34. Ayo Syok Berjamaah

Sekarang apa lagi ya, Tuhan?

Astrid langsung menghentikan sejenak pekerjaannya ketika dari kejauhan ia melihat kedatangan seorang cewek. Itu adalah Tasya yang dengan langkah terburu-burunya langsung menuju Astrid. Ketika itu sang sekretaris tersenyum menyambut kedatangan Tasya. Pun dengan ramah menyapa.

"Selamat pagi, Nona. Ada yang----"

"Mana Haris?" tanya Tasya memotong sapaan sopan Astrid. Ia melihat ke pintu ruang kerja Haris, menunjuk dengan menggebu. "Dia ada di dalam?"

Astrid menggeleng sekali. "Nggak ada, Nona. Pak Haris nggak masuk hari ini. Dia lagi sakit."

Mendengar hal tersebut, Tasya lantas langsung beranjak meninggalkan meja Astrid. Pergi tanpa mengatakan apa-apa hingga membuat Astrid melongo selama beberapa saat lamanya.

Astrid mengerjap sekali. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Udah nggak heran kalau dia bersikap seperti itu," lirih Astrid seraya duduk kembali di kursinya. Tapi, ketika ia berniat untuk melanjutkan kembali pekerjaannya, sesuatu membuat ia tertegun. "Kenapa Nona Tasya kelihatan beda ya? Matanya kayak lagi nangis nggak sih?"

Ketika berada di dalam lift, Tasya melihat pantulan samar wajahnya di dinding. Ia segera mengeluarkan kacamata dari dalam tasnya. Mengenakan benda itu untuk menutupi merah di matanya.

Haris, kamu kenapa tega banget sama aku?

Bukan tanpa alasan mengapa Tasya mencari Haris pagi itu. Alih-alih karena sesuatu yang dikatakan oleh Bhakti yang menjadi penyebabnya. Sesuatu yang tidak pernah ia duga selama ini. Bahwa Haris tidak menginginkan perjodohan apa pun antara mereka berdua.

Tasya langsung melajukan mobilnya. Berusaha secepat mungkin tiba di rumah Haris. Ia menghentikan laju kendaraan roda empatnya tepat di depan pelataran rumah Arif. Keluar dan mengabaikan seorang asisten rumah tangga yang menyambut kedatangannya.

"Selamat pagi, Nona."

Tasya mengabaikan sapaan sopan itu. Jangankan membalas atau sekadar tersenyum, ia justru melakukan hal yang sebaliknya. Tak peduli dengan keberadaan asisten rumah tangga itu, ia langsung melangkah masuk ke dalam rumah.

Asisten rumah tangga melotot. Langsung menyusul Tasya.

"Nona. Nona mencari siapa? Silakan duduk. Biar saya buatkan minuman."

Tasya tidak peduli. Tidak menjawab pertanyaan itu, ia lanjut saja berjalan. Menaiki tangga dan langsung mengarah pada satu kamar.

"Nona."

Agaknya asisten rumah tangga itu tau ke mana tujuan Tasya. Ia mencoba untuk mencegah. Tidak ingin mengambil risiko dimarahi Sekar lantaran ketenangan Haris yang terusik.

"Nona," cegahnya. "Silakan tunggu di ruang tamu kalau ingin menemui Tuan Haris. Akan saya beri tau pada Tuan kalau Nona datang."

Tasya mengibaskan tangannya. Terus berjalan. "Minggir kamu. Ini urusan aku sama Haris. Kamu jangan menghalangi aku kalau kamu nggak mau menyesal."

Asisten rumah tangga tidak gentar. Bagaimanapun juga kemarahan Sekar bila itu menyangkut Haris lebih membuat ia takut ketimbang ancaman Tasya. Lagipula memangnya siapa Tasya?

Mendorong asisten rumah tangga, lantas Tasya meraih daun pintu. Memutarnya dan membukanya langsung. Asisten rumah tangga masih mencoba menghentikan Tasya. Tapi, cewek itu sudah keburu masuk.

Kelegaan langsung menyeruak di dada ketika Tasya melihat keberadaan Haris. Tak memedulikan apa pun, ia segera menghampiri Haris yang refleks berdiri.

"Tasya?"

