21. Tunggu! Kok Seperti Ini Sih?
"Aku pergi dulu, Ma."
Rutinitas setiap pagi yang tidak berubah. Haris akan berpamitan dengan sang ibu sebelum pergi ke kantor. Sama seperti kala itu. Dengan memberikan kecupan di pipi Sekar.
Sekar memberikan tepukan-tepukan lembut penuh kasih sayang di punggung Haris. Mengangguk beberapa kali.
"Hati-hati di jalan, Ris. Kerjanya yang semangat."
Haris menarik diri. "Iya, Ma, iya. Aku pasti kerjanya semangat. Cuma ...."
"Cuma?" tanya Sekar dengan mengerutkan dahi lantaran Haris menggantung ucapannya di titik yang tepat. Membuat ia penasaran. "Cuma apa?"
"Cuma kayaknya aku bosan deh tiap hari disemangatin Mama aja."
Sekar tertawa. Tangannya yang tadi memberikan tepukan-tepukan kasih sayang pada sang putra, kembali bergerak. Kali ini memukul pelan perut Haris.
"Makanya buruan nikah. Biar ada cewek lain yang ngasih semangat buat kamu," kata Sekar geli. "Mama kan juga mau lihat anak kesayangan Mama nikah. Anak temen-temen Mama sudah banyak yang nikah. Cuma Mama yang masih gigit jari."
"Mama beneran mau lihat aku nikah? Ehm ... Mama belum kenal loh sama cewek yang aku suka."
Sekar berdecak. Kembali, ia memukul perut putranya itu. "Anak Mama cakep gini. Mana pinter lagi. Pasti pilihannya top deh. Iya kan?"
Mengangguk dengan penuh rasa senang, mata Haris tampak berbinar-binar.
"Tentu dong, Ma. Memangnya kapan pilihan Haris salah? Nggak pernah kan?"
"Nggak pernah," jawab Sekar. "Kamu itu anak Mama. Plek ketiplek mirip Mama. Cakepnya, pinternya, pokoknya semua-semuanya deh."
Haris tertawa.
"Jadi pasti seleranya juga plek ketiplek mirip Mama juga. Mama nggak bakal ragu sedikit pun. Makanya itu ... nggak usah mikir lama-lama. Mama juga pengen pamer cucu sama orang-orang."
Perkataan Sekar sukses membuat wajah Haris memerah. Ia mengusap tekuknya. Mendehem dan berkata lirih.
"Ah, Mama. Ngomong gini jadi buat aku mau buru-buru nikah. Jadi mau ngelamar malam ini ... terus besok pagi langsung ke KUA."
Kali ini tawa Sekar yang meledak. Dengan tangan yang kembali melayang. Dalam bentuk pukulan gemas yang lumayan keras hingga membuat Haris meringis di antara kekehan.
"Ya udah. Kalau gitu buruan dinikahi."
"Hahahahaha. Mama ini bisa aja," ujar Haris seraya melihat jam tangannya. Sekilas ia membuang napas. "Kayaknya aku harus berangkat sekarang deh, Ma. Kalau ngobrol terus sama Mama bisa-bisa sampe siang ntar baru selesai."
"Iya iya iya. Buruan kamu ke kantor. Tapi, jangan lupa. Pastikan Mama dapat mantu secepatnya."
Kedipan mata Sekar membuat Haris mengulum senyum. Antara malu antara senang antara semua-semuanya deh.
"Mama ini."
Maka berbekal pembicaraan singkat di teras rumah sebelum ia pergi ke kantor, perkataan itu meluncur juga dari bibir Haris. Tidak peduli bahwa itu akan membuat Vanny tegang atas bawah, ia tetap mengatakannya.
"Aku mau ketemu orang tua kamu dan ngomongin soal kita."
Bisa kebayang kan bagaimana perasaan Haris ketika ia menyebut kita? Antara ingin tersenyum, tapi ia malu. Akhirnya ia senyum malu-malu.
"Ehm ... lebih tepatnya mau nanya. Kapan sekiranya aku bisa melamar kamu."
Tuntas mengatakan itu, Haris menunggu dengan jantung berdebar. Ia yakin tidak akan ada cewek yang akan tahan dengan godaan yang satu ini. Menolak bukti keseriusan seorang cowok dalam bentuk lamaran pernikahan? Ehm ... hanya cewek gila yang tidak menerimanya.
"Kamu nggak usah gila deh, Ris."
Bayangan indah yang sempat hadir di benak Haris, sirna sudah. Jantungnya yang sedari tadi berdebar-debar seperti berhenti berdetak dengan tiba-tiba. Ia melongo. Sepertinya Vanny termasuk ke dalam golongan cewek gila. Tapi, mengapa justru ia yang dituding gila?
"Dari sekian banyak respon yang bisa kamu berikan untuk rencana lamaran aku ...," kata Haris tak percaya. "... kamu justru nganggap aku gila, Van?"
Mata Haris mengerjap. Melihat pada Vanny yang tampak pucat wajahnya.
"Kamu yang bener aja deh."
Terpisah jarak sekitar tiga meter, tampak Vanny menghirup udara dalam-dalam. Satu tangannya naik dan mengusap dahinya sekilas. Sorot mata cewek itu terlihat letih berkali-kali lipat dari sebelumnya.
"Terus apa namanya kalau kamu nggak gila?" balas Vanny tak ingin kalah. "Udah deh. Aku mau balik kerja aja."
Haris melotot melihat Vanny yang menunjukkan tanda-tanda untuk segera pergi dari ruangannya. Tapi, ia dengan cepat mengambil tindakan. Ia bangkit dari duduknya dan dalam langkah yang besar ia segera menyusul Vanny. Tepat sebelum Vanny akan meraih daun pintu, tangan Haris telah lebih dulu meraih tangan cewek itu.
"Van."
Vanny mengangkat wajahnya. Tampak malas bila harus meladeni Haris sepagi itu. Tapi, sepertinya beda sekali dengan Haris.
"Kamu itu harus aku omongin pake bahasa apa sih, Ris?" tanya Vanny lesu. "Kemaren ngajak balikan, sekarang malah ngajak nikah. Terus besok ngajak apa lagi?"
Mata Haris mengerjap-ngerjap beberapa kali. Mengabaikan sindiran di pertanyaan Vanny, ia justru menganggap serius hal tersebut.
"Besoknya aku ajak kamu ...," jawab Haris dengan mengedipkan satu mata. "... kawin deh."
Wajah Vanny sontak membeku. Tapi, Haris buru-buru menepuk dahinya.
"Eh, lupa. Kita udah kawinan ya?"
Nampan di tangan Vanny sontak melayang. Mendarat di lengan atas Haris. Kesiap kaget bercampur sakit meluncur seketika dari bibir Haris.
"Astaga, Van. Sakit."
Bibir Haris tampak manyun. Memasang ekspresi sakit ala anak-anak.
"Berenti ngomong sembarangan, Ris. Ini nggak lucu sama sekali."
Delikan mata Vanny sukses membuat Haris kicep. Manyunnya hilang. Alih-alih terus cemberut, ia justru mengangguk.
"Maaf," ujar Haris seraya mengusap tangannya. "Tapi, pukulan kamu emang sakit loh."
"Aku nggak mungkin mukul kamu kalau kamu nggak banyak tingkah."
Mata Vanny melirik pada daun pintu yang bebas lantaran Haris mengusap tangannya yang ia pukul tadi. Tapi, ketika ia akan meraihnya, tangan Haris mendadak mendarat lagi di sana.
"Kamu nggak bakal aku suruh keluar sebelum jawab pertanyaan aku, Van."
Rasa kesal dengan nyata tercetak di wajah Vanny. "Pertanyaan apa lagi?"
Tak langsung menjawab, Haris sedikit beringsut. Memasang tubuhnya tepat di depan pintu. Menyingkirkan semua kemungkinan untuk Vanny bisa keluar dari ruangannya. Setidaknya sampai semua pembicaraan di antara mereka selesai dan menemukan titik terangnya.
"Soal yang tadi," kata Haris seraya mengangkat kedua tangannya. Bersedekap di depan dada. "Kapan aku bisa ketemu sama orang tua kamu?"
Dengan sedikit mengangkat wajah, Vanny menatap Haris. Untuk sejenak ia diam saja. Seakan sedang menilai keseriusan cowok itu.
"Kalau kamu pikir aku main-main ...," lirih Haris seraya membuang napas panjang. "... kamu jelas salah, Van. Aku nggak main-main."
Menilai dari keseriusan di wajah Haris, tentunya Vanny tidak akan ragu akan perkataan cowok itu. Ia memutar otak, tapi sayangnya ia tak punya banyak pilihan.
"Oke."
Akhirnya satu kata itu yang meluncur dari bibir Vanny. Satu kata yang sukses membuat dahi Haris mengerut. Satu kata itu terdengar bagus dan jelek di waktu yang bersamaan.
"Maksud kamu?"
"Kamu mau ketemu sama orang tua aku kan?" tanya Vanny tanpa menunggu jawaban Haris. Ia mengangguk beberapa kali. "Oke. Aku ajak kamu ntar ketemu sama orang tua aku."
Wajah Haris tampak cerah seketika. Matanya pun berbinar-binar. Persis seperti seorang bocah yang baru saja berhasil membujuk orang tua untuk membelikan mainan kesukaannya.
"Beneran?"
Vanny mengangguk lagi. "Beneran."
"Kapan?" tanya Haris antusias. "Kapan aku bisa ketemu sama orang tua kamu?"
"Ehm ...."
Sejenak Vanny tampak berpikir seraya mendehem dengan penuh irama. Satu tangannya mengetuk-ngetuk dahi, lalu ia kembali menatap Haris.
"Besok. Abis dari kantor, kita langsung ketemu sama orang tua aku. Gimana? Kamu ada waktu?"
Haris tidak yakin besok ia ada waktu. Sepertinya ia ada janji temu atau semacamnya. Tapi, Haris yakin itu tidak lebih penting ketimbang bertemu dengan orang tua Vanny.
"Bahkan kalaupun aku ada janji temu dengan presiden," ujar Haris di sela-sela tarikan napasnya. "Aku pastikan janji temu itu bakal aku tunda. Lebih penting ketemu orang tua kamu ketimbang ketemu sama yang lainnya."
Vanny hanya mendengkus pelan mendengar perkataan Haris.
"Jadi ... aku boleh keluar sekarang? Aku nggak mau Bu Astrid mikir yang aneh-aneh karena aku lama banget nganter kopi buat kamu."
"Boleh. Tapi ...."
Haris meraih dagu Vanny. Membawa tatapan cewek itu untuk beradu dengan tatapannya.
"Kamu nggak bohongin aku kan?"
Bola mata Vanny berputar dengan dramatis. Decakan sekilas terdengar sedetik setelahnya.
"Kalau kamu nggak percaya ya sudah. Aku nggak rugi apa pun kok. Kalau kamu mau ketemu sama orang tua aku besok, ya oke. Kalau nggak, ya udah."
Haris menimbang sejenak. Dengan mata yang menatap lekat pada Vanny, ia tidak mendapati jejak kebohongan di sana.
"Oke," angguk Haris kemudian dengan yakin. "Besok kita ketemu sama orang tua kamu abis dari kantor. Kita pergi bareng. Gimana?"
Vanny menerima tawaran itu tanpa berdebat lagi. "Jadi ... sekarang aku boleh keluar?"
Haris dengan segera beranjak dari depan pintu. Tepat setelah ia memberikan satu kecupan di bibir cewek itu. Sekilas, tapi sukses membuat Vanny melongo. Haris tersenyum melihatnya.
"Silakan."
Mengerjap sekali, Vanny segera keluar dari ruangan Haris dengan wajah yang memerah. Ia berusaha menahan diri ketika mendapati Astrid yang melihat padanya dengan sorot aneh. Sungguh! Vanny benar-benar nyaris hilang kesabaran lantaran tingkah laku Haris. Sementara cowok itu? Oh, ia begitu senang.
Sepeninggal Vanny, Haris bersorak penuh suka cita. Beruntung ruang kerjanya kedap suara, jadi ia yakin tidak akan ada yang mendengar seruan kebahagiaannya.
"Yes! Besok aku bakal ketemu sama orang tua Vanny!"
Haris duduk di kursi setelah melepas jas dan menggantungnya. Napasnya menggebu dengan euforia kebahagiaan yang terasa semakin menjadi-jadi. Bayangan akan hari esok dengan cepat memenuhi benaknya.
"Ketemu sama orang tua Vanny. Terus ngobrol-ngobrol. Terus ... ngomong deh kalau aku mau ngelamar anaknya."
Kurang lebih begitulah khayalan yang bermain-main di kepala Haris. Yang membuat ia jadi tak sabar untuk menyambut hari esok. Tapi, apa khayalan Haris menjadi kenyataan? Ehm ... entahlah.
Karena ketika besoknya mereka meninggalkan kantor dengan mobil yang sama, Haris tidak pernah mengira alamat yang diberikan oleh Vanny adalah alamat salah satu TPU alias tempat pemakaman umum. Perasaan cowo itu tidak enak. Dan semakin tidak enak lagi ketika Vanny mengajaknya untuk mendatangi satu makam di sana.
Vanny menoleh pada Haris yang tampak membeku wajahnya. Cewek itu melirik pada makam yang mereka hampiri. Bertanya dengan suara yang terdengar datar.
"Kamu mau ketemu orang tua aku kan?"
Haris tampak salah tingkah. Bingung harus menjawab apa.
"Ini orang tua aku," lanjut Vanny kemudian. "Lebih tepatnya Mama aku."
Vanny membuang napas panjang. Melihat pada makam yang masih terawat dengan rapi walau sudah bertahun-tahun berlalu.
"Ayo," kata Vanny lagi pada Haris. "Sapa Mama aku."
Mata Haris mengerjap. Ia meneguk ludah. Merasa bersalah dan tidak tau harus berbuat apa. Hingga pada akhirnya, ia pun mengangguk pelan. Berkata.
"Selamat sore, Tante."
Astaga. Seumur hidup Haris tidak pernah berpikir akan menyapa calon mertuanya dengan keadaan seperti itu. Dalam hati ia merutuk.
Pantas aja Vanny ngomong aku gila pas aku bilang mau ketemu sama orang tuanya.
Haris meringis. Melihat pada Vanny dengan sorot tanpa daya.
Ternyata ini alasannya?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top