24. Dalam Tanda Tanya Dugaan

Ketika Vanny melihat Haris memegang ponselnya, langsung saja cewek itu menaruh gelas yang ia bawa ke atas meja. Lantas ia buru-buru mengambil ponselnya dengan mata mendelik.

"Nggak sopan. Lihat-lihat hp orang."

Haris yang masih sedikit linglung berkat pertanyaan siapakah Pria Itu yang berputar-putar di benaknya, mengerjap. Kaget dengan kehadiran Vanny yang tiba-tiba. Lebih kaget lagi ketika Vanny mengambil alih ponselnya.

"Oh," kesiap Haris salah tingkah. "Sorry. Tadi hp kamu bunyi. Aku pikir penting. Makanya---"

Haris menggantung ucapannya saat ia melihat wajah Vanny yang berubah ketika melihat ponselnya. Tampak menarik napas dalam-dalam dengan wajah kesal dan lalu memasukkan benda tersebut ke saku roknya. Ia menatap Haris.

"Oke. Kalau gitu ... sekarang waktunya buat kamu balik. Kamu udah terlalu lama di sini."

Mengatakan hal tersebut, Vanny langsung mendorong tubuh Haris tanpa aba-aba sama sekali. Mengarahkan langkah kaki cowok itu untuk menuju pintu. Haris berusaha untuk mengelak, tapi terlambat. Vanny telah berhasil mendesak Haris hingga ke pintu. Tangannya terulur dan membuka pintu dengan cepat. Satu senyuman lebar tersungging di wajah Vanny.

"Waktunya buat kamu pulang, Ris," kata Vanny mengabaikan sorot tak terima di mata cowok itu. "Kamu lupa apa pesan Mama? Kalau balik itu langsung balik. Jangan mampir ke mana-mana. Ntar diculik orang loh."

"Kalau kamu yang nyulik, aku mah ikhlas lahir batin, Van."

Vanny tak peduli. Ia terus saja mendorong Haris hingga cowok itu mau tak mau melangkah keluar. Tepat ketika ia sudah di luar, Haris teringat sesuatu.

"Van, aku tadi mau minum loh. Aku ..."

"Braaak!"

Pintu sudah menutup tepat di depan wajah Haris. Sontak membuat ia memejamkan mata. Tapi, anehnya ia terus lanjut bicara.

"... haus."

Haris membuka mata seraya membuang napas panjang. Sudahlah kepalanya penuh dengan pertanyaan tentang Pria Itu, eh ... sekarang ia diusir lagi oleh Vanny. Mana ia belum minum lagi.

"Kreeet."

Mendadak saja pintu membuka. Haris sontak tersenyum melihat wajah Vanny yang muncul di balik pintu. Sepertinya cewek itu berubah pikiran. Tidak jadi mengusirnya.

"Van!" seru Haris senang. "Kamu---"

"Ini minum kamu."

Haris melihat satu gelas berisi air putih diberikan oleh Vanny. Ia menyambut gelas itu dengan bingung. Tapi, ketika ia akan lanjut bicara, Vanny sudah keburu berkata.

"Ntar kalau sudah selesai minum ..."

Mata Vanny melirik ke lantai. Tepat di sebelah kaki Haris.

"... taruh aja gelasnya di sana. Dan balik ntar hati-hati di jalan."

Haris bengong. Melihat pintu yang kembali menutup di depannya dan lantas ia beralih pada gelas di tangannya. Sungguh. Seumur hidup bertamu, Haris tidak pernah diperlakukan seperti itu.

*

Vanny mengintip melalui lubang pintu. Melihat dengan menahan geli ketika Haris meneguk habis air putih di gelas iu dan lantas menaruh gelas kosong tersebut di lantai. Tak lama kemudian Haris pun berlalu dari sana.

"Ah. Akhirnya dia balik juga," desah Vanny lega seraya beranjak dari sana. Duduk di sofa yang tadi ia duduki bersama dengan Haris, Vanny memilih untuk beristirahat sejenak. Menyandarkan punggung dan membawa tatapannya untuk menuju langit-langit. "Sekarang aku bisa istirahat juga."

Vanny letih. Rasanya ingin langsung merebahkan tubuh di atas kasur saja. Tapi, sebelum ide itu ia realisasikan, satu denting dari ponselnya membuat Vanny teringat akan sesuatu. Bahwa ada pesan dari Bhakti yang belum ia baca. Dan kebetulan. Ternyata pesan yang kembali masuk ke ponselnya itu lagi-lagi berasal dari sang ayah.