Suara itu layaknya pemicu untuk Tasya. Hingga ia mempercepat langkahnya dan ketika ia tiba tepat di hadapan Haris, ia langsung memeluk cowok itu. Dengan erat dan kuat hingga Haris hanya bisa terkesiap tanpa bisa melepaskan diri darinya.

"Tasya!"

Kali ini cara Haris menyebut nama cewek itu jelas berbeda. Kaget dan syok yang bercampur menjadi satu membuat Haris dengan refleks menahan kedua tangan Tasya. Berusaha untuk mendorongnya. Tapi, Tasya begitu bersikeras.

"Haris! Kamu kenapa tega sama aku? Kamu tau kan? Aku cinta banget sama kamu!"

What?!

Mata Haris melotot seketika. Ketika ia mendengar ungkapan cinta yang tak terduga itu, yang melintas di benaknya hanya satu. Yaitu Vanny.

Haris meneguk ludah. Wajah Vanny tidak tau bentuk lagi. Merah, kuning, hijau, di langit yang gelap! Warna-warni yang tidak indah sama sekali!

Mampuslah aku. Nggak ada Tasya aja aku harus jungkir balik buat deketin Vanny. Apalagi kalau ada Tasya? Salto, kayang, terus roll depan roll belakang nih ceritanya!

Haris harus segera bertindak. Sebelum kesalahpahaman itu semakin membuat keruh situasi antara dirinya dan Vanny.

"Sya," ujar Haris dengan penuh penekanan. "Kamu datang-datang kenapa malah ngomong ngelantur sih?"

Kembali, Haris mencoba untuk melepaskan pelukan Tasya. Tapi, benar-benar kuat. Dan itu membuat Haris dilema. Sepertinya ia tidak akan bisa membebaskan dirinya tanpa menyakiti Tasya.

"Aku cinta kamu, Ris," kata Tasya dengan suara tersendat. Di dada Haris, ia menggeleng berulang kali. "Aku nggak kehilangan kamu, Ris. Apa pun yang terjadi ... kita tetap harus menikah."

Satu kata itu bukan hanya berhasil membuat Haris terkejut, alih-alih Vanny pula. Ia mendehem. Lantas bangkit dari duduknya. Dengan kesan tak nyaman yang tercetak nyata di wajahnya, ia berkata.

"Pak, sepertinya saya harus keluar dulu."

Vanny beranjak dari sana. Mengabaikan kepanikan Haris yang dengan tangan terangkat mencoba untuk menahan kepergiannya.

"Van! Jangan pergi! Jangan tinggalin aku sendiri bareng dedemit ini!"

Vanny terus berjalan. Melewati pintu dan ketika ia akan menutupnya dari luar, Haris menjerit.

"Vanny!!!"

*

"Tok! Tok! Tok!"

Satu ketukan membuat Sekar berpaling. Meninggalkan sejenak buku ensiklopedia yang tengah ia baca.

"Masuk."

Sedetik setelah ia mengatakan itu, Sekar mendapati pintu ruang perpustakaan membuka. Seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh menghampiri Sekar dengan wajah panik.

Sekar mengerutkan dahi. Keheranan melihat sikap asisten rumah tangga yang bernama Yuli itu.

"Ada apa?"

Yuli meremas kedua tangannya. "Maaf, Nyonya. Ada Nona Tasya datang ke sini."

"Tasya?"

Perasaan Sekar menjadi tidak enak. Ia segera menaruh buku ensiklopedia ke atas meja.

"Iya," angguk Yuli. "Saya sudah berusaha mencegah, tapi Nona Tasya memaksa untuk masuk."

Sekar pun bangkit. "Di mana dia sekarang?"

"Di kamar Tuan Haris."

Sekar yang semula berniat untuk melangkah sontak menghentikan langkah kakinya. Horor, matanya melotot dengan ekspresi kaget.

"Apa?!'

Yuli menundukkan wajah. Rasa takut mulai menjalari tubuhnya.

"Saya minta maaf, Nyonya. Tapi, saya sudah berusaha untuk mencegah Nona Tasya."

Sekar tidak peduli dengan permintaan maaf Yuli. Alih-alih ia sekarang langsung beranjak dari ruang perpustakaan itu. Menuju tangga dan menuruni tiap anaknya, meninggalkan lantai tiga. Dengan cepat mengarahkan kakinya ke kamar Haris.

