18. Bukan Pagi Yang Cerah

Ketika kesadaran kembali datang menyapa dirinya, Vanny mengerjapkan mata dengan perlahan. Bulu mata lentik itu bergerak pelan. Lantas membuka dengan sedikit rasa gamang yang menyertainya.

Hal pertama yang Vanny dapati adalah lampu kamar yang menyala. Padahal bukankah ia selalu memastikan untuk memadamkan lampu sebelum tidur?

Hal kedua yang Vanny rasakan adalah pegal di sekujur tubuh. Padahal bukankah seharusnya tidur itu justru untuk menyegarkan tubuh?

Hal ketiga yang Vanny sadari adalah satu tangan yang melingkar di pinggangnya. Padahal bukankah ia tidak bersama dengan Esti saat itu?

Lantas ...? Siapakah yang memeluknya?

Vanny menegang. Rasa dingin dengan cepat menjalari seluruh tubuhnya dari atas hingga bawah. Menguatkan diri, Vanny memutuskan untuk berbalik. Demi tau siapa ada orang yang bersama dirinya kala itu. Dan ketika dua pasang mata beradu, Vanny membelalak. Melotot seketika tatkala mendapati Haris yang bertopang siku melihat padanya dengan senyum di wajah.

"Udah bangun?"

Tentu saja bukan jawaban yang Haris dapatkan. Alih-alih adalah jeritan panjang yang langsung menggelegar.

"Aaah!"

*

Haris mengulum senyum geli melihat Vanny yang panik. Cewek itu sudah mengenakan pakaiannya dengan lengkap. Dan saat ini ia tengah mondar-mandir di kamar dengan tampang kusut dan menyiratkan kepanikan.

Sementara Haris? Oh, cowok itu masih betah tampil polos di balik selimut. Dengan santai ia duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Melihat Vanny sambil sesekali memainkan ponsel di tangannya.

"Van, udah deh mondar-mandir kayak setrikaan gitu. Emangnya nggak capek apa?"

Melayangkan pertanyaan itu seraya mengecek surat elektronik yang masuk, Haris tidak menyadari sama sekali bagaimana Vanny yang mengepalkan tangan ke arahnya. Seperti cewek itu yang ingin memukul Haris hingga berdarah-darah.

"Kamu keterlaluan, Ris."

Haris mengangkat wajah. Melihat kemarahan yang membuat wajah Vanny memerah.

"Keterlaluan gimana? Orang jelas banget malam tadi itu kita sama-sama suka kok. Aku nggak ada maksa sama sekali."

Kepalan Vanny naik. Haris menunggu. Mungkin saja Vanny akan menghampirinya dan benar-benar memukulnya. Tapi, tidak. Alih-alih cewek itu menggeram dan lantas menghempaskan kepalannya itu.

"Argh!"

Haris tersenyum geli. Ia menaruh ponselnya di nakas acuh tak acuh.

"Lama-lama kamu bisa hipertensi loh, Van, kalau marah terus-terusan kayak gitu. Nggak bagus buat kesehatan."

Sreeet!

Vanny langsung berbalik dengan tangan yang kembali terangkat. Tapi, kali ini bukan kepalannya yang tampak. Melainkan telunjuknya yang menunjuk pada Haris.

"Kamu, Ris," geram Vanny. "Kamu yang nggak bagus buat kesehatan aku."

Tawa Haris sontak meledak sementara Vanny meradang.

"Kamu pasti sengaja kan? Buat ngejebak aku kan?" tanya Vanny membabi buta seraya menghampiri Haris. "Jawab, Ris. Sengaja kan?"

Haris mencoba menghentikan tawanya. Dengan mata berair, ia nyaris tak bisa benar-benar melihat Vanny.

"Ya jelas dong aku sengaja. Aku emang mau menjebak kamu. Siapa tau aja kan dengan begini kamu mau balik lagi sama aku."

Vanny tidak mengira kalau Haris akan berperan sebagai penjahat jujur. Sempat ia mengira kalau Haris akan memasang wajah polos dan berpura-pura tidak berniat sama sekali. Tapi, lihatlah apa yang terjadi. Haris bahkan dengan tampang bangga mengakui semuanya.

"Jadi gimana?"

Haris mengangkat punggungnya dari kepala tempat tidur. Sedikit beringsut mendekati Vanny dan membuat cewek itu ketakutan. Bukan niat Vanny, tapi refleks matanya turun ke bawah. Tertuju pada selimut yang bertumpuk mengelilingi seputaran pinggang Haris.

