26. Gimana Gimana Gimana?

Setelah Haris melayangkan pertanyan itu, refleks ia menahan napas. Ia menatap Vanny. Menunggu jawaban cewek itu dengan jantung yang berdegup tak karuan.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Nyaris saja Haris merasa putus nyawa karena menahan napas sampai jawaban itu ia dapatkan dari Vanny. Beruntung, di detik keempat Vanny bersuara.

"Ris."

Mata Haris mengerjap sekali. "Ya?"

Rasa-rasanya badan Haris panas dingin saat ini saking tegangnya ia menunggu jawaban dari Vanny. Tapi, alih-alih mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia justru mendapati Vanny yang kembali meraba dahinya.

Vanny balas menatap Haris dengan sorot bingung. "Kamu kayaknya beneran sakit deh."

Dooong!

Haris melongo. Tercengang melihat reaksi Vanny yang kemudian memegang pipinya dan kembali lagi meraba dahinya. Berulang kali dan bergantian.

"Badan kamu makin panas. Ehm ... apa nggak sebaiknya kamu balik aja? Istirahat di rumah. Biar aku batalkan jadwal kamu hari ini."

Haris berdecak kesal. Menarik diri hingga tangan Vanny lepas dari dahinya. Gantian cewek itu yang melongo.

"Eh?"

Bertepatan dengan itu suara Diman terdengar. Memberitahukan bahwa mereka sudah sampai di kantor.

Haris beringsut. Merapikan jasnya yang sedikit berantakan. Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia langsung keluar. Meninggalkan Vanny yang sepertinya butuh waktu beberapa detik untuk mencerna keadaan. Dan ketika ia tersadar, ia buru-buru keluar pula.

"Pak."

*

Astrid bisa menerka bahwa ada yang tengah menyita pikiran Vanny kala itu. Lantaran tak hanya sekali, alih-alih beberapa kali ia memergoki Vanny yang mendehem dengan dahi mengerut. Persis seperti orang yang tengah berpikir.

"Kenapa?" tanya Astrid acuh tak acuh. Mata di balik lensa kacamata itu tetap fokus dengan berkas yang membuka di layar komputernya. "Kamu lagi mikirin sesuatu? Kayaknya dari tadi kamu agak kusut gitu, Van."

Pertanyaan yang dilayangkan oleh Astrid lebih dari sukses untuk menarik perhatian Vanny. Ia menoleh. Membuang napas panjang.

"Pak Haris kayaknya lagi sakit, Bu."

Astrid melirih singkat. "Oh."

"Tapi, saya menyarankan beliau untuk istirahat di rumah saja, eh ... dia malah nggak mau. Padahal saya udah siap untuk membatalkan semua jadwal beliau hari ini."

Astrid tetap tidak berpaling. Delapan jari tangannya dengan lincah bekerja di papan ketik komputer.

"Pak Haris nggak bakal mau balik di tengah jam kerja. Percuma saja."

Vanny diam mendengar hal itu.

"Tapi, ntar kalau misalnya beliau sudah merasa benar-benar sakit, baru deh beliau memutuskan nggak masuk kerja. Jadi ..."

Jari-jari tangan Astrid berhenti bergerak. Lebih dari itu, sekarang ia tampak berpaling dan melihat pada Vanny. Ia tersenyum.

"... tunggu aja waktunya. Karena kalau beliau udah memutuskan nggak masuk ke kantor, itu artinya sekretaris beliau yang harus kerja di rumahnya."

Bola mata Vanny membesar. Bahkan tanpa sadar mulutnya membuka dengan ekspresi tak percaya.

"K-kerja di rumahnya?"

Sepertinya Vanny perlu memverifikasi apakah pendengarannya masih normal atau sudah mengalami sedikit gangguan. Dan sayangnya anggukan Astrid lebih dari cukup untuk memberikan jawaban.

"Iya."

Tidak hanya sekadar mengangguk. Alih-alih Astrid menegaskannya dengan kata-kata pula.

"Kerja di rumahnya," lanjut Astrid. "Kita bawa beberapa pekerjaan ke rumah beliau dan kita mengerjakannya di sana. Ya ... bisa dianggap seperti pindah tempat kerja untuk sementara waktu."

