20. Bukan Tanpa Sebab Loh
Esti tidak memberikan komentar apa-apa ketika dilihatnya Vanny hanya memandang ponselnya dalam diam hingga layarnya menggeleng. Setidaknya cewek itu bisa mengerti bahwa untuk beberapa hal ia memang tidak berhak memberikan komentar. Terlebih bila Vanny tidak memintanya. Apalagi untuk hal sensitif seperti itu.
Bahkan kalau ingin diingat-ingat, dulu Esti pun tidak memberikan komentar ketika Vanny memberi nama Pria Itu untuk nomor telepon sang ayah. Yang mana itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu.
Maka hal itu pula yang Esti lakukan sekarang. Tidak mengomentari apa pun, alih-alih ia mengulurkan tangan. Mengambil berondong jagung yang masih berada di pangkuan Vanny.
"Ting!"
Mata Vanny dan Esti sontak melihat kembali pada ponsel itu. Kali ini bukan panggilan masuk, alih-alih pesan banking yang masuk. Vanny membukanya dan mata Esti yang membelalak. Refleks ingin berkomentar, tapi pesan lainnya masuk.
[ Pria Itu ]
[ Papa baru saja mengirimkan uang. ]
[ Kalau kamu butuh lebih, hubungi saja Papa. ]
[ Dan apa lusa kita bisa bertemu? ]
[ Kita ziarah sama-sama ke makam Mama. ]
Wajah Esti yang semula penuh semangat sontak meredup ketika turut membaca pesan itu. Diliriknya Vanny dengan hati-hati. Ekspresi sahabatnya itu tampak datar.
"Dikiranya kalau udah transfer ...," lirih Vanny sambil menaruh kembali ponsel di atas meja. "... aku bakal mau ketemu gitu?"
Esti kembali mengambil segumpal berondong jagung. Mengunyahnya pelan-pelan. "Aku berharap banget kita tukaran posisi, Van. Soalnya orang tua aku nggak pernah transfer dua puluh juta cuma buat bisa ketemu aku."
"Ehm ...."
Hanya deheman yang Vanny berikan sebagai respon untuk perkataan Esti. Ia bersandar pada sofa dengan mengangkat kedua kakinya, bersila dan menaruh mangkuk berondong jagung di sana. Dengan santai ia mulai menikmati camilan itu lagi.
"Aku justru berharapnya punya orang tua kayak orang tua kamu," ujar Vanny kemudian. "Yang bisa ketemu tiap saat."
Kunyahan Esti melambat. Merasa tidak enak mendengar perkataan Vanny. Ujung-ujungnya, ia turut mendehem.
"Karena bukannya apa ya."
Esti pikir Vanny tidak akan memperpanjang topik itu. Tapi, nyatanya ia keliru. Setelah Vanny menarik napas dalam-dalam, ia justru lanjut bicara.
"Saking kami yang nggak bisa ketemu tiap saat, aku tuh udah lupa bentuk wajah Papa aku kayak gimana."
Esti meringis. "Ha ha ha ha."
"Apa mata dia ada dua? Atau justru tiga?"
Vanny berpaling. Melihat pada Esti sementara tangannya kembali mengambil berondong jagung.
"Atau ... lubang hidungnya menghadap ke atas?"
Esti menyeruput tehnya sejenak. "Aku kasihan sama Om kalau dia kena pilek. Gimana dia mau buang ingus coba?" tanyanya geleng-geleng kepala. "Masa harus nunggit-nunggit dulu?"
Tak mau, tapi Vanny sontak terkekeh pula mendengar perkataan Esti. Itu membuat Esti melirik dengan menghela napas lega.
"Dia mah nggak usah dikasihani, Es. Orang hidup dia bahagia dan sejahtera kok."
Esti hanya manggut-manggut. Kalau sudah membahas soal orang tua Vanny, ia memang memilih jalan aman. Tidak memberikan komentar. Karena menurut Esti, dirinya lebih berkompeten dalam membicarakan soal mantan pacar ketimbang orang tua.
"Saking bahagianya ... dia aja sampe lupa kalau punya anak di tempat lain."
Kepala Esti meneleng. "Tapi, seenggaknya tiap bulan Om kan selalu lancar kirim duit. Ehm ... mungkin Om nggak bener-bener lupa kok."
Esti tau betapa besar risiko yang ia ambil karena mengatakan hal itu lantaran Vanny yang memang memiliki kecenderungan tidak menyukai ayahnya. Terlihat dari cara ia menyebut ayahnya bukan? Dia. Alih-alih menggunakan panggilan Papa, Vanny justru menyebutnya dia.
Namun, terlepas dari itu Esti menyadari sesuatu. Setidaknya ada sedikit bukti bahwa ayah Vanny tidak benar-benar lupa.
