15. Mau Menghindar Gimana Lagi?

Jangan ditanya bagaimana keadaan Vanny setelah menghubungi Esti malam itu. Tentu saja jawabannya cuma satu. Makin pusing. Maka tidak heran sama sekali kalau wajahnya makin kusut di keesokan harinya. Dan itu mendorong Haris untuk kembali menyeletuk ketika mereka sarapan.

"Tuh kan! Kamu pasti kurang tidur lagi loh. Kenapa sih? Apa kamu nggak bisa tidur gara-gara mikirin aku?"

Dugaan Haris memang benar. Tapi, tentu saja bukan dalam konotasi positif seperti yang ada di benaknya. Alih-alih sebaliknya. Vanny mencoba bersabar.

"Bukan karena mikirin kamu, Ris," tampik Vanny menggeleng. "Tapi, karena aku teleponan sama Esti sampe malam."

"Oh."

Haris angguk-angguk kepala seraya mencomot sekeping biskuit. Di hadapannya, Vanny sedang menghabiskan soto. Walau ia merasa tidak nafsu makan, tapi deretan jadwal yang terekam sempurna di kepalanya sukses membuat ia melahap sarapan itu. Setidaknya Vanny masih ada akal waras. Jangan sampai mendadak pingsan dan memberikan kesempatan Haris untuk ngapa-ngapain dia.

Soto sudah habis dan Vanny menutup sendok serta garpunya. Mengelap sekilas bibirnya dengan sehelai tisu, ia berkata.

"Aku duluan ya. Ada yang mau disiapkan dulu."

Namun, Haris menahan tangan Vanny sebelum cewek itu beranjak. Buru-buru bicara sebelum Vanny keburu menepis tangannya dan beranjak dari sana.

"Bentar, Van. Aku cuma mau nanya sesuatu sebelum kita kerja hari ini," ujar Haris. "Ajakan aku semalam gimana? Mau?"

Vanny melepas tangan Haris perlahan. Sungguh itu adalah awal hari yang tidak ia inginkan. Apalagi saat itu bukan sedikit orang yang tengah menikmati sarapannya. Ia tidak ingin menarik perhatian orang banyak.

Satu gelengan Vanny berikan pada Haris. "Nggak. Hari itu aku mau tidur aja seharian, Ris."

"Baiklah kalau gitu," angguk Haris. "Apa boleh buat."

Kelegaan menyeruak di dada Vanny. Membuat ia meninggalkan Haris dengan langkah ringan. Mengira kalau Haris menerima penolakannya. Padahal aslinya tidak begitu.

Masih dengan menikmati biskuit yang tersaji di mejanya, Haris memutar otak. Mencoba mencari jalan untuk meluluhkan Vanny ketika satu panggilan membuat ponselnya berdering di dalam saku. Getarnya lumayan sukses membuat ia kaget.

Ketika melihat siapa yang menghubunginya, Haris menarik napas panjang. Itu adalah Sekar yang meneleponnya. Yang tentu saja ingin tau keadaan Haris selama di sana.

"Iya, Ma. Aku baik-baik saja kok," ujar Haris setelah menyapa dan sedikit berbasa-basi pada ibu kandungnya itu. "Mama gimana? Sehat di sana?"

"Mama sehat. Cuma kepikiran kamu aja. Kapan sih kamu balik?"

Senyum geli timbul di bibir Haris. Sekilas ia mengusap ujung hidungnya yang terasa sedikit gatal.

"Aku loh baru tiga hari di sini, Ma. Aku balik masih lima hari lagi."

"Loh? Kok lima hari lagi? Katanya kamu cuma seminggu di sana."

Tidak mengherankan sama sekali bila Haris mendapati ibunya protes. Tapi, mau bagaimana lagi. Haris sudah memutuskan untuk menambah hari di sana. Lantaran ia ingin mengajak Vanny jalan-jalan seharian penuh.

"Ehm ... aku kan mau keliling juga, Ma. Terus ke pusat perbelanjaannya," ujar Haris. "Mau nyariin oleh-oleh buat Mama tersayang."