Ketika ia akan tiba di kamar Haris, Sekar mendapati Vanny yang keluar dari sana. Menutup pintu dengan wajah tertunduk. Persis seperti prajurit yang dipukul mundur dari arena peperangan.

"Vanny."

Vanny menoleh. Segera mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Bu."

"Kamu mau ke mana?" tanya Sekar. "Bukan mau pulang kan? Ini masih jam kerja."

"B-belum kok, Bu," jawab Vanny terbata dengan sedikit takut. Khawatir kalau ibu Haris akan menganggap dirinya sekretaris yang tak bertanggungjawab. "Tapi, saya cuma keluar sebentar." Vanny melihat ke pintu kamar Haris. "Pak Haris sedang bertemu dengan pacarnya."

Mata Sekar melotot. "Pacar dari Hongkong?!"

Vanny tersentak. Tapi, Sekar dengan cepat beranjak dari sana. Tepat setelah ia memperingatkan Vanny tentunya.

"Jangan coba-coba untuk pergi dari rumah ini selangkah pun."

Tentu saja Vanny tidak berniat untuk pergi sekarang. Ia sadar bahwa jam kerjanya masih panjang sampai nanti sore. Tapi, ia hanya berniat untuk memberikan waktu bagi Haris dan Tasya.

I-itu cewek Haris?

Vanny menarik napas dalam-dalam. Beranjak duduk di sofa yang mengisi satu ruang santai di lantai dua itu. Matanya melihat keluar jendela. Rasanya ada yang tidak nyaman di dalam dada.

Kalau dia udah ada cewek, kenapa dia masih ngajak aku balikan sih?

Sementara Vanny sibuk dengan pikirannya sendiri, Sekar dengan langkah besar langsung ke kamar Haris. Membuka pintu dengan keras. Tapi, ketika ia baru masuk selangkah, Sekar langsung histeris.

"Kamu ngapain anak Tante, Tasya?!"

Jangankan Tasya dan Haris, bahkan mungkin semut di lubang persembunyiannya pun akan kaget mendengar jeritan itu. Tasya terlonjak. Entah sadar atau tidak, pelukannya mengendur. Haris memanfaatkan keadaan itu dan langsung melepaskan diri dari Tasya.

"T-Tante."

Tasya meneguk ludah. Melepas kacamatanya dan melihat wanita paruh baya itu berjalan menuju dirinya dengan wajah memerah.

"Apa-apaan kamu, Tasya? Kamu ngapain Haris?"

Haris beringsut ke balik tubuh Sekar. Sang ibu memasang sikap layaknya benteng yang akan melindungi putranya. Terlebih lagi karena sejurus kemudian Haris yang memegang baju Sekar berkata mengadu.

"Tasya peluk-peluk aku, Ma. Aku nggak mau, tapi aku dipeluk dia."

Wajah Sekar mengeras. "Benar apa yang dibilang Haris?"

Tasya membuka mulut. Ingin bicara, tapi Sekar buru-buru mengangkat tangan. Memberikan isyarat agar Tasya diam.

"Tentu saja apa yang dibilang Haris benar," tukas Sekar. "Haris nggak pernah bohong."

Haris mengangguk di dekat wajah Sekar. "Iya, Ma. Aku nggak pernah bohong. Termasuk yang satu ini. Tasya yang peluk-peluk aku. Terus dia ngomong kalau dia cinta aku."

Mata Sekar melotot. Aduan Haris membuat wajahnya semakin mengeras.

"Benar apa yang dibilang Haris?" tanya Sekar lagi. Tapi, ia langsung melanjutkan perkataannya. "Tentu saja yang dibilang Haris benar."

Tasya mengerjap. "T-Tante."

"Kenapa kamu peluk-peluk anak Tante? Kamu nggak tau kontak fisik itu bisa menyebarkan virus, bakteri, dan jamur? Haris ini baru mau sembuh, eh udah kamu apa-apain lagi."

Entah mengapa. Tapi, perkataan Sekar terdengar merendahkan Tasya. Ehm ... mungkin memang sih.

"Tante ingatin ya. Jangan sembarangan peluk-peluk Haris."

Haris mengerucutkan bibirnya. Menunjuk pada Tasya. "Tuh! Dengerin apa kata Mama aku. Nggak boleh sembarangan peluk-peluk aku."

