25. Ehm ... Ada Apa Ya?

Sekar tau ada yang tidak beres dengan Haris. Dari kepulangannya tadi yang menampilkan wajah kusut dan manyun di bibir, ia yakin putranya itu tidak sedang baik-baik saja. Maka sebelum jam makan malam tiba, berbekal satu teh hambar, Sekar mengetuk pintu kamar Haris.

"Masuk."

Sekar membuka pintu dan mendapati sang putra tunggal sedang duduk bertopang dagu. Ia melirik pada sang ibu dan membuang napas panjang. Melihat teh yang Sekar bawa membuat wajah Haris tertekuk makin dalam.

"Loh loh loh? Anak Mama kenapa?"

Setelah menaruh teh di hadapan Haris, Sekar lantas turut duduk. Sedikit menarik kursi jati itu untuk mendekati sang putra. Meraih tangannya yang berada di atas meja bundar itu, Sekar pun bertanya lagi.

"Kenapa, Ris? Kok muka kamu kelihatan suntuk banget? Ada masalah di kantor? Atau ..."

Haris melirik lagi pada sang ibu. Seketika saja Sekar terpikirkan oleh kemungkinan lain yang sangat bisa membuat anaknya terlihat kusut seperti itu.

"... ada masalah sama cewek itu?"

Manyun di bibir Haris makin maju. Ia merengek. "Ah, Mama. Pakai diingatin lagi. Padahal aku mau lupain bentar. Nggak mau mikirin soal itu dulu."

"Ya Tuhan."

Sekar buru-buru menutup mulutnya. Mencegah kesiap terlotnar dan membuat perasaan Haris makin memburuk.

"Mama minta maaf," ujar Sekar kemudian. "Mama nggak tau loh kalau kamu lagi ada masalah sama dia."

Haris membuang napas panjang. Di dalam hati, ia menggerutu.

Kan? Malah diomongin lagi. Kadang-kadang Mama ini nggak bisa lihat situasi dan kondisi deh.

Sebisa mungkin, Haris mencoba untuk menjaga suasana hatinya. Menekan rasa kesalnya yang seperti makin tersulut karena perkataan sang ibu. Ia tau, bukan maksud Sekar untuk seperti itu. Tapi, tetap saja ujung-ujungnya Haris makin dongkol kalau ingat apa yang terjadi.

"Kamu nggak mau cerita sama Mama?"

Sekar membelai kepala Haris. Cowok itu menggeleng.

"Aku nggak mau cerita dulu, Ma. Takut ntar malah buat pikiran buruk di kepala aku malah makin menjadi-jadi lagi."

"Baiklah," angguk Sekar dengan penuh pemakluman. "Tapi, kamu jangan manyun terus. Kalau kamu gini, ntar gantengnya hilang loh."

Haris hanya bisa mengangguk lemas. Kalaupun ingin menuruti keinginan hatinya, tentu saja Haris mau tersenyum lebar setiap saat. Alih-alih manyun yang membuat capek jiwa raganya. Tapi, berkat Pria Itu perasaan Haris benar-benar tidak menentu.

"Argh!"

Menjelang tidur malam itu, Haris belum bisa mengenyahkan Pria Itu dari benaknya. Tidak bisa tidur memaksa dirinya berguling tak karuan di tempat tidur. Hingga selimut dan berantakan, pun begitu juga dengan rambutnya.

"Van!"

Haris duduk. Mengacak-acak rambutnya yang sudah tak tau bentuk lagi. Ia merengek dengan menendang-nendang kedua kakinya tak karuan.

"Siapa Pria Itu?"

*

Vanny mengerutkan dahi ketika menyambut kedatangan Haris di pelataran kantor keesokan harinya. Datang dengan penampilan yang tak biasa, Vanny menyambut tas kerja Haris dengan benak yang bertanya-tanya.

"Kamu lagi sakit?"

Tentu saja saat itu Vanny dan Haris sudah berada di dalam lift hingga tak ada pembicaraan formal di antara keduanya.

"Kamu keliatan lesu dan kusut banget hari ini."

Tidak mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya, Vanny kembali bersuara. Kali ini seraya sedikit melongokkan kepalanya. Demi bisa melihat wajah Haris dengan lebih saksama. Haris melirik dengan sorot yang membuat Vanny merasa tak nyaman.

"Emangnya apa peduli kamu kalau aku sakit?"

Vanny mengerjapkan mata. "Eh?"

"Kalau aku lesu dan kusut ... emang apa peduli kamu?"

Vanny bengong. Tidak tau harus berkata apa selain mengambil kesimpulan di benaknya.

Wah! Kayaknya beneran sakit deh ini Haris.

Lift masih terus bergerak. Setidaknya butuh sekitar dua puluh lima lantai lagi untuk mereka tiba di lantai yang dituju.

