37. Bukan Waktunya Bersantai
Hi Lady Gallery adalah nama butik ternama yang menjadi tujuan Haris pagi itu. Tepat ketika sepuluh menit lewat dari jam sepuluh, ia memarkirkan mobilnya. Langsung turun tanpa membuang-buang waktu, Haris sukses membuat pramuniaga terheran-heran. Bagaimana tidak? Butik baru buka dan sudah ada pelanggan yang datang? Wah!
"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Haris memutar-mutar pandangannya. Melihat berkeliling. Tapi, tampak tidak benar-benar tertarik dengan aneka gaun yang dipajang di sana. Dan ia lantas bertanya.
"Ada yang namanya Esti?"
Pramuniaga itu bengong untuk sedetik. Semula ia berpikir bahwa Haris ingin mencari jas terbaru atau mungkin stelan formal lainnya. Tapi, Haris justru mencari seseorang? Ehm ... ini jelas adalah butik. Bukan tempat penitipan orang.
"Ada?"
Pertanyaan Haris selanjutnya berhasil membuat pramuniaga itu mengerjap. Tapi, tak langsung menjawab, ia justru balik bertanya pada Haris. Demi memastikan bahwa pendengarannya tidak keliru kala itu.
"Maaf, Pak?"
Satu tangan Haris masuk ke saku celananya. Dengan sikap santai, ia kembali memutar pandangannya. Ke mana-mana. Tapi, ia tidak melihat keberadaan Esti.
"Esti," ujar Haris. "Di sini ada karyawan yang namanya Estiana Ayunda kan?"
Menanyakan itu, Haris tidak ragu sama sekali bahwa memang di butik itulah Esti bekerja. Ehm ... bagaimana bisa ia seyakin itu?
Oke, sebenarnya caranya cukup mudah. Haris tinggal membuka aplikasi Instagram. Melalui akun Vanny, ia bisa mendapatkan akun Esti. Dan di sanalah Haris mengetahui tempat bekerja Esti. Beberapa foto yang ia unggah menunjukkan dengan jelas seragam yang ia kenakan. Terlebih lagi ada satu foto di mana nama butik terpampang dengan jelas.
Hanya saja Haris sempat ragu. Apa mungkin Esti bekerja di hari Minggu? Siapa tau saja itu jadwalnya libur.
"Ada, Pak."
Haris mengangguk seraya tersenyum. Persis seperti harapannya.
"Saya bisa bertemu dengan dia?" tanya Haris kemudian. Dan sebelum pramuniaga itu mengatakan kemungkinan keberatannya, ia kembali bicara. "Ada sesuatu hal penting yang harus saya bicarakan dengan dia. Ini menyangkut masalah keluarga."
Sebenarnya masih ada keraguan di wajah pramuniaga itu, tapi ketika Haris melihatnya dengan dahi mengerut dan sorot penuh harap, ia pun beranjak. Tak punya pilihan lain. Memanggil rekan kerjanya.
Selagi menunggu Esti, Haris memanfaatkan kedatangannya ke sana dengan sebaik mungkin. Berkeliling melihat-lihat gaun yang dipajang. Memegang dasarnya dan sontak saja imajinasi bermain di benaknya.
Wah. Pasti Vanny cakep banget kalau pake gaun ini.
Gaun itu tanpa pundak atau lengan, bertipe kemban, dan memiliki rok berpotongan duyung. Memiliki warna biru keabu-abuan dengan beberapa manik berkilauan di sekitar bawah gaun. Itu jelas adalah gaun yang amat cantik. Walau ternyata kecantikan gaun itu masih kalau jauh dengan gaun lainnya.
Yang dikenakan di satu maneken. Yang dipajang di satu tempat khusus. Layaknya satu panggung yang hanya diperuntukkan untuk gaun tersebut.
Haris tertegun melihat gaun itu. Matanya terpana. Hingga saking takjubnya ia melihat hasil karya indah tersebut, ia tidak sadar bahwa ada seseorang yang berjalan ke arahnya.
"Haris?"
Satu suara menyentak kekaguman Haris. Ia menoleh. Mendapati Esti menghampirinya.
"Hai, Es."
Dengan dahi berkerut dan tatapan menyelidik, Esti memasang sikap waspada. Instingnya berkata bahwa kedatangan Haris menemuinya di butik bukan dalam tujuan mencari tuksedo.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Esti tanpa tedeng aling-aling. "Mau nyari jas atau apa?"
Setelah Esti melayangkan pertanyaannya, sesuatu melintas di benak cewek itu. Tepat ketika ia menyadari gaun apa yang dilihat Haris sedari tadi.