Tasya kebingungan. Tapi, ia mencoba untuk membela diri.

"A-aku bukannya sembarangan meluk Haris, Tante. Tapi, itu luapan perasaan aku," ujar Tasya. "Aku cinta Haris, Tante."

"Astaga."

Bola mata Sekar berpuar-putar. Embusan napasnya mengalun berulang kali. Ia geleng-geleng kepala. Dan ketika ia kembali menatap Tasya, Sekar bertanya.

"Papa kamu belum ngasih tau keputusan Haris kemaren?"

"Sudah," jawab Tasya. "Dan karena itu aku ke sini, Tante. Aku tau itu cuma main-main. Iya kan?"

Sekar tidak menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak malas meladeni Tasya.

"H-Haris cuma main-main kan, Tante? Haris nggak mungkin nolak perjodohan kami kan?"

Melayangkan pertanyaannya, Tasya melihat pada Sekar dan Haris bergantian. Sorot matanya mengharapkan penjelasan.

"Haris serius, Sya," jawab Sekar beberapa saat kemudian. "Haris benar-benar menolak perjodohan kalian. Dengan kata lain nggak bakal ada pernikahan apa pun di antara kalian berdua."

Tasya tertegun. Kata demi kata yang diucapkan oleh Sekar layaknya anak panah yang langsung menancap di jantung Tasya. Ia tak bisa bernapas. Nyawanya seperti hilang seketika.

"N-nggak. Itu nggak mungkin."

Menggeleng, Tasya menampik jawaban yang tidak ia harapkan itu. Ia memang mengharapkan penjelasan. Tapi, bukan penjelasan seperti ini.

"Nggak mungkin kamu nggak cinta aku, Ris! Nggak mungkin!" jerit Tasya histeris seraya beranjak. Mencoba untuk mendekati Haris. "Kamu pasti main-main kan? Kamu cinta aku kan?"

"Eh eh eh!"

Sekar merentangkan kedua tangannya. Bergerak melindungi Haris yang bersembunyi di balik tubuhnya. Persis seperti permainan ekor naga, Sekar memastikan Tasya tidak akan bisa menyentuh putranya.

"Dibilangin orang tua kok ngeyel sih? Haris itu nggak cinta kamu, Sya. Makanya perjodohan kalian dibatalkan. Karena kalau Haris emang cinta kamu, udah dari kemaren juga Tante bawa arak-arakan untuk melamar kamu."

Tasya tetap berusaha mendekati Haris. Sekar pun demikian. Tetap berusaha melindungi Haris. Cowok itu berseru kaget ketika tangan Tasya nyaris berhasil mendapatkan bajunya.

"Wooo!"

Sekar dengan cepat melindungi Haris. "Jangan macam-macam kamu, Sya."

"Aku nggak mungkin kayak gini kalau Haris nggak membatalkan perjodohan kami, Tante. Aku cinta mati sama Haris."

"Tapi, Haris masih mau hidup. Dia nggak mau mati sama kamu!" seru Sekar dengan napas menggebu. "Ngomong macam-macam, awas saja kamu, Sya. Tante bilangin kamu sama Papa kamu."

Tasya masih bersikeras. Nyaris membuat Sekar mau gila rasanya. Sungguh ia tidak pernah mengira bahwa Tasya akan bertindak seperti itu lantaran pembatalan perjodohannya dengan Haris.

"Kamu pasti cinta aku, Ris," rengek Tasya dengan air mata yang menetes di pipi. "Nggak mungkin kamu nggak cinta aku."

"Mungkin!"

"Nggak mungkin, Tante. Haris pasti cinta aku."

"Tasya," lirih Sekar dengan penuh penekanan. Sepertinya kesabaran wanita paruh baya itu mulai menipis. "Mungkin sekali Haris nggak cinta kamu. Dan kamu tau apa alasannya?"

Mata Tasya mengerjap sekali. Refleks bertanya. "Kenapa?"

Tampak Sekar tersenyum. Tapi, senyum Sekar terlihat berbeda. Itu bukan senyum yang menyiratkan sikap ramah tamah. Bukan. Alih-alih sebaliknya. Memberikan kesan ngeri yang membuat Tasya merinding.

"Karena Haris cinta cewek lain!"

Jangankan Tasya, Haris pun kaget mendengar perkataan Sekar.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top