12. Nggak Niat Sih, Tapi ....

Sedetik ketika Vanny menyadari ada sentuhan lembut yang jatuh di bibirnya, sedetik itu pula waktu yang ia perlukan untuk segera menyadari situasi yang tengah terjadi. Dan sedetik kemudian ia berusaha untuk langsung mendorong Haris. Tapi, ketika sedetik selanjutnya ia mendapati bibir Harry melumat bibirnya dengan penuh irama, maka sedetik juga waktu yang ia butuhkan untuk lantas memejamkan mata.

Sungguh! Haris berani bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berniat untuk melakukan itu. Tapi, ketika bibir Vanny ada di depan wajahnya dengan keadaan membuka, bagaimana bisa otaknya tetap waras? Maka tidak aneh bila Haris kemudian memerangkap bibir Vanny dalam satu ciuman yang ia berikan.

Namun, tentunya itu bukan hanya sekadar satu ciuman belaka. Karena ketika Haris merasakan kelembutan bibir Vanny, maka niatannya semula yang hanya ingin mengecup singkat sirna sudah. Alih-alih tergantikan keinginan untuk menikmati dalam waktu yang lebih lama lagi.

Terlebih lantaran Haris tidak mendapati penolakan dari Vanny, maka rasa sungkan dan segan pun langsung melenyapkan diri dari kamus besar bahasa Haris. Semua kosakata di dalam sana tergantikan oleh satu kata.

Lagi? Lagi. Lagi ....

Tangan Haris bergerak. Meraih pinggang Vanny dan menarik tubuh rampingnya. Bersamaan dengan itu, kedua tangan Vanny pun turut bergerak. Mendarat di dada bidang Haris. Bergeming di sana sementara satu tangan Haris yang lainnya menahan tekuk Vanny.

Mengecup bibir Vanny, betapa Haris tidak pernah mengira bahwa akan ada hari di mana ia dapat bertemu lagi dengan cewek itu. Terlebih lagi dalam skenario yang benar-benar di luar dugaannya. Membangkitkan kenangan masa lalu yang mendorong Haris melakukan beragam tindakan tak wajar. Termasuk di dalamnya memanfaatkan kekuasaan untuk memastikan Vanny tetap berada di dekatnya.

Bahkan sekarang bila Haris dituding memanfaatkan situasi dan kondisi pun ia tak akan menampik. Ia akan menerima tuduhan itu dengan penuh suka cita. Karena ya ampun! Itu amat setimpal dengan apa yang ia dapatkan.

Haris menelengkan wajahnya ke satu sisi. Mengambil posisi yang tepat untuk dapat menikmati sudut bibir Vanny lebih leluasa. Lidahnya menjulur. Memberikan sentuhan di sana dan menerbitkan senyum geli di wajah Vanny. Membuat bibirnya refleks untuk membuka lebih lebar lagi.

Lidah Haris masuk. Tak mendapati satu pengusiran pun ketika jelas kehangatan itu menyambut dirinya di dalam sana. Dalam bentuk satu sentuhan samar yang diberikan lidah Vanny.

"Aaargh ...."

Mengerang samar, sepertinya Vanny tidak sadar bagaimana kedua tangannya yang semula berada di dada Haris perlahan bergerak. Seolah mengikuti pergerakan yang terjadi di dalam mulutnya, jemari cewek itu merayap. Melata dalam pergerakan samar dalan sentuhan yang membuat jantung Haris bertalu-talu di dalam sana.

Tangan Haris di pinggang Vanny bergerak. Makin melekatkan tubuh mereka. Hingga tak ada lagi celah yang tercipta tatkala lidah Haris melakukan godaan di dalam sana.

Dua lidah bertemu. Saling menyapa dalam basah. Saling menjerat dalam kehangatan. Mereka saling memuja. Mendewakan satu sama lain ketika tarian itu membuat keduanya sama terperangkap. Dalam desahan. Dan dalam erangan.

Itu tentu saja suara yang menerbitkan adrenalin. Pemicu untuk Haris mencicipi yang lebih lagi. Hingga ia pun tak kuasa menahan dorongan diri. Ia lumat lidah Vanny. Memagutnya dengan penuh penuntutan. Dan memberikan gigitan-gigitan kecil di sana.

