari gedung apartemen itu atau gimana?"
Mendeham sejenak, Sekar berpikir dengan cepat. Tentu saja ia tidak merasa puas hanya dengan informasi itu. Benaknya mengira-ngira. Apa mungkin Haris dan Vanny akan kencan? Sekar yakin dirinya harus tau informasi yang satu itu.
"Iya. Kamu tungguin Haris pokoknya sampe dia keluar. Kamu ikutin dia terus sampe dia pulang ke rumah. Aku mau tau dia pergi ke mana aja di hari Minggu ini. Karena biasanya dia nggak suka keluar di hari libur."
"Baik, Nyonya. Saya laksanakan."
Ketika sambungan telepon itu berakhir, Sekar semakin tak mampu menguasai dirinya sendiri. Terlebih lagi karena ia menyadari bahwa memutuskan menyuruh seseorang untuk memata-matai Haris adalah pilihan yang tepat.
Sebenarnya Sekar sudah mencium ada sesuatu yang aneh sejak sarapan. Haris tampak gelisah. Tapi, ia pikir itu hanya karena Haris baru sembuh dari sakitnya. Masih lelah pikir Sekar.
Namun, ketika Haris berpamitan padanya karena ingin keluar sebentar, kecurigaan Sekar tidak bisa dibendung lagi. Pasalnya Haris itu memiliki kebiasaan tidak suka pergi di hari libur. Ia biasanya memanfaatkan waktu liburnya untuk istirahat dan bermanja ria dengan Sekar.
Tak hanya itu. Sekar pun teringat akan satu hal yang memberatkan kecurigaannya. Yaitu belakangan ini Haris memang tidak terbuka padanya bila itu urusan mengenai Vanny. Dan kecurigaan Sekar semakin bergejolak ketika kemungkinan itu melintas di benaknya. Siapa tau Haris ingin menemui Vanny.
Maka tidak berpikir dua kali, Sekar segera mengakses aplikasi ojol. Di zaman sekarang, menggunakan ojol sebagai gantinya detektif swasta adalah hal yang biasa terjadi. Terutama karena berbahaya bagi Sekar bila menyuruh sopirnya yang membuntuti Haris. Khawatir kalau Haris tau bahwa dirinya tengah diikuti.
Nama ojol itu Fikri. Berbekal bintang lima terpercaya, Sekar pun menghubunginya. Menjelaskan dengan singkat tugasnya. Dan menjanjikan bayaran sepuluh kali lipat dari yang tertera di aplikasi bila pekerjaan cowok itu memuaskan.
"Nggak. Bukan sepuluh kali lipat. Nanti aku transfer dia lima puluh kali lipat."
Karena uang sebanyak apa pun tidak ada artinya bagi Sekar saat ini bila dibandingkan dengan informasi yang baru saja ia dapatkan. Jelas. Tanpa bantuan Fikri, Sekar tidak akan pernah tau kalau hari Minggu itu dimanfaatkan Haris untuk mempersiapkan pernikahannya.
"Haris ke butik. Dan dia nyari gaun pengantin," ucap Sekar dengan gelagapan. Dirinya dipenuhi kebahagiaan yang tidak terkira. "Nggak salah lagi." Sekar mengangguk berulang kali. "Saat ini Haris pasti ada di apartemen Vanny."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top