38. Menghindar Mungkin Memang Jalan, Tapi Bukan Tujuan

Esti sebenarnya bimbang. Dirinya memang harus jujur atau sebaliknya? Karena bila ia jujur pada Haris mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Vanny maka itu artinya ia harus menceritakan pula apa yang terjadi selama ini pada keluarga Vanny.

"Sumpah, Es! Aku tuh cinta banget sama Vanny. Aku udah berusaha untuk ngajak Vanny balik lagi ke aku. Tapi, dia nggak mau. Dan lebih parah dari itu. Sampai sekarang aku pun nggak tau kenapa dia sampe mutusin aku dulu."

Menarik napas sejenak, Haris bukannya ingin melebih-lebihkan semua yang terjadi. Tapi, memang itulah adanya. Kalau Haris sudah tidak ada lagi perasaan apa pun pada Vanny, tentu saja ia tidak akan bertindak sejauh ini.

"Kamu lihat aja, Es. Kalau aku nggak serius sama Vanny, aku nggak bakal sampe nyamperin kamu kayak gini. Cuma buat tau apa Vanny ada cowok lain atau nggak. Karena kamu tau nggak? Kapan hari itu aku lihat ada kontak yang namanya Pria Itu nge-chat Vanny. Aku nggak bisa tidur. Aku jadi parno. Terus akhirnya aku sakit nyaris seminggu."

Esti melongo. Mulutnya membuka, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil ia ucapkan.

"A-apa?"

Haris bingung melihat gelagat Esti yang tampak aneh. "Apanya yang apa?"

"P-Pria Itu?"

Mata Haris melotot. "Kamu kenal Pria itu? Siapa?"

Esti sontak menutup mulut. Sadar bahwa dirinya baru saja terlepas mengatakan sesuatu yang bisa membangkitkan kecurigaan Haris.

"Siapa dia, Es? Kamu bilang Vanny nggak ada deket sama cowok mana pun. Apa kamu bohong?"

Esti buru-buru menggeleng. "Pria Itu bukan cowok yang dekat dengan Vanny. Aku berani bersumpah. Kalau aku bohong, aku rela dipecat dari sini."

Pertaruhan yang besar. Haris sekarang yakin kalau Pria Itu bukanlah saingannya. Tapi, bukan berarti rasa penasarannya hilang.

Soal Pria Itu ntar aja deh. Yang penting sekarang aku tau dia bukan saingan aku.

Ketika Haris tidak lanjut bertanya soal Pria Itu, diam-diam Esti merasa lega. Sungguh ia tidak tau apa yang harus ia katakan kalau semisalnya Haris masih mendesaknya.

"Oke. Anggaplah memang Vanny nggak ada cowok lain. Nggak deket sama siapa pun. Tapi, bukan berarti semuanya selesai sampai di sini, Es. Aku tuh mau balikan sama Vanny."

Ya ampun. Esti hanya bisa meneguk ludah melihat sifat asli Haris keluar. Ia celingak-celinguk. Dalam hati berharap agar Haris tidak merengek di sana. Bisa buat malu.

"Es, please. Aku tuh cinta banget sama Vanny. Cuma bayangin soal Pria Itu aja bisa buat aku sakit berhari-hari. Apalagi kalau aku beneran lihat Vanny sama cowok lain? Makanya, Es. Sebelum Vanny sama cowok lain, lebih baik kamu bantuin aku. Biar Vanny balik lagi ke aku. Masa kamu tega banget sih sama aku?"

Baiklah. Haris memang tidak merengek. Tapi, sekarang ia mengiba. Lihat saja. Sepasang bola mata itu tampak berkaca-kaca. Berhasil membuat Esti merasa kasihan.

Rasa iba Esti semakin menjadi-jadi. Cara Haris melihat padanya ketika memohon persis seperti anak kucing terlantar di pasar. Tanpa induk dan kehujanan. Ingin mengais tulang di tempat sampah, eh ... malah diusir oleh orang-orang.

Dan Haris bisa dengan jelas melihat kebimbangan di mata Esti. Ia tau posisi Esti memang tidak mudah. Tapi, ia tidak akan menyerah.

Yang namanya cewek itu kan mudah kasihan. Nggak apa-apa deh masang tampang melas dulu.

