11. Semua Yang Serba Tak Terduga
Untuk beberapa saat lamanya, dua pasang mata itu saling menatap satu sama lain dengan minimnya kedip yang terjadi. Hening, Haris dengan sengaja memilih untuk diam. Dalam upaya memberikan kesempatan bagi Vanny untuk memberikan jawaban yang ia inginkan. Tapi, nyatanya lima menit justru berlalu begitu saja dalam kebisuan.
Vanny tidak menjawab pertanyaan tersebut. Alih-alih bibir cewek itu terkatup amat rapat. Seperti membantengi diri untuk tidak terlepas mengucapkan satu kata pun.
Melihat itu Haris menarik napas sedalam mungkin. Ia mencoba bersabar. Yang mana sebenarnya itu bukanlah sifatnya.
"Van," lirih Haris kemudian. "Kamu nggak mau jawab pertanyaan aku?"
Tampak ekspresi tak berdaya di wajah Vanny. Ia tetap tidak memberikan jawaban yang diinginkan oleh Haris. Alih-alih hanya menggeleng.
"Please, Ris. Semua itu udah lama banget."
Haris tidak akan mundur. Walau ia tau yang dikatakan oleh Vanny memang benar adanya, tetap saja. Haris ingin rasa penasarannya terjawab.
"Walau udah lama," ujar Haris membalas perkataan Vanny. "Bukan berarti itu ngubah kenyataan kalau kamu udah mutusin aku secara sepihak."
Vanny tertohok. Jantungnya seperti tidak berdetak ketika Haris mengatakan itu dengan penuh penekanan.
"Tanpa ada alasan apa pun."
Tak bisa mundur atau mengelak, Vanny membeku total ketika perkataan Haris lagi-lagi menghunjam dirinya.
"Tanpa ngasih aku kesempatan buat ngebela diri."
Memang. Dan kenyataan yang terakhir itu membuat Vanny tampak nelangsa. Wajahnya terlihat putus asa dan juga menyedihkan. Seperti pasrah pada penghakiman yang sedang masa lalu lakukan padanya.
Haris mengepalkan jari tangannya yang bertahan pada dinding. Sikunya lantas sedikit menekuk ketika si empunya semakin menunduk. Vanny menahan napas.
"Jadi aku menuntut penjelasan, Van. Apa alasan kamu sampe mutusin aku dulu?"
Buku-buku jari Vanny di bawah sana sudah amat memutih ketika kepalannya semakin lama semakin menguat. Bahkan mungkin peredaran darahnya pun turun berhenti saking kuatnya kepalan itu. Menghadirkan rasa dingin yang lantas menjalar ke tiap sisi tubuh Vanny.
"Aku janji, Van. Aku nggak bakalan pergi dari kamar kamu sebelum kamu jawab pertanyaan aku."
Vanny menatap Haris dengan sorot tak percaya. Dan cowok itu membalas tatapannya dengan mata yang menyipit.
"Kenapa?" tanya Haris. "Kamu nggak percaya kalau aku beneran bakal tetap di sini sampai kamu jawab pertanyaan aku?"
Mata Haris kian menyipit. Kali ini dahinya pun turut mengerut dalam ekspresi menduga yang mendadak menghiasi wajahnya.
"Atau ... kamu sengaja ya nggak mau jawab pertanyaan aku? Sengaja biar aku nggak pergi dari kamar kamu?"
Tentu saja Vanny melongo mendengar pertanyaan dengan nada menuding yang Haris tujukan padanya. Ia mengerjap dan bertanya dengan terbata.
"A-apa kamu bilang? Aku sengaja?"
Satu tangan Haris yang bebas buru-buru menutup mulutnya sendiri kala ia terkesiap dengan penuh irama. Bola matanya yang membesar adalah pertanda bahwa tuduhan itu benar-benar terbersit di benaknya.
"Jangan bilang kalau kamu justru mau aku nginep di kamar kamu ya?"
Vanny seketika mendelik. Pertanyaan Haris dengan amat ampuh mengusir ketegangan yang sempat membekukan tubuhnya sedari tadi. Kaku yang ia rasakan sirna seketika.
