2. Kemungkinannya Sih Kecil

"Kamu nggak bohong?"

"Suwer sampe bra aku putus karet terus isinya terkewer-kewer deh!'

"Ya nggak sampe segitunya keleees."

"Terus ... aku harus gimana dong, Es?"

Malam itu, berkat pusing seharian setelah mengetahui bahwa mantan pacarnya adalah CEO tempat ia bekerja, Vanny segera bertindak. Ia menghubungi Estiana Ayunda. Sahabat terbaiknya yang sudah ia cap sebagai best friend-nya selama ini -eh, bedanya di mana?. Sudahlah, Vanny tidak peduli. Yang penting, ia perlu konsultan tercepat untuk bisa membantu dirinya keluar dari masalah aneh ini.

"Ehm ...," dehem Esti sambil memainkan ikal rambutnya yang menjuntai di dekat telinga. "Kamu yakin itu Haris? Maksud aku ... nama Haris bukan cuma dia doang loh. Nama Haris itu pasaran. Noh! Di Layangan Putus aja ada satu. Mana tingkahnya buat dosa jariyah se-Indonesia Raya lagi."

Vanny memutar bola matanya dengan geram. Rasa-rasanya mau deh ia memukul dahi Esti dengan sisa tulang paha ayam yang ada di atas piringnya itu.

"Itu bukan Haris. Tapi, Aris," geram Vanny. "Dan for your information aja. Nama aku bukan Kinan, tapi Vanny. Dan nggak ada Lidya di antara kami."

Esti terkekeh. Tangannya menarik gelas es teh lemonnya. Menyeruput isinya yang sudah tidak seberapa dengan bantuan sedotan plastik bewarna putih itu.

"Oke oke. Nama mantan kamu itu Haris. Oke. Tapi, ya like what I said, Van. Not only your ex yang namanya Haris. So many people around this world, bahkan mungkin di akhirat pun ada yang aku yakin pake nama Haris."

Vanny meringis. Kali ini kedua tangannya tampak naik ke atas meja. Menyingkirkan piring sisa makan malamnya dan ia meremas jari-jarinya. Berusaha menahan geram.

"Like what I said too, Es. This is Haris Candra Wiguna. Sebanyak apa sih orang yang namanya bisa kebetulan plek-ketiplek sama persis dari pangkal ke ujungnya? Sebanyak apa coba?"

"Ehm ...." Kali ini Esti yang terdengar mendehem. Matanya berputar beberapa kali dalam mode berpikir. "Kamu kan tau kalau temen SMP kita dulu ada yang namanya Rima Melati. Plek-ketiplek sama dengan nama artis veteran itu kan? Pangkal ke ujungnya sama semua."

Vanny kembali meringis. Terlihat jelas bahwa makin lama cewek itu makin frustrasi. Hingga ia sempat meragukan keputusannya untuk berdiskusi dengan Esti. Sepertinya Esti cuma bisa diajak diskusi soal karet bra saja deh!

"Tapi, wajahnya, Es. Wajahnya loh."

Bola mata Esti membesar. Ucapan Vanny membuat ia mencondongkan tubuhnya ke arah cewek itu. Ekspresinya tampak berubah penasaran.

"Kenapa wajahnya?" tanya Esti cepat. "Masih cakep kayak yang dulu."

"Oh, Tuhan."

Vanny mengangkat wajahnya ke atas. Kedua tangannya ke depan dada, meremas jemarinya satu sama lain. Dan ia mengerang frustrasi.

"He's so fucking handsome! Persis kayak ingatan terakhir aku pas mutusin dia dulu. Dan mari kita berikan penghargaan untuk usianya yang matang. Dia keliatan dewasa berkarakter banget!"

Mulut Esti membuka dalam bentuk lingkaran dan melirihkan huruf 'o' tanpa suara. Lalu ia menahan napas sejenak. Menyesap es teh lemonnya yang sekarang murni hanya menyisakan cairan bewarna coklat bening tanpa ada rasa sama sekali. Selain aroma lemon yang masih tersisa di sana.