Bahkan Haris sudah bersiap dengan beberapa strategi di benaknya. Kalau perlu ia benar-benar akan menangis. Tidak apa-apa. Asal apa yang ia inginkan tercapai.

"Ehm ...."

Deheman dan ekspresi bimbang Esti adalah sedikit peluang bagi Haris. Ia hanya perlu menyentuh rasa iba Esti pelan-pelan. Dan mudah-mudahan Esti akan membantunya.

"Kamu kan udah lama temenan sama Vanny, Es. Dan aku tau kalian deket banget. Jadi apa kamu tau alasan kenapa Vanny mutusin aku?"

Kali ini kebimbangan Esti makin menjadi-jadi. Bahkan saking bimbangnya, Esti tak mampu menahan desakan diri untuk menggaruk kepalanya. Padahal ia selalu menghindari sikap itu. Bisa merusak sanggul ala pramugarinya dong.

"Es," panggil Haris dengan suara lirih. "Aku mohon."

Esti menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam sesaat. Dalam hati ia berkata.

Ya Tuhan. Kalau aku mati, tolong jadikan kematian hamba sebagai kematian jihad. Amin.

Karena di benak Esti, bayangan Vanny yang membawa pisau sudah membuat ia ketakutan setengah mati. Apalagi kalau itu benar-benar jadi kenyataan?

Sementara itu di lain pihak, Haris tidak henti-hentinya berdoa di dalam hati. Karena kalau bukan Esti, ia akan minta tolong pada siapa lagi?

Dan sepertinya doa Haris dikabulkan Tuhan. Wajah memelasnya berhasil mengetuk hati nurani Esti.

"Aku tau alasan Vanny mutusin kamu."

Jantung Haris berdetak tak karuan di dalam sana. Menahan napas dan berusaha untuk tetap tenang, ia bertanya.

"Apa?"

Sempat meragukan Esti akan jujur padanya atau tidak, sejurus kemudian Haris mendapatkan jawaban untuk rasa penasarannya selama ini. Tapi, itu jelas bukan jawaban yang ia antisipasi.

"Vanny mutusin kamu karena kamu orang kaya."

Haris bengong sejenak. Ketika matanya mengerjap, ia kesulitan berrnapas. Mungkin karena itulah mengapa otaknya seakan tidak bisa bekerja saat ini. Haris kekurangan darah bersih yang mengandung oksigen.

"A-apa? Kamu ngomong apa, Es?" tanya Haris gelagapan. "Vanny mutusin aku gara-gara aku kaya?"

Esti mengangguk. "Iya."

Haris kembali bengong. Menunggu sejenak. Mungkin saja sebentar lagi Esti akan tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjai dirinya kan? Ya, bisa saja.

Namun, setelah nyaris satu menit berlalu dan tidak ada yang berusaha sedikit pun dari ekspresi wajah Esti, maka kemungkinan itu menghilang dari benak Haris. Ia tau. Esti benar-benar serius.

"Bisa kamu jelasin, Es? Karena entah kenapa aku mendadak begok saat ini," ujar Haris bingung. "Aku diputusin karena aku kaya? Ehm ... bukan karena aku kurang perhatian? Kurang cakep menurut Vanny? Nggak sesuai standar kepinteran yang dia mau? Atau apalah gitu."

Esti sudah bisa menebak bahwa inilah yang akan terjadi ketika ia menjawab rasa penasaran Haris.

"Kamu memang diputusin gara-gara kamu kaya. Dan kalau kamu pikir kamu kurang perhatian atau apalah itu, jawabannya nggak," ujar Esti dengan penuh keyakinan. "Bahkan kemaren itu Vanny baru aja ngomong gimana cakepnya kamu, pinternya kamu, bertanggungjawabnya kamu dan dia muji sikap kamu yang sayang banget sama mama kamu."

Lupakan sejenak tentang kebingungan Haris untuk alasan tidak masuk akal Vanny yang memutuskannya sebelah pihak. Sekarang sepertinya ada yang sedang kembang kempis menahan rasa senang.

"V-Vanny ngomong gitu, Es?"

Rasa-rasanya Esti menyesal juga karena telah bicara sejujur itu. Tapi, apa boleh buat. Sudah terlanjur terucap. Ia hanya bisa membuang napas panjang, memberikan satu anggukan sebagai jawaban.