Haris yakin kalau alasan itu tidak akan gagal merayu Sekar. Dan terbukti. Suara Sekar terdengar berbeda di detik selanjutnya.

"Kamu ini. Padahal lagi kerja masih saja ingat sama Mama. Kamu memang anak kesayangan Mama, Ris."

Tentu saja. Orang anak Mama kan cuma aku sih.

Sebenarnya itu bukan sekadar alasan kosong belaka. Haris memang berniat untuk mencarikan oleh-oleh untuk sang ibu. Sekalian untuk menikmati hari terakhir bersama dengan Vanny. Bisa dibilang sekali mendayung dua tiga terlampaui.

"Kalau aku emang anak kesayangan Mama ... aku minta doanya dong, Ma."

"Doa? Doa apa?"

Haris sedikit mengubah posisi duduknya kali ini. Di saat ia sulit meyakinkan Vanny, mendadak saja ia teringat perkataan orang-orang. Mintalah agar ibu mendoakan. Mudah-mudahan semua keinginan akan terkabul.

"Doa biar aku lancar jodoh, Ma."

Kesiap Sekar langsung terdengar di seberang sana. Respon yang membuat tubuh Haris menegang. Akan seperti apa tanggapan sang ibu?

"Lancar jodoh? Ehm ... apa itu artinya kamu nggak mau sama Tasya?"

Haris menggeleng seperti anak kecil. "Aku kan sudah bilang kalau aku nggak suka Tasya, Ma. Mama tau nggak? Dia nggak bisa buat telor ceplok loh. Padahal kan dari kecil aku suka makan itu, Ma."

"Aaah. Iya iya iya. Kamu paling suka telor ceplok masakan Mama kan?"

"Iya. Telor ceplok Mama itu yang paling enak."

Sebenarnya itu hanya akal-akalan Haris saja. Pada dasarnya ia memang tidak menyukai Tasya Prederika. Cewek berusia dua puluh tujuh tahun yang sempat dikenalkan oleh orang tuanya beberapa bulan yang lalu. Cewek yang merupakan anak dari teman orang tua Haris.

Dan bila nanti ternyata Vanny tidak bisa memasak telur ceplok juga maka Haris akan memastikan cewek itu belajar pada sang ibu. Atau kalaupun pada akhirnya Vanny tetap tidak bisa juga maka Haris akan mengganti salah satu makanan kesukaannya.

"Jadi ... kamu lagi naksir sama seseorang?"

Walau tak mungkin dilihat oleh sang ibu, Haris mengangguk. "Iya, Ma. Tapi, cewek ini terus saja ngindarin aku."

"Hah? Kok bisa? Anak Mama kok dihindarin sih?"

"Nggak tau, Ma. Tapi, Haris beneran suka sama cewek ini, Ma. Kalau nggak sama dia ... kayaknya Haris nggak mau nikah-nikah deh."

Mulai. Sifat manja Haris bila sedang bicara dengan ibunya keluar. Persis seperti anak kecil yang sedang merengek meminta jajanan.

"Aduh aduh aduh. Jangan ngomong gitu, Ris. Pamalik. Yang penting kamu berusaha dulu. Anak Mama kan hebat. Masa sih ada yang nggak bisa didapatin sama kamu?"

Haris tertegun, merenungi perkataan Sekar.

"Kamu berusaha di sana dan Mama berdoa di sini. Mudah-mudahan itu cewek luluh kok. Kamu jangan nyerah ya, Ris?"

"Mama benar. Selama ini nggak ada yang nggak bisa aku dapatkan."

Benar-benar meresapi perkataan Sekar yang satu itu, otak Haris yang semula susah berpikir mendadak langsung bekerja dengan optimal. Hingga sejurus kemudian ia pun tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Sekar.

"Kamu pokoknya harus berjuang, Ris. Dan kalau sampai cewek itu masih ngindarin kamu, bilang aja sama Mama. Biar Mama datangi rumahnya."

Namun, ide yang satu itu tentu saja tidak akan pernah Haris ambil. Membayangkan ibunya datang ke rumah Vanny membuat Haris bergidik. Itu bukan seperti dirinya yang diganggu dan dibuat nangis oleh teman sepermainan sehingga Sekar menuntut keluarganya. Bukan. Bukan seperti itu.