Vanny sontak meremas rambut Haris. Dalam satu bentuk antisipasi ketika merasa betapa dirinya bagai tersentak. Ia seolah baik air yang meluap dalam gejolak yang memenuhinya.

Sementara Haris jelas merasakan lebih dari itu. Dirinya bukan lagi meluap. Alih-alih terbakar dalam sensasi yang membuat akal sehatnya perlahan memudar. Pelan-pelan lenyap sehingga tangannya yang menahan tekuk Vanny bergerak. Pindah dari sana dan langsung mendarat di payudara Vanny.

Menunggu sedetik, hasilnya sama. Vanny tidak memberikan penolakannya. Tapi, nahas. Ketika jari-jari Haris baru saja akan bergerak dalam satu remasan, ada satu suara nyaring terdengar.

"Kriiing!"

Sontak saja kedua anak manusia itu terlonjak kaget. Ketika keduanya terbuai oleh sentuhan yang saling mereka berikan satu sama lain, ada dering dan getar yang membuat mereka tersadar akan kenyataan. Akan apa yang telah mereka lakukan untuk beberapa menit yang lalu.

Vanny sontak menarik tangannya dari rambut Haris. Pun buru-buru melepaskan diri dari rengkuhannya. Cowok itu tampak linglung dengan satu tangan yang melayang di udara. Dengan kelima jari tangan yang membuka. Yang sayangnya baru saja kehilangan satu bagian yang baru ia sentuh sebentar.

Astaga.

Haris mengerjap. Tangannya turun dan ia meneguk ludah. Melihat pada Vanny yang tampak kelimpungan. Ia mengusap wajah dan lantas melotot.

"K-kamu ngapain, Ris?"

Sungguh berat bagi Haris untuk bisa berpikir kala itu. Sistem kerja tubuhnya terganggu.

"A-aku---"

"Kriiing!"

Dering ponsel itu kembali menyentak keduanya. Kembali menjeda semua yang terjadi di antara mereka. Dan Vanny yang perlahan mulai mendapatkan kembali akal sehatnya memanfaatkan hal tersebut.

Vanny mendorong Haris. "Udah nggak ada lagi yang perlu kita bahas. Aku mohon keluar dari kamar aku sekarang."

Tentunya Haris tidak mau. Pada kenyataannya ia belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Lagipula ia sudah berjanji bukan? Bahwa ia tidak akan pergi dari kamar Vanny sebelum mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya.

Namun, keteguhan Haris sepertinya harus mengalah kali ini. Lantaran Vanny yang tampak frustrasi berkat ciuman itu nyaris histeris.

"Please, Ris. Keluar dari kamar aku. Aku mau istirahat!"

Vanny benar-benar terlihat kesal, bingung, dan berantakan. Hingga entah sadar atau tidak, nyatanya ia membentak Haris. Cowok itu tertegun. Vanny benar-benar terlihat panik dan kacau. Mau tak mau membuat Haris merasa bersalah juga.

"Oke, Van, oke."

Haris bergeming ketika Vanny kembali mencoba mendorongnya. Beda kekuatan di antara mereka jelas membuat Vanny tak bisa berbuat banyak.

Kedua tangan Haris terangkat di depan dada. Layaknya penjahat yang memberikan isyarat menyerah.

"Aku keluar. Aku pergi."

Vanny menghentikan usahanya untuk mendorong Haris. Ia melihat cowok itu dan mendapati keseriusannya. Haris tidak akan berbohong. Ia benar-benar akan keluar dari kamar Vanny.

"Kamu istirahat. Tidur yang nyenyak."

Mata Vanny memejam dengan dramatis. Ia tak peduli dengan semua pesan itu. Jelas Vanny menganggap dirinya bukan lagi remaja tujuh belas tahun yang akan tersentuh dengan hal semacam itu.

Namun, Haris tidak peduli. Bahkan bila Vanny menganggap itu kekanakan, ia akan tetap mengatakannya. Pun termasuk tindakan yang satu itu. Yang ia lakukan tepat sebelum ia keluar dari kamar Vanny dengan kesadarannya sendiri.

