13. Udang Di Balik Bakwan? Enak Dong!
"Kamu kurang tidur, Van?"
Tidak aneh sepertinya bila pagi itu Haris menanyakan hal tersebut pada Vanny. Karena ketika mereka sedang mengantre untuk mengambil sarapan keesokan harinya, Haris mendapati Vanny yang menguap beberapa kali.
Tubuh Vanny tersentak seketika tatkala mendengar suara Haris di belakangnya. Dekat dengan telinganya. Meremang, bulu kuduk Vanny seperti memberikan sinyal padanya bahwa ada sesuatu yang harus diantisipasi.
Vanny buru-buru maju. Menciptakan jarak yang hanya bertahan sedetik lantaran Haris pun turut maju.
Aduh! Namanya juga antre kan?
Menarik napas dalam-dalam, Vanny mencoba untuk mengenyahkan apa yang telah terjadi di antara dirinya dan Haris semalam. Terlebih lagi dengan sikap Haris yang tampak biasa-biasa saja maka Vanny pun mengultimatum dirinya sendiri.
Jangan sampe kamu keliatan norak. Jangan sampe terintimidasi sama Haris cuma karena satu ciuman dan sekali remasan itu.
Eh?
"Kok wajah kamu keliatan kusut banget pagi ini?" tanya Haris. "Persis kayak celana bokser aku kalau baru keluar dari mesin cuci."
Horor Vanny melihat pada Haris. Spontan dengan mimik ngeri seperti ia melihat ada Kolor Ijo yang keluyuran tanpa kolor. Eh?
"Nggak ada perumpaan yang lebih bagus lagi apa?"
Vanny manyun. Bibirnya cemberut hingga Haris yakin bisa mengikat bibir itu dengan karet gelang. Terus dikasih jepit kupu-kupu. Sudah deh! Bibir Vanny pun terlihat cantik. Hihihihi.
Namun, mengabaikan sikap Vanny yang sedikit ketus pagi itu, Haris justru menyadari sesuatu. Bahwa pagi itu Vanny bicara padanya dengan sikap yang biasa. Tidak ada kesan formal di sana dan tanpa ada embel-embel bapak.
Ehm ... ternyata ancaman soal anak-anak kemarin manjur juga. Walau sebenarnya ngebuat Vanny jadi seorang ibu dan terus kami bersatu padu melestarikan penduduk Indonesia dalam bentuk bocah yang imut-imut adalah ide yang sangat bagus.
Sepertinya Haris harus menunda sejenak imajinasinya yang satu itu. Tidak bagus untuk kesehatan jantung. Terbukti. Sekarang Haris jadi berdebar-debar.
"Sorry. Tapi, beneran. Kamu keliatan kusut pagi ini. Kenapa? Kamu kurang tidur?"
Tangan Vanny terulur. Maksud hati ingin mengambil piring, ia justru mendapati bagaimana tangan Haris yang lebih panjang berhasil mendahuluinya. Mengambil piring tersebut dan mengelapnya sekilas dengan sehelai tisu. Lantas memberikannya pada Vanny.
Vanny menyambutnya dengan wajah datar. "Aku nggak bisa tidur," ujarnya menjawab pertanyaan Haris tadi. Ia tak lupa mengambil sendok dan juga garpu. "Makasih."
Menanggapi ucapan terima kasih Vanny dengan anggukan sekali, Haris mengambil piring untuk dirinya sendiri. Dan ketika ia ingin mengambil sendok beserta garpu, Vanny sudah menaruh benda itu di piringnya. Senyum kecil timbul di wajah Haris.
"Tuh kan kamu nggak bisa tidur. Coba kalau kita tidur bareng. Udah pasti deh aku tidurin."
Vanny yang semula ingin mengambil nasi goreng sontak menoleh ke belakang. Mendelik pada Haris. Dan cowok itu langsung menutup mulutnya.
"Ups!" kesiap Haris pura-pura salah bicara. "Maksudnya bisa aku nina boboin. Aku timang-timang. Biar kamu bisa tidur."