[ Pria Itu ]

[ Siapa cowok yang pergi dengan kamu ke makam Mama? ]

[ Apa pacar kamu? ]

[ Siapa namanya? Apa Papa boleh ketemu sama dia? ]

Vanny membuang napas panjang. Ia sama sekali tidak berniat untuk membalas pesan tersebut. Apalagi karena pertanyaannya yang menyinggung soal Haris.

"Siapa juga yang pacaran sama Haris? Ck. Dan kalaupun aku emang pacaran sama Haris, rasa-rasanya aku juga nggak mau laporan sama dia. Emangnya dia siapa? ]

Vanny melempar asal ponselnya ke sofa. Ia amat lelah. Dan sepertinya saking lelahnya ia tak mampu pergi ke kamar. Biarlah. Vanny tidak masalah bila harus merebahkan diri di sofa itu.

*

Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, benak Haris tidak henti-hentinya menggemakan satu hal yang sama. Pria Itu. Selalu tentang Pria Itu.

"Ehm ...."

Berbekal tangan kiri yang mengendalikan kemudi, Haris membawa tangan kanannya untuk beristirahat di pintu mobil. Wajah cowok itu terlihat serius dengan ujung jari yang sesekali mengusap ujung dagu. Ia berpikir.

"Siapa ya pria itu? Ehm ...."

Berulang kali berpikir dan bertanya pada dirinya sendiri, Haris tidak menemukan petunjuk pun tentang pria itu. Decakan kesalnya pun terlontar.

"Ah! Seandainya tadi Vanny agak lama dikit datangnya, kan aku bisa tuh ngambil nomor Pria Itu."

Haris diam lagi. Berusaha untuk tetap fokus pada jalanan di depan sana, ia mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang menyusul untuk memenuhi kepalanya. Ia menggeleng, sekali.

"Nggak," kata Haris kemudian. "Nggak mungkin kan itu semacam mantan atau cowok yang lagi dekat sama Vanny?"

Hening sejenak. Hanya terdengar bising kendaraan lain di luar sana. Haris menggeleng lagi.

"Nggak. Nggak mungkin ah. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, Ris."

Namun, Haris sendiri merasakan keraguan itu. Perasaannya menjadi tidak tenang.

"Kalau bukan semacam mantan atau cowok yang lagi dekat sama dia," lirih Haris lagi. "Apa itu semacam pacar yang lagi dalam masa break gitu?"

Tubuh Haris mendadak merinding begitu saja. Bulu kuduknya terasa meremang semua. Kembali, ia menggeleng.

"Nggak mungkin. Vanny nggak mungkin udah punya pacar."

Hanya saja ketika Haris berusha untuk meyakinkan dirinya, ia mendapati dirinya justru diliputi keraguan yang membuat ia kacau. Alhasil ia pun meremas kemudi.

"Kalau itu bener-bener cowok yang lagi deket sama Vanny gimana? Terus tadi dia lihat aku dan Vanny bareng. Cemburu dan nuntut penjelasan. Argh! Nggak mungkin kan?"

Rasa-rasanya Haris mau gila saja membayangkan hal tersebut. Kan tidak lucu ketika ia berusaha merebut kembali hati Vanny, ternyata ia bukan hanya bertaruh dengan kejadian masa lalu yang belum terungkap apa alasannya. Melainkan ia juga sedang bertarung dengan cowok lain yang juga mengharapkan hati Vanny.

Mobil Haris masuk melewati gerbang rumah. Meluncur terus hingga berhenti di pelataran rumah dengan jarak yang aman dari mobil asing di depan sana. Sedikit menyipitkan mata ketika merasa sedikit familiar dengan warna dan plat kendaraan itu, ia melepas sabuk pengaman dengan asal.

"Argh! Yang bener aja sih. Kalau Vanny lagi ada hubungan sama cowok lain, apa itu artinya aku semacam pebinor?"

Haris keluar dari mobil. Sambil membawa tas kerjanya dengan tampang kusut, ia melangkah menaiki undak-undakan. Dan ketika kakinya baru menyentuh teras rumah, ada satu suara yang menyapa indra pendengarannya.

"Haris! Akhirnya kamu pulang juga."

Sontak saja Haris melirik pada mobil yang terparkir di depan mobilnya itu. Matanya terpejam dramatis dengan ekspresi menahan kesal.

Ya ampun. Pas lagi berantakan gini, eh ... muncul aja tukang kacau.

Seorang cewek menghampiri Haris. Dengan penampilan modis ala cewek zaman kini, ia memiliki tatanan rambut yang rapi dalam potongan edgy bob hair. Pemilihan yang tepat untuk memamerkan jenjang lehernya yang cantik.

