31. Sedikit Kejutan di Awal Hari

Bersiap untuk tidur, Vanny yang kala itu tengah melakukan beberapa rangkaian perawatan wajah termenung di meja rias. Dengan mata yang menatap kosong pada pantulan di cermin, ia seperti tidak berada di kamarnya saat itu. Alih-alih berada di tempat lain. Tepatnya di rumah Haris dengan Sekar yang berkacak pinggang padanya.

"Ingat! Datang jam setengah tujuh pagi!"

Mata tajam Sekar yang mendelik padanya membuat Vanny bergidik. Bulu kuduknya berdiri dan membuat tubuhnya merinding.

Tentu saja. Itu bukan kenyataan. Tapi, khayalan liar di benak Vanny. Akibat berandai-andai bila besok ia datang terlambat. Mungkin Sekar akan memasang wajah menakutkan.

"Astaga. Ini cuma perasaan aku aja atau gimana ya? Tapi, kok tadi itu mamanya Haris beda gitu ngeliatin aku. Ehm ... kayak yang mau nerkam aku hidup-hidup nggak sih?"

Vanny membuang kapas tonernya. Beralih pada serum vitamin C yang ia oleskan secara merata di seluruh sisi wajah. Pada saat itu pikirannya kembali melayang. Dan ia yakin kalau ia tidak salah merasa. Memang seperti itulah cara Sekar menatap dirinya tadi.

"Ih!"

Kembali bergidik, Vanny bergegas menuntaskan rutinitas malamnya. Langsung bangkit meninggalkan meja rias dan menyelinap ke balik selimut. Sebisa mungkin ia berusaha memejamkan mata. Ia harus tidur cepat agar tidak bangun kesiangan lantaran satu pertanyaan yang melintas di benaknya.

Harus sampe di rumah Haris jam setengah tujuh pagi, terus aku pergi dari sini jam berapa?

*

Keesokan harinya Vanny bangun dan bersiap lebih cepat dari biasanya. Sungguh ia tidak ingin mengubah delikan tajam Sekar menjadi sabetan laser seperti di film-film bergenre scifi itu. Ia tidak ingin mengambil risiko.

Menyelesaikan sarapannya yang terburu, Vanny pun tak lupa memesan ojol. Pilihan yang tepat untuk bisa sampai tepat waktu di pagi hari. Karena hidup selama dua puluh sembilan tahun di dunia ini sudah mengajarkan Vanny sesuatu yang penting. Bahwa tukang ojol adalah penguasa jalan raya. Yang ahli menemukan jalan tikus dan mampu menyelinap di antara padatnya kendaraan. Dan alhasil bukan hal yang mengejutkan bila Vanny tiba tepat waktu di rumah Haris.

Kedatangan Vanny disambut oleh Haris. Cowok itu muncul tepat ketika kaki Vanny menginjak undakan tangga terakhir di pelataran rumah. Senyum yang mengembang di wajahnya membuat Vanny ragu.

"Kamu masih sakit atau udah sehat?"

Haris mencibir sekilas. Ketika Vanny menghampirinya, ia menjawab. "Masih sakit. Nih kalau nggak percaya pegang aja dahi aku."

Vanny melakukannya. Dan jemarinya merasakan samar hangat di sana. Haris tidak berbohong.

"Kalau tau masih sakit ..."

Vanny menghela napas panjang seraya memperbaiki letak tas kerjanya. Lumayan merepotkan ketika ada tas laptop yang turut ia tenteng di tangan lainnya.

"... harusnya kamu diem aja di dalam. Ngapain keluar?"

"Buat nyambut kedatangan kamu," jawab Haris langsung tanpa memedulikan percik kaget di mata Vanny. Ia meraih tangan Vanny, tak menghiraukan penolakan yang ia dapatkan. Alih-alih mengajaknya beranjak dari sana. "Ayo ke dalam. Kita sarapan bareng. Mama dan Papa udah nungguin di dalam."