"Oke," ujar Esti acuh tak acuh. "Sekarang aku yakin kalau dia benar-benar adalah Haris. Mantan pacar kamu dulu. Yang kamu putusin tepat di hari perpisahan SMA setelah tiga bulan jadian."

Vanny tidak tau. Harus merasa senang atau sebaliknya. Senang karena Esti akhirnya yakin kalau yang dikatakannya benar. Bahwa Haris yang menjadi CEO di tempatnya bekerja adalah Haris yang sama dengan yang mereka kenal. Atau merasa sedih karena Esti bahkan mengungkit-ungkit tentang masa lalu yang pernah terjadi di antara mereka?

Ah! Yang mana pun itu, intinya hanya satu.

"Jadi .... what should I do?"

Esti mengangkat tangannya dengan jari telunjuknya yang mengacung di udara. "You should ...." Ada jeda sekitar dua detik sebelum ia melanjutkan perkataannya. "Beneran itu Haris yang takut sama ulat bulu?"

Vanny meringis lagi. Dan kali ini lebih dramatis dari sebelumnya. Saking dramatisnya, rasa-rasanya Vanny ingin membenturkan dahinya di atas meja makan itu.

"Bener! Itu Haris mantan aku yang aku putusin di hari perpisahan SMA. Dia Haris, mantan aku yang aku putusin di bulan ketiga kami jadian. Dia Haris, cowok cakep yang terkenal takut ulat bulu. Dan dia adalah Haris, CEO di Bumi Pertiwi!" jerit Vanny histeris.

Kali ini Vanny tidak mampu menahan geram yang sudah meledak-ledak di dalam dadanya sedari tadi. Hingga tentu saja membuat orang-orang yang berada di resto itu sontak berpaling ke meja mereka.

Esti melotot. Melihat Vanny yang melepaskan emosinya membuat cewek itu ikut-ikutan syok. Ia bangkit dari duduknya. Buru-buru pindah tempat ke sebelah Vanny. Langsung membekap mulutnya. Seraya toleh kanan dan toleh kiri beberapa kali seraya berkata dengan canggung.

"Maaf. Mohon maaf. Harap maklum. Kemaren nggak dapat bansos."

Menebalkan muka menahan rasa malu, Esti mendelik pada Vanny. Memberikan isyarat lewat sorot matanya. Meminta agar temannya itu sadar diri. Walau sedikit saja. Mereka sedang di tempat umum loh.

"Kalau mau betingkah malu-maluin, jangan ajak-ajak aku dong."

Vanny melepas tangan Esti dari mulutnya. Ia manyun. "Ya habis kamu sih. Aku bilangin dari tadi nggak percaya. Lagian, Es. Dia itu mantan aku. Aku nggak mungkin lupa dong. Ya kali lupa sama mantan sendiri!"

Esti tampak mesem-mesem. "Aku udah nggak ingat mantan aku by the way."

"Itu karena kamu udah punya mantan dari kelas tiga SD," histeris Vanny. "Kali aja mantan kamu udah bisa dibuat lima tim sepakbola, Es."

Esti makin mesem-mesem mendengar Vanny mengomentari kisah percintaannya. Tidak tersinggung sama sekali kok. Yang ada sebaliknya, ia merasa lucu. Hingga akhirnya ia berkata.

"Ternyata kita temenan udah selama itu ya, Van?"

Vanny melongo. Mata membola dan mulut menganga. "Kamu malah ngomentari lama bentarnya pertemanan kita ketimbang nyari solusi buat aku keluar dari masalah ini? Wow! Good for you, Es."

"Hehehehehe!" kekeh Esti tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kalau kita lagi di situasi rumit, jangan panik. Bawa enjoy. Kalau kita panik, otak kita bakal buntu, Van. Ehm ... itu sih prinsip hidup aku sebagai cewek yang udah punya mantan pacar sejak kelas 3 SD."