Seringai timbul di wajah Haris. "Jangan liatin dedek emes aku, Van. Ntar kamu beneran hipertensi loh."

"Dedek emes?"

Mata Vanny mendelik sementara Haris mendehem geli.

"Nggak sudi aku ngeliatin dedek emes kamu, Ris," tegas Vanny dengan wajah memerah. "Justru sebaliknya. Pastikan dedek emes kamu itu nggak sampe keluar dari balik selimut. Kalau sampe keluar ... aku pastikan dedek emes kamu bakal jadi dedek remes."

Deheman geli Haris sontak menghilang. Walau ia yakin Vanny tidak akan benar-benar meremas benda pusakanya itu, tapi tetap saja rasa ngilu seketika hadir. Membuat ia refleks menangkup bagian selangkangannya itu.

"Yang ini nggak bisa diremes, Van," gerutu Haris sambil mencibir. "Beda sama dada kamu. Nah kalau itu---"

Delikan mata Vanny membuat Haris menghentikan perkataannya. Alih-alih lanjut bicara, ia justru tersenyum saja.

"Jadi ... gimana?"

Haris memindahkan topik pembicaraan. Ia tidak akan membahas soal bagian mana yang bisa diremas. Melainkan ia akan membidik kesimpulan dari semua yang telah terjadi di antara mereka.

"Kita ta'arufan? Atau ... aku langsung lamar aja nih? Kepalang kalau kamu nggak mau aku pacarin ya ... kita nikah aja langsung. Gimana?"

Vanny menyugar rambutnya kesal. Ia menggeleng. "Nggak usah macam-macam, Ris. Kamu pikir aja. Lagi aku nggak mau pacaran lagi sama kamu. Gimana ceritanya aku malah mau nikah sama kamu?"

Pundak Haris yang polos naik sekilas. Di sana ada satu pemandangan yang aneh. Sesuatu yang membuat Vanny mengerutkan dahi. Berusaha mengingat.

Jangan ngomong itu bekas gigitan aku.

Benar. Itu memang bekas gigitan Vanny yang tampak di pundak Haris. Satu kenang-kenangan yang Vanny tinggalkan saat mereka bercinta semalam.

Vanny membuang muka. Ke arah lain. Ke mana pun asalkan ia tidak melihat bukti lainnya yang bisa membuat ia semakin malu.

"Beberapa orang cewek memang ada yang nggak mau pacaran, tapi mau langsung dinikahi. Siapa tau aja kamu termasuk ke dalam golongan itu."

Berkacak pinggang, Vanny menggeleng. "Aku mungkin termasuk golongan itu andaikan kamu itu bukan mantan pacar aku."

Haris tidak tersinggung sama sekali. Ia malah menanggapi perkataan Vanny dengan begitu santai.

"Van, kamu tau masalah antara kita nggak bakal selesai kalau kamu terus ngindarin aku tanpa ada penjelasan yang pasti."

Yang dikatakan oleh Haris memang benar.

"Ketimbang kamu ngindarin aku terus, lebih baik kamu duduk sini deh. Emang kaki kamu nggak pegel?"

Sial! Tapi, yang dikatakan oleh Haris kembali benar.

"Kita itu udah sama dewasa. Lebih baik kita rembukan masalah ini dengan musyawarah. Kita sama-sama terbuka dan aku yakin kok semua bakal selesai."

Mengapa bisa Haris lagi-lagi mengatakan hal yang benar?

Namun, Vanny tidak bisa melakukannya. Jujur mengenai alasan mengapa ia memutuskan cowok itu dulu sama saja dengan membuka bagian terburuk dalam hidupnya.

Vanny berbalik. Menatap Haris dengan penuh harap.

"Ris," lirih Vanny tak berdaya. "Kamu nggak bisa berenti melakukan ini semua?"

Kali ini Haris bersandiwara layaknya ia adalah remaja cowok yang polos. Ia menatap Vanny dan balik bertanya.

"Melakukan apa?"

Vanny membuang napas panjang. Tampak lelah dan memang sebenarnya itulah yang terjadi. Tubuhnya terasa remuk di beberapa tempat. Terlebih lagi di bagian kewanitaannya, ada kesan aneh yang tertinggal di sana. Bukan sakit, tapi seperti tak nyaman.

"Melakukan apa pun biar kita bareng lagi."

Vanny menggeleng. Nelangsa melihat pada Haris.

