16. Cie ... Yang Tertangkap Basah

Vanny membeku seluruh tubuh. Merasa percuma saja ia rela-rela tidak makan malam bila akhirnya seperti ini.

"H-Haris."

Haris muncul dengan senyum yang amat lebar. Tepat di depan Vanny, ia berkata.

"Selamat ulang tahun, Van."

Mengerjap sekali, cahaya lilin yang berasal dari kue ulang tahun yang Haris bawa dengan kedua tangannya membuat Vanny tertegun sejenak. Seolah ia butuh waktu untuk meraba situasi saat itu. Untungnya Haris membantu cewek itu dengan bisikan gelinya.

"Ayo tiup lilinnya."

Vanny melihat pada petugas hotel di sana. Tergugu, tapi pada akhirnya ia menunduk. Menuju pada lilin dan mengembusnya pelan.

Tepuk tangan pecah. Petugas hotel yang ada di sana bertepuk tangan untuk Vanny. Apa itu membuat ia senang? Oh, yang ada ia malah menggerutu di dalam hati.

Sepanjang aku hidup baru kali ini ulang tahun aku dirayain sama mantan dan petugas hotel. Bukannya temen-temen yang tepuk tangan. Eh, malah petugas hotel. Ngenes nggak sih?

Hanya saja sepertinya cuma Vanny yang berpikir itu menyedihkan. Haris dan petugas hotel yang tersenyum lebar sepertinya justru berpendapat sebaliknya.

Haris menyerahkan kue itu pada petugas hotel. Ia beralih pada Vanny dan mengajaknya untuk menyingkir sejenak. Memberikan kesempatan untuk para pelayan hotel bergerak. Dan Vanny hanya melihatnya dalam diam. Persis seperti orang linglung.

Jadi di sinilah kemudian Vanny berada beberapa saat kemudian. Bersama dengan Haris di kamarnya. Duduk berdua di meja yang sama dengan hidangan yang tersaji. Ada kue ulang tahun dan juga steak yang menguarkan aroma lezat tak tertahankan. Di sekeliling mereka ada bunga dan dekorasi dadakan yang dengan cepat disiapkan oleh petugas hotel.

Ya Tuhan. Kan benar kata aku. Pasti ada sesuatu di balik diamnya Haris. Dan terbukti.

Haris tersenyum. Mengangkat gelas panjang berisi minuman di tangannya.

"Semoga kamu selalu bahagia, Van. Selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan."

Embusan napas panjang mengalun dari hidung Vanny. Dengan mata yang sedikit menyipit, ia melihat pada Haris yang tengah menyesap minuman itu.

"Semoga saja," ujar Vanny. "Karena yang aku inginkan adalah kamu nggak ngerecokin hidup aku lagi."

Tidak tersinggung ataupun marah, senyum justru tetap bertahan di wajah Haris. Dengan santai ia menaruh kembali gelas minumnya. Melirik pada hidangan di hadapan mereka.

"Ayo, dimakan. Abis itu biar kamu bisa tidur. Kan katanya tadi kamu capek."

Wajah Vanny terasa panas. Sekarang Haris tentu bisa melihat bahwa pesan yang ia kirimkan tadi adalah sebuah kebohongan. Mana ada orang capek yang sesegar Vanny?

Vanny menyerah. Perutnya yang kosong langsung melakukan pemberontakan ketika aroma lezat steak itu masuk ke hidungnya. Ia raih pisau dan garpu yang tersedia. Dan walau saat itu sudah amat telat untuk sepiring makan malam, Vanny tak punya pilihan lain. Pada akhirnya daging itu pun ia iris. Satu suapan yang berarti masuk ke mulutnya.

Sensasi lembut, percikan rempah, dan rasa saus yang khas menyapa indra perasa Vanny. Mau tak mau membuat lidahnya bergoyang dalam irama penuh kenikmatan. Berat mengakui, tapi sajian itu benar-benar memenuhi semua fantasi Vanny untuk makan malam yang lezat.

"Enak nggak?"

Mata Vanny mengerjap. Membuat kunyahannya terjeda sejenak. Sedikit malu, tapi Vanny tak punya pilihan lain. Ia mengangguk dan Haris pun tersenyum.

"Bagus deh," ujar Haris seraya mengiris daging miliknya. "Karena kalau nggak enak, terpaksa aku minta pihak hotel buatin menu yang lebih enak." Garpu dan pisau di tangan Haris berhenti sejenak. Ia berpikir sekilas. "Nasi tumpeng mungkin."

"Gila! Malam-malam nyuruh orang masak nasi tumpeng. Yang bener aja!"

"Itu kan kalau kamu ngomong nggak enak. Sementara barusan kan kamu ngomong enak. Jadi ... semua aman."

Vanny hanya bisa melongo melihat bagaimana entengnya Haris mengatakan itu. Hal tersebut membuat ia memutuskan untuk menuntaskan makan malamnya. Ehm ... waktu yang tepat sih. Daging steak sudah habis di piringnya.