Cewek itu mengenakan gaun selutut bewarna hitam dengan satu ikat pinggang modis yang melingkari tubuhnya. Tanpa lengan, tapi tidak memberikan kesan seksi sama sekali. Alih-alih terlihat gaya dalam nuansa feminin.

"Kok kamu lama sih baliknya? Aku udah nungguin dari tadi loh."

Kembali melayangkan pertanyaan pada Haris, cewek itu tampak tidak segan-segan meraih tangan Haris. Ingin menggandengnya, tapi Haris menolaknya. Dengan memasang satu senyum terpaksa di wajah, Haris melepaskan tangan cewek itu dari tangannya.

"Tasya," lirih Haris penuh penekanan. "Jangan pegang-pegang ya. Sore ini panas. Aku rada pengap."

Cewek itu memang adalah Tasya. Yang sudah menunggu kepulangan Haris dari jam empat sore tadi. Nyaris menyerah dan ingin pulang saja ketika Sekar mengatakan tidak tau kapan sang putra akan pulang, nyatanya Tasya merasa dewi fortuna masih menaungi keberuntungan dirinya. Haris pulang sebelum Tasya memutuskan untuk pergi.

"P-pengap?" tanya Tasya mengerjapkan mata. "Maksud kamu?"

Haris membuang napas panjang. Ia menggeleng dengan tetap mempertahankan senyum terpaksanya itu.

"Nggak ada. Aku cuma mau istirahat aja."

Tanpa mengucapkan permisi sama sekali, Haris lantas beranjak. Masuk ke rumah tanpa mengira bahwa Tasya akan mengekorinya.

"Di kantor banyak kerjaan ya, Ris? Tumben kamu balik sesore ini. Ehm ... tadi Tante bilang minggu kemaren kamu ke Bengkulu. Kok nggak bilang-bilang sih kalau kamu pergi ke sana."

Haris menarik napas dalam-dalam. Dengan cuaca panas dan beberapa kejadian tak terduga yang ia alami hari itu, rasa-rasanya Haris tidak ingin mendapati ada beragam pertanyaan yang menuju pada dirinya. Terlebih lagi pertanyaan itu diberikan oleh Tasya.

"Haris."

Ketika Haris melintasi ruang keluarga, ada Sekar yang bangkit dari duduknya. Wajah paruh baya yang masih terlihat jelita itu memandang tak berdaya pada sang putra. Sepertinya Sekar paham akan rasa kesal yang sedang ditahan oleh anaknya. Ia pun buru-buru menghampiri Haris.

"Kamu baru balik, Ris?" tanya Sekar. "Tumben hari ini balik telat. Tadi juga Pak Diman pulang duluan. Katanya kamu nyupir sendiri."

Untuk yang satu ini mau tak mau Haris harus meladeninya. Bagaimanapun juga Sekar adalah ibunya.

"Ada urusan dikit di luar, Ma. Jadi takut kelamaan dan nggak tau sampe kapan, makanya aku suruh Pak Diman buat balik duluan."

"Oh."

Sekar manggut-manggut. Paham dengan penjelasan sang putra. Tapi, sepertinya ada yang tidak paham.

"Ih, kamu, Ris. Aku nanya dari tadi nggak dijawab. Giliran Tante yang nanya langsung dijawab."

Tampaknya Tasya tidak terima dengan kesenjangan respon yang Haris berikan antara dirinya dan Sekar. Wajah tak terimanya benar-benar terlihat begitu kentara.

Haris berbalik. Menghadapi Tasya dengan ekspresi yang juga tak ia tutup-tutupi. Tangannya terulur demi merengkuh Sekar.

"Ini Mama aku, Sya. Wanita yang udah melahirkan aku setelah mengandung aku sembilan bulan. Jadi wajar kan kalau aku jawab pertanyaan Mama? Kamu nggak pernah dengar cerita Malin Kundang? Yang dikutuk gara-gara durhaka sama ibunya?"

Sekar memukul tangan Haris yang mendarat di pundaknya. Tampak mendelik sekilas pada putranya itu. Pun walau ia tau Haris memang tidak menyukai Tasya, tapi setidaknya Sekar berharap anaknya bisa menjaga sedikit sikapnya.

"Ya ... aku tau cerita Malin Kundang. Tapi, kan---"

"Baguslah kalau kamu tau," potong Haris cepat. "Seenggaknya dongeng kayak gitu bagus dan ada pesan moralnya."

Tasya tampak manyun sementara Sekar kembali memukul tangan putranya itu.

"Oke. Jadi aku mau istirahat dulu, Sya. Silakan kamu lanjutkan obrolan kamu dengan Mama."