"Kamu jangan ngomong yang aneh-aneh deh, Ris," ujar Vanny tanpa tedeng aling-aling. "Ngapain juga aku mau kamu nginep di kamar aku? Terus aku nginep di kamar kamu gitu? Kita tukeran kamar?"
Kali ini adalah Haris yang melongo. Ia bahkan meringis frustrasi.
"Ya ampun, Van. Bukan gitu konsepnya."
Vanny menggeleng. "Terserah deh apa konsepnya. Tapi, mending kamu balik sana ke kamar kamu. Aku capek dan aku mau istirahat."
"Ya makanya itu. Kamu jawab dulu pertanyaan aku," teguh Haris. "Kasih tau aku alasan kenapa kamu mutusin aku dulu. Aku janji. Setelah itu aku bakal keluar dari kamar kamu dan kamu bisa tidur dengan nyenyak. Tapi, kalaupun kalau kamu mau ngajak aku tidur bareng di sini, aku juga nggak bakal nolak."
Tangan Vanny yang sempat melepaskan kepalannya sontak mengepal kembali. Wajahnya mengeras dan tampak memerah. Ia menggeram menahan emosi.
"Kamu."
Dengan sengaja Haris membesarkan bola matanya. Sengaja sekali memberikan gestur untuk menyulut kesabaran Vanny.
"Jawab dulu," desak Haris lagi entah untuk yang keberapa. "Alasan kamu mutusin aku apa?"
Lama-lama didesak untuk hal yang sama, tentu saja Vanny merasa kesal juga. Terlebih karena tubuhnya saat itu memang letih. Bayangan kasur yang empuk sudah menari-nari di benaknya. Tapi, Vanny tau ia tidak akan bisa beristirahat selagi Haris masih ada di kamarnya dengan segala macam pertanyaan gilanya itu.
"Ayo! Jawab pertanyaan aku, Van. Apa alasan kamu mutusin aku?"
Vanny mendengkus kesal. "Ngebet banget sih mau tau. Itu juga udah lama. Kalaupun kamu tau sekarang, toh nggak bakal ngubah apa pun."
"Oh! Jangan salah, Van."
"Jangan salah apanya?"
Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, Haris menyempatkan diri untuk menarik napas sejenak. Sungguh ia tau betapa bersabar bukanlah sifatnya, nyatanya sekarang ia mendapati kenyataan aneh bin ajaib. Di mana ia bisa menahan diri selama ini dengan rasa penasaran yang tak kunjung hilang dari benaknya.
"Yang namanya orang pacaran itu adalah hubungan dua belah pihak. Kalau kamu mutusin aku, tapi aku nggak terima ..."
Perlahan ketegangan memercik tubuh Vanny. Satu kemungkinan menakutkan seketika langsung melintas di benaknya.
Jangan bilang kalau ....
Seringai timbul di wajah Haris. Tentu ia bisa menebak isi pikiran cewek itu dari ekspresi wajahnya.
"... itu artinya kita nggak jadi putus dong."
"Sembarangan!" tukas Vanny dengan wajah memerah. "Emangnya itu aturan dari mana? Yang pasti aku udah mutusin kamu dulu. Jadi di antara kita udah nggak ada hubungan apa pun lagi."
"Kamu nggak paham konsep dua belah pihak, Van?"
Bola mata Vanny berputar dengan kesan mencemooh. "Terserah! Aku nggak peduli konsep apa pun itu. Ini konsep aku. Jadi suka-suka aku. Pokoknya kita udah putus."
"Kalau gitu ... oke!"
Haris mengangguk beberapa kali. Tampak setuju dengan perkataan Vanny. Dan memang itu yang sempat diperkirakan olehnya. Tapi, apa yang diucapkan oleh Haris sedetik kemudian sukses membuat Vanny benar-benar terdiam dengan mulut membuka.
"Kalau konsep kamu gitu ya apa boleh buat. Aku juga punya konsep sendiri. Aku nggak terima dan artinya kamu masih pacar aku."
