3. Awal Yang Bagus

Waktu terus berputar. Sekarang jam di tangan Vanny nyaris menunjukkan jam sepuluh malam. Astaga. Bagaimana bisa makan ayam geprek menghabiskan waktu hampir tiga jam? Ckckck. Semoga saja Vanny dan Esti tidak keburu diusir oleh pelayan di restoran itu.

"Jadi ... itulah kronologisnya," tuntas Vanny menjelaskan kronologi kejadian lengkapnya seperti yang diminta oleh Esti tadi. "Sekarang menurut kamu ... aku harus gimana?"

"Ehm ...."

Esti mendehem dengan penuh irama. Dan kali ini dehemannya agak lama ketimbang kebiasaan ia mendehem pada biasanya. Hingga membuat Vanny panas dingin juga menunggu perkataannya.

"Sebelumnya aku mau nanya."

"Apa?"

"Kamu segitunya nggak mau ketemu lagi sama Haris?"

Pundak Vanny terjatuh. Ia mengangguk sekali dengan lemah. "Iya."

"Ehm ... ya udah. Kalau gitu, kamu nggak usah kerja di sana aja. Beres kan?"

Vanny meringis. Tentu saja, bukan berarti ia tidak memikirkan pilihan itu. Alih-alih sebenarnya ia sudah memikirkan hal tersebut semenjak ia meninggalkan gedung Bumi Pertiwi yang menjulang tinggi itu.

"Tapi, kan masalahnya aku butuh kerja, Es."

Esti melirih sambil manggut-manggut. "Aaah! Kamu bener. Kamu lagi butuh kerjaan. Sorry. Aku lupa itu."

"Itu yang ngebuat aku maju mundur, Es. Aku butuh kerjaan. Tapi, masa aku harus kerja sama mantan pacar aku sendiri sih?" Vanny geleng-geleng kepala dengan mata yang memejam. Seakan ia menolak bayangan masa depan yang bisa saja terjadi padanya. "Nggak. Nggak. Pokoknya aku nggak mau kalau itu sampe kejadian. Hiks. Apa kata dunia coba?"

Esti garuk-garuk kepala. Ia sebenarnya pusing juga sih. Jujur saja, ia iba melihat Vanny. Tapi, tetap saja. Ada lucunya. Menurut Esti, kemungkinan mantan pacar bertemu sebagai atasan dan bawahan itu kecil sekali. Bahkan lebih besar kemungkinan mendapatkan angka satu yang keluar dari pelemparan dadu bermata lima puluh.

"Sekarang sih tergantung lagi sama kamu, Van. Kalau kamu mau mundur dari kerjaan itu, seenggaknya kamu kan bisa nyari kerjaan lain. Dan ... kayaknya kalau untuk masalah biaya hidup ehm ...." Esti menggantung sejenak ucapannya. Ia tampak menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. "Aku yakin uang tabungan kamu masih banyak untuk bertahan hidup seenggaknya sampe sebulan ke depan."

Vanny membuang napas panjang. Matanya berkedip dengan pelan seperti sudah tidak ada tenaga lagi. Sepertinya kali ini ia tau. Bahwa mungkin memang hanya ada satu jalan yang harus pilih.

"Kayaknya ... aku memang harus mundur deh."

*

Oke. Rezeki bisa dicari. Tapi, kewarasan batin itu yang harus diutamakan.

Vanny sudah membulatkan tekadnya. Karena hasil renungannya dan pemikiran Esti membawa ia ke pilihan yang sama. Yaitu, mundur dari pekerjaan itu.

Maka di Senin pagi itu, Vanny pun bergegas mandi dengan riang gembira. Ia memilih stelan kerja yang bagus dan memastikan bahwa dandanannya apik. Sungguh, kalau ia harus bertemu dengan mantan pacar, itu artinya ia harus menunjukkan penampilan terbaiknya.

Oh! Vanny sama sekali tidak terpikir untuk memberikan kesempatan bagi Haris untuk berkata seperti ini.