Haris memanfaatkan fakta di mana Vanny masih memejamkan mata. Demi melabuhkan satu kecupan di dahi cewek itu. Lantas ia berkata.

"Aku sayang kamu, Van."

*

"Estiii! Hwaaa! Aku mau balik aja, Es! Aku nggak mau nemenin Haris di sini!"

Menjerit seperti orang gila, Vanny mencak-mencak di atas tempat tidur. Membuat keadaan di sana berantakan dalam waktu singkat. Entah itu selimut, seprai, atau bahkan bantal, tak tau lagi bentuknya. Amat acak-acakan.

Itu adalah telepon dari Esti. Yang membuat ciuman Vanny dan Haris harus berakhir menjadi sebatas ciuman belaka. Tanpa diikuti oleh cumbuan selanjutnya.

Eh?

Lupakan soal ciuman itu. Intinya adalah Vanny merasa bersyukur karena Esti menghubunginya di waktu yang tepat. Di waktu sebelum ciuman itu merambah ke hal-hal lainnya.

Vanny sontak bangkit dari posisi berbaringnya. Duduk dengan rambut acak-acakan dan wajah horor. Tangannya yang bebas langsung naik dan mendarat di payudaranya. Bagian yang sempat mendapatkan remasan samar kelima jari Haris.

"Haris kurang ajar!!!"

Kembali menjerit untuk yang kesekian kalinya, Vanny bahkan tidak peduli kalau suaranya terdengar sampai keluar. Menjerit dan menjerit untuk melampiaskan rasa kesalnya, dijamin. Vanny pasti bisa membuat minder orang gila.

"Van! Van! Van! Astaga. Kamu ini kenapa sih teriak-teriak. Bisa pecah gendang telinga aku. Dari tadi aku nelepon kamu bawaannya teriak-teriak mulu. Kenapa? PMS?"

Kalau saja Esti tidak memberondong dirinya dengan kata-kata sepanjang kereta api itu, tentunya Vanny akan kembali menjerit dan berteriak tiada henti. Hanya berkat satu kata tanya itulah sehingga Vanny sontak menghentikan jeritannya. Karena alih-alih kembali menjerit, sekarang ia justru menggeram seraya meremas bantal.

"Haris, Es, Haris."

Semoga saja Esti diberikan ketabahan di seberang sana. Karena untuk menghadapi Vanny yang tengah frustrasi seperti ini jelas dibutuhkan orang yang hatinya dipenuhi rasa sabar tanpa batas.

"Iya, Van. Tapi, Haris kenapa?"

Vanny meremas bantal semakin kuat. Demi melampiaskan emosi yang saat itu terasa panas membakar dadanya.

"Haris ...."

Vanny mengerutkan dahi. Mendadak ia bingung sendiri.

"Iya. Haris kenapa?"

Vanny tentu tidak bisa menceritakan pada Esti kalau Haris mencium dirinya kan?

"Van? Kenapa dengan Haris?"

Vanny juga tidak bisa menceritakan detail bagaimana Haris hampir meremas payudaranya kan?

"Van!"

Vanny tersentak. Bentakan Esti sukses membuat ia mengerjap berulang kali seperti orang bodoh.

"E-eh? I-iya, Es," sahut Vanny gelagapan. "Kenapa?"

"Kenapa? Loh kok malah kamu yang balik nanya sama aku?"

Vanny memegang kepalanya. Sepertinya ia memang linglung sekarang.

"Kan tadi aku yang nanya sama kamu. Kenapa? Tepatnya ... Haris itu kenapa? Apa yang dia lakukan sampe kamu mau balik malam ini juga? Sampe kamu nggak mau nemenin Haris di sana? Kenapa, Van?"

Ya Tuhan.

Mata Vanny terpejam dan ia merutuki dirinya sendiri. Mengumpati sistem kerja tubuhnya yang masih kacau bahkan setelah beberapa menit berlalu dari ciuman itu.

Vanny menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk mengendalikan diri. Mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap tenang. Jangan sampai ia menceritakan hal memalukan itu pada Esti.