Sungguh. Jangankan akan tersinggung akan perkataan Vanny, bahkan sekarang Esti tampak bangga ketika temannya menyenggol soal mantan pacarnya. Hebat!

Hanya saja, sedikit banyak Vanny tau bahwa apa yang dikatakan oleh Esti itu ada benarnya. Jangan panik. Kalau panik, otak tidak bisa bekerja dengan semestinya.

Maka dari itu, Vanny memutuskan untuk menarik napas panjang-panjang. Dengan matanya yang refleks menutup beberapa saat. Dan ketika ia membuang napas panjang, degup jantungnya yang tidak tau irama sejak tadi, perlahan tenang kembali. Mulai berdegup dengan semestinya. Perlahan, Vanny membuka mata. Dan hal yang pertama kali ia lihat ada Esti yang senyum-senyum padanya. Ah! Rasanya percuma saja Vanny mengatur laju napasnya tadi.

"Jadi ... kini kamu udah tenang kan?"

Vanny mengangguk.

"Oke, kalau gitu," lanjut Esti langsung. "Coba bilangin ke aku dari awal. Kronologis ceritanya kayak gimana? Biar aku bisa bantu nyari solusi dari masalah ini."

Vanny tidak tau apakah kronologis kejadian lengkapnya bisa membantu Esti mencari jalan keluar. Toh intinya cuma satu. Ia harus bekerja dengan Haris. Mantan pacarnya sewaktu SMA dulu.

God! Is it possible?

"Oke deh kalau gitu. Aku jelasin ke kamu."

Esti mengangguk. Tapi, sebelum Vanny menceritakan semuanya, Esti memilih untuk kembali duduk di kursinya semula. Agar ia tidak perlu memiringkan kepalanya demi melihat pada Vanny. Duduk berhadapan nyatanya lebih nyaman untuk lehernya.

"Jadi ... kayak yang kamu tau. Kemaren itu aku nyoba daftar ke lowongan kerja Bumi Pertiwi sebagai staf admin. Dan ya ... sesuai dengan kriteria. Aku emang nggak masuk sebenarnya. Mereka butuh orang yang tiga tahun berpengalaman sebagai admin di perusahaan kontruksi."

Itu adalah salah satu hal yang benar-benar masih menjadi tanda tanya bagi Vanny. Kalau semua perusahaan memberikan kriteria seperti itu, apa artinya orang-orang yang masih muda sepertinya tidak memiliki kesempatan? Entahlah. Vanny merasa sedikit ada diskriminasi di sini.

Sementara Esti hanya angguk-angguk kepala saja mendengar hal tersebut. Karena mau tidak mau ia pun menyadari. Terkadang perusahaan tidak ingin mengambil risiko melakukan pelatihan dasar bagi karyawan baru yang benar-benar buta. Maka tidak heran sama sekali kalau kriteria itu biasanya dicantumkan dalam setiap lowongan pekerjaan.

"Tapi, waktu aku masuk ke tahap wawancara ... otomatis dong harapan aku tumbuh lagi. Ya kali, kalau aku emang nggak memenuhi kualifikasi, ngapain mereka lolosin aku seleksi berkas coba?"

"Ehm ...."

Esti mendehem seraya meraih kembali gelas es teh lemonnya. Sekarang gelas itu sudah habis isinya. Murni ia hanya menyeruput air lelehan dari es batu yang tersisa saja. Tanpa ada rasa sama sekali. Bahkan aroma lemonnya pun sudah menghilang.

