36. Dua Kepala Dua Pemikiran

"Karena itu aku nggak mau berurusan sama orang kaya. Aku nggak mau jadi kayak Mama."

Esti hanya tersenyum masam ketika perkataan Vanny melintas di benaknya. Tepat setelah cewek itu menuntaskan sesi curhatnya kala itu. Di saat mereka berdua menikmati malam Minggu yang ramai di warung ayam geprek langganan.

"Aku nggak tau harus kasihan sama kamu atau sama Haris sih," lirih Esti sambil mengulum tulang paha ayam. Menyesap sisa-sisa bumbu yang masih tertinggal di sana. "Kalian berdua punya alasan masing-masing untuk dikasihani."

Vanny diam saja. Berbeda dengan hari-hari biasanya di mana ia bersemangat ketika makan ayam geprek, kali ini satu porsi pun belum habis ia santap. Vanny seperti tengah kehilangan nafsu makan lantaran beberapa hari makan semeja dengan Haris terus, tapi sekarang mendadak malah makan semeja dengan Esti. Eh?

"Cuma ... kayaknya kasihan aku ke kamu 49% dan untuk Haris 51%."

Esti mengatakan itu seraya menuding Vanny dengan tulang paha ayamnya. Vanny hanya geleng-geleng kepala melihat sikap cewek itu.

"Karena?"

"Karena ngenes nggak sih ditolak cewek gara-gara kaya?" tanya Esti histeris.

Vanny mengangguk. Tanpa menjawab pertanyaan retoris itu, ia jelas paham maksud Esti.

"Di mana-mana ya, Van, cewek nolak cowok itu biasanya karena cowoknya nggak kaya. Nggak punya tabungan. Dan nggak punya rumah bertingkat tiga. Lah kamu?"

Vanny membuang napas panjang. Kembali dibuat tak berkutik karena perkataan Esti. Akhirnya ia memilih diam saja.

"Terus jadinya gimana?"

Sedikit, Vanny melirik Esti. "Apanya yang gimana?"

"Ya ... maksudnya kamu nggak ada mau jujur sama Haris gitu? Ngomong alasan yang sebenarnya sama dia?"

"Alasan?"

Esti mengangguk. "Iya. Jujur aja sama Haris. Bilang aja sama dia. Kamu nggak mau sama Haris karena dia kaya, karena dia ganteng, dan karena dia anak tunggal dengan sederet daftar harta warisan lainnya."

Vanny diam. Esti pun diam. Tapi, sejurus kemudian Esti tergelak.

"Hahahaha. Di saat orang ngomong aku itu rada-rada karena punya mantan seabrek, di sini ada yang lebih rada-rada lagi. Gimana ceritanya ada cewek nolak cowok karena dia orang kaya? Hahahaha. Cinderella bisa nangis jungkir balik kalau ketemu kamu, Van."

"Aku bukan keturunan Cinderella. Aku keturunan Diah Wardhana. Yang udah lihat resikonya nikah sama orang kaya. Dan kamu tau apa persamaan Haris dengan Papa?"

Melayangkan pertanyaan itu pada Esti, nyatanya Vanny tidak benar-benar mengharapkan jawaban. Karena sedetik setelah pertanyaan itu meluncur dari bibirnya, sedetik itu pula waktu yang ia butuhkan untuk lanjut bicara.

"Mereka berdua sama-sama anak tunggal."

Esti mengecup tulang paha ayamnya untuk yang terakhir kali sebelum menaruhnya kembali ke atas piring. Ia mencuci tangan dan tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat.

"Kamu tau kan gimana tekanan anak tunggal? Orang tua Haris pasti berharap jodoh yang selevel dengan anaknya. Dan kamu sendiri tau gimana Haris itu. Terlepas dari sifatnya yang manja, tapi dia punya seabrek kriteria yang memenuhi harapan semua cewek."

"Ehm ...."

Esti hanya mendehem. Sepertinya instingnya menangkap sesuatu yang aneh.

"Dia cakep. Dia pintar. Dia bertanggunjawab. Dia cowok baik-baik. Dan kamu tau? Dia itu sayang banget sama mamanya. Itu udah jadi jaminan kalau dia bakal sayang istri dan anak," ujar Vanny panjang lebar. Ia mengangkat bahunya sekilas. "Kebanyakan sih gitu."

"Untuk kategori cewek yang mutusin pacarnya dan nolak buat balikan, kamu persis kayak mantan yang benar-benar menyesal karena udah putus."

Sindiran itu menohok Vanny tepat di jantung. Tapi, mau bagaimana lagi? Toh Vanny tidak bisa bohong untuk yang satu itu.

"Tapi, Van. Kalau menurut aku lebih baik kamu jujur sama Haris. Siapa tau Haris ada solusi buat kalian berdua."

"Solusi apa?"

"Ehm ... mungkin dia rela hidup miskin demi bisa nikah sama kamu."