Vanny sontak meneguk ludah dan memejamkan mata. Bayangan bila ia harus bekerja di rumah Haris seketika melintas di benaknya. Ia menggeleng. Berusaha mengenyahkan kemungkinan yang satu itu dan mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

Nggak, Van, nggak mungkin. Kalaupun memang harus kerja di rumah Haris, itu pasti Bu Astrid yang disuruh ke sana. Bukan kamu. Tenang aja.

Namun, seperti alam yang memang tidak mengizinkan Vanny untuk bisa tenang, sejurus kemudian kembali terdengar suara Astrid.

"Tapi, seenggaknya sekarang saya bersyukur karena Pak Haris sudah punya sekretaris kedua."

Mata Vanny membuka dan mendapati Astrid yang tersenyum kepadanya. Sepertinya ia mendengar sesuatu yang tidak ia inginkan deh.

"Karena kalau ada apa-apa dengan Pak Haris maka saya kan tetap harus ada di kantor."

Tangan Astrid terulur. Memegang tangan Vanny. Kala itu Vanny berani bersumpah. Bulu kuduknya meremang seketika.

"Dan artinya kamu yang ke rumah beliau."

Detik itu juga, Vanny segera berdoa semoga Haris cepat sembuh. Hanya saja sepertinya doa Vanny tidak dikabulkan oleh Tuhan. Karena ketika keesokan harinya ia datang ke kantor, satu pesan masuk ke ponselnya.

[ Haris Mantan Resek ]

[ Van, aku nggak masuk hari ini. ]

[ Bawain kerjaan aku ke rumah. ]

[ Aku tunggu jam sepuluh pagi. ]

Vanny pun hanya bisa meremas ponsel itu dengan geram. Mata memejam dan berusaha menahan raungannya untuk tidak pecah histeris.

Hariiis!

*

Bukan ingin Haris untuk sakit. Tapi, bagaimana tidak sakit sungguhan kalau ia tidak tidur semalaman sementara seharian ia bekerja tiada henti? Tubuh tentu saja butuh istirahat. Dan itu tidak ia berikan. Alhasil ketika matahari menyingsing keesokan harinya, Haris mendapati kepalanya benar-benar berat.

"Ya Tuhan, anak Mama."

Sekar panik. Meraba dahi Haris yang terasa panas. Ia dapati ada banyak bulir keringat yang memenuhi wajah sang putra.

"Badan kamu panas banget, Sayang. Kamu sakit. Hari ini kamu nggak usah ke kantor."

Bergelung di balik selimut dengan mata yang memejam, Haris tampak menggigil kedinginan. Ia mengangguk.

"I-iya, Ma. Hari ini aku emang rencananya nggak ke kantor."

Sedikit syukur menyeruak di dada Sekar. Tapi, tentunya ia masih khawatir.

"Mama panggil dokter ya? Biar kamu diperiksa."

Haris menggeleng. "Kemaren aku udah ke dokter, Ma. Dan itu obat aku di nakas."

Sekar melihat ke nakas. Benar saja. Ada obat-obatan di sana. Tapi, hal itu justru membuat ia terpikir hal lain.

"Berarti kamu udah sakit dari kemaren ya?" tanya Sekar dengan dahi mengerut. "Ya ampun, Nak. Kalau kemaren udah ngerasa nggak enak badan, harusnya kamu nggak usah full seharian di kantor."

Haris diam saja. Mulai bisa merasa ke mana pembicaraan pagi itu akan berujung. Tentu saja omelan Sekar. Sementara di dalam hati, Haris pun menggerutu.

Maunya sih iya. Kemaren itu harusnya aku balik aja. Tapi, kan aku mau lihat Vanny seharian.

Tentunya Haris tidak akan mengatakan itu blak-blakan pada sang ibu. Bukannya apa. Tapi, ia khawatir kalau Sekar justru nanti akan menghubungi Vanny dan menghalalkan berbagai cara untuk memastikan cewek itu ada di rumah agar Haris tidak kepikiran untuk pergi ke mana pun selagi masih sakit.

"Pokoknya hari ini kamu harus istirahat di rumah. Sampai kamu sembuh lagi, jangan pergi ke mana pun."