Sepertinya Vanny butuh waktu untuk mencermati perkataan Haris. Ia persis seperti komputer yang butuh waktu untuk membaca data.
Vanny mengerjapkan matanya. Berusaha bicara walau dengan gagap.
"A-apa?"
Ada senyum lebar di wajah Haris. Hingga mata cowok itu sontak menyipit karenanya. Dan ia dengan enteng menjawab.
"Ini negara demokrasi. Kamu pake konsep kamu. Aku pake konsep aku. Terserah kamu nganggap kita putus atau gimana. Tapi, dengan konsep aku ... hubungan kita belum berakhir."
Vanny mendelik. "Kamu gila!"
"Mana yang gila dengan cewek yang mutusin cowoknya tanpa ada alasan sama sekali? Kamu nggak tau bertahun-tahun aku masih bingung dengan alasan kamu mutusin aku?"
Itu bukan kebohongan. Alih-alih itu adalah kenyataan. Walau setelah tragedi pemutusan sebelah pihak itu Haris menjalani hidup seperti biasanya, tak urung pada titik tertentu ia kembali bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa bisa?
"Aku nggak ngerasa aku ada salah sama kamu, Van. Lagipula itu baru tiga bulan. Kita lagi di masa sayang-sayangnya coba."
Tak ingin, tapi nyatanya perkataan Haris sukses membuat wajah Vanny memerah juga. Mau tak mau beberapa kenangan dengan cepat melintas di benaknya.
"Bahkan kalau mau memuji diri sendiri, aku yakin aku udah jadi pacar yang baik buat kamu," lanjut Haris. "Aku antar jemput kamu. Aku ajak makan. Bahkan sebelum hari anniversary pun aku kasih kamu kado. Dan nggak cuma itu. Aku nggak ada ngelirik cewek lain dan aku juga selalu kabarin kamu kalau aku ke mana-mana. Ah! Aku juga nggak pernah ngelarang kamu buat main ke mana-mana. Jadi ..."
Sepertinya napas Haris habis juga setelah bicara panjang lebar seperti itu. Ia butuh menarik udara dulu. Terlebih dengan emosi yang menyertai tiap kata yang ia ucapkan semakin menambah sesak dadanya.
"... bilang ke aku apa salah aku? Apa alasan kamu mutusin aku? Karena ini nggak adil, Van."
Sejujurnya itulah hal yang memberatkan Haris. Ia sempat kebingungan ketika mendapati Vanny memutuskan. Dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk Haris bisa melupakannya. Walau tentu bukan berarti melupakan dengan seutuhnya. Hingga kehadiran Vanny yang tak ia duga lantas meruntuhkan semua usahanya selama ini.
Rasa ingin tau Haris muncul lagi. Rasa tak terimanya hadir lagi.
Karena sepintas memang tidak ada satu hal pun yang bisa menjadi alasan untuk Vanny memutuskannya. Terutama ketika Haris yakin bahwa cewek itu benar-benar menyayanginya.
Pun bukan hanya Haris yang bisa memperkirakan itu. Karena beberapa hari yang lalu Esti pun juga menarik kesimpulan yang sama. Tudingan yang benar-benar memojokkan Vanny.
Sekarang ketika Haris dengan sombongnya memamerkan beberapa fakta tentang betapa baik dan sempurnanya ia sebagai pacar, tentu saja Vanny makin kelimpungan. Memaksa otak untuk mencari satu alasan yang bisa ia gunakan untuk menjawab rasa penasaran Haris. Tapi, sungguh! Persis seperti tudingan Haris. Vanny tidak menemukan cela satu pun.
Kalau baik dan sempurna, lantas mengapa ia memutuskan Haris?
Vanny tidak punya pilihan lain. Lantas ia angkat wajahnya tinggi-tinggi. Berusaha menguatkan diri ketika membalas Haris.
"Kamu beneran mau tau alasan aku mutusin kamu dulu?"
Haris memang ingin tau. Tapi, ketika Vanny bersikap seperti itu maka tak urung juga jantungnya berdebar. Ia meneguk ludah, mempersiapkan diri untuk jawaban yang akan ia dapatkan. Ia mengangguk.