Ketika Esti tuntas mengatakan hal itu, ia sontak terdiam. Dengan mata mengerjap beberapa kali, lalu tertawa sendiri.

"Aku begok banget ya? Hahahaha. Masa ada orang yang rela jadi miskin demi bisa nikahi ceweknya? Mana ceweknya kayak kamu lagi. Kamu kan nggak secantik Sandra Dewi atau Syahrini."

Vanny manyun. Walau dirinya memang tidak secantik dua aktris itu, tapi tetap saja. Seakan dirinya tidak pantas untuk diperjuangkan saja. Hanya saja sepertinya ada sesuatu dari perkataan Esti yang membuat ia sejurus kemudian mengangguk. Setuju untuk satu poin.

"Kamu benar. Karena gimana pun juga Papa aku udah membuktikan."

Esti yang sedari tadi tertawa-tawa mendadak diam seketika. Sepertinya ia memang harus menyumpal mulutnya dengan tulang ayam ketimbang asal ngomong.

"Papa nggak tahan hidup seadanya dengan kami. Dan walau Mama itu secantik Meriam Bellina, tetap aja akhirnya Papa nyerah."

Tuh kan. Esti jadi merasa bersalah.

"Yang kamu bilang memang benar, Es," ujar Vanny kemudian sambil mengangguk. "Kayaknya aku dan Haris memang nggak ada kemungkinan buat bersama kan? Jadi untuk apa dicoba?"

Esti menggaruk kepalanya. Suasana jadi tidak enak kala itu. Ehm ... bukan situasi yang menyenangkan. Terlebih lagi karena saat itu mereka sedang menikmati perayaan ulang tahun Vanny yang terlambat.

Lihat saja. Esti memberikannya kado dan secetak kue ulang tahun porsi dua orang. Harusnya mereka bersuka cita. Tapi, gara-gara Vanny curhat soal Haris, maka obrolan mereka berdua pun jadi tak terkendali. Dalam hati Esti hanya bisa menggerutu.

Segininya Vanny cinta sama Haris. Tapi, segitunya juga Vanny kapok karena Om.

Mungkin lebih dari kapok yang Vanny rasakan sebenarnya. Karena ia tidak akan lupa bagaimana masa kecil harus ia lalui tanpa ada ayah. Bila orang tua mereka bercerai atau Bhakti sudah meninggal, itu tidak akan menjadi masalah untuk Vanny. Tapi, ini lain cerita. Bhakti masih hidup dan ia belum bercerai dari Diah. Lantas alasan apa yang bisa membenarkan ketiadaan Bhakti di hidup Vanny? Jawabannya tidak ada.

Maka Vanny hanya bisa merenungi nasib. Meringkuk di atas tempat tidur dan membiarkan pikirannya berkelana. Dengan seiring waktu yang berlalu, tanpa sadar jemarinya naik. Mengusap bibir. Teringat akan satu kecupan yang ia dapatkan kemarin. Tepat ketika ia menutup mata dan Haris menganggap bahwa itu tanda ketidakberdayaan Vanny.

*

"Mama perhatiin akhir-akhir kamu ceria banget, Ris. Udah kelihatan sehat dan semangat lagi."

Haris beringsut. Memeluk Sekar dengan sikap manja.

"Karena Mama perhatiin makan aku. Nyuruh aku minum obat tepat waktu. Terus selimutin aku malam-malam."

Sekar mendengkus geli. Menepuk punggung sang putra, ia meledek Haris di dalam hati.

Lihat ini? Ada yang mau bohongin ibunya. Dia pikir mamanya ini orang tua bodoh ya? Padahal jelas banget dia gini gara-gara Vanny. Dari yang nggak mau makan, eh ... mendadak malah dia makan dua porsi karena ada Vanny.

Sekar menepis bayangan di benaknya. Kalau Vanny benar-benar tinggal di rumah mereka, bisa-bisa ia akan membangun lumbung beras di rumah. Agar bisa memenuhi nafsu makan Haris.

"Ck. Kamu ini. Demi kamu, Mama harus mondar-mandir liatin keadaan kamu. Buat Mama repot aja."

"Ehm?"

Haris mengangkat wajahnya. Dengan dahi mengerut, sepertinya ia yakin bahwa baru kali ini Sekar mengatakan repot ketika mengurus dirinya.

"Kamu nggak kasihan sama Mama?" tanya Sekar tanpa menunggu jawaban sang putra. "Mama ini udah tua. Masa masih harus perhatiin kamu sepanjang waktu sih?"

Tuh kan. Perkataan Sekar membuat Haris semakin terheran-heran. Ia lantas menarik diri. Menciptakan jarak agar bisa melihat sang ibu dengan lebih jelas.

"Maksud Mama?" tanya Haris dengan perasaan tak enak. Kata-kata Sekar membuat ia bertanya-tanya. "Mama udah nggak sayang aku lagi? Udah nggak mau perhatiin aku lagi?"