What?

Kaki Vanny otomatis berhenti bergerak. Seperti ada rem pakem di telapak kakinya, tubuh Vanny seketika bergeming. Haris menoleh.

"Kenapa?"

Tubuh Vanny gemetaran. "T-tadi kamu ngomong apa? Sarapan bareng?" tanyanya terbata, sekilas Vanny pun meneguk ludah. "Dengan Mama dan Papa kamu?"

"Iya."

Wajah Haris tampak polos sekali ketika menjawab pertanyaan Vanny. Pun ketika ia mengangguk juga terlihat begitu lugu.

Vanny buru-buru menarik lepas tangannya dari genggaman Haris. "A-aku udah sarapan, Ris. Kayaknya aku nggak ikut sarapan deh."

"Ck. Kan itu kamu sarapan di unit kamu, bukan sarapan di rumah aku. Lagian dari apartemen kamu ke sini kan nguras tenaga. Makanya sebelum kita kerja kamu harus sarapan lagi. Biar tenaga kamu full lagi."

Vanny yakin itu bukan ide yang bagus. Entah mengapa bayangan di mana ia duduk bergabung dengan keluarga Haris membuat ia ketakutan. Ia menggeleng.

"Nggak, Ris. Aku nggak mau. Lagian ... aku kan cuma sekretaris. Nggak pantas kalau aku sarapan bareng sama keluarga kamu."

Haris terkekeh. "Kamu baru sarapan. Bu Astrid loh. Kadang kalau lagi lembur, Bu Astrid sampe nginap di rumah. Bantuin aku kerja sampe larut malam. Dan dia biasa aja tuh."

Bola mata Vanny membesar. "Segitunya?"

"Iya. Segitunya."

Haris kembali meraih tangan Vanny. Menimangnya sejenak dengan sorot lembut yang menatap pada cewek itu.

"Sekarang aku bertanya-tanya. Kapan ya kerjaan di kantor numpuk lagi. Ehm ... kayaknya seru kan kalau kamu nginap di sini?"

Bukan seru lagi. Haris yakin itu akan menjadi hal yang amat sangat menyenangkan. Hingga sempat membuat ia berpikir untuk tidak bekerja untuk seminggu. Lalu ketika pekerjaan menumpuk baru deh ia meminta bantuan Vanny.

"Kamu jangan mikir yang macam-macam, Ris."

Haris tak mampu menahan kekehannya. Tapi, ketika ia akan membalas peringatan Vanny, mendadak ada satu suara yang memanggil mereka berdua.

"Haris. Vanny. Kenapa kalian lama sekali?"

Kompak, Haris dan Vanny berpaling ke sumber suara. Ada sekar muncul dan langsung melihat pada satu titik. Yaitu tangan Vanny di genggaman Haris.

Vanny buru-buru menarik tangannya dengan perasaan tak enak. Berusaha untuk tetap santai, tapi yang terjadi malah ia menampilkan senyum kaku di wajahnya. Ia menghampiri Sekar. Menyapa wanita paruh baya itu.

"Selamat pagi, Bu."

Sekar tersenyum sekilas. "Selamat pagi," balasnya seraya melirik Haris. "Kalian lama sekali. Jadi Mama terpaksa ke sini. Memangnya apa sih yang kalian omongin sampai-sampai ngebuat Mama dan Papa nunggu? Kalian nggak mau sarapan?"

Tak langsung menjawab rentetan pertanyaan yang dilayangkan sang ibu, Haris menyempatkan diri untuk melirik pula pada Vanny. Seakan ingin berkata: Tuh kan, apa kata aku. Kamu nggak percaya sih.

"Ehm ... nggak ngomongin apa-apa, Ma," ujar Haris cari aman. "Ayo kita sarapan sekarang."