"Aku benar-benar nggak mau balik sama kamu lagi, Ris. Aku mohon ..." Vanny menangkup kedua tangan di depan dada. "... lupakan semua yang ada di antara kita."

Sekarang Haris tidak berpura-pura. Melihat Vanny yang memohon sedemikian rupa padanya membuat ia merasa tak enak. Membuat ia merasa bersalah. Tapi, apa itu berdampak untuk seorang Haris? Tentu saja tidak.

Terlepas dari rasa tak enak itu, yang pasti Haris tidak akan mundur. Karena memangnya Haris pernah memikirkan perasaan orang lain? Oh, sebagai anak manja tentu saja Haris tercipta dengan sifat abai. Terserah dengan yang lain, yang penting ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Aku sih mau-mau aja melupakan semua yang ada di antara kita, Van," keluh Haris dengan mimik tak berdaya. "Tapi, kamu lupa? Aku ini punya ingatan yang kuat loh. Jangankan buat melupakan kamu, eh ... jajanan favorit kamu pas SMA aja masih aku ingat."

Vanny melongo.

"Kamu suka beli mi goreng yang dimasukin ke dalam plastik satu kilo kan?"

Jari telunjuk Haris terangkat. Matanya melirik Vanny dengan sorot geli. Menunggu jawaban yang lantas ia dapatkan dalam satu anggukan.

"Apa aku bilang. Ingatan aku itu kuat. Jadi rasanya mustahil deh aku bisa lupain kamu."

Vanny mengerjap. Sekilas ia menggeleng. Seolah menyadarkan diri dengan hal yang lebih penting ketimbang jajanan mi goreng saat mereka SMA dulu.

Namun, sebelum Vanny sempat bersuara lagi, Haris sudah beranjak dari tempat tidur. Ia buru-buru memalingkan wajah lantaran ingat bahwa Haris tidak mengenakan apa pun di balik selimut itu.

Haris mengulum senyum. Melangkah dengan santai mendekati Vanny. Ia menunduk dengan perlahan.

Tubuh Vanny menegang. Melirik ke samping. Pada tangan Haris yang pelan-pelan turun ke bawah.

"K-kamu mau ngapain, Ris? Kamu---"

Ucapan Vanny berhenti di udara ketika tangan Haris menggapai sesuatu di lantai. Mata Vanny membelalak dan sontak melonjak dari sana. Menghindar ketika Haris memamerkan celana dalamnya yang tadi berada tepat di sebelah kaki Vanny.

"Hahahahaha."

Haris segera mengenakan pakaian. Ia benar-benar menikmati wajah Vanny yang memerah karena malu. Itu mau tak mau mengingatkan Haris akan pemandangan malam tadi. Kurang lebih seperti itulah wajah Vanny saat mereka bercinta.

"Kita udah telat buat sarapan."

Vanny merasakan suara Haris begitu dekat dengannya. Tepat di belakangnya. Dengan kedua tangannya yang lantas bergerak meraih Vanny. Merengkuh di sekitaran perut cewek itu.

Vanny sontak menahan tangan Haris. Tapi, kecupan yang jatuh di puncak kepalanya membuat Vanny tertegun. Di dalam sana, tepat di dadanya, ada sesuatu yang berdesir.

Ringan dan menyejukkan. Persis seperti angin sepoi-sepoi di sore hari yang cerah.

Buru-buru, Vanny berusaha menguasai diri. Agar tidak hanyut dalam euforia yang dengan ahlinya Haris ciptakan.

"Kamu siap-siap. Terus kita cari sarapan di luar sekalian jalan-jalan."

Vanny ingin menolak. Ia bisa saja beralasan dengan tubuhnya yang lelah. Tapi, perkataan Haris selanjutnya membuat ia bungkam seribu bahasa.

"Aku mau nyari oleh-oleh buat Mama. Jujurnya aku nggak tau mau beliin apa. Jadi aku mau minta tolong sama kamu."

Pada akhirnya Vanny hanya bisa mengangguk. Di belakangnya Haris tersenyum mendapati persetujuan cewek itu. Maka ia labuhkan kembali satu kecupan di tempat yang serupa. Untuk kemudian ia berkata.

"Setengah jam lagi aku jemput."

Tuntas mengatakan itu, Haris pun beranjak dari sana. Keluar dari kamar Vanny. Meninggalkan cewek itu seorang diri yang langsung luluh tak berdaya. Bagai kakinya yang tak memiliki tenaga lagi, ia terjatuh. Terduduk di lantai dengan kedua tangan yang menutupi wajah.

"Argh!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top