30. Cepatlah Pagi!
Hari sudah menginjak jam sembilan malam. Kala itu Haris sudah berbaring di tempat tidurnya. Merebahkan tubuh di kasur yang empuk dengan selimut tebal yang menyelimutinya hingga ke dada. Sekar memastikan sang putra tidak akan kedinginan malam itu. Pun memastikan bahwa putranya tidur cepat.
"Makan udah. Minum obat udah. Sekarang waktunya kamu untuk tidur."
Kedua tangan Haris mendarat di atas dada. Ia mengangguk patuh. "Iya, Ma. Tenang aja. Aku bakal tidur cepat."
"Harus," delik Sekar sekilas memberikan peringatan. "Kan besok kamu mau kerja lagi."
Haris tersenyum lebar. "Iya, Ma. Besok Vanny juga mau datang cepet ke rumah. Jadi mau nggak mau aku harus tidur cepat biar bangunnya nggak kesiangan."
Memang itulah alasan mengapa Sekar menyuruh Vanny datang jam setengah tujuh pagi. Agar Haris tidur dengan cepat dan bangun cepat pula. Tapi, dari dua hal itu ada yang paling penting. Yaitu Haris bisa sarapan tepat waktu. Dan kalau Haris sarapan tepat waktu maka ia pun bisa minum obat tepat waktu pula. Sejujurnya Sekar hanya ingin melihat anaknya sehat. Tak peduli apa pun caranya. Sungguh hati Sekar rasanya sakit melihat Haris yang sakit tampak pucat dan tidak bertenaga.
"Anak pinter," ujar Sekar. Sekilas ia mencium dahi Haris. "Sekarang kamu tidur."
Anggukan Haris membuat Sekar bangkit. Ia beranjak memadamkan lampu utama di sana dan barulah ia keluar setelah memastikan bahwa Haris benar-benar memejamkan mata.
Meninggalkan kamar Haris, Sekar memilih untuk menemui sang suami di ruang kerjanya. Arif yang melihat kedatangan Sekar membuang napas panjang. Waktu yang tepat. Karena ia pun ingin membicarakan sesuatu dengan snag istri.
"Namanya Vanny. Baru dua bulan ini jadi sekretaris kedua Haris."
Begitulah penjelasan singkat yang Sekar berikan pada sang suami. Terpisahkan satu meja kerja yang besar itu, Sekar bisa melihat kerutan di dahi Arif.
"Berarti ... waktu Haris ke Bengkulu," ujar Arif dengan nada tak yakin di suaranya. "Itu dia pergi dengan Vanny? Bukan dengan Bu Astrid?"
Sekar menggeleng. "Bukan."
"Ehm ...."
Deheman itu membuat Sekar mengerutkan dahi. Matanya tak lepas dari Arif. Memindai ekspresi sang suami. Bertanya-tanya reaksi Arif untuk tindakan Haris yang satu ini.
"Haris nggak ada bahas soal ini sama Papa. Kenapa dia mendadak nyari sekretaris kedua?"
"Kesehatan Bu Astrid, Pa, kesehatan Bu Astrid."
"Aaah!"
Arif manggut-manggut. Dengan cepat otaknya bisa menerka pertimbangan Haris.
"Bu Astrid kan udah nggak se-fit yang dulu gara-gara kecelakaan waktu itu. Jadi Mama pikir wajar kalau Haris mendadak nyari sekretaris kedua."
"Saking mendadaknya ... Haris sampai nggak diskusi dengan Papa soal ini."
Wajah Sekar tampak berubah. Sedikit cemberut. "Papa ini. Haris itu udah besar. Dia sudah dewasa. Masa nyari sekretaris aja harus diskusi sama Papa dulu?"
"Bukan gitu maksud Papa, Ma," ujar Arif seraya membuang napas panjang. "Haris kan selama ini belum pernah nyari sekretaris sendiri. Papa cuma khawatir dia keliru. Sekretaris itu posisi penting. Harus pintar dan cekatan. Banyak kriteria yang harus diperhatikan sama Haris. Toh kalau Vanny jadi sekretaris kedua ... itu artinya suatu saat nanti dia bakal jadi sekretaris utama."