Untuk sesaat Haris merasakan kesenangan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Rasanya bahagia sekali ketika mengetahui pandangan Vanny akan dirinya selama ini. Saking bahagianya sampai membuat Haris ingin memborong semua jas yang ada di butik itu.

Eh, tapi tunggu dulu. Haris tidak boleh terbawa euforia. Ia harus menyelesaikan terlebih dahulu masalah yang sedang ia hadapi.

Haris mendehem. Berusaha mengusir senyum bahagia di wajahnya dan memasang mimik serius. Tapi, justru mendapat cibiran dari Esti.

"Balik lagi ke alasan Vanny mutusin aku tadi, Es," ujar Haris kemudian. "Maksudnya karena aku kaya itu gimana? Kayaknya baru sekali ini aku dengar alasan cewek mutusin pacarnya karena kaya. Nggak masuk akal banget."

"Sama. Aku juga nganggap itu nggak masuk akal banget. Tapi, memang itulah yang terjadi. Dan itu bukan tanpa sebab."

Menarik napas sejenak, Esti tidak langsung meneruskan penjelasannya. Alih-alih ia berpikir. Kata-kata mana yang harus ia gunakan. Terlebih lagi bagaimana caranya menjelaskan inti sebenarnya pada Haris tanpa harus menyerempet ke mana-mana. Dan itu sulit! Nyaris mustahil!

"Kamu bukannya mau bilang kalau Vanny itu semacam alergi sama orang yang ..." Haris mendehem sejenak, mencari kata yang tepat. "... berada kan?"

Sayangnya, Esti membenarkan perkataan Haris dengan satu anggukannya.

"Gimana bisa? Itu nggak masuk akal banget," tukas Haris dengan mata melotot.

Esti tidak membantah tudingan Haris. Hingga membuat cowok itu terpikir sesuatu.

"Kamu lagi bohongin aku?" tanya Haris dengan sorot menuduh. "Kamu nggak mau ngomong yang sebenarnya ke aku? Kamu nggak mau bantuin aku balikan sama Vanny?"

"Aku nggak bohongin kamu, Ris. Kenyataannya memang gitu. Dan kenapa Vanny mutusin kamu padahal kalian baru jadian selama tiga bulan, itu adalah karena Vanny baru tau kalau kamu itu anak konglomerat tiga bulan kemudian. Dulu dia pikir kamu anak orang kaya biasa. Dia nggak pernah ngira kalau rumah kamu bertingkat tiga dan punya vila di mana-mana."

Haris terdiam mendengar perkataan Esti yang panjang lebar hanya dalam satu tarikan napas saja. Ia tampak amat serius.

"Jadi kalau kamu pikir Vanny alergi orang kaya, jawabannya iya. Dia memang alergi orang kaya. Dan kamu tau alasannya kenapa dia sampe alergi orang kaya? Terutama orang kaya yang merupakan anak tunggal?"

Haris hanya bisa menggeleng. Dan pada saat itu Esti menyerah. Ia tidak mungkin bisa menjelaskan sekelumit saja pada Haris. Nyatanya alasan Vanny memutuskan Haris pasti akan menarik rahasia keluarga itu untuk terbongkar.

Aku bukannya mau bongkar aib keluarga Vanny, Tuhan. Nggak gitu maksud aku.

Esti mengusap wajahnya sekilas. Ia benar-benar terdesak ke tepi jurang akal sehatnya. Dan pada akhirnya ia memilih untuk tidak berpikir lagi ketika berkata.

"Karena Papa Vanny ninggalin dia dan mamanya demi balik ke keluarganya. Karena harta warisan. Itu yang aku tau."

Haris terdiam. Pada saat itu keheranannya akan tempat tinggal Vanny yang berada di apartemen berkelas itu pun terjawab sudah.

"Selama ini Vanny cuma hidup dengan Tante, Ris. Dari kecil dia bahkan nggak pernah ketemu sama Om. Cuma bisa lihat dari foto-foto. Dan bahkan saat Tante masuk rumah sakit, cuma aku yang nemenin Vanny. Jadi gimana menurut kamu?"

Haris tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Sepertinya ia butuh waktu untuk benar-benar mencerna semuanya. Tapi, ujung dari semua itu hanya satu.