"Nggak perlu, Ma, nggak perlu. Mama cukup bantu Haris dengan doa aja. Kata orang kan doa ibu itu manjur."

"Apa pun, Ris. Apa pun bakal Mama lakukan biar kamu bahagia. Ntar Mama berdoa tiap saat di sini."

Oke. Haris sudah mendapatkan dukungan moril. Sekarang ia hanya perlu mempersiapkan semuanya dengan apik.

Lihat saja, Van. Akhir-akhirnya kamu bakal balik juga sama aku.

*

Vanny sedikit merasa ada yang aneh. Beberapa hari belakangan ini Haris terlihat anteng dan tidak banyak tingkah. Bahkan tidak pernah membahas soal perayaan ulang tahun lagi.

Ehm ... aneh.

Tanpa sadar, sejak dua puluh menit yang lalu Vanny melihat Haris tanpa berpaling sekali pun. Ketika mereka sedang makan siang kala itu. Rangkaian pekerjaan mereka selama seminggu sudah tuntas dan sekarang waktunya untuk mereka beristirahat.

"Kamu kenyang kalau ngeliatin aku terus kayak gitu?"

Vanny mengerjap dengan wajah yang memerah. Sama sekali tidak tau bahwa Haris menyadari apa yang ia lakukan.

"Ehm," dehem Vanny. "Aku nggak ngeliatin kamu. Nggak usah GR."

Dengkusan tak percaya lolos dari hidung Haris. Tentu saja ia tau kebenaran yang sesungguhnya.

"Lagian aku udah selesai kok makannya."

Haris melirik sekilas pada piring Vanny. Yang ia katakan memang benar. Sebutir nasi pun sudah tak tampak lagi di sana.

"Oh iya, Van. Karena kita masih punya waktu bebas," ujar Haris setelah terlebih dahulu meneguk minumnya. "Aku mau kamu temeni aku besok. Aku mau nyari oleh-oleh buat Mama."

Apa itu salah satu tugas sekretaris? Ehm ... menurut Vanny mungkin saja. Ia mengangguk.

"Dan untuk hari ini ... kamu bisa istirahat lebih cepat."

Vanny belum beranjak. Perkataan Haris membuat ia semakin curiga.

"Kenapa?" tanya Haris ketika menyadari Vanny bergeming. "Kamu masih mau di sini?"

Tentu saja tidak.

"Bilang ke aku, Ris. Kamu ada merencanakan sesuatu di belakang aku?"

Mata Haris mengerjap polos. "Merencakan sesuatu di belakang kamu?"

Mengulang pertanyaan Vanny, Haris tampak melongok. Melihat ke belakang Vanny melalui pundak cewek itu. Dahinya mengerut dan ia menggeleng.

"Di belakang kamu kosong. Nggak ada apa-apa tuh," ujar Haris sok polos. "Bukti kalau aku nggak ada merencanakan apa-apa."

Mata Vanny menyipit. Bangkit, ia menyempatkan memberikan peringatan pada cowok itu.

"Jangan pernah kepikiran buat ngelakukan apa pun, Ris. Karena gimanapun juga aku tau kamu itu gimana."

Haris mengangkat wajah. Melihat pada Vanny dengan sorot ingin tau.

"Emangnya aku tuh kayak gimana?"

"Kamu itu ...," jawab Vanny dengan penuh irama. "... tipe cowok yang nggak bakal berenti sampai keinginan kamu dapet. Dan ngeliat kamu diem-diem kayak gini ngebuat aku curiga aja."

Haris tertawa. "Mungkin kamu harus mulai untuk ber-positive thinking sama aku, Van. Mantan sendiri coba."

"Akhirnya nyadar kan kalau kamu mantan aku," tukas Vanny seraya membuang napas. "Oke kalau gitu. Aku mau ke kamar aja. Aku mau tidur seharian ini."

Tawa Haris berubah menjadi senyum pemakluman. Ia angguk-angguk kepala dengan tangan kanan yang terangkat, mempersilakannya.