Tentu saja Vanny tidak percaya. Ia melotot dan buru-buru mengambil nasi gorengnya. Berikut dengan satu telur ceplok dan sambal goreng.
Haris mengulum senyum geli ketika melihat Vanny yang buru-buru pergi dari sana. Langsung menuju satu meja yang kosong. Dan Haris yang menyusulnya.
Tidak langsung menikmati sarapannya, ternyata Vanny kemudian beranjak kembali. Demi mengambil sepiring buah, sepiring aneka roti serta biskuit, dan juga sepiring kerupuk. Tak hanya itu. Ia pun tak lupa mengambil dua gelas air putih, secangkir teh, secangkir kopi, dan dua gelas jus jeruk.
Tepuk tangan tanpa suara menyambut Vanny yang akhirnya duduk pula di hadapan Haris. Decakan kagum lolos dari bibir cowok itu.
"Wah! Aku semakin yakin buat pacarin kamu, Van. Masih mantan aja udah dilayani gini. Apalagi kalau kita pacaran lagi?"
Haris mencomot sepotong semangka merah tanpa biji dengan bantuan garpu kecil. Menikmati sensasi segar dan manis buah itu yang langsung memenuhi mulutnya. Sungguh permulaan yang bagus.
Sementara Vanny memilih untuk menikmati jus jeruknya terlebih dahulu. Tuntas minuman manis asam itu membasahi tenggorokannya, ia mendengkus.
"Nggak usah ngomong yang aneh-aneh deh, Ris. Ini masih pagi."
Sekarang Haris mengambil sepotong melon. Langsung melahapnya dalam satu suapan besar. Dengan garpu kosong di tangannya itu Haris menunjuk Vanny.
"Oke. Kita omongin ini ntar siang."
Mata Vanny membesar. "Nggak gitu konsepnya, Ris."
"Konsep aku sih gitu," ujar Haris seraya menaruh kembali garpu kecil itu di piring buah. Ia memutuskan untuk mulai menikmati nasi gorengnya. Suapan pertama terasa pas di lidahnya. "Oh ya. Gimana jadwal hari ini?"
Perubahan topik yang tiba-tiba. Begitu pula dengan ekspresi wajah Haris. Bila tadi terlihat santai maka sekarang tampak lebih serius.
Vanny mendehem. "Jam delapan kita akan bertemu dengan Pak Bachtiar di lokasi. Beliau bersama dengan tim sudah menunggu kedatangan Bapak."
Hebat. Sepertinya Vanny dan Haris memiliki program terkini untuk bisa mengganti topik dan cara bicara satu sama lain dengan cepat dan tanpa khilaf.
Selesai menikmati sarapan itu Vanny dan Haris kembali ke kamar terlebih dahulu. Sekadar untuk menyiapkan beberapa keperluan mereka. Terutama Vanny, tablet dan buku catatan tak lupa ia masukkan ke dalam tas kerja.
Sekitar setengah jam kemudian Vanny dan Haris sudah meninggalkan hotel. Dengan Pak Joko yang mengendari mobil, mereka bersama-sama menuju satu tempat yang sedikit terasing dari keramaian kota Bengkulu.
Itu adalah lokasi pembangunan resort yang berlokasi di kawasan Pantai Sungai Suci. Satu tempat wisata terkenal di Bengkulu. Tepatnya terletak di Kabupaten Bengkulu Tengah.
Memiliki keindahan laut lepas, pantai ini tidak hanya mempesona dengan deburan ombaknya. Alih-alih keindahan alamnya pun amat memesona. Sebut saja kehadiran batu-abtu karang yang besar di sana, keasrian lingkungannya yang masih sangat alami, dan juga batu-batu karangnya.
Namun, dari sekian banyak pesona yang pantai itu miliki, adalah tebing bebatuan yang menjadi ciri khasnya. Di mana tebing bebatuan itu amat cadas sehingga menarik perhatian mata setiap pengunjung.