Aku emang nggak tau apa-apa tentang Vanny.

Esti bisa melihat wajah Haris yang berubah. Tidak ada lagi tampang anak manja yang mengiba. Yang ada wajah seorang cowok yang tampak syok. Ia terlihat pucat.

Hening untuk beberapa saat, Esti pikir tidak ada gunanya lagi ia menyembunyikan semuanya dari Haris.

Kepalang basah, aku cemplungin aja deh sekalian.

Karena sejurus kemudian, satu pertanyaan kembali dilayangkan Esti pada Haris.

"Kamu mau tau siapa Pria Itu kan?"

Sekarang Haris tidak berpikir bahwa ia ingin mengetahui siapa Pria Itu. Instingnya memberi peringatan. Tapi, sialnya Esti langsung lanjut bicara tanpa benar-benar menunggu jawaban Haris.

"Itu Papa Vanny."

Tidak akan sulit bagi Haris tau seburuk apa hubungan Vanny dengan ayahnya. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat ada anak yang memberi nama kontak seperti itu untuk orang tuanya.

"Om selalu berusaha mendekati Vanny akhir-akhir ini, tapi Vanny nggak pernah mau sekali pun menemui Om. Dan kalau bukan apartemen itu menyimpan banyak kenangan antara Vanny dan Tante, aku yakin. Vanny pasti udah pergi dari sana."

Tubuh Haris rasa-rasanya tak bertenaga lagi. Sungguh ia tidak pernah mengira bahwa seperti itu kehidupan Vanny selama ini.

"J-jadi karena itu dia mutusin aku?" tanya Haris dengan suara serak. "Karena dia nggak mau ngalamin kejadian seperti yang terjadi sama mamanya?"

Seraya membuang napas panjang, Esti mengangguk. Lagipula tidak akan sulit untuk Haris mengambil kesimpulannya sendiri. Siapa yang ingin mengambil risiko yang sama?

"Karena itulah kenapa Vanny mutusin kamu, Ris," ujar Esti kemudian. "Aku harap kamu nggak ngasih tau soal ini ke dia. Jangan bilang ke dia kalau kamu tau. Aku cuma khawatir dia bakal ...."

"Dia mungkin malah bakal pergi beneran."

Esti mengangguk. Itu jelas adalah kemungkinan yang paling masuk akal. Vanny pergi dan benar-benar menghilang dari kehidupan Haris.

Karena ini bukan soal ketakutan sehari dua hari. Vanny hidup dalam ketakutannya selama bertahun-tahun. Sejak kecil ketika ayahnya meninggalkan dirinya. Hingga kini di saat ia sudah berusia 29 tahun.

Selama itu Vanny harus melihat Diah membesarkan dirinya seraya menahan rindu pada suami sahnya. Vanny pun demikian. Harus menahan hati ketika melihat teman-teman sebayanya diantar jemput oleh ayahnya. Apa masuk akal bila hal itu tidak memberikan ketakutan bagi Vanny?

Tidak. Ini bukan hanya tentang Vanny yang tidak ingin bernasib sama seperti Diah. Tapi, yang lebih penting adalah Vanny tidak ingin melihat ada anak-anak lainnya yang harus mengalami nasib seperti dirinya.

Pada titik itu Haris pun menyadari bahwa sudah sepantasnya Vanny menghindarinya. Tapi, bukan berarti ia rela untuk dihindari Vanny. Karena tak perlu berpikir dua kali Haris pun langsung melajukan mobilnya. Menuju ke apartemen Vanny.

Ketika Vanny membuka pintu, Haris tak mampu menahan diri. Ia menghambur. Langsung memeluk Vanny dengan erat. Seolah ingin melenyapkan cewek itu ke dalam dirinya.

"H-Haris."

Suara Vanny yang terbata terdengar di telinga Haris. Tapi, ia tidak peduli. Alih-alih ia justru berbisik di telinga cewek itu.

"Aku cinta kamu, Van."

Vanny pikir jantungnya sudah tidak berdetak lagi di dalam sana. Mendapati kedatangan Haris saja sudah merupakan kejutan untuk Vanny. Dan sekarang Haris justru kembali mengungkapkan cintanya?

Ya Tuhan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top