"Shit!" kesiap Esti. "Kamu ke sini mau nyari gaun pengantin buat Vanny?"
O oh! Wajah Haris memerah seketika sementara Esti melihat dirinya dengan mata melotot. Kedua tangan cewek itu naik dan menutup mulut. Khawatir akan teriak tiba-tiba.
Haris buru-buru menggeleng. "N-nggak kok," ujarnya seraya melirik pada manekin tadi. Yang memajang gaun bewarna putih. Gaun yang memang adalah gaun pengantin adanya. "A-aku nggak nyari gaun pengantin buat Vanny."
Sepertinya Esti meragukan hal tersebut. "Serius kamu ke sini bukan buat nyari gaun pengantin untuk Vanny?"
"Serius," angguk Haris. "Aku nggak nyari gaun pengantin untuk Vanny. Ehm ... nggak sekarang."
Dooong!
Esti melongo. "Terus? Ngapain kamu ke sini?"
Haris melangkah. Mendekati Esti dengan senyum di wajah. Tapi, senyum itu bukannya membuat Esti tenang. Yang terjadi justru sebaliknya. Ia malah makin bertanya-tanya.
Pasti ada yang nggak beres. Ehm ... ini pasti ada kaitannya dengan Vanny.
Esti menunggu. Sekilas ia melihat bagaimana Haris yang tampak mengusap kedua tangannya satu sama lain. Beberapa kali sebelum ia berkata.
"Sebenarnya aku ke sini mau ngobrol sama kamu."
Mata Esti menyipit. "Ngobrol? Ehm ... ngobrolin apa? Bukan ngobrolin harga minyak goreng kan?"
Haris menggeleng. Karena tentu saja bukan itu alasannya. Karena kedatangan Haris menemui Esti hanya demi satu tujuan.
"Aku mau nanya soal Vanny sama kamu."
Tuh kan! Bener yang aku bilang.
Esti membuang napas panjang. Bimbang antara mengiyakan atau menolak permintaan Haris, ia mendapati bagaimana memelasnya wajah cowok itu. Mata Haris tampak sendu melihat pada Esti. Seperti mengiba.
"Please, Es."
Suara Haris membuat perasaan Esti menjadi tersentuh. Kasihan juga melihat Haris seperti itu. Bahkan tanpa perlu dijelaskan, ia sendiri bisa merasakan keputusasaan Haris.
"Aku mohon, Es," pinta Haris lagi. "Mama aku udah kebelet mau gendong cucu."
Rasa kasihan Esti seketika menghilang. Alih-alih menatap Haris dengan tatapan iba, sekarang Esti justru menatap Haris tajam seperti ada laser keluar dari bola matanya.
"Mama kamu yang kebelet mau gendong cucu atau kamu yang kebelet mau gendong Vanny?"
"Ups!"
Haris buru-buru menutup mulut dengan satu tangan. Tampak syok.
"Kok tau sih?"
*
Demi menyingkirkan rasa tidak enak karena memaksa Esti untuk meluangkan waktu demi keinginannya, Haris memutuskan untuk benar-benar belanja kala itu. Satu jas yang sebenarnya tidak ia butuhkan. Tapi, tak apa. Sebagai formalitas saja.
Esti menemani Haris ke tempat khusus pakaian pria. Menawarkan beberapa jas dan Haris mengambil satu tanpa melihatnya terlebih dahulu.
"Aku ambil ini aja."
"Oh," angguk Esti seraya mengerjap sekali. "Oke."
Sama sekali tidak merasa keberatan sedikit pun, Esti justru senang dengan keputusan Haris. Alasannya sederhana. Karena mendapatkan pembeli yang tidak banyak mau adalah keberkahan bagi setiap pramuniaga.
Esti mengembalikan jas yang ia tawarkan pada Haris ke tempat semula. Di belakang, Haris mengikutinya.
"Jadi ..."
Menggantung lagi jas lainnya ke tempat semula, mata Esti melirik pada Haris. Cowok itu benar-benar mengikuti Esti seperti seorang anak batita yang mengekori ibunya.
"... kamu mau nanya apa soal Esti?"
Langsung ke inti, Haris yakin seratus persen kalau Esti sudah tau masalah antara dirinya dan Vanny. Tidak perlu berbasa-basi, ia langsung menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lainnya.
"Vanny udah ada cowok belum, Es?"
Menyampirkan jas bewarna biru gelap yang menjadi pilihan asal Haris di tangan kirinya, Esti langsung menggeleng. Menjawab pertanyaan itu dengan pasti.
"Belum."
Ah, tidak terkira betapa leganya Haris saat mendengar satu kata itu. Persis seperti sembuh dari sembelit. Senyum seketika mekar di wajahnya yang tampan.