"Cuma ternyata penolakannya di sana," tukas Vanny kemudian dengan wajah yang tertekuk. Ia bersedekap. Tampak sekali ia kesal lantaran terpaksa harus mengingat kejadian hari itu. "Aku tau banget kalau wawancara aku itu cuma formalitas aja. Nggak sampe sepuluh menit loh aku diwawancara. Dan itu pun aku nggak ada tuh ditanyain seputar kerjaan. Masa aku malah ditanyain kapan rencana buat nikah, terus makanan kesukaan apa, dan segala macam pertanyaan lainnya yang bener-bener nggak ada kaitannya dengan kompetensi aku sebagai pelamar pekerjaan."

Esti manggut-manggut mendengar perkataan Vanny yang panjang lebar itu. Tidak menginterupsi atau mengomentari. Ia tau, cerita tidak cukup sampai di sana.

"Seminggu kemudian, aku nggak heran kalau aku nggak lolos. Ehm ... orang pas aku keluar dari ruangan wawancara aja aku udah bisa nebak. Aku pasti nggak bakal dapat kerjaan itu. Tapi ...."

Tepat di kata 'tapi', intonasi suara Vanny meninggi. Membuat Esti membolakan matanya. Bersiap dengan cerita selanjutnya yang akan ia dengarkan dari sahabat baiknya itu.

"Setelah pengumuman itu mendadak aja ada email masuk. Aku ngecek. Dan aku nyaris jantungan, Es."

"Kenapa kenapa kenapa?"

"Intinya email itu kurang lebih kayak minta maaf karena aku nggak memenuhi kualifikasi sebagai staf admin. Tapi, karena perusahaan sedang dalam perkembangan besar-besaran dan ada sedikit kelimpungan di atas ..." Sengaja sekali Vanny mengacungkan jari telunjuknya ke atas demi memperjelas kata-katanya. "... jadi perusahaan membutuhkan sekretaris kedua untuk CEO. Dan melihat dari rekam pekerjaan aku selama ini, kayaknya aku cocok. Gitu deh."

Demi mendengar perkataan Vanny yang satu itu, Esti sontak saja mengerutkan dahinya. Jujur saja, ia merasa itu sedikit aneh. Apa ada kejadian seperti itu terjadi di dunia kerja? Ehm .... Esti tidak yakin pernah menemukan hal yang serupa. Aneh, tapi ajaib.

"Terus kamu terima?"

"Ya pasti dong!" seru Vanny. "Kali aja aku tolak. Kan aku nggak sebegok kamu sih."

Esti sontak mencibir mendengar perkataan Vanny. Tapi, ia tidak mengatakan apa-apa. Baginya mengetahui kelanjutan kisah Vanny dalam mencari pekerjaan adalah hal yang utama. Lagipula karena mereka tinggal di tempat yang berbeda dan belakangan ini Esti sering sibuk lembur di butik, mereka nyaris tidak bisa menghabiskan waktu bersama. Bahkan sekadar menyapa di Whatsapp pun tidak.

"Aku ikut wawancara lagi. Dan ya ... wawancara yang kali itu terasa beda banget. Aku ditanya yang macem-macem. Sampe mungkin sekitar satu jam deh aku wawancara. Jadi, keluar dari ruangan itu, aku udah berharap banget. Semoga aku lulus."

"Dan kamu emang lulus."

Vanny mengangguk mendengar perkataan Esti. "Nggak pake babibubebo lagi, aku langsung tanda tangan kontrak. Dan ... malapetaka itu datang besoknya."

Lekat, Esti menatap pada Vanny. Bisa melihat wajah temannya itu yang langsung berubah lemas. Seperti tidak ada tenaga. Padahal sudah dua potong paha ayam yang amblas ke dalam saluran pencernaannya.

Ehm ... dia nggak maksud mau pesan makanan yang ketiga kan?

Esti menyingkirkan kemungkinan hal yang satu itu. Karena di detik selanjutnya, suara helaan napas Vanny kembali menarik perhatiannya. Cewek itu lanjut bertanya hanya dengan satu kata.

"Terus?"