Haris hanya mengangguk. Sungguh kepalanya terasa amat berat kala itu. Jangankan untuk bicara panjang lebar, sekadar untuk membuka mata pun ia tak sanggup.

"Mama panggilin Mbak Rani untuk nyiapin sarapan kamu. Ingat. Dipaksa makan, Ris. Biar kamu bisa minum obat."

Rasanya ingin sekali Haris menolak. Namanya juga orang sakit. Sudah sewajarnya bukan bila kehilangan selera makan? Tapi, ia tidak bisa mendebat sang ibu kala itu. Lagai-lagi. Karena kepalanya berat.

Ugh! Ini pasti gara-gara aku kurang tidur dua malam ini.

Beranjak sejenak dari tepian tempat tidur Haris, Sekar membuka pintu kamar. Ia melangkah keluar dan kebetulan ada seorang asisten rumah tangga yang melintas.

"Mbak, tolong panggilkan Rani. Suruh dia siapin sarapan buat Haris. Sekalian bawain ke kamar."

"Baik, Nyonya."

Sekar kembali masuk. Duduk di tempat semula dan tangannya langsung meraba-raba di balik selimut. Mencari kaki Haris.

"Badan kamu sakit nggak? Mama pijitin ya?"

Haris menggeleng. Saat ini yang ia inginkan hanya tidur saja. Tapi, dengan kepala berat rasanya sulit bagi dirinya untuk bisa tidur.

Namun, ketika Sekar mendapati Haris menggeleng bukan berarti ia akan mengurungkan niatnya. Pada kenyataannya wanita paruh baya itu tetap melakukan apa yang ingin ia lakukan. Ia menemukan kaki Haris yang menekuk di balik selimut. Berusaha untuk meluruskannya sebisa mungkin dan mulai memijatnya.

Sungguhpun Haris tidak mau dipijat oleh sang ibu, tapi nyatanya ia lebih tidak mau lagi berdebat pagi-pagi. Akhirnya ia memilih diam saja. Seraya menggigil, ia berusaha untuk tidur. Sedikit pun ia tidak membuka mata dan berharap dalam waktu dekat kesadarannya akan menghilang.

Selama tangannya memijat, hati Sekar tak henti-hentinya merasa sakit. Rasanya persis seperti ada yang menusuk-nusuk di dalam sana.

Ya ampun anak kesayangan aku. Gara-gara cewek itu, Haris jadi sakit kayak gini.

Oh, Sekar bukannya tidak bisa meraba keadaan. Berkat ia melihat keadaan Haris yang sudah suntuk dua hari yang lalu, ia bisa dengan mudah menarik kesimpulan pagi ini. Bahwa penyebab Haris sakit adalah cewek yang menjauhinya.

Emangnya apa sih kurang anak aku? Tega-teganya itu cewek buat Haris sampai menderita begini.

Berusaha untuk tetap sabar pun percuma. Sekar ini adalah tipe ibu yang akan mengupayakan apa pun demi putranya.

Awas saja ya. Nanti kalau aku ketemu sama cewek itu, akan aku pastikan dia nggak bisa nolak Haris lagi. Pokoknya aku nggak terima anak aku dibuat menderita begini.

Janji sudah Sekar buat di dalam hati. Ia berharap semoga saja ia bisa bertemu dengan cewek itu. Dalam waktu dekat. Sebelum sakit Haris semakin parah.

"Tok! Tok! Tok!"

Sekar berpaling. Semua kekusutan yang memenuhi benaknya hilang seketika. Ia menoleh ke pintu dan berkata.

"Masuk."

Seorang asisten rumah tangga masuk. Dengan nampan di tangannya, ia melangkah sopan. Menghampiri snag nyonya rumah yang tengah memijat putranya.

"Ini sarapannya, Nyonya."

Rani menaruh nampan itu di nakas sementara Sekar memanggil nama Haris dengan lembut.

"Ris, makan dulu ya?"

Tak ada jawaban yang Sekar dapatkan. Lebih dari itu, satu respon pun tidak ia terima. Haris terlihat tenang.

"Ris? Kamu tidur?"

Walau napas Haris masih terlihat gelisah, tapi wajahnya terlihat sebaliknya. Tampak lebih damai dari sebelumnya. Sekar pun membuang napas panjang. Ia beralih pada Rani.