Maksud Arif tentu saja baik. Sekretaris itu memiliki peranan yang amat penting. Tidak hanya pintar dan cekatan, tapi juga harus berpenampilan menarik. Bisa menjadi wajah kedua untuk bosnya. Maka wajar saja bisa sangat sulit untuk bisa mendapatkan posisi tersebut.
Namun, sepertinya Sekar tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Arif. Karena sedetik kemudian terdengar Sekar menukas dengan mengibaskan sekali tangannya di depan wajah.
"Tenang, Pa. Vanny nggak bakal lama jadi sekretaris. Jadi ... Papa tunggu aja. Ntar ada masanya Haris ngajak Papa diskusi buat nyari sekretaris baru. Ehm ... mungkin kalau Bu Astrid mau berenti."
Arif mengerjapkan mata. Sepertinya ada sesuatu yang janggal dari perkataan Sekar barusan. "Maksudnya?"
"Maksudnya kan perusahaan itu udah ditangani Haris."
Bukan itu maksud pertanyaan Arif. Tapi, ketika ia ingin menjelaskan, Sekar sudah keburu melanjutkan perkataannya.
"Jadi Papa harusnya percaya dong sama Haris. Selama ini kan kerjaan dia bagus. Nggak ada celanya sama sekali."
"Iya, Ma, iya."
Harusnya Arif tau bahwa melakukan tindakan atau mengatakan sesuatu yang menyiratkan indikasi keraguannya akan kepemimpinan Haris di depan Sekar adalah hal yang salah. Walau memang tidak bisa dipungkiri yang dikatakan oleh Sekar memang benar.
"Coba Mama tanya. Kapan Haris pernah ngecewain kita?"
Arif buru-buru menggeleng. "Nggak pernah, Ma."
"Memang nggak pernah. Mama udah capek-capek mendidik Haris dari dalam kandungan, Pa. Haris nggak mungkin gegabah atau asal ambil keputusan."
Sudahlah. Arif tau apa yang akan terjadi ke depannya. Maka ia buru-buru bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiri sang istri yang tampak manyun.
"Maaf, Ma. Bukan itu maksud Papa."
"Bukan itu gimana maksudnya? Buktinya apa?" tanya Sekar seraya menarik pundaknya yang baru disentuh Arif. "Papa itu harusnya percaya dengan Haris."
Arif memutuskan untuk duduk di satu kursi lainnya. Meraih tangan sang istri dan mengelusnya pelan.
"Iya, Ma, iya. Papa percaya sama Haris. Sama kayak Papa yang percaya kalau Mama udah mendidik Haris dengan baik dari dia masih di dalam kandungan."
Sekar manyun. Masih cemberut walau saat itu jelas sekali Arif mencoba untuk membujuknya.
"Kalau udah tau, jadi lain kali jangan gini lagi ah."
Arif mengangguk. Memilih untuk tidak membalas perkataan Sekar. Alih-alih terus angguk-angguk kepala saja.
"Ngomong-ngomong gimana keadaan Haris hari ini? Udah mendingan?"
"Udah, Pa. Demamnya udah turun. Kayaknya dua hari lagi dia udah sehat lagi."
Jawaban dari Sekar langsung terdengar tak sampai sedetik setelah pertanyaan itu Arif lontarkan. Dan Arif tidak heran sama sekali. Ia tau betapa sang istri yang akan selalu siap siaga untuk apa pun yang berkaitan dengan sang putra. Sekalipun itu hanya sekadar menjawab pertanyaan.
"Syukurlah kalau begitu."
Namun, setidaknya jawaban Sekar membuat Arif lega pula. Lantaran saat itu sudah malam. Dan Arif tidak ingin tidur bersama Sekar dengan keadaan sang istri yang masih cemberut.
"Oh iya, Ma. Ada yang mau Papa omongin. Hampir saja lupa."
Entah sadar atau tidak, Sekar yang tadi cemberut sekarang malah balas mengelus jari Arif. Matanya mengerjap sekali.