"Terus ... karena aku udah harus mulai kerja, besoknya aku datang. Aku ketemu sama Bu Astrid. Sekretaris pertama di sana. Ehm ... mungkin usianya udah mau masuk empat puluh tahun gitu. Aku ngobrol-ngobrol sebentar sama dia. Dan terus aku disuruh masuk ke ruangan CEO-nya."

Sampai di sana, Vanny memejamkan mata dengan dramatis. Sungguh, kalau tidak terpaksa harus menceritakan kronologis kejadian itu, ia sama sekali tidak ingin sama sekali mengingatnya. Itu benar-benar membingungkan, memalukan, dan ah! Pokoknya sukses membuat perut Vanny mual-mual seketika.

Karena setelah beberapa detik berlalu, Esti jelas sekali melihat perubahan pada wajah Vanny. Yang tadi tampak kesal, sekarang pelan-pelan berubah. Dengan kedua tangannya yang naik dan mendarat di atas kepala, sepuluh jari gadis itu meremas helaian rambut bergelombang warna coklat gelapnya. Diiringi oleh satu ringisan memilukan yang tidak mampu ia tahan lagi.

"Aku ngeliat Haris yang duduk di meja itu, Es. Itu Haris. Pakai pakaian lengkap ala CEO-CEO di drama Korea. Dan dia bener-bener keliatan macho abis. Sampe-sampe ngebuat aku rasanya bakal pingsan di tempat."

Esti menyisihkan gelas es teh lemonnya yang kali ini sudah benar-benar habis airnya. Tinggal ada satu iris jeruk lemon di sana. Dan Esti belum kepikiran untuk mengemut buah itu.

"A-aku ... aku pas jalan masuk ke ruangan itu kayak yang nggak nginjak bumi lagi, Es. Aku kayak yang lagi di ruangan hampa udara. Waktu kayak berenti."

"Oke. Aku yakin ini kayak di drama Korea beneran."

Vanny menatap Esti garang. "Jangan ngeledek aku sekarang, Es. Waktunya nggak tepat."

Esti buru-buru menutup mulutnya. Mencegah kekehannya yang bisa saja keluar kapan pun tanpa bisa dicegah. Vanny sepertinya mulai memasuki fase mulai bad mood.

"Dan pas aku udah duduk di kursi itu, ya Tuhan."

Mata Vanny memejam dengan dramatis. Remasan di rambutnya, melemas seketika. Ia seperti mendadak kehilangan tenaga.

"Aku berasa kayak lagi di kursi penghakiman," ringis Vanny memilukan. "Kayak yang ketemu dengan hukuman masa lalu. Hiks."

Esti menarik napas dalam-dalam. Lalu mengembuskannya perlahan.

"Dan itu memang Haris?"

Vanny membuka matanya. Mengangguk demi menjawab pertanyaan Esti dengan wajah memelas. Tampak amat sangat menyedihkan di amta Esti. Persis seperti seekor anak anjing yang kebasahan. Harus buru-buru diselamatkan.

"Itu memang Haris. Dan kalaupun aku sampe lupa ingatan atau apalah itu namanya, omongan dia waktu itu udah menjelaskan semuanya. Kalau dia memang benar-benar Haris. Mantan pacar aku dulu."

Perkataan Vanny yang satu ini lebih dari cukup untuk membuat rasa penasaran Esti berkobar-kobar di dalam dadanya. Maka ia sedikit mencondongkan wajahnya ke depan dan cenderung menunduk. Bertanya dengan suara rendah pada temannya itu.

"Dia ngomong apa?"

Sejenak, Vanny menarik napas seraya menatap Esti tak berdaya. Lalu ia pun menjawab pertanyaan itu. Dengan ingatan yang tidak mungkin salah.

"Kita ketemu lagi, Vanny."

Esti melongo. Untuk beberapa saat, ia menatap Vanny tanpa ada kata-kata dari mulutnya. Dan ketika ia kembali bersuara, maka kata itu adalah ....

"Shit!"

Vanny tau. "Itu memang Haris."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top