Keunikan lainnya di mana akses menuju pantai itu akan mengantarkan setiap pengunjung menjejakkan kaki di salah satu tebing cadas tersebut. Maka tidak aneh bila ketika pengunjung memandang ke bawah akan ada deburan ombak yang menyambut. Itu layaknya bukit dan pantai yang menjadi satu.
Sekilas memandang, orang-orang akan sepakat bahwa keunikan Pantai Sungai Suci itulah yang menjadi daya pikat. Dan Haris pun sepakat. Ketika ia tiba di sana ia menyadari mengapa rekan bisnisnya mengadakan pembangunan di sana. Terlepas dari tempatnya yang sedikit tersembunyi dari pusat kota, itu jelas adalah investasi yang bagus.
Seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai menipis menyambut kedatangan Haris. Berjabat tangan sekilas mereka lantas langsung menuju pada topik pembicaraan seraya melihat-lihat lokasi yang akan menjadi tempat berdiri resort tersebut.
"Bagaimana dengan perizinan kelayakannya, Pak?"
Melihat ke sekitar, Haris tau salah satu hal yang bisa menghambat pembangunan adalah perizinan kelayakan. Di mana hal itu berkaitan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau yang biasa dikenal dengan istilah Amdal. Secara garis besar ini adalah kajian untuk menduga seberapa besarnya dampak kegiatan terhadap beberapa aspek yang meliputi sosial, ekonomi, atau bahkan lingkungan. Dan untuk rencana pembangunan resort di salah satu kawasan pantai tentulah kepentingan lingkungan menjadi hal yang patut diperhatikan.
Bachtiar tampak mengusap kedua tangannya satu sama lain. Wajahnya terlihat bebas ekspresi. Terlihat biasa-biasa saja ketika menjawab.
"Dalam proses, Pak. Beberapa tim peneliti sudah mengecek. Dan kemungkinan hasilnya bisa didapat dua hari lagi."
Haris melirik. "Kemungkinannya?"
"Kemungkinannya oke, Pak," jawab Bachtiar. "Karena lokasi resort berada di dataran yang kokoh. Selain itu memang sedikit terasing dari pemukiman warga. Jadi secara sosial dan lingkungan pembangunan ini tidak memberikan dampak yang negatif."
"Lagipula sepertinya pembangunan resort di sini akan memberikan keuntungan bagi penduduk," ujar Haris seraya mengusap ujung dagunya. "Mereka bisa memanfaatkan kehadiran turis untuk meningkatkan pendapatan ekonomi."
Bachtiar mengangguk. "Itu yang menjadi salah satu pertimbangannya, Pak. Terutama karena penduduk di sini mayoritas masih sangat bergantung dengan perkebunan sawit."
"Mereka punya perkebunan sawit?"
"Tidak semua, Pak. Kebanyakan dari mereka hanya buruh."
Haris mengangguk. Tak berlama-lama membahas itu, ia pun menanyakan hal yang lainnya. Tanpa sadar bahwa sedari tadi Vanny yang mengekori dua pria berbeda zaman itu menatap Haris.
Kalau ngeliat dia serius gini ... enak juga sih. Keliatan berwibawa dan pinter. Beda banget pas waktu SMA dulu.
Karena memang setelah mereka tamat SMA, Vanny dan Haris tidak saling bertemu lagi. Lebih dari itu mereka pun tidak berhubungan lagi. Maka bisa dibayangkan selama apa mereka layaknya terpisah. Bertemu lagi di saat keduanya sudah sangat berbeda. Haris dengan ketampanan dan kejayaannya sementara ....
Aku dengan kejijayan dan kengenesan. Ehm ... beda tipis.
Memalukan, tapi menurut kacamata Vanny itulah kenyataannya. Hingga membuat ia bertanya-tanya. Mengapa dulu ia bisa berpacaran dengan Haris? Bagi Vanny itu adalah hal yang aneh. Mereka jelas berada di dunia yang berbeda. Dan bagaimana orang yang berasal dari dunia yang berbeda bisa bersama?
"Van!"
Vanny terlonjak. Kaget dan mengerjap sekali, ia mendapati Haris yang sudah berada sekitar sepuluh meter di depan. Astaga! Jangan katakan kalau Vanny melamun.