"Ngomongin apa, Pa?"
Sejenak, Arif menarik napas terlebih dahulu. Ingatannya tertarik ke belakang. Pada saat seorang teman menemui dirinya.
"Tadi siang Bhakti nemui Papa di kantor."
"Bhakti?" tanya Sekar dengan mata membola. Sepertinya ia bisa menerka maksud kedataangan teman suaminya itu. "Mau ngomongin soal Haris dan Tasya ya?"
Arif mengangguk. "Iya," jawabnya. "Bhakti mau Haris dan Tasya tunangan dalam waktu dekat."
Mendengar hal itu, Sekar langsung bangkit berdiri. Menarik tangannya lepas dari genggaman sang suami.
Arif melongo melihat Sekar yang tampak syok. Matanya membesar dan mulutnya menganga. Untuk sesaat Sekar tidak mengatakan apa-apa hingga membuat Arif bingung.
"Ma? Kenapa?"
Sekar butuh oksigen terlebih dahulu. Dan ketika udara sudah memenuhi paru-parunya lagi, ia pun menatap Arif.
"Nggak bakal ada pertunangan apa pun antara Haris dan Tasya."
Kali ini Arif yang melongo. Kebingungan semakin menjadi-jadi tercetak di wajahnya. "Maksud Mama?"
Sekar memegang kepalanya. Seperti ia yang akan pingsan saat itu juga. Tapi, sungguh. Bayangan Haris yang tidak bisa tidur selama dua bulan membayang di benaknya.
Dijauhi Vanny aja bisa buat Haris nggak tidur dua malam, apalagi kalau dia malah tunangan sama Tasya? Gimana kalau Haris jadi zombi?
Sekar menggeleng. Berusaha mengenyahkan kemungkinan menyeramkan itu dari benaknya. Tidak ingin bermaksud berlebihan, tapi Sekar tidak ingin melihat putra sematawayangnya itu sakit tidak berkesudahan.
"Nggak," ulang Sekar. "Pokoknya Haris dan Tasya nggak bakal bertunangan."
Arif turut berdiri. Meraih tangan istrinya. "Memangnya kenapa?" tanyanya tak mengerti. "Bukannya dulu Mama setuju kalau Tasya jadi menantu kita?"
Sekar melepaskan tangan Arif. Ia mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan sorot penuh tekad. Itu sudah cukup jelas menjadi sinyal bagi Arif bahwa keputusan istrinya mutlak. Tidak bisa diganggu gugat.
"Itu dulu," kata Sekar membenarkan perkataan Arif. "Dulu Mama memang setuju kalau Tasya jadi menantu kita. Tapi, dulu. Ingat ya, Pa? Dulu."
"Apa itu artinya ..."
Sedikit ragu, tapi Arif tetap harus memastikannya. Tak peduli sekecil apa pun peluang tersebut.
"... sekarang udah nggak setuju lagi?"
"Ya!" tegas Sekar. "Sekarang udah nggak lagi."
"Memangnya kenapa, Ma? Kok keputusan Mama tiba-tiba berubah sih?"
Sungguh. Walau sudah bertahun-tahun hidup bersama dalam ikatan pernikahan, terkadang Arif pun tidak mengerti dengan jalan pikiran Sekar. Seperti yang satu ini. Bagaimana bisa keputusan Sekar berubah begitu saja?
"Alasan Mama berubah pikiran apa?"
"Alasannya?"
Bibir Sekar mengatup rapat untuk beberapa saat. Wajahnya mengeras. Tapi, ia tetap menjawab pertanyaan sang suami.
"Itu karena aku nggak mau Haris jadi zombi, Pa."
Dooong!
Arif melongo. Sepertinya ia semakin yakin bahwa ia masih belum mengerti istrinya selama ini. Ia mengerjap.
"Z-zombi?"
Mungkin saja Sekar salah bicara. Tapi, tidak. Sekar malah mengangguk.
"Maksud Mama apa sih? Kok bisa Haris berubah jadi zombi?"