Tentu saja Tasya datang bukan untuk berbincang-bincang santai dengan Sekar. Tapi, ketika Haris memberikan kecupan singkat di pipi Sekar dan pamit pada sang ibu untuk langsung ke kamarnya, Tasya tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mendengkus kesal dan itu membuat Sekar serba salah.

"Maaf ya, Sya. Haris memang gitu. Dia pasti capek karena seharian kerja."

Sekar memang tau dan tidak lupa kalau sedari awal Haris memang tidak menyukai Tasya. Tapi, Sekar sendiri gemas karena Tasya yang seolah tidak ingin menerima sinyal-sinyal penolakan itu.

"Haris selalu aja gitu sama aku, Tante. Capek, ada urusan, banyak kerjaan, dan entah deh apa lagi alasan yang selalu dia kasih kalau aku lagi pengen ngobrol sama dia."

Sekar buru-buru menghampiri Tasya. Merengkuhnya dan mencoba untuk menenangkannya. Dalam hati, ia menggerutu.

Padahal loh Tasya dan Haris nggak ada ikatan apa-apa, tapi kenapa Tasya udah kayak gini ya?

Membuang napas panjang, Sekar mencoba untuk tetap sabar meladeni Tasya yang terus saja meluapkan rasa kesalnya. Hingga tiba saat di mana cewek itu menyerah dan pamit pulang, Sekar pun mengelus dadanya. Merasa lega.

Di sepanjang perjalanan, kesal yang Tasya rasakan membuat cewek itu berulang kali menggerutu. Ia merasa tak terima dengan perlakuan Haris. Hingga wajar saja rasanya bila melihat wajah cantik Tasya tampak tertekuk ketika ia sampai di rumah.

"Ma, apa kita nggak bisa ketemu langsung sama keluarga Haris?"

Pulang-pulang dan mendapati sang putri yang menggerutu tentu membuat Widia terheran-heran. Dengan dahi yang mengerut, ia mengajak Tasya untuk duduk. Ia raih wajah Tasya dan mendapati bahwa kekesalan itu membuat wajah putrinya terlihat begitu suntuk.

"Pulang-pulang kok kamu langsung ngomel?" tanya Widia lembut. "Ada apa?"

Tasya manyun. Sedetik hanya diam saja seraya menatap pada ibunya. Tapi, sedetik kemudian ia pun menceritakan apa yang terjadi.

Widia menarik napas dalam-dalam. Mengembuskannya perlahan. Hanya untuk menyadari bahwa wajar saja rasanya bila Tasya menjadi terlihat begitu kesal.

"Pokoknya aku mau kita buru-buru ketemu sama keluarga Om Arif, Ma. Aku tuh beneran cinta sama Haris."

Widia buru-buru memegang kepalanya. Tampak serba salah dengan permintaan sang putri.

"Mama nggak bisa mutusin soal itu, Sya. Gimanapun juga pertemuan dua keluarga itu bukan hal main-main. Itu adalah sesuatu yang serius."

Manyun, Tasya menyadari kebenaran perkataan Widia. Ia berdecak sekilas. "Ya udah sih. Kalau gitu aku omongin dulu ke Papa. Biar ntar Papa yang ngomongin sama Om Arif."

Widia memang tau kalau Tasya menyukai Haris. Tapi, ia tidak mengira kalau sebesar ini perasaan yang putrinya rasakan untuk cowok itu.

"Terserah kamu aja, Sya. Mama cuma bisa dukung kamu. Jadi ... ntar coba aja kamu bilangin ke Papa."

Mata Tasya bergerak. Seolah sedang mengitari keadaan sekeliling.

"Papa belum balik, Ma?" tanya Tasya. "Kalau udah, mending aku bilangin ke Papa sekarang."

Tidak langsung menjawab pertanyaan Tasya, adalah embusan napas Widia yang terdengar sedetik kemudian. Tasya yang menyadari hal itu lantas berpaling kembali pada sang ibu. Merasa ada yang aneh.

"Kenapa, Ma?"

Tampak tersenyum muram, Widia justru balik bertanya. "Kenapa apanya?"

Walau pada kenyataannya pertanyaan itu tidak benar-benar membutuhkan jawaban dari Tasya. Widia melihat putrinya dan kali ini Tasya yang mendapati ada kesan sendu di sorot mata sang ibu.

"Kenapa Papa belum pulang walau sekarang udah hampir malam?" tanya Widia lagi. Ia mendengkus sekilas dengan ekspresi murung. "Menurut kamu aja, Sya. Memangnya sekarang tanggal berapa?"

Tasya diam. Tidak menjawab, alih-alih mengecek jam tangannya. Seketika wajah Tasya berubah. Tepat ketika Widia berkata.

"Tentu saja Papa belum pulang karena lagi ziarah ke makam istri simpanannya."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top