Sekar berdecak. Tangannya memukul Haris dengan gemas.

"Bukan itu maksud Mama," jawab Sekar seraya mendelik sekilas. "Maksud Mama ... kalau misalnya ada yang bantuin Mama buat ngurus kamu kan enak. Mama nggak perlu ingatin kamu makan lagi, nggak perlu nyiapin obat kamu lagi, dan nggak perlu ngecek ke kamar kamu lagi."

Haris diam sejenak. Mata polosnya melihat Sekar tanpa kedip.

"Aku nggak suka ada ART yang masuk kamar aku malam-malam, Ma."

"Bukan ART."

"Terus?"

"Istri."

"Hah?!"

Haris melongo. Mulutnya menganga. Tadi niatnya sih ingin membalas perkataan sang ibu. Tapi, ketika otaknya mencerna satu kata itu, maka sontak saja tidak ada satu kata pun yang meluncur dari bibirnya.

Haris gelagapan. Tampak bingung. Perasaan tak enaknya semakin menjadi-jadi. Buru-buru ia menggeleng.

"Aku beneran nggak mau sama Tasya, Ma. Aku---"

"Mama tau," potong Sekar langsung. "Mama juga nggak mau maksa kamu kok. Tapi, Mama pikir ini memang sudah waktunya buat kamu nyari calon istri, Ris."

Yang dikatakan oleh Sekar memang benar. Dan sejujurnya usia Haris yang sudah menginjak angka tiga puluh adalah pemberat.

"Ehm ... Mama mau calon mantu gimana?"

Sekelumit senyum muncul di wajah Sekar. Berharap bahwa pancingannya kala itu bisa membuahkan hasil. Seketika semangat memancar dari sepasang matanya.

"Selama calon mantu Mama itu cewek ..."

Wajah Haris berubah masam. Tampak manyun sementara Sekar melanjutkan perkataannya dengan geli.

"... pasti Mama terima dengan senang hati."

"Ck," decak Haris. "Mama ini. Aku tuh serius, Ma."

Senyum geli Sekar berubah jadi tawa. Haris makin menarik diri. Bersandar di sofa dengan pandangan lurus ke depan. Pada televisi yang menyala, tapi tidak mendapatkan perhatian sedikit pun dari ibu anak itu.

"Mama juga serius, Ris."

Setelah tawa Sekar hilang, suara lembut itu terdengar. Seraya ia meraih tangan Haris, ia berkata.

"Mama tuh cuma mau lihat anak Mama bahagia. Lagipula Mama yakin kok. Pilihan kamu itu pasti yang terbaik."

Mengatakan hal tersebut, Sekar tidak bermaksud untuk bermanis mulut saja. Alih-alih sebaliknya. Ia serius dengan apa yang ia katakan. Kembali, berkat bukti nyata yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Jadi ... gimana?"

Haris yang sempat terdiam lantaran merenungi perkataan sang ibu, mengerjap. Sepertinya ia sedikit kesulitan mencerna pertanyaan itu.

"Gimana apa, Ma?"

"Gimana? Permintaan Mama nggak muluk kan?"

Permintaan Sekar sih memang tidak muluk. Tapi, bukan berarti adalah hal yang mudah untuk dipenuhi Haris.

Seandainya aja Vanny bener-bener mau balik sama aku, pasti aku bisa ngabulin permintaan Mama semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, nyatanya kan nggak gitu.

Mengembuskan napas panjang, Haris yang sudah berbaring di kasur empuknya tidak langsung tidur. Alih-alih terus menyibukkan otaknya untuk berpikir. Memperkirakan beberapa kemungkinan yang bisa menjadi alasan penolakan Vanny.

Tapi, kayaknya nggak ada deh. Orang jelas banget Vanny itu masih cinta aku. Cuma dia ngeyel aja nggak mau balikan.

Haris berguling-guling di kasur. Tak peduli seprai menjadi berantakan ketika ia masih memaksa otaknya berpikir.

Ehm ... gimana ya? Ini jatuhnya aku dan Vanny muter-muter nggak jelas. Dia nggak mau jujur dan aku nggak tau harus gimana. Jadi aku harus ngapain?

Haris memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa ia lakukan. Mendesak Vanny sudah barang tentu bukanlah pilihan. Maka dari itu ia harus melakukan pendekatan yang lain.

Kalau dipikir-pikir selama ini aku nggak tau banyak tentang Vanny. Aku bahkan nggak tau kalau ibunya udah meninggal.

Masih jelas sekali di ingatan Haris ketika mereka pergi ke makan mendiang Diah kala itu. Bersama dengan Esti tentunya.

"Benar!"

Haris berhenti berguling-guling. Sekarang ia malah mendadak bangkit duduk dengan mata melotot.

"Kenapa aku nggak kepikiran dari kemaren sih?" tanya Haris geram pada dirinya sendiri. "Esti! Aku harus nemui Esti!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top