"Semenjak putus sama aku, kamu jadi kucel gini ya? Kayak anak kucing yang dibuang pemiliknya aja."

Vanny menggeleng sekali. Mengusir bayangan Haris yang bisa saja mencemooh dirinya kalau penampilannya menyedihkan. Setidaknya ia harus tampil seperti wanita karier masa kini. Yang rapi dan menguarkan aura kepintaran tiada tara.

Setelah yakin bahwa penampilannya rapi dalam balutan stelan kerja perpaduan kemeja bewarna merah muda dan rok selutut bewarna hitam serta ditunjang sepatu berhak setinggi tujuh sentimeter itu, Vanny beranjak dari depan cermin besar yang ada di pintu lemari pakaiannya. Ia meraih tas kerjanya. Lantas meninggalkan apartemennya.

Menaiki satu taksi ojol, tidak butuh waktu lama bagi Vanny untuk tiba sampai tepat di depan kantor Bumi Pertiwi. Ia turun dan langsung masuk melewati gerbang kantor. Membalas sapaan satpam kantor yang berjaga dengan ramah.

Segera menuju ke satu lift khusus yang akan membawa dirinya langsung ke lantai di mana ia seharusnya bekerja, Vanny menarik napas dalam-dalam. Jujur saja, walau semalaman Vanny sudah menyiapkan dirinya lahir dan batin, ia tetap merasa gugup saat ini. Lihatlah! Tangannya bahkan sampai mengeluarkan keringat dingin.

"Duh! Tenang kali, Van. Kok jadi gugup gitu sih?"

Vanny merutuki dirinya sendiri. Kembali menarik udara sebanyak yang bisa ia dapatkan tepat ketika pintu lift membuka di hadapannya. Ia melangkah masuk. Dan entah mengapa, kakinya yang bertopang pada hak lancip itu goyah. Mungkin karena terlalu gugup.

Yang pasti adalah Vanny merasakan langkah kakinya berpijak dengan tidak mantap. Ia terhuyung. Bersiap untuk terjerembap ke lantai dengan pose memalukan. Tapi, sepasang tangan yang kekar menangkap pinggangnya. Dengan sigap menariknya.

Tubuh Vanny seolah melayang dalam tarikan penuh kekuatan itu. Pekikan kecil tertahan di pangkal tenggorokannya. Dan ketika kedua tangannya mendarat di dada bidang itu, ia mengembuskan napas lega. Ia tidak jadi mengawali harinya dengan kejadian memalukan. Untunglah.

Vanny mengangkat wajahnya. Sambil mengucapkan terima kasihnya di sela-sela napasnya yang masih terengah.

"Maka---"

Ucapan terima kasih itu menguap di udara. Tepat ketika ia melihat wajah siapa pemilik tangan kekar yang menangkap dirinya.

Vanny memucat. Mulutnya membuka dengan ekspresi syok yang tidak mampu ia tahan. Ia amat sangat tidak percaya dengan apa yang matanya lihat saat itu.

"Ha-Haris?"

Nama itu terucap oleh bibir Vanny dengan terbata. Dan ia mendapati bagaimana Haris mengerutkan dahinya. Satu senyum miring tersungging di wajahnya.

Vanny tersadar. "P-Pak Haris."

Senyum miring itu berubah menjadi senyum geli. Haris mendehem. Lalu ia menunduk. Melihat pada tangan Vanny yang bertahan di dadanya.

"Mau sampe kapan kamu meluk saya?"

Ucapan bernada formal itu membuat kesadaran Vanny bagai tersentil. Terlebih lagi dengan maksud pertanyaan yang dilayangkan oleh Haris padanya. Ia gelagapan. Salah tingkah dan langsung menarik diri.

"Ehm!" Haris mendehem sekilas. "Kamu datang pagi sekali. Sepertinya kamu sangat bersemangat untuk kerja."