Arif terkekeh. Mungkin bukan ia yang tidak mengerti istrinya. Melainkan Sekar yang memang memiliki sistem kerja otak yang berbeda dengan dirinya. Maka wajar saja bila dalam sesekali kesempatan mereka seperti dua alien yang berbeda dunia.
"Bisa, Pa. Haris bisa berubah jadi zombi kalau ia nggak tidur bermalam-malam."
Kekehan Arif menghilang. Tergantikan keheranan saat melihat ekspresi serius yang tercetak di wajah Sekar. Bahkan ketika Sekar bicara, ia dengan sengaja merendahkan nada suaranya. Memberikan kesan horor.
"Kalau Haris tunangan dengan Tasya ...," lanjut Sekar dengan sorot ngeri. "... dia bakal insomnia bermalam-malam. Dia nggak mau makan. Dan akhirnya dia persis kayak zombi. Jalannya lemes, nggak ngomong apa-apa, dan matanya hitam."
Bukan hanya apa yang dikatakan Sekar, tapi cara bicara dan cara tatapan itu sukses membuat Arif tidak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa diam untuk beberapa saat ketika Sekar menutup perkataannya dengan anggukan penuh irama keyakinan.
"Ma."
Arif mendehem sejenak. Sepertinya ia harus menjaga kesadarannya agar tidak terbawa halusinasi sang istri.
Mungkin Sekar terlalu khawatir gara-gara Haris lagi sakit. Dia pasti jagain Haris sampe capek.
Arif meraih tangan Sekar. Ia membelai dengan sikap penuh pemakluman.
"Kita omongin ini besok aja, Ma. Lagipula ... kita nggak bisa mutusin ini tanpa pendapat Haris."
Arif berencana untuk mengajak Sekar langsung berlalu dari sana. Tapi, Sekar bergeming. Kakinya tidak bergerak sedikit pun.
"Papa lupa ya?"
Sekar menahan tangan Arif. Mau tak mau membuat sang suami turut menunda sejenak niatan hatinya untuk keluar dari ruang kerjanya.
"Lupa apa?"
Bola mata Sekar bergerak-gerak. Menatap mata Arif. Itu membuat perasaan Arif menjadi sedikit tidak enak. Ia meneguk ludah.
"Haris itu ...," jawab Sekar dengan penuh irama. "... anak aku."
Tidak terkira betapa leganya Arif ketika mendengar jawaban Sekar. Padahal kala itu ia sudah berpikir ke mana-mana. Khawatir kalau istrinya meracau lagi.
"Aku yang mengandung dia selama sembilan bulan lamanya. Dia jatuh, dia lari, dia manjat, dia ngapa-ngapain ... itu sama-sama aku, Pa. Jadi aku tau apa yang Haris mau."
Untuk hal yang satu itu tentu saja Arif tidak bisa mendebatnya. Ia tau yang dikatakan oleh istrinya memang benar. Arif tersenyum.
"Iya, Ma. Papa nggak bakal lupa."
Mengatakan itu, Arif memberikan kecupan di dahi istrinya. Sekar sontak mengerjapkan mata berulang kali. Merasa salah tingkah pula.
"Makasih sudah membesarkan anak kita selama ini."
Sekar mengangguk. Tapi, ia tidak akan lupa dengan apa yang tengah mereka bicarakan.
"Jadi ... Papa percaya deh sama Mama. Keputusan Mama malam ini yang nolak Tasya buat tunangan sama Haris, pasti sama dengan keputusan Haris besok."
Dahi Arif mengerut. Istrinya terlihat begitu yakin.
"Kalau nggak percaya ... besok kita tanyain aja sama Haris."
Oh, tentu saja. Bahkan tanpa perlu disuruh sang istri, Arif pun memang berniat untuk menanyakan itu pada putranya. Karena bagaimanapun juga Bhakti pun ingin jawaban secepatnya. Maka tanpa ragu Arif mengangguk.
"Oke. Besok Papa tanyain ke Haris."
Sementara Sekar hanya memberikan senyum penuh arti pada suaminya itu. Ia yakin. Tak perlu menunggu besok, jawaban valid sudah terpampang jelas di depan mata.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top