"Terus terus terus," lanjut Haris dengan penuh semangat mendekati Esti. "Dia nggak lagi deket sama seseorang kan? Ehm ... selain aku maksudnya."
Sekilas, Esti mencibir mendengar kepercayadirian Haris. Tapi, bagaimanapun juga Esti tetap menggeleng.
"Nggak."
Wah! Sepertinya habis sembelit, terbitlah diare. Lihat saja bagaimana kaki Haris yang naik secara bergantian dengan kedua tangan yang saling meremas satu sama lain. Di manta Esti, itu persis seperti orang yang sedang berusaha menahan diare.
"Ih, norak, Ris!"
Haris tertawa. "Maklumin aja kenapa sih, Es? Nggak senang lihat temannya bahagia ya?"
"Bukannya aku nggak senang. Malah sebaliknya. Aku tuh tiap malam berdoa biar temen-temen aku bahagia terus. Tapi ...."
Nah ini! Ekspresi bahagia Haris menghilang seketika. Rasa-rasanya kata 'tapi' memang memiliki keampuhan tersendiri untuk membuat jantung deg-deg seeer.
"Tapi apa, Es?" tanya Haris dengan horor. "Jangan buat aku panas dingin gini deh."
Untuk kali ini barulah Esti tidak langsung menjawab pertanyaan Haris. Alih-alih ia justru bersandar pada dinding. Bersedekap dengan jas yang masih tersampir di tangan kirinya, ia melihat Haris dengan lekat.
Esti sedang menimbang. Dilema. Dirinya berada di tengah-tengah dua pilihan. Jujur atau sebaliknya? Tapi, yang jadi masalahnya adalah ia harus jujur pada siapa?
Jujur dengan Haris otomatis itu membuat Esti harus berbohong pada Vanny. Dan bila ia memutuskan untuk jujur dengan Vanny otomatis itu membuat Esti harus berbohong pada Haris.
"Es!"
Esti mengerjap. Tidak bermaksud berlebihan, tapi ia bisa melihat ekspresi cemas di wajah Haris. Ia membuang napas panjang.
"Kamu beneran cinta sama Vanny, Ris?"
Haris mengangguk. "Cinta banget. Saking cintanya, aku sampai sakit gara-gara nggak bisa tidur karena mikirin dia."
"Lebay."
Mengatakan itu, nyatanya wajah Esti terlihat tak berdaya. Tak peduli yang dikatakan Haris benar atau tidak, tapi ia tau betul apa yang terjadi pada Vanny.
"Tapi ...."
Kembali mendengar satu kata itu, Haris meneguk ludah. Ia menguatkan diri. Bersiap dengan setiap kemungkinan yang bisa terjadi.
"Apa kamu benar-benar bakal membahagiakan Vanny?"
*
Minggu adalah harinya untuk bermalas-malasan. Terlebih lagi untuk seseorang yang memang tinggal seorang diri. Bangun kapan pun tidak akan ada yang melarang. Bahkan belum sarapan di jam sebelas siang pun tidak akan ada yang memarahi.
Vanny baru selesai mandi. Rambutnya yang basah masih dibungkus handuk. Duduk di depan televisi dengan semangkuk keripik singkong, ia bersiap untuk menikmati waktu santainya.
Satu tayangan memenuhi layar datar televisi. Itu adalah salah satu drama Korea yang akhir-akhir ini sedang disukai oleh Vanny. Berkisah tentang upaya balas dendam yang terjadi di lingkungan militer.
Bunyi bel membuat fokus mata Vanny di televisi terusik. Ia berpaling. Layaknya bisa melihat ke pintu, ia bertanya-tanya siapa yang datang kala itu.
Dengan terpaksa Vanny pun bangkit. Berjalan ke pintu dan membelalak ketika tau siapa yang datang menyambanginya siang itu.
"Haris?"
Mata Vanny membesar. Satu tangannya naik menutup mulut yang menganga.
"Ngapain dia datang ke sini? Dia nggak tau apa kalau aku butuh waktu istirahat? Dipikir ngadepin dia berapa hari ini nggak buat aku stres apa?"
Bel kembali berbunyi. Membuat Vanny membuang napas panjang. Ia abaikan penampilannya. Dengan handuk yang menggelung di atas kepala, ia pun membuka pintu.
Vanny melihat Haris dengan malas. Bersiap untuk mencerca cowok itu, Vanny justru dibuat membeku sedetik kemudian. Itu lantaran tanpa peringatan sama sekali, Haris langsung menghambur memeluk dirinya.
"H-Haris."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top