Kali ini Vanny tak bisa mengelak lagi. Ia hanya bisa pasrah mengikuti Sekar dan Haris berjalan di depannya. Sesekali, ia bisa melihat Haris yang menggerling geli padanya. Tau dengan pasti bahwa sekarang Vanny benar-benar tidak bisa menghindar.

Duduk di meja makan yang sama dengan keluarga Haris membuat Vanny merasa canggung. Rasa-rasanya ia tak sanggup menelan sarapannya kala itu.

"Kamu ..."

Baru ingin menyuap sendok ke mulutnya, suara Arif membuat Vanny menaruh kembali sendok itu di piring. Ia berpaling dan melihat sang kepala rumah tangga.

"... baru dua bulan jadi sekretaris kedua Haris?"

Vanny mengangguk. "Iya, Pak."

Suara deheman Arif membuat Vanny menahan napas di dada. Haris buru-buru angkat bicara.

"Kemaren itu dadakan, Pa. Dan kebetulan juga ke depan aku banyak kerjaan di luar, jadi mau nggak mau aku harus ada sekretaris kedua."

Arif manggut-manggut mendengar perkataan Haris. Ia menyadari bahwa sekarang sudah terlambat baginya untuk mendebat hal tersebut. Alih-alih mendebatnya di meja makan. Terutama dengan Vanny yang juga ada di sana. Tidak etis.

"Oh ya, Ris. Sebelum Papa ke kantor, kita perlu bicara bentar."

Deg!

Yang diajak bicara oleh Arif adalah putranya sendiri alias Haris. Tapi, Vanny berani bersumpah bahwa jantungnya yang terasa berdetak tidak enak di dalam sana. Ia meneguk ludah dan menyadari dirinya memang tidak diciptakan untuk bisa menikmati dua kali sarapan di hari yang sama. Sungguh! Sekarang Vanny benar-benar tidak bisa melanjutkan sarapannya.

"Baik, Pa."

Vanny ketar-ketir. Jelas merasa khawatir bila seandainya pembicaraan itu mengenai dirinya. Walau pada kenyataannya kepanikan yang dirasakan Vanny benar-benar tidak mendasar. Karena alih-alih membicarakan soal Vanny, adalah hal lain yang menjadi topik Haris dan Arif kala itu.

"Apa, Pa?"

Mata Haris membesar. Ia syok. Dan di sebelahnya Sekar melirik pada sang suami dengan sorot yang berbeda. Seolah sedang berkata: Kan udah aku bilangin, nggak percaya sih.

Arif mengabaikan lirikan Sekar. Ia beralih pada Haris yang duduk tepat di depannya. "Jadi gimana? Kamu mau tunangan sama Tasya?"

"Apa aku terlihat seperti cowok yang mau tunangan dengan Tasya, Pa?" tanya Haris horor. Ia menggeleng. "Nggak. Aku nggak mau tunangan sama dia."

"Tuh kan. Papa masih nggak percaya sama omongan Mama?"

Wajah Arif tampak masam ketika matanya melirik pada sang istri yang duduk di sebelah Haris. Tak mau, tapi ia memang kerap dibuat heran. Sekar seolah benar-benar tau apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginkan oleh putranya itu.

"Semalam kan aku udah ngomong kalau Haris nggak bakal mau tunangan sama Tasya. Eh ... Papa malah ngeyel."

"Papa bukannya ngeyel, Ma. Tapi, Papa cuma memastikan," bantah Arif. "Karena bagaimanapun juga Papa harus mendapatkan jawaban Haris langsung. Soalnya siang ini Papa ada pertemuan lagi dengan Bhakti."

Karena alasan itulah mengapa Arif buru-buru memanfaatkan waktu yang ada untuk bertanya pada putranya. Kalau saja ia tidak ada pertemuan dengan Bhakti siang nanti, sudah bisa dipastikan Arif akan menunda membicarakan masalah itu dengan istri dan anaknya.