"Oke. Aku kasih tau kamu. Aku mutusin kamu dulu itu karena ..."
Vanny menarik udara dengan dramatis hingga pundaknya naik sekilas.
"... kamu itu terlalu baik untuk aku."
Dooong!
Haris melongo. Menunggu bertahun-tahun nyatanya itu alasan yang ia dapatkan? Haris tidak percaya.
"Kamu yang bener aja, Van."
Memangnya siapa yang akan percaya alasan seperti itu? Bahkan Vanny selaku orang yang memberikan alasan itu pun merasa mual-mual.
"E-emang bener kok," ujar Vanny dengan menebalkan muka. "Karena kamu terlalu baik dan sempurna makanya aku mutusin kamu. Aku nggak pantas buat kamu, Ris."
Haris jelas bisa menebak bahwa itu adalah akal-akalan Vanny saja. Cewek itu masih belum mau jujur padanya. Tapi, Haris tau dengan pasti bagaimana cara menghadapi hal tersebut.
"Oke! Kalau aku memang terlalu baik, harusnya kamu ngomong ke aku, Van. Bukannya malah mutusin aku sebelah pihak gini," ujar Haris dengan napas menggebu. "Karena gimanapun juga aku itu bisa jadi cowok berengsek."
Alarm peringatan sontak berbunyi di benak Vanny. "M-maksud kamu?"
Haris menyeringai. Kekehan samar lolos dari bibirnya. "Kamu nggak mau dipacarin cowok baik? Fine! Aku jadi cowok berengsek buat kamu. Gimana? Aku tidurin kamu. Aku buat kamu hamil. Terus aku nggak mau nikahin kamu. Udah cukup berengsek belum?"
Astaga.
"Gimana? Mau malam ini aku jadi cowok berengsek buat kamu? Biar kamu nggak jadi putusin aku."
Tentu saja Vanny tidak mau.
"Kamu jangan gila, Ris!"
"Kamu yang gila, Van!"
Vanny tau. Pembicaraan itu tidak akan pernah berakhir. Dan sekarang rasa lelah di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Ditambah oleh rasa lelah batin karena percakapan tersebut.
"Sudah! Mending kamu pergi deh! Aku nggak mau ketularan gila kamu. Aku mau tidur."
Haris menggeleng. "Kita bisa tidur berdua."
"Gila!"
Menukas sekali lagi, Vanny yang sudah habis kesabarannya dengan segera menepis tangan Haris yang masih bertahan di dinding. Bermaksud agar penghalang yang dibuat cowok itu hilang. Agar ia bisa beranjak dari sana.
Namun, yang terjadi justru di luar perkiraan Vanny. Karena ketika ia menepis tangan Haris, cowok itu dalam keadaan yang tidak siap. Hingga sontak saja Haris limbung. Kakinya goyah dan ia kehilangan keseimbangan.
Nyaris tersungkur ke depan, Haris buru-buru bertahan di dinding seadanya dengan satu tangannya yang lain. Merasa beruntung karena ia bisa bereaksi dengan cepat, Haris yang semula ingin mengembuskan napas lega justru sontak menahan napas di dada. Itu karena ia menyadari bagaimana sekarang wajahnya tepat berada di depan wajah Vanny dalam jarak yang amat sangat dekat.
Vanny melotot. Hidungnya nyaris menyentuh hidung Haris. Terkesiap kaget, nyatanya Vanny justru tak bisa mengucapkan sepatah kata pun di detik selanjutnya. Lantaran mata Haris yang menatapnya membuat lidahnya terasa kelu seketika.
Jakun Haris naik turun. Napas Vanny terasa hangat membelai wajahnya. Dan bibir cewek itu membuka di hadapannya.
Pada saat itu Haris menyadari bahwa rasa tak terima yang pernah ia rasakan dulu telah menyublim menjadi rasa rindu. Dan bertemu lagi dengan Vanny jelas membuat akal sehatnya menjadi berantakan. Haris mendapati otaknya seolah kosong