Jangan, Van, jangan. Aib, itu aib namanya. Ciuman sama mantan dan sampe remas-remasan itu namanya aib! Dan aib harus dijaga!

Sejurus kemudian, Vanny mendapati dirinya lebih tenang. Napasnya yang sedari tadi menderu perlahan stabil lagi.

"Ehm ..."

Vanny berharap agar kebohongan yang akan ia lakukan bisa menipu Esti. Tidak bermaksud melakukan itu sebenarnya, tapi Vanny tidak punya pilihan lain. Walau ia sadar bahwa selama pertemanan mereka, nyaris Vanny tidak pernah berbohong pada Esti. Dan bila itu berkaitan dengan alasan Vanny memutuskan Haris yang tidak diketahui Esti, maka Vanny memiliki pembelaannya sendiri. Ia bukannya berbohong, tapi tidak menceritakannya. Dan itu dua kasus yang berbeda.

"... Haris itu merepotkan banget, Es."

"Merepotkan?"

Vanny menggigit bibir bawahnya sekilas sebelum menjawab keraguan Esti. Dengan beberapa kenangan yang masih melekat kuat di benaknya, ia tak sulit untuk mengatakan bahwa.

"Haris itu manja banget. Masa makan maunya berdua. Sementara kan aku sama dia itu cuma bos dan bawahan. Masa aku harus nemenin dia makan sih?"

Terdengar deheman Esti sebelum suaranya terdengar. "Technically, bukannya emang kamu harus nemenin dia makan ya? Maksud aku di drakor-drakor biasanya bos emang makan ditemenin sama sekretaris. Dan itu pun pasti mereka makan sambil ngebahas soal kerjaan."

Mata Vanny membesar mendengar perkataan Esti.

"Tapi, ini kan bukan drakor, Es."

"Ah! Kamu benar. Kehidupan kamu juga bukan drakor. Tapi, persis kayak sinetron Indonesia yang beribu-ribu episode. Lagian kamu kurang cakep buat disandingkan sama drakor. Hahahahaha."

"Asem!"

Vanny manyun. Sempat mengira ia akan mendapat pembelaan dari Esti, yang ia terima justru sebaliknya.

"Jadi ...," ujar Vanny kemudian. "... ngapain kamu nelepon aku?"

Tawa Esti masih menggema untuk beberapa saat lamanya. Hingga pada akhirnya tawa itu berhenti dan Esti berkata.

"Aku nungguin kabar kamu. Udah sampe atau justru pesawat kalian jatuh gitu."

Ekspresi wajah Vanny berubah horor. "Tega amat ya ngomongnya gitu."

"Hahahahaha."

Lagi deh tawa Esti terdengar. Kembali sukses membuat Vanny manyun lagi.

"Bukannya tega. Tapi, aku itu khawatir dan bingung. Kenapa kamu belum ngabarin aku. Jadi wajar kan aku mikir yang buruk?"

Memang sih. Yang dikatakan oleh Esti memang benar. Vanny lupa mengabari Esti. Tapi, itu bukan disengaja.

"Sorry. Tadi pas sampe ada beberapa yang aku urus di sini. Makanya aku lupa ngubungin kamu."

Helaan napas Esti terdengar jelas di telinga Vanny. Mau tak mau membuat senyum cewek itu mengembang. Merasa senang karena Esti sangat memerhatikannya terlepas dari sifatnya yang terkadang menguras kesabaran.

"Syukurlah kalau gitu. Sumpah. Aku dari tadi itu beneran nggak tenang."

Senyum Vanny semakin mengembang. "Segitunya?"

"Iya, segitunya. Karena aku tuh was-was. Itu kamu belum ngubungin aku karena ada sesuatu yang terjadi di penerbangan atau ..."

Mungkin pada akhirnya Vanny akan mencoret nama Esti sebagai orang yang sangat memerhatikannya. Alih-alih memasukkan Esti ke dalam daftar nama orang yang benar-benar menguras kesabarannya. Itu adalah karena Esti bertanya.

"... ada sesuatu yang terjadi sama kamu dan Haris?"

Sialan! Kok Esti bisa nebak sih?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top