Vanny mengangkat tangannya. Mendarat di dahi Haris dan merasakan suhu tubuh cowok itu.

"Sedikit hangat sih," gumam Vanny. "Kayaknya kamu demam deh."

Haris diam saja. Tidak mengomentari diagnosa Vanny. Pun tidak mengatakan apa pun ketika cewek itu mengeluarkan ponselnya. Mencari satu kontak di sana dan ia berkata.

"Biar aku buat janji sama dokter. Khawatir kamu beneran sakit."

Wajah lesu Haris berpaling. Benar-benar melihat Vanny ketika cewek itu menghubungi kontak dokter di ponselnya. Ia tidak heran. Karena setelah mengisi posisi sebagai sekretaris kedua, tentu saja Vanny sudah menyimpan beberapa nomor penting di ponselnya. Termasuk di dalamnya adalah dokter yang biasa menangani perihal kesehatan cowok itu.

"Selamat pagi, Dok. Hari ini Pak Haris kemungkinan akan periksa kesehatan. Ehm ... beliau sedikit demam."

Haris tidak peduli apa yang dikatakan oleh Vanny dengan dokter pribadinya itu. Acuh tak acuh ia membuang napas seraya membawa kembali tatapan matanya ke depan. Melihat pada pintu lift yang memantulkan bayangan dirinya dan Vanny.

"Apa, dok? Anemia? Ehm ... bentar."

Mendadak saja Vanny meraih wajah Haris. Tanpa peringatan sama sekali ia menarik turun kelopak mata cowok itu.

"Eh? Kamu ngapain?"

Refleks, Haris menepis tangan Vanny di wajahnya. Dan mungkin lantaran kaget, Haris sampai tidak memerhatikan bagaimana tepisan yang ia lakukan terlampau kuat hingga membuat tubuh Vanny sontak terhuyung.

"E-e-eh?"

Tangan Vanny yang menahan ponsel di telinga sontak bergerak. Tanpa melepaskan alat komunikasi itu, ia berusaha untuk bertahan pada Haris. Begitu pula dengan Haris. Yang ketika ia melihat Vanny terhuyung, tentu saja dengan sigap meraih pinggangnya. Dengan cepat dan tepat. Mencegah cewek itu untuk benar-benar ambruk di dadanya.

Vanny mengerjapkan mata. Haris pun melakukan yang sama. Dengan posisi wajah bertemu wajah, keduanya terlihat sama-sama bengong.

"Ting!"

Pintu lift membuka di waktu yang tepat. Dan bersamaan dengan itu, satu kesiap terdengar.

"Ya Tuhan."

Vanny dan Haris sama-sama tersentak. Abai dengan keadaan mereka kala itu, keduanya sama-sama menoleh. Mendapati Astrid yang tampak salah tingkah.

"Ehm ...," lirih Astrid seraya tersenyum kaku. "S-silakan dilanjutkan dulu, Pak. Saya pakai liftnya nanti saja."

Tuntas mengatakan itu, Astrid memutuskan untuk putar badan. Beranjak dari sana dengan memejamkan mata. Malu karena melihat bos dan rekan kerjanya dalam keadaan yang tak sepantasnya ia lihat.

T-tunggu dulu. Kalau untuk urusan malu, kenapa justru Astrid yang malu? Bukankah seharusnya ....

Mungkin Vanny dan Haris belum menyadari apa yang terjadi. Hingga beberapa detik kemudian, setelah mereka melihat Astrid yang menjauh dari lift, barulah keduanya sama-sama berpaling lagi. Saling menatap. Dan lalu ....

"Aaah!"

Vanny menjerit seraya melepaskan diri dari Haris.

*

Vanny tidak tau kalau menemani bos untuk periksa kesehatan termasuk ke dalam daftar pekerjaan sekretaris. Tapi, yang pasti kali ini ia sudah bersama dengan Haris di ruang konsultasi dr. Tari. Wanita paruh baya itu memberikan sambutan yang hangat untuk keduanya.

"Saya nggak tau kalau Bapak sudah punya sekretris yang baru," kata dr. Tari mengangkat topik basa-basi sebelum memulai pemeriksaannya. "Waktu Bu Vanny ngubungin saya kemarin, saya sempat bingung juga."

Haris melirik Vanny yang duduk di sebelahnya. "Dia sekretaris kedua saja, Dok. Mungkin baru dua bulanan ini."

"Oh," lirih dr. Tari sambil tersenyum pada Vanny. Dan lalu ia kembali pada Haris. "Mari, Pak."

Vanny menyingkir. Membiarkan Haris melakukan pemeriksaannya. Dan sementara itu, Vanny menyibukkan diri dengan ponselnya. Kebetulan. Ada pesan dari Esti.