Eh?

Mata Vanny membola. Melihat bahwa piringnya sudah bersih sementara Haris masih melanjutkan makannya. Haris tersenyum geli. Sadar dengan pasti ke mana arah pikir cewek itu.

"Tenang, Van. Punya aku emang lebih banyak kok porsinya ketimbang kamu," ujar Haris. "Atau ... kamu mau habisin punya aku?"

Malunya sukses membuat wajah Vanny memerah dalam rasa panas. Ia menyalahkan perut dan nafsu makannya yang tidak bisa sok jual mahal kala itu. Tapi, berkat aktivitas yang padat rasanya wajar bila tubuhnya meminta asupan makanan dalam jumlah lebih besar ketimbang biasanya.

"Nggak," kata Vanny menebalkan wajah. "Mending kamu habisin itu cepet. Terus kamu balik ke kamar kamu."

Haris yang memang semula berniat untuk menghabiskan potongan terakhir daging itu sontak menaruh pisau dan garpu di tangannya. Ia menatap Vanny.

"Kalau ini nggak habis ... apa itu artinya aku boleh tetap di kamar kamu?"

Mata Vanny membesar. "Bukan gitu konsepnya, Ris."

"Aku pikir gitu."

Haris mengelap bibirnya dengan serbet makan. Melenyapkan dahaga di tenggorokannya dan lantas melihat ke sekeliling. Ia bangkit. Menyalakan televisi dan duduk di sofa.

"Haris!"

Vanny buru-buru bangkit. Menghampiri Haris dengan kedua tangan yang bersedekap di dada.

"Ini udah malam. Mending kamu balik ke kamar kamu deh."

Melalui atas pundaknya, Haris melongok ke meja makan mereka tadi. Dengan wajah sok polos ia berkata.

"Tapi, steak aku belum habis loh, Van. Jadi aku nggak bisa balik ke kamar deh."

Vanny merebut remot televisi di tangan Haris. Memadamkannya tanpa memindahkan tatapannya dari mata Haris.

"Ya kalau gitu abisin sekarang."

Haris menggeleng. "Nggak mau."

Tangan Haris berusaha merebut kembali remot di tangan Vanny, tapi cewek itu mengelak. Tidak memberikannya.

"Pergi dari kamar aku nggak?"

Kembali, Haris menggeleng. "Steak aku belum abis."

"Steak lagi steak lagi," gerutu Vanny kesal. Dari tempatnya berdiri, ia melihat pada piring Haris. Ketika ia kembali melihat pada Haris, ia mendengkus. "Biar aku yang abisin. Biar kamu cepat keluar dari kamar aku."

Dengan remot televisi yang masih di tangannya, Vanny kembali ke meja makan. Langsung mencomot daging itu dengan bantuan garpu. Dalam satu suapan besar, daging itu lenyap ke dalam mulutnya.

Vanny melirik pada Haris yang tampak menoleh padanya dengan bersandar pada sofa. Berbeda dengan dirinya yang tampak manyun, Haris justru mengulum senyum.

"Tuh daging kamu udah abis. Jadi kamu keluar sekarang juga dari kamar aku."

Kedua pundak Haris naik sekilas. Enteng sekali ia bicara. "Kan yang ngabisin bukan aku. Jadi kalau mau ... kamu aja yang keluar."

"Hah?"

Haris bangkit dari duduknya. Dengan langkah ringan ia mendekati Vanny yang bergeming di tempatnya berdiri.

"Tadi kan kamu sendiri yang ngomong kalau dagingnya habis harus langsung keluar dari kamar kamu. Nah! Kan yang ngabisin kamu, jadi kamu dong yang keluar dari sini," ujar Haris geli seraya melirik ke piringnya yang sudah bersih. "Jadi kalau kamu mau keluar dari sini ya ... silakan. Kalau nggak mau ya ... silakan juga. Sama aku santai aja kok."

Bukan begitu maksud Vanny, tentu saja. Hanya Haris saja yang membelokkan kata-kata Vanny dengan begitu ahli. Sukses membuat Vanny berulang kali menarik napas dalam-dalam.

"Dan selagi kamu mutusin mau keluar atau bareng aku di sini ..." Haris dengan tangkas menyambar pergelangan tangan Vanny. Mengambil kembali remot televisi. "... aku mau nonton dulu."

Haris melenggang kembali duduk di sofa yang empuk itu. Dengan televisi yang menyala, ia tampak begitu santai. Kedua tangan terentang di sofa dan satu kaki naik di atas kaki yang lainnya.

Ya Tuhan. Cowok childish kayak gini beneran mantan aku ya? Astaga. Kok bisa ya dulu aku pacaran sama dia?

Lihat saja. Mendapati Haris yang begitu santai di kamarnya membuat Vanny mengepalkan tangannya. Ia mendengkus kasar.

"Terserah kamu deh, Ris! Suka-suka kamu aja."