"Bawa lagi makanannya ke luar. Haris sudah keburu tidur. Nanti siapkan lagi yang baru kalau dia sudah bangun."

Rani mengangguk patuh. "Baik, Nyonya."

Sepeninggal Rani, Sekar pun berniat untuk keluar pula dari kamar putranya. Tapi, terlebih dahulu ia memastikan bahwa Haris merasa nyaman. Ia memperbaiki letak selimut Haris dan mengecek suhu di kamar itu.

Di luar, Sekar memilih untuk duduk tak jauh dari kamar Haris. Itu satu ruangan di rumah yang jarang ia singgahi sebenarnya. Tapi, karena Sekar khawatir Haris membutuhkannya sewaktu-waktu, ia pun tak ingin mengambil risiko. Dengan ditemani secangkir teh, sepiring camilan, dan satu majalah, Sekar duduk di sana.

Entah sudah berapa lama Sekar duduk di sana seorang diri. Tanpa ada Arif karena sang suami pun pagi-pagi sudah berangkat kerja. Hanya saja kala itu ketika ia sedang hanyut dalam artikel yang ia baca, seorang asisten rumah tangga mendatanginya.

"Nyonya, di bawah ada sekretaris Pak Haris."

Sekar menaruh majalahnya di meja. Mengangkat wajah demi melihat sang asisten rumah tangga, ia bertanya.

"Oh, Bu Astrid sudah datang?"

Asisten rumah tangga itu menggeleng. "Bukan, Nyonya. Bukan Bu Astrid yang datang. Dia masih muda dan saya belum pernah bertemu dengan sekretaris Tuan Muda yang satu ini."

"Eh?"

Sekar tampak bingung. Dahinya terlihat mengerut.

"Masih muda?"

Asisten rumah tangga itu mengangguk.

"Kamu yakin dia sekretaris Haris?"

"Yakin, Nyonya."

Berbekal jawaban itu maka Sekar pun bangkit dari duduknya. Ia turun demi menemui cewek muda yang mengaku sebagai sekretaris Haris.

Dari kejauhan Sekar menyipitkan mata. Melihat pada seorang cewek yang mengenakan pakaian khas ala kantoran. Terlihat rapi dan cantik. Dan ketika Sekar menghampirinya, ia segera bangkit. Dengan sopan mengulurkan tangan. Sekar menyambutnya seraya bertanya.

"Kamu sekretaris Haris?"

Sekar bisa melihat kegugupan di wajah cewek itu. Matanya pun tak akan salah melihat bagaimana ia yang meneguk ludah.

"I-iya, Bu."

Tatapan Sekar berubah menyelidik. "Saya belum pernah bertemu kamu sebelumnya," katanya tanpa tedeng aling-aling. "Nama kamu siapa?"

Berusaha tersenyum, cewek itu menjawab.

"Vanny, Bu. Nama saya Vanny."

Lirihan panjang dengan penuh irama melantun dari bibir Sekar. Ia tampak manggut-manggut. Sedikit, ia masih ragu akan kebenaran bahwa cewek di hadapannya itu adalah sekretaris Haris. Tapi, keraguannya itu hilang total sedetik kemudian. Tepat ketika terdengar suara menggelegar yang pecah di udara.

"Vanny!"

Sekar dan Vanny sontak berpaling. Melihat ke sumber suara. Tepatnya pada seorang cowok yang berada di lantai dua. Mata Sekar sontak melotot.

"Haris?"

Itu memang adalah Haris. Yang dengan kaki gemetaran ia berusaha berpegang pada railing lantai atas. Saat itu ia seperti abai akan keberadaan Sekar. Ia tersenyum pada Vanny dan melambai-lambai. Layaknya ia sedang berada di kapal pesiar yang kedatangannya akan disambut oleh sang pujaan hati.

"Akhirnya kamu datang juga."

Tidak perlu ditanya. Kalau bisa saat itu juga Vanny ingin rasanya berlari pergi dari rumah itu. Terutama ketika Sekar yang langsung melihat pada Vanny dengan sorot tajam. Ia hanya bisa tersenyum kaku.

Ris! Sebenarnya kamu itu sakit fisik atau sakit jiwa sih?!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top