"Pasti dia nanti akan menanyakan hal ini lagi ke Papa."

Sejenak, Arif menarik napas dalam-dalam. Rasa tak enak sudah muncul bahkan sebelum ia bertemu dengan Bhakti nanti. Bagaimanapun juga sebagai dua orang yang berteman sejak lama, mempererat ikatan persahabatan dengan pernikahan putra-putri mereka adalah salah satu hal yang diidam-idamkan. Tapi, apa jadinya kalau sang putra menolak?

"Haris."

Arif mencoba peruntungannya. Mencoba untuk bertanya sekali lagi.

"Beneran kamu nggak mau tunangan sama Tasya?" tanya Arif kemudian. "Toh selama ini hubungan kalian baik kan?"

Mata Haris membesar. "Hubungan aku dan Bu Astrid juga baik selama ini, Pa. Tapi, bukan berarti aku mau tunangan sama Bu Astrid."

Astaga!

Haris langsung beringsut mendekati ibunya. Meraih tangan Sekar. "Ma, bilangin sama Papa. Aku nggak mau tunangan sama Tasya."

"Tenang, Ris, tenang."

Sekar menenangkan Haris seraya menepuk-nepuk lembut tangan putranya itu. Haris mengangguk.

"Papa lihat kan? Haris ini beneran nggak ada perasaan apa pun sama Tasya. Jadi jangan paksa Haris buat tunangan sama dia," ujar Sekar. "Ingat loh, Pa. Pamalik maksain jodoh anak. Yang namanya rezeki, maut, dan jodoh itu di luar kuasa kita."

"Tapi, kan tetap harus berusaha, Ma."

"Iya, berusaha. Tapi, kalau Tuhan nggak menakdirkan Haris untuk suka sama Tasya gimana?"

Berat mengakui, tapi Arif tau yang dikatakan oleh Sekar memang benar adanya. Pada akhirnya ia mengangguk.

"Iya iya iya. Papa ngalah. Papa nggak bakal maksa Haris buat tunangan sama Tasya."

Bukan hanya Haris, tapi Sekar pun tersenyum lebar mendengar perkataan sang suami. Ia menoleh. Melihat pada Haris yang masih merengkuh tangannya.

"Tuh kan. Kamu nggak jadi tunangan sama Tasya."

Haris mengangguk. "Makasih, Ma."

"Ya sudah kalau gitu. Sekarang Papa mau berangkat ke kantor dulu."

Bangkit dari duduknya, Arif mendapati Sekar yang turut berdiri. Ia bergegas meraih tas kerja sang suami. Setelah memberikan satu gerlingan pada sang putra –tanda bahwa semua baik-baik saja, ia pun keluar pula dari ruang kerja suaminya itu. Berniat untuk mengantar kepergian Arif.

Sementara Haris yang mendapati kedua orang tuanya sudah pergi pun lantas meninggalkan ruangan itu pula. Dengan langkah yang ringan, ia menuju ke kamarnya. Membuka pintunya dengan perlahan. Pun menutupnya dengan perlahan pula. Hingga tidak menimbulkan satu suara apa pun.

Haris mengendap-endap. Persis seperti seorang pencuri yang sedang mengincar harta berharga. Dan untuk kali ini yang diincar oleh Haris tentu saja adalah Vanny.

Cewek itu tengah duduk di kursi. Tampak serius dengan laptop yang membuka di hadapannya hingga tak sadar bahwa kala itu Haris sudah berada tepat di belakangnya.

"Ah!"

Vanny terkesiap kaget. Berkat dua tangan yang langsung merengkuh tubuhnya dan satu kecupan yang mendarat di pipinya. Ia sontak berpaling dan tentu saja. Orang yang melakukan hal mengejutkan itu tak lain dan tak bukan adalah Haris.

Tepat di depan matanya, Haris tersenyum. Seketika membuat jantung Vanny tersentak di dalam sana.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top