[ B-Estie ]

[ Van, berapa hari aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan. ]

[ Terus aku baru ingat. ]

[ Kapan traktiran ultah kamu? ]

Buru-buru Vanny menutup mulutnya. Khawatir tawanya akan meledak di sana. Ehm ... rumah sakit jelas bukan tempat yang tepat untuk tertawa.

[ B-Estie ]

[ Malam Minggu besok gimana? ]

Kebetulan, Vanny juga perlu menyantaikan pikirannya. Perjalanan ke Bengkulu dan langsung disambut pekerjaan di kantor tanpa ada jeda membuat ia merasa sedikit suntuk. Menghabiskan waktu demi membicarakan hal-hal tak penting bersama dengan Esti tentu merupakan metode relaksasi yang sangat ia butuhkan.

[ B-Estie ]

[ Siiip. ]

[ Itu emang waktu yang sempurna untuk para jomlo kayak kita. ]

Sekelumit senyum geli muncul di wajah Vanny. Tapi, bukan Esti namanya kalau tidak bisa mengubah senyum geli itu menjadi manyun geram dalam hitungan detik yang amat singkat.

[ B-Estie ]

[ Ups! Sorry. ]

[ Kamu udah otw nggak jomlo lagi kan? ]

Tuh kan. Esti memang ahlinya dalam urusan mengubah suasana perasaan Vanny.

[ B-Estie ]

[ Tapi, nggak apa-apa deh. ]

[ Yang penting kita masih bisa jalan. ]

[ Kamu tau nggak? ]

[ Aku mau cerita. ]

[ Belakangan ini ada cowok cakep yang suka datang ke butik. ]

[ Dan dia sering lirik-lirik manja gitu ke aku. ]

Bagaimana tidak ahli dalam urusan mengubah suasana perasaan Vanny? Tadi Vanny senyum-senyum geli, terus jadi manyun geram, eh ... sekarang jadi tertawa.

"Kamu senang lihat saya sakit?"

Tawa Vanny sontak berhenti. Ia melihat Haris yang sudah berdiri di dekatnya. Memaksa Vanny untuk menyingkirkan dulu keinginannya membalas pesan Esti yang satu itu. Ia bangkit.

"Eh, Pak. Sudah selesai pemeriksaannya?"

Haris membuang napas malas. Ia mengangguk. "Kenapa? Kamu mau saya lama-lama periksanya?"

Buru-buru Vanny menggeleng. Perasaannya tidak enak.

Kayaknya Haris emang agak beda kan hari ini? Lebih sensi nggak sih?

Mengabaikan pemikiran untuk menanyakan itu secara langsung pada Haris, Vanny memaksa diri untuk tersenyum. Lagi, ia menggeleng.

"Nggak, Pak."

Sebenarnya tidak ada yang bermasalah dengan kesehatan Haris. Praktis hanya lelah dan kurang istirahat saja. Sedikit demam memang, tapi itu bisa dikatakan normal saja.

"Bapak harus istirahat yang cukup. Jangan sampai kurang tidur. Dan---"

Mata Vanny mengerjap berulang kali. Sekarang mereka sudah berada di jalan menuju kantor lagi. Dan ketika Vanny mengatakan kembali pesan-pesan dr. Tari tadi, ia mendapati Haris yang menatap dirinya.

Vanny terdiam untuk beberapa saat dengan ekspresi bingung dan salah tingkah. Meneguk ludah dan membawa matanya melihat berkeliling, ia tidak menyadari entah sejak kapan penyekat di dalam mobil itu telah naik. Sepertinya ia terlalu fokus membaca resep vitamin untuk Haris hingga ia abai dengan fakta yang satu itu.

"Ehm."

Haris masih menatap Vanny tanpa kedip sama sekali. Itu tentu saja membuat Vanny merasa jengah dan makin salah tingkah. Ia mengusap tekuknya. Tanpa sadar sedikit beringsut ketika menyadari rok yang ia kenakan naik dan nyaris memperlihatkan pahanya lebih banyak dari yang seharusnya.

"K-kenapa?"

Haris tidak peduli sama sekali dengan fakta rok yang Vanny kenakan naik. Nyatanya yang dari tadi ia lihat adalah wajah Vanny. Ia membuang napas panjang.

"Aku mau nanya, Van."

"Mau nanya apa?" tanya Vanny sedikit terbata. "Tanya aja."

Tak langsung melayangkan pertanyaannya, Haris justru menarik udara dalam-dalam terlebih dahulu. Sungguh sebenarnya ia tidak sanggup bila nantinya ia mendapatkan jawaban yang tidak ia harapkan. Tapi, Haris sudah bertekad.

Jangan jadi penakut, Ris. Jadi cowok harus berani.

Haris menguatkan diri. Lalu pertanyaan itu terlontar pula dari bibirnya. Tepat ketika laju mobil berhenti di depan pelataran kantor.

"Kamu udah punya cowok lain?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top