Vanny menghentakkan kakinya. Putar badan dan ia langsung beranjak dari sana. Masuk ke ruangan lain, tempat di mana ada kasur empuk yang menunggunya. Tak lupa, ia pun menutup pintu. Khawatir Haris akan muncul tiba-tiba.

Merebahkan tubuh seraya memandang langit-langit, Vanny menebak kapan Haris akan merasa bosan. Tidak mungkin kan Haris akan sermalaman di kamarnya hanya menonton televisi? Seharusnya ia merasa kesal dong karena diabaikan. Dan itu akan membuatnya pergi kan?

Namun, ada suara samar yang menggema di benak Vanny. Satu suara yang membuat ia meremang takut.

Haris itu cowok manja yang egois loh. Nggak pernah ada ceritanya dia mundur sebelum dapat apa yang dia mau.

Vanny menggeleng. Berusaha mengenyahkan kenyataan itu. Ia akan menunggu. Merasa yakin, Vanny percaya bahwa Haris akan merasa lelah pada waktunya.

Menunggu hingga saat di mana Haris merasa lelah, Vanny menghabiskan waktu dengan berselancar di dunia maya. Sibuk beberapa hari belakangan ini membuat ia ketinggalan beberapa informasi menarik. Seperti drama korea yang baru rilis, gosip hangat para artis, hingga berita aneh dalam negeri yang membuat ia geleng-geleng kepala.

Tidak terasa satu jam telah berlalu. Vanny yang semula santai saja di atas tempat tidur empuk itu merasakan sentilan rasa penasarannya. Ia melihat ke arah pintu.

Haris udah pergi belum ya?

Vanny memutuskan untuk melihatnya. Keluar dari kamar, ia berjalan dengan perlahan. Tapi, harapannya seketika sirna saat melihat ada kaki yang menjuntai di lengan sofa.

Dasar kelakuan.

Menahan geram, Vanny mendapati di depan televisi yang menyala ada Haris yang berbaring di sofa. Dengan satu tangan di bawah kepala, mata cowok itu tertutup. Begitu pula dengan mata Vanny yang turut memejam dengan tangan yang menepuk dahinya.

Bisa-bisanya dia tidur di sini?

Vanny buru-buru menarik oksigen. Ia harus tenang dan ia akan memastikan Haris segera angkat kaki dari kamarnya.

Mendekati Haris yang tampak nyenyak, niat Vanny semula memang akan langsung membangunkan cowok itu. Tangannya sudah terangkat untuk mengguncang tubuh cowok itu. Tapi, sejurus kemudian tangan Vanny berhenti di udara. Lantaran dua detik ia melihat wajah damai itu terlelap, Vanny tertegun.

Mata Vanny menatap Haris tanpa kedip hingga membuat tangannya turun perlahan. Sadar atau tidak, sejurus kemudian cewek itu justru turun berjongkok. Dengan kedua tangan yang melipat di atas lutut ia memandangi Haris.

Melihat wajah Haris yang terlelap, entah sudah berapa lama waku yang Vanny lalui. Saat itu ia teringat beberapa kenangan mereka ketika mereka masih bersama dulu. Dalam ikatan pacaran yang berjalan tak lebih dari tiga bulan.

Untuk beberapa saat Vanny jelas terjebak dalam suasana kenangan. Yang membuat ia tanpa sadar mengangkat kembali satu tangannya. Tapi, bukan untuk mengguncang Haris. Alih-alih sebaliknya.

Perlahan dan terkesan ragu-ragu, tangan Vanny mengarah pada wajah Haris. Tampak ingin menyentuhnya. Tapi, pergerakanannya berhenti di tengah jalan. Keraguan membuat ia tak yakin untuk melanjutkan niatannya.

"Kalau mau megang ya pegang aja. Aku ikhlas kok dipegang-pegang."

Vanny tersentak. Matanya yang semula sayu seketika melotot. Terlebih ketika matanya bersirobok dengan mata Haris yang tiba-tiba membuka.

Sedetik saling bertatapan, sedetik itu pula waktu yang Vanny butuhkan untuk sadar akan keadaan. Vanny segera menarik tangannya, tapi Haris tidak membiarkannya.

Haris menyambar pergelangan tangan Vanny. Menariknya dengan kuat hingga jeritan kecil tertahan di tenggorokan Vanny. Ada tangan Haris lainnya yang menahan pinggang cewek itu.

Vanny membeku. Ia tertangkap basah dalam keadaan yang memalukan. Dalam situasi yang tak pernah ia duga sebelumya.

"H-Haris."

Vanny meneguk ludah. Rasa panas menjalari kedua pipinya hingga menimbulkan warna merah. Tapi, rasa malu yang ia rasakan belum begitu besar. Belum hingga ada masa di mana Haris kembali bersuara. Dengan mata yang menatap lekat pada Vanny, ia bertanya.

"Jadi ... kamu mau megang aku di bagian mananya?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top