Kali ini benar-benar beranjak dari sana, Vanny kembali ke kamarnya dengan perasaan yang masih tidak tenang. Instingnya mengatakan bahwa tidak mungkin Haris berhenti begitu saja. Tapi, ketika Vanny membicarakan hal itu pada Esti, sang sahabat malah meledeknya.

"Dasar cewek. Giliran dideketin sok jual mahal. Eh ... pas si dia beneran mundur malah kebingungan."

Untuk kedua kalinya wajah Vanny memerah dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Tadi karena Haris dan sekarang karena Esti.

"B-bukannya gitu, Es. Cuma aku bingung aja. Aku pikir itu bukan sifat Haris deh."

Helaan napas Esti terdengar di seberang sana.

"Coba deh kamu jujur ke aku sebenarnya kamu tuh maunya gimana, Van? Mau dideketin Haris atau nggak? Karena jujur aja aku tuh rada bosan ya. Tiap hari bahasan kamu itu cuma Haris, Haris, dan Haris. Kamu nggak mau ngomongin yang lain gitu? Kayak ehm ... di sana pernah ngerasa gempa nggak? Atau ... kita mau ngapain pas kamu balik ke sini? Buat ngerayain ulang tahun kamu gitu."

Bola mata Vanny berputar dengan dramatis. Esti bahkan belum ada memberikan ucapan selamat ulang tahun padanya. Tapi, ia justru memikirkan perayaannya nanti. Esti memang teman yang sesungguhnya.

"Kita pikirin acara ultah aku ntar dan aku belum ada ngerasain gempa di sini. Oh ya, untuk kamu tau ... aku tuh bukannya ngarep dideketin Haris. Cuma aku tuh heran aja. Kok dia mendadak diem gini? Aku jadi---"

"Nyerah"

Esti memotong perkataan Vanny dengan satu kata yang ampuh. Yang sukses membuat Vanny terdiam.

"Aku yakin Haris udah dewasa. Dan orang dewasa itu tau kapan waktunya untuk tetap berjuang atau sebaliknya. Dengan sikap kamu ... ya wajar dong kalau Haris akhirnya milih mundur. Ngabisin energi aja. Lagipula ... itu memang kemauan kamu kan? Biar Haris berenti ngerecokin hidup kamu?"

Yang dikatakan Esti memang benar. Tapi, Vanny merasa ada kesan tak nyaman di dadanya. Hingga setelah panggilan itu berakhir, Vanny pun meringkuk di atas tempat tidur.

"Udahlah, Van. Lagipula bener kata Esti. Ini kan kemauan kamu."

Diam melamun seraya melihat pada langit-langit, Vanny membawa kedua tangannya di depan dada. Entah mengapa ia masih berpikir bahwa kemungkinan Haris akan mengejutkannya tetap ada.

"Kalau ternyata Haris cuma akting aja gimana? Pura-pura kayak mau berenti, tapi ternyata sebaliknya?"

Makan malam.

Mata Vanny membesar. Menyadari bahwa momen yang satu itu bisa jadi menjadi kesempatan yang akan dimanfaatkan oleh Haris. Vanny harus berjaga-jaga.

"Oke. Kalau gitu aku nggak mau ngambil risiko," putus Vanny dengan penuh tekad. "Malam ini aku nggak bakal makan malam."

Vanny mengirim pesan pada Haris. Mengabarkan bahwa tubuhnya amat lelah dan ia memutuskan untuk beristirahat tanpa makan malam. Dan semula Vanny pikir itu adalah cara yang jitu untuk menyelamatkan diri.

Hanya saja semua sepertinya gagal total. Karena ketika hari sudah menunjukkan jam sembilan malam, Vanny mendapati bel kamarnya berbunyi. Ia yang bertekad tidak akan membuka bila itu adalah Haris justru keheranan ketika mendapati pelayan hotel yang datang.

Vanny tidak curiga sama sekali. Ia membuka pintu dan kemudian suara terompet serta glitter jatuh di atas kepalanya.

"Selamat ulang tahun."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top