Vanny merasa wajahnya kaku sekali. Seperti ada ratusan lebah yang menyengat. Hingga susah dan teramat payah sekali untuk ia membalas perkataan itu.

"Mungkin ... justru sebaliknya."

"Maksud kamu?"

Vanny menarik napas dalam-dalam. Berusaha tersenyum dengan setengah mati. "Nggak apa-apa, Pak. Ehm ... yang pasti makasih untuk yang tadi."

Setidaknya Vanny masih memiliki hati nurani sebagai seorang manusia. Ketika ada orang yang menolong, ucapan terima kasih adalah kata yang mutlak harus diucapkan. Sekalipun bahwa orang yang menolong adalah orang yang paling tidak ingin ditemui selama ini.

Haris mengangguk dengan kesan yang membuat Vanny mendadak merasakan nasi goreng yang ia makan tadi berenang-renang di usus besarnya. Mual. Tapi, ia tidak ingin memuntahkan sumber tenaganya itu.

"Sama-sama," ujar Haris. Ia tampak mengangkat tangan kirinya. Memberikan sedikit sentakan di sana agar jasnya sedikit naik. Ia melihat pada jam tangannya. "Baiklah. Kalau begitu selamat bekerja. Tanyakan semuanya pada Bu Astrid untuk tau apa aja yang jadi kerjaan kamu."

Vanny tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk sekali. Tepat ketika akhirnya Haris justru masuk ke dalam lift. Meninggalkannya seorang diri yang sontak langsung membuang napas panjang. Lalu buru-buru menghirup udara sebanyak mungkin.

"Astaga," desis Vanny sambil meraba dahinya yang sudah dipenuhi oleh percikan-percikan keringat. "Emang udah yang paling tepat banget aku milih mundur dari sini. Kebayang, Van? Baru aja berapa menit kamu ngobrol sama dia, pembakaran di tubuh kamu jadi meningkat berkali-kali lipat. Kalau sampe seharian kamu deket-deket sama dia, jangan-jangan kamu udah kebakar dari dalam lagi."

Vanny merinding. Sungguh. Ia tidak mengira bahwa bertemu dengan mantan pacar akan menjadi hal yang benar-benar menakutkan seperti ini.

"Ya Tuhan. Untung mantan aku cuma ada satu. Apa kabar kayak Esti yang mantannya udah bisa dibuat jadi penghuni satu RT?"

Berhasil menenangkan dirinya dari degupan tak nyaman yang menyentak-nyentak dadanya sedari tadi, Vanny kembali melangkahkan kaki. Berbelok dan menyusuri satu lorong panjang. Dari kejauhan, ia bisa melihat Astrid sudah duduk di balik meja sekretarisnya. Ia tiba dan menyapa wanita itu.

"Selamat pagi, Bu."

Astrid mengangkat wajahnya. Tampak tersenyum di balik kacamata berbingkai tipis yang ia kenakan. Pun membalas sapaan itu dengan ramah dan bersahabat.

"Selamat pagi juga, Vanny. Hari ini kamu keliatan cantik sekali."

Vanny mengerjapkan matanya. Mengulum senyum. Tapi, mau tidak mau ia menjadi penasaran.

"Apa penampilan saya agak berlebihan, Bu?" tanya Vanny dengan suara rendah.

Astrid tertawa renyah. Menggeleng. "Sama sekali tidak berlebihan. Dan ... memang begitulah seharusnya sekretaris berpenampilan. Harus rapi dan cantik. Sekretaris itu membawa citra perusahaan dan CEO."

Vanny manggut-manggut mendengar penjelasan Astrid. Dan sejujurnya, ia pun menemukan bukti dari perkataan Astrid. Yang mana kalau Vanny menilik dari wajahnya, mungkin saat itu Astrid memang sudah berada di atas angka tiga puluh lima tahun. Tapi, penampilannya memang tidak kalah dengan penampilan karyawati lainnya yang masih muda. Tampak modis dan juga berkelas. Pun pembawaannya benar-benar bersahaja.

"Jangan bengong saja di sana. Ayo! Duduk sini. Saya sudah menyusun detail apa saja yang harus kamu lakukan."

Tersadar dari lamunan beberapa detiknya, Vanny jadi kebingungan sendiri. Bukannya ia datang pagi itu demi mengutarakan niatannya untuk mundur dari pekerjaan itu? Dan sekarang, ia malah harus mulai pelatihan dengan Astrid? Oh, yang benar saja.

Astrid menyuruh Vanny duduk di satu meja di sebelahnya. Secara harfiah, meja itu tersambung. Dan Astrid menyerahkan satu buku agenda pada Vanny.

"Ini sudah saya lis apa saja yang menjadi kerjaan kamu. Karena sebenarnya Pak Haris mencari sekretaris kedua karena saya yang nggak bisa tiap saat meninggalkan kantor."

Vanny menerima agenda itu. Matanya tampak polos melihat pada Astrid. "Mengapa begitu, Bu?"

Senyum muncul di wajah Astrid seraya mengulurkan tangannya. Ia mengusap betisnya. Menjawab pertanyaan itu dengan santai.

"Saya sempat kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya keadaan saya sudah pulih. Tapi, terkadang kaki saya sering ngilu kalau terlalu banyak berjalan."

Wajah Vanny sontak berubah. Merasa tidak enak.

"Ma-maaf, Bu. Saya nggak maksud. Saya nggak tau kalau Ibu pernah kecelakaan."

"Nggak apa-apa," geleng Astrid. "Namanya juga musibah. Dan karena itulah kenapa Pak Haris butuh sekretaris kedua. Terutama karena perusahaan sedang dalam pengembangan besar-besar. Pak Haris butuh pendamping un---"

"Hukkk!"

Vanny terbatuk spontan. Memutus perkataan Astrid yang langsung memberikannya minum yang kebetulan tersedia di sana. Megap-megap, Vanny berusaha meredakan batuknya. Meneguk air putih itu berulang kali. Dan dengan wajah horor, ia bertanya.

"P-Pak Haris butuh pendamping, Bu?"

Astrid mengangguk yakin. "Iya. Pak Haris memang butuh pendamping."

Jawaban itu membuat Vanny melotot. Bahkan saking melototnya, Astrid sampai khawatir bola mata Vannya akan keluar melompat dari rongganya.

"Ma-maksud Ibu ..." Vanny meneguk ludah yang terasa menggumpal di pangkal tenggorokannya. "... sa-saya jadi pendamping Pak Haris?"

Mengerjapkan matanya beberapa kali, Astrid kembali mengangguk. Dan itu membuat Vanny sontak histeris.

"Ya Tuhan! Apa maksudnya semua ini? Aku ngelamar jadi staf admin, eh malah jadi sekretaris kedua. Dan sekarang aku justru disuruh jadi pendamping dia? Hah? Pendamping? Astaga! Nggak. Nggak. Nggak. Aku nggak mau nikah sama dia. Please! Aku nggak mau."

Tidak hanya meracau histeris, Vanny bahkan meremas kedua tangannya berulang kali. Ia tampak begitu panik. Hingga membuat Astrid mengerutkan dahi.

"Kamu mau nikah sama siapa, Van?"

Astrid bertanya dengan kebingungan yang menyelimuti dirinya. Vanny berpaling. Melihat pada wanita itu dan meringis.

"Tadi Ibu ngomong Pak Haris mau nyari pendamping," ujar Vanny. "Iya kan?"

"Iya," angguk Astrid kaku. "Pendamping untuk ke acara-acara kantor. Kan tugas sekretaris salah satunya ... itu."

Vanny melongo. Sedetik. Dua detik. Tiga detik.

Lalu tangan Vanny terangkat ke udara. Entah menunjuk apa. Ia tampak seperti robot yang mendadak kena instal ulang.

"Ah, benar. Jadi, Pak Haris ada jadwal acara apa saja, Bu? Ehm ... kerjaan saya apa ya?"

Astrid ikut-ikutan melongo. Sementara Vanny langsung membuka buku agenda yang sempat ia taruh di meja. Membaca tulisan di sana.

"Ya-yang pertama ... memastikan penampilan Pak Haris rapi. Memeriksa jadwal harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Memastikan Pak Haris makan siang. Menyiapkan teh di pagi hari, kopi di siang hari, dan kopi susu di sore hati. Bila Pak Haris berhalangan hadir, segera ke rumahnya dan membantu pekerjaannya di sana."

Membaca tulisan yang ada di agenda itu, Vanny berulang kali merutuki dirinya berulang kali di dalam hati.

Malu-maluin. Malu-maluin. Kamu bener-bener malu-maluin, Van. Astaga! Mau kamu taruh di mana muka kamu itu? Di pantat kuali hah? Bisa-bisanya kamu mikir kalau kamu disuruh jadi pendamping hidup Haris? Aaargh!

Tuh liat sekarang. Bu Astrid ngeliatin kamu dengan tatapan aneh. Persis kayak dia yang lagi ketemu Superman jualan kolor di Tanah Abang. Hiks.

Karena mungkin memang kurang lebih seperti itulah yang Astrid rasakan saat itu. Dahinya masih mengerut walau pembahasan soal pendamping itu sudah berlalu beberapa menit lamanya. Dan sekarang, ia mendadak mengulum senyum. Menyadari dengan pasti kesalahpahaman yang Vanny pikirkan tadi.

Namun, Astrid benar-benar dewasa. Ia tidak meledek Vanny karena hal itu. Alih-alih ia memberikan kesempatan untuk Vanny melarikan diri dari situasi canggung itu. Ia membiarkan Vanny untuk membaca daftar pekerjaannya. Dan itu ... memang adalah hal yang penting. Memang hal yang harus Vanny lakukan juga.

"Menemani Pak Haris untuk setiap acara yang dihadiri, tidak peduli kalau itu hari libur. Menemani Pak Haris untuk perjalanan bisnis, termasuk membantu memilihkan pakaian yang tepat selama perjalanan itu berlangsung. Menjaga kesehatan Pak Haris selama perjalanan bisnis, termasuk melihat beberapa pantangan makanannya. Me---"

Ucapan Vanny sontak berhenti di tengah jalan. Mata mengerjap dengan kepala yang meneleng ke satu sisi seraya melihat pada lis pekerjaannya di agenda itu. Ia tak yakin, tapi sesuatu membuat otaknya bekerja di dalam sana.

Ehm ... kenapa rasa-rasanya lis kerjaan ini ada yang aneh ya?

Vanny tidak yakin, tapi ia jelas merasakannya. Ia berpaling pada Astrid.

"I-ini kerjaan saya, Bu?"

Astrid mengangguk. "Iya. Seperti yang saya bilang, saya memiliki keterbatasan untuk bepergian. Dan lagi pula ... kalau Pak Haris pergi, ada untung rugi membawa atau membiarkan saya di kantor. Pak Haris harus didampingi, tapi kantor pun tidak bisa ditinggalkan."

Yang dikatakan Astrid memang benar.

"Karena itu ... kamu yang harus mendampingi Pak Haris ke mana pun dia pergi."

Satu kesimpulan yang ditarik oleh Astrid membuat buku agenda terlepas dari tangan Vanny. Dramatis dan diiringi oleh suara tercekik yang membuat Astrid bergidik ngeri.

"Kalau gitu mah ini jatuhnya emang jadi pendamping."

"Kan memang pendamping."

Vanny frustrasi. Kalau ia tidak ingat sedang berada di mana ia saat itu, rasa-rasanya ingin sekali ia menjerit.

Ya Tuhan. Masa ke mana-mana Haris harus aku temani sih? Yang bener aja! Aaah! Aku nggak mau ke mana-mana bareng mantan!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top