Ugh!
Vanny buru-buru berlari menghampiri Haris. Tampak mata cowok itu sedikit membesar. Argh! Vanny merasa ciut juga.
"Ehm ... sekretaris baru ya, Pak?"
Pertanyaan Bachtiar membuat Vanny melirik pada pria itu. Haris mengangguk.
"Sekretaris kedua saya, Pak," jawab Haris. "Baru sebulan ini karena Bu Astrid memang saya fokuskan untuk di kantor."
Bachtiar hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tampak melihat penampilan Vanny dari atas hingga bawah. Sukses membuat Vanny merasa tidak nyaman karenanya.
Mereka melanjutkan pembicaraan itu nyaris hingga satu jam lamanya sebelum jadwal Haris yang lainnya datang. Praktis seharian itu Haris dan Vanny menghabiskan waktu di jalanan dan beberapa tempat yang berbeda. Dan ketika mereka sudah tiba kembali di hotel, saat itu matahari sudah bersiap untuk terbenam.
Vanny merasa tubuhnya akan rontok dan tulang belulangnya berjatuhan di lantai. Atau mungkin saja ia akan merayap karena sudah tidak sanggup berjalan lagi. Haris tersenyum geli.
"Kamu masih sanggup kan?"
Pertanyaan itu Haris layangkan saat mereka sudah berada di dalam lift. Menuju ke lantai di mana kamar mereka berada. Pada saat itu Vanny menoleh. Memperlihatkan wajah letih dan kusut yang semakin menjadi-jadi.
"Nggak tau," jawab Vanny. "Kayaknya aku udah mau pingsan bentar lagi."
Kekehan meluncur dari tenggorokan Haris. "Masa begitu saja sudah mau pingsan?" godanya. "Mana Vanny yang dulu aku kenal? Yang setiap ada lomba olahraga selalu juara pertama?"
Kali ini Vanny yang terkekeh. Ingat dengan benar bagaimana kalau ada tanding olahraga antar kelas maka ia pasti akan berada di posisi terdepan.
"Vanny yang itu udah nggak ada," kata Vanny kemudian setelah kekehannya sedikit mereda. "Sekarang aku udah tua dan badan aku udah nggak sekuat yang dulu lagi."
"Hahahahaha. Baru dua puluh sembilan, Van. Masih muda juga."
"Eh?"
Mengerutkan dahi, Vanny sepertinya menyadari sesuatu. Ia kembali menoleh. Bertanya dengan nada penasaran.
"Kamu tau umur aku?"
Haris memutar bola matanya. Pintu lift membuka dan mereka keluar bersama-sama. Sekilas Haris melirik pada Vanny.
"Kita perrnah pacaran, Van. Dan terlepas dari konsep aku yang masih nganggap kita pacaran sementara kamu sebaliknya ...," ujar Haris seraya menarik napas. "... jelas aja aku tau umur kamu. Bahkan dengan tanggal lahirnya."
Menyedihkan memang. Tapi, karena mereka hanya pacaran selama tiga bulan maka tentu saja keduanya tidak sempat merayakan ulang tahun masing-masing kala itu. Dan inilah yang membuat Vanny terkejut ketika menyadari Haris tau usianya.
Vanny telah sampai di kamarnya. Haris menghentikan langkah kakinya pula.
"Kamu ulang tahun lima hari lagi kan?" tanya Haris kemudian. "Tanggal enam belas."
Bola mata Vanny membesar. Tapi, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya lantaran ada senyum yang tersungging di wajah Haris. Senyum itu tampak begitu beda.
Di tangannya Vanny sudah memang kunci kartu kamarnya. Hanya saja ia belum memutuskan untuk segera masuk. Ada tangan Haris yang menahan tangannya.
"Kamu nggak keberatan kan ngerayain ulang tahun bareng aku?"
Mata Haris menatap Vanny. Lekat dan penuh kasih. Hingga Vanny sukses membeku karenanya.
"Berdua aja."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top