"Aku nggak maksud buat ngebela Om loh, Van."
Demi mengantisipasti hal-hal yang tidak ia inginkan, Esti buru-buru menyambung perkataannya. Vanny berpaling seraya menyuap berondong jagung pada Esti.
"Tau, aku tau kok," kata Vanny. "Tapi, gimana ya? Aku yakin kok itu transferan otomatis gitu. Soalnya nggak mungkin banget dia sampe ingat aku. Boro-boro ingat aku. Ingat Mama aja nggak pernah."
Esti rasa-rasanya ingin mengatakan bahwa pesan sang ayah yang ingin mengajak Vanny ziarah bersama itu adalah bukti bahwa ia tidak lupa. Tapi, ia urungkan niat itu. Karena sebagai seorang teman, ia tidak bisa melakukan pembelotan. Ia harus di pihak Vanny.
"Kan aneh aja kalau misalnya sama Mama yang dia nikahi aja dia bisa lupa selama bertahun-tahun sementara dia justru ingat sama aku."
Vanny menggeleng. Masih sembari mengunyah berondong jagung walau Esti tidak tau apa ia benar-benar menikmatinya.
"Dia tuh cuma ingat sama ..."
Vanny membuang napas panjang. Tangannya terdiam seketika di mangkuk berondong jagung.
"... istri dan anak kesayangannya aja."
Hening sejenak. Untuk beberapa saat lamanya tidak ada suara yang terdengar di antara Vanny dan Esti. Dalam suasana canggung seperti itu, Esti pun memutuskan untuk diam saja. Ketimbang ia asal bicara dan malah membuat keadaan makin tidak enak kan?
"Dah ah! Ngapain juga bahas soal itu. Nurunin imun tubuh aja."
Vanny tergelak seraya kembali meraup berondong jagung. Melahapnya dalam satu suapan yang lumayan besar. Esti geleng-geleng.
"Perasaan aku topik apa pun yang nyangkut kamu akhir-akhir ini semuanya pada nurunin imun. Nggak yang dari Haris, eh ... terus ke Om."
Manggut-manggut, Vanny membenarkan perkataan Esti. "Karena itu, Es."
"Karena itu apa?"
"Karena itu aku nggak mau berurusan sama orang kaya," kata Vanny seraya melihat pada Esti. "Aku nggak mau jadi kayak Mama."
*
"Good morning, Bu Astrid. Ini oleh-oleh khusus aku beliin cuma untuk Ibu seorang."
Satu bingkisan mendarat langsung di meja Astrid pagi itu. Tepat ketika Haris muncul dengan Vanny di belakangnya. Melirik sekilas pada sekretaris kedua yang tampak tidak terlalu bersemangat pagi itu, Astrid menerima pemberian Haris dengan senyum kaku di wajahnya.
"Makasih, Pak."
Haris mengangguk. "Sama-sama, Bu," balasnya sambil berpaling pada Vanny. Ia mengambil alih tas kerjanya yang dibawa oleh cewek itu. "Jangan lupa buatin aku kopi, Van. Tapi, ingat. Jangan pake gula."
Vanny hanya mengangguk sambil tersenyum kecut ketika mendapat perintah pertama dari Haris di pagi itu. Mengekori kepergian mantan sekaligus bosnya itu dengan embusan napas panjang. Ketika Haris telah hilang dari pandangan matanya, pundaknya jatuh seketika.
"Kamu baik-baik aja, Van?"
Astrid melihat Vanny dengan perasaan tak enak. Tak ingin bertanya, tapi ia yakin seminggu perjalanan dinas itu menjadi hal yang melelahkan untuknya. Lihat saja. Wajah Vanny terlihat suntuk. Bahkan untuk pertanyaan Astrid, hanya anggukan samar yang Vanny berikan.
"Ehm ... menurut saya ...," lirih Astrid dengan ekspresi tak yakin. "... kamu nggak kelihatan baik-baik saja, Van. Kamu kelihatan letih. Sepertinya perjalanan ke Bengkulu benar-benar melelahkan ya?"
Perjalanannya sih tentu saja tidak melelahkan. Tapi, Haris yang berhasil membuat Vanny lelah lahir dan batin. Tapi, tentu saja Vanny hanya bisa menelan kenyataan itu bulat-bulat untuk dirinya sendiri.
"Nggak kok, Bu. Ehm ... saya ke pantry dulu," ujar Vanny lesu. Ia taruh tas kerjanya di meja. "Mau buat kopi buat Pak Haris."
Sungguh. Jauh di dalam lubuk hati Astrid yang terdalam, ia sedih melihat Vanny. Ia yang tau bagaimana sifat Haris jelas bisa membayangkan hari-hari apa yang Vanny jalani selama di Bengkulu. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Vanny lewat seraya membawa nampan berisi secangkir kopi, Astrid hanya bisa berharap agar cewek itu bisa bertahan.
Sebenarnya Vanny benar-benar tidak bisa bertahan. Kalau bukan karena uang pinalti, ingin sekali ia langsung melarikan diri. Tapi, sekarang ia tak punya pilihan selain menghampiri Haris di mejanya dan menyajikan kopi untuknya.
Haris melihat kopinya. "Kamu kasih gula?"
"Nggak," geleng Vanny. "Dijamin kok kopinya pahit. Bahkan lebih pahit dari kehidupan aku."
Haris mendengkus geli. Ia sesap minuman bewarna hitam pekat itu dan mendesah nikmat karenanya.
"Aku nggak tau kalau pahit kehidupan kamu seenak ini," gurau Haris seraya menaruh kembali cangkir kopi itu di tatakannya. Ia menatap Vanny. "Tapi, tenang aja, Van. Kalau kita nikah ntar hidup kamu pasti bakal manis kayak tinggal di pabrik gula."
Bola mata Vanny berputar dramatis. Senyum kecut di wajahnya makin nyata terlihat. Tapi, itu masih terlalu pagi untuk dirinya menghabiskan tenaga meladeni Haris. Vanny mengambil jalan aman.
"Karena kopinya sudah," ujar Vanny kemudian. "Saya permisi, Pak."
Tidak menunggu balasan dari Haris, Vanny buru-buru putar badan. Dengan nampan yang ia peluk di dada, ia melangkah berjalan. Tapi, baru saja kakinya bergerak dalam tiga langkah yang tidak berarti, suara Haris terdengar.
"Aku udah ngomong soal kamu ke orang tua aku, Van."
Langkah kaki Vanny seketika berhenti. Ia tidak berbalik, alih-alih bergeming. Tapi, walau demikian ia tetap mendengarkan perkataan Haris.
"Aku udah ngomong kalau aku mau nikahin kamu."
Sepertinya Vanny yakin kalau ia sudah berada di Jakarta kala itu. Alih-alih di Bengkulu yang merupakan salah satu provinsi rawan gempa di Indonesia. Tapi, apa yang terjadi? Mengapa Vanny merasa kedua kakinya bergoyang-goyang?
Menguatkan diri, akhirnya Vanny memutar tubuh kembali. Tangannya yang mendekap nampan di dada, jatuh lunglai di sisi badan. Ia menatap Haris dengan sorot tak percaya dan syok.
"A-apa?" tanya Vanny gagap. "Kamu ngomong apa, Ris?"
Membawa kedua tangannya bertumpu siku di atas meja kerja, Haris melayangkan senyum penuh percaya diri yang membuat Vanny merasa mual-mual.
"Aku ngomong ..." jawab Haris mengulangi perkataannya tanpa keberatan sama sekali. "kalau aku udah ngebahas soal kita sama orang tua aku. Ehm ... baru sama Mama sih. Tapi, intinya aku udah ngomong kalau aku mau nikahin kamu."
Syok Vanny sontak semakin menjadi-jadi. Matanya pun turut membesar seiring dengan dadanya yang mendadak terasa sesak.
"K-kamu pasti bercanda, Ris. Kamu nggak mungkin serius."
Kedua bahu Haris naik sekilas. "Nggak mungkin aku bercanda untuk urusan sepenting ini, Van," balasnya seraya menatap mata Vanny lekat-lekat. "Aku beneran mau nikahin kamu."
Jangankan untuk menikah dengan Haris, bahkan untuk berpacaran kembali dengan cowok itu saja Vanny tidak mau. Maka bukan hal aneh bila ia gemetaran ketika melihat keyakinan di sorot mata cowok itu.
"Makanya aku mau kita bahas soal ini."
Vanny mengerjap sekali. "Bahas soal ini?"
"Iya," angguk Haris tanpa ragu sedikit pun. "Kira-kira kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Vanny meneguk ludah. Ia tak bisa bersuara untuk menjawab.
"Aku mau ketemu orang tua kamu dan ngomongin soal kita. Ehm ... lebih tepatnya mau nanya. Kapan sekiranya aku bisa melamar kamu."
Ya Tuhan. Vanny sudah yakin memang ada yang tidak beres dengan Haris. Sejak ia bersikeras untuk mengajaknya kembali bersama, Vanny sudah yakin. Tapi, Vanny tidak mengira bahwa Haris akan berpikir sejauh itu. Melamar? Menikah? Astaga. Vanny benar-benar bisa mati berdiri dibuatnya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top