29. Ini Maksudnya ... Apa Ya?
"Loh? Mama kok rapi banget? Mau ke mana?"
Keheranan langsung tercetak di wajah Haris ketika Sekar masuk kembali ke kamarnya setelah tiga jam berlalu. Tatkala hari sudah menunjukkan jam satu siang tepatnya. Kala itu Haris dan Vanny masih berkutat dengan beberapa pekerjaan saat ketukan samar terdengar di pintu. Dan tak lama berselang, Sekar masuk dengan penampilan yang membuat pertanyaan itu langsung terlontar dari bibirnya.
Sekar tersenyum. Mendekati Haris.
"Mama ada urusan sebentar di luar. Jadi Mama mau pergi. Tapi, nggak bakal lama kok."
"Oh."
"Kamu nggak apa-apa kan Mama tinggal bentar?" tanya Sekar. "Janji deh nggak bakal lama."
Haris mengangguk. "Iya, Ma. Nggak apa-apa. Lagipula aku kan ada Vanny yang nemenin."
Seketika saja Sekar langsung melirik pada Vanny. Cewek itu tersenyum, tapi sayangnya tidak mendapatkan balasan yang serupa. Sontak membuat Vanny tertegun.
Mengabaikan Vanny yang tampak bingung dengan sikapnya, Sekar kembali beralih pada putranya. Bertanya dengan nada lembut.
"Oh iya. Kamu udah makan siang, Ris?"
"Udah, Ma," jawab Haris. Sekilas ia mengangguk untuk kemudian membuang napas panjang. "Minum obat juga udah dan makanya sekarang aku ngantuk banget. Rasa-rasa mau tidur, tapi ini ada yang tanggung. Harus diselesaikan."
Sekar memegang kedua pundak Haris. Memberikan pijatan sekilas dengan sorot iba. Jelas melihat bagaimana pucat itu membuat sang putra terlihat seperti tak bertenaga.
"Makanya kamu itu jaga kesehatan. Jangan sampe sakit. Kalau sakit kayak gini kan yang repot bukan kamu aja. Tapi, satu perusahaan bisa kena imbas."
Haris terkekeh. "Mama ini apaan sih. Omongannya malah sampe ke sana."
"Ck. Mama serius, Ris. Tanggung jawab kamu itu besar. Jadi nggak seharusnya kamu gampang sakit. Dan nggak seharusnya ada orang yang tega ngebuat kamu jadi sakit."
Vanny sontak membeku jiwa raga. Berusaha bernapas, tapi rasanya sulit sekali.
T-tunggu dulu. Ini mamanya Haris nggak lagi nyindir aku kan? Tapi, kok pas ngomong gitu matanya ngelirik tajam sama aku sih?
Tidak ingin bersikap berlebihan, tapi Vanny berani bersumpah. Tadi itu Sekar benar-benar melirik tajam pada dirinya.
Nggak mungkin kan mendadak aku yang halu? Aku kan bukan Haris.
Perasaan Vanny mendadak tidak enak. Berusaha untuk mengabaikannya pun percuma.
"Iya, Ma, iya. Lain kali aku bakal lebih perhatiin kesehatan aku kok," kata Haris seraya mengangguk. "Mama hati-hati di jalan."
"Mama bakal cepet pulang."
Tuntas mengatakan itu, Sekar pun beranjak. Dalam langkahnya yang anggun, ada mata Vanny yang mengekorinya. Berikut dengan tanda tanya yang memenuhi benaknya. Hingga ia sama sekali tidak mengira bahwa mendadak saja Sekar menoleh kebelakang. Dengan tangan yang meremas daun pintu, matanya menyipit menatap pada Vanny.
Deg!
*
Memutar pena di tangan kanannya, Astrid tampak tidak fokus dengan pekerjaannya. Ia seperti abai bahwa ada komputer yang menyala di hadapannya. Pun dengan berkas yang membuka di atas meja. Itu lantaran pikirannya yang melayang. Tertarik pada satu kejadian sekitar sejam yang lalu. Berupa satu telepon yang ia duga sebelumnya.
Adalah nama Ibu Sekar Handayaningsih yang muncul di layar ponselnya kala itu. Satu nama yang tentunya tidak akan menghubunginya bila tidak ada sesuatu yang penting. Dan hal tersebut jelas membuat Astris bergegas mengangkat panggil itu dengan benak yang bertanya-tanya.
"Halo, Bu Astrid."
Suara Sekar sontak membuat jantung Astrid berdebar tak karuan. Karena bila dilihat dari cepatnya Sekar menyapa dirinya –alih-alih menunggu Astrid duluan yang menyapa, maka bisa dipastikan sepenting apa tujuan ia menelepon siang itu.
"Halo, Bu Sekar. Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Ibu ada di kantor hari ini?"
"Ehm ... ada, Bu. Ada apa ya, Bu?"
"Nggak ada apa-apa. Cuma aku mau mampir ke kantor siang ini. Mungkin sekitar jam dua aku ke sana. Ada yang mau aku bicarakan dengan Ibu."
"Oh, baik, Bu."
Panggilan tadi itu sungguh amat padat, tapi tidak jelas. Setidaknya tidak jelas untuk Astrid. Tanpa mengatakan apa keperluan atau tujuannya, Sekar ingin menemuinya.
"Bentar."
Pena terjatuh dari tangan Astrid. Mendarat di atas meja dan menggelinding. Alat tulis itu akhirnya pasrah saja ketika terjun dari atas meja. Dan lantai menjadi labuhan terakhirnya.
"Jangan-jangan ...."
Astrid tidak meneruskan perkataannya ketika rasa dingin sontak menyelimuti sekujur tubuhnya. Ia meremang. Buru-buru menggeleng.
"Nggak. Jangan mikir yang buruk-buruk."
Sebisa mungkin Astrid mencoba untuk tetap tenang. Tapi, semua usahanya itu seperti tak berguna ketika Sekar datang. Dengan penampilan ala kelas atas, Sekar melangkah menghampiri Astrid yang segera bangkit dari duduknya. Sekar melepaskan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Lalu berkata.
"Halo, Bu."
Astrid pun meneguk ludah. Kemungkinan buruk yang tadi sempat ia lupakan sejenak, timbul lagi.
Beberapa saat kemudian Sekar dan Astrid sudah duduk berdua. Di ruangan Haris tentunya. Mungkin demi menjaga privasi perbincangan yang akan terjadi sebentar lagi.
"Silakan diminum, Bu."
Astrid menyajikan secangkir teh melati untuk Sekar. Wanita paruh baya itu langsung menikmatinya dalam dua kali sesapan. Dan setelah cangkir itu kembali mendarat di tatakan, Astrid memberanikan diri untuk bertanya.
"Ehm ... jadi ada apa ya, Bu? Siang-siang begini Ibu datang ke kantor ... apa ada yang bisa saya bantu?"
Sekar membuang napas panjang. Sikap duduknya benar-benar terlihat mengintimidasi. Terlebih lagi dengan aura yang menguar dari tubuhnya. Sukses membuat setetes keringat bergulir di sisi wajah Astrid.
"Aku nggak bakal basa-basi. Aku cuma mau nanya soal sekretaris kedua Haris."
Udara seperti tertahan di dada Astrid. Sementara di dalam hati, ia berkata.
Tuh kan! Benar tebakan aku. Tentu saja adalah Vanny yang menjadi alasan Bu Sekar untuk datang ke sini.
Astrid mengingatkan dirinya untuk tetap bernapas seperti biasanya. Bahkan di bawah tatapan tanpa kedip Sekar setidaknya ia harus terus bernapas agar tetap hidup.
"Vanny," lanjut Sekar tanpa memindahkan fokus matanya dari mata Astrid. "Kamu pasti tau dia kan?"
Tak punya pilihan, tentu saja Astrid hanya bisa jujur. Ia mengangguk.
"I-iya, Bu. Saya tau dia. Ehm ada apa dengan Vanny ya, Bu?"
Tampak Sekar mengangguk berulang kali. Dan berkat itu Astrid bisa menarik napas sedikit lebih lapang sekarang. Fokus mata Sekar sempat berpindah sejenak darinya.
"Aku dan Mas Arif nggak tau kalau Haris udah punya sekretaris kedua sekarang. Jadi jujur saja aku kaget waktu lihat Vanny datang tadi ke rumah."
"Ah, iya, Bu. Sebenarnya baru dua bulan ini Vanny jadi sekretaris kedua Pak Haris. Dan itu pun sebenarnya karena keadaan saya yang sedikit banyak jadi pertimbangan Pak Haris."
Perkataan Astrid membuat Sekar spontan melihat pada kaki sang sekretaris yang dibalut oleh celana panjang. Tapi, sedetik kemudian Sekar langsung memindahkan fokus matanya. Samar, ia berkata dengan perasaan tidak enak.
"Maaf, Bu."
Astrid hanya menggeleng sambil tersenyum. "Seperti yang Ibu tau, kaki saya sedikit mudah lelah sejak kecelakaan dulu. Jadi saya nggak bisa full mendampingi Pak Haris seperti dulu."
Kembali mendengarkan penjelasan Astrid, Sekar merasa gelisah di hatinya belum mampun ditenangkan. Seperti masih ada yang mengganjal. Walau Astrid sudah menerangkan mengapa Haris sampai mencari sekretaris kedua, entah mengapa Sekar pikir itu bukan alasan yang sesungguhnya.
"Ehm ... apa cuma sebatas itu?"
"Maksud Ibu?"
Sekar mengubah sedikit posisi duduknya. Seraya membuang napas sekali, Sekar memutuskan untuk tidak perlu menutup-nutupi dugaannya.
"Maksud aku apa cuma itu alasan keberadaan Vanny di sini? Cuma sebatas sekretaris kedua?"
Wajah Astrid tampak berubah. Tentu saja itu tidak lepas dari sepasang mata elang Sekar.
"Ehm ... saya nggak ngerti maksud Ibu."
"Jangan pura-pura nggak ngerti, Bu," ujar Sekar seraya mengibaskan satu tangannya sekali di depan wajah. "Aku tau kok Ibu ngerti apa maksud aku. Gimanapun juga kita ini sama-sama orang tua. Kalau ada yang beda dikit aja sama anak kita tentu saja kita tau. Bener kan?"
Walau Astrid tidak menjawab secara gamblang pertanyaan Sekar, tapi ringisan tertahan yang tercetak di wajahnya sudah cukup jelas menjadi jawaban.
"Nah! Dan itulah yang aku rasakan dengan Haris saat ini."
Sejenak, ada jeda di sana. Wajah Sekar tampak naik sedikit. Membawa tatapan kosongnya memandang entah ke mana. Ia layaknya tengah menerawang. Pada beberapa saat yang lalu.
"Sebenarnya saat pertama kali Vanny menginjakkan kakinya di rumah, aku sudah merasa ada yang beda dengan dia. Dan insting setiap ibu pasti nggak salah."
Wajah Sekar turun kembali. Berikut dengan tatapan matanya yang kembali tertuju pada Astrid.
"Dia ada hubungan dengan Haris kan?"
Sepertinya kali ini Astrid benar-benar tidak akan bisa bernapas lagi. Astaga! Ia bingung harus menjawab apa. Jujur atau bohong?
Melihat ada keraguan di mata Astrid tentu saja membuat Sekar langsung bertindak. Ia beranjak dari duduknya, pindah mendekati Astrid. Meraih tangannya. Memasang wajah memelas yang membuat Astrid serba salah.
"Bu, aku mau Ibu jujur," pinta Sekar dengan sorot mengiba. "Ini bukan sebagai ibu CEO dari perusahaan ini. Melainkan sebagai seorang ibu yang khawatir dengan kesehatan putranya. Aku nggak mau ngelihat anak aku terus-terusan nggak bisa tidur setiap malam."
Tentunya sebagai sesama ibu, Astrid tau persis perasaan yang tengah dirasakan oleh Sekar. Ketika anak bersedih, lesu, atau tak bersemangat, seorang ibu pasti akan merasakan hal yang serupa. Dan ya Tuhan. Sepertinya Astrid baru menyadari sesuatu.
Nggak anak nggak ibu, sifatnya emang sama persis.
Pundak Astrid sedikit naik ketika ia menarik udara. Ia membalas tatapan Sekar.
"Ehm ... apa yang Ibu mau tau tentang Vanny?"
Secercah harapan langsung bersinar di wajah Sekar. Ia tampak bersemangat kali ini. Beda sekali dengan ekspresinya beberapa saat yang lalu.
"Semuanya. Ceritakan semua tentang Vanny dan Haris. Ceritakan semua hal yang terjadi di antara mereka."
Astrid hanya berharap agar Haris tidak memarahinya kalau tau ia membocorkan semua tentang mereka pada Sekar. Lagipula Astrid melakukannya dengan terpaksa.
"Sebenarnya ..."
Kedua tangan Astrid mengepal di atas paha. Di luar dugaan, jujur itu ternyata membutuhkan banyak keberanian.
"... awalnya Pak Haris nggak berniat nyari sekretaris kedua sih, Bu. Tapi, pas Pak Haris ngelihat file lamaran dia, Pak Haris langsung memutuskan untuk nyari sekretaris kedua."
Satu informasi pembuka itu membuat dahi Sekar mengerut. Lantaran itu tidak seperti yang sempat ia bayangkan sebelumnya.
"Saya pikir mereka baru pertama kenal saat Vanny kerja di sini. Ternyata nggak ya?"
Astrid menggeleng. "Nggak, Bu."
"Jadi maksudnya mereka sudah saling kenal sebelum Vanny kerja di sini?" tanya Sekar lagi. "Iya?"
"Iya, Bu. Karena ..." Astrid sangat butuh kekuatan kali ini. "... Vanny itu mantan pacar Pak Haris."
Mata Sekar sontak melotot. Kaget dengan informasi tersebut.
"Apa?"
Tau dengan jelas bahwa itu adalah pertanyaan retoris, Astrid tidak merasa perlu untuk menegaskan informasi yang sudah ia katakan. Alih-alih ia segera lanjut dengan informasi lainnya.
"Sepanjang yang saya tau ... mereka putus setelah baru aja pacaran selama tiga bulan. Kalau nggak salah putusnya pas acara perpisahan SMA."
Mata Sekar semakin melotot. Kali ini ia lebih kaget lagi bila dibandingkan dengan informasi pertama tadi.
"Apa?"
Kembali mengabaikan satu kata tanya itu, Astrid yakin Sekar akan amat sangat terkejut kali ini. Lantaran ia akan memberikan informasi yang paling vital dari semua informasi yang ia ketahui.
"Dan itu ... Vanny yang mutusin Pak Haris."
Bukan lagi melotot, sepertinya kali ini mata Sekar akan segera melompat keluar dari rongganya. Lalu ia megap-megap kekurangan udara dan ditutup oleh satu raungan tak percaya.
"Apaaa?!"
*
Sepertinya sekarang Sekar yang mendadak sakit. Lebih tepatnya lagi mendadak sakit jantung. Bertubi-tubi rasa syok yang ia dapatkan ketika bertemu dengan Astrid tadi sungguh membuat ia merasa seperti tidak menginjak bumi lagi. Ia layaknya sedang berada di awang-awang. Dengan banyak pertanyaan yang mengelilinginya.
Anak aku? Anak aku yang aku perjuangkan selama bertahun-tahun. Yang aku kandung selama sembilan bulan. Yang ngebuat aku nangis-nangis karena nyaris sepuluh jam bukaan aku nggak nambah-nambah. Yang aku sayang jiwa dan raga. Yang cakep, pintar, dan baik. Anak aku yang selama ini selalu jadi kebanggaan. Tapi, ya Tuhan. Kenapa dia harus ngalamin nasib begini menyedihkannya?
Berusaha untuk tidak terjatuh di lantai lantaran kakinya yang goyah, Sekar berpegang pada railing tangga. Menaiki anak tangga satu persatu.
Vanny. Iya, ini semua gara-gara Vanny. Kenapa dia mutusin Haris? Seharusnya dia itu bangga karena dicintai sama Haris. Harusnya bersyukur. Bukannya malah mutusin Haris.
Geram yang ia rasakan membuat Sekar langsung menuju ke kamar Haris. Ia mengetuk sekilas dan membuka pintu kamar sang putra. Ketika ia masuk, Haris menyambut kedatangannya dengan wajah berseri-seri.
Untuk sejenak Sekar tertegun. Tidak ada lagi pucat di wajah Haris. Ia sekarang tampak berseri-seri. Dan itu membuat Sekar menahan ringisannya. Jelas ia tak bisa menampik kenyataan yang terpampang di depan matanya. Bukti valid yang tidak bisa dibantah oleh apa pun di dunia ini.
Ya Tuhan! Segininya efek Vanny untuk Haris?
Maka bisa dibayangkan betapa besar keinginan Sekar untuk langsung menyeret Vanny demi bicara empat mata. Rentetan pertanyaan sudah berbaris rapi di ujung lidah Sekar. Meminta untuk dilontarkan secepat mungkin demi mencerca cewek itu. Tapi, ia harus bersabar. Ia tidak boleh gegabah sedikit pun. Setidaknya untuk kali ini.
"Mama, udah pulang?"
Setidaknya suara Haris mampu meredam gejolak yang Sekar rasakan. Membuat pikiran dan niatnya yang ingin langsung bicara dengan Vanny teralihkan sejenak. Ia mengangguk seraya tersenyum.
"Iya. Baru aja dan Mama langsung ke sini," jawab Sekar. Sekilas ia melihat pada meja yang sudah rapi. "Kalian sudah selesai kerjanya?"
"Sudah, Ma. Ini Vanny lagi siap-siap mau pulang juga."
Mengatakan itu, Haris lantas beralih pada Vanny yang sudah berdiri dari duduknya. Dengan tas kerja dan tas laptop di masing-masing tangannya, cewek itu bersiap untuk berpamitan. Wajar memang. Saat itu sudah menginjak sore hari. Tepatnya sudah lewat dari jam empat petang. Bahkan bila di kantor, itu sudah melewati jam normal pulang kantor.
"Ehm ... kamu pulang pake apa, Van? Aku suruh Pak Diman antar aja ya?"
Tentunya Vanny menolak. Bagaimana bisa ada sekretaris yang diantar pulang oleh sopir bosnya?
"Eh? Nggak usah, Pak. Saya bisa naik taksi kok."
Namun, bukan Haris namanya kalau menerima penolakan. Ia bersikeras. Apa pun caranya ia akan memastikan Vanny pulang diantar oleh sopirnya.
"Udah, nggak apa-apa," kata Haris menggeleng sekali. "Lagian mobil saya juga harus dipanasin tiap hari."
Dan ketika Vanny ingin menolak kembali, Haris sudah keburu mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat ia menghubungi sang sopir.
"Halo, Pak Diman. Tolong siapin mobil ya. Antar sekretaris saya balik."
Sekarang Vanny tidak bisa menolak lagi. Ia hanya bisa pasrah mengangguk seraya mengucapkan terima kasih pada Haris.
"Kamu balik yang hati-hati. Nanti kalau udah sampe, kabari. Jangan sampe lupa."
Sudahlah pulang diantar sopir bos, eh ... ditambah dengan pesan pamungkas lagi. Jangan lupa memberi kabar kalau sudah sampai. Itu tentu saja membuat wajah Vanny terasa kaku seketika.
"I-iya, Pak," kata Vanny dengan gagap. "Kalau begitu saya permisi."
Haris tersenyum dan mengangguk. Membiarkan Vanny beranjak demi menyapa Sekar. Berusaha untuk bersikap sopan dengan senyum yang ia paksakan.
"Mari, Bu. Saya pulang."
Namun, bukan senyuman serupa yang Vanny dapatkan. Alih-alih justru sepasang mata menyipit yang melihat tajam padanya. Vanny meneguk ludah. Memutuskan untuk tidak peduli dan langsung saja beranjak dari sana. Hanya saja suara Sekar lantas terdengar di telinganya.
"Besok jangan lupa datang lagi. Tepat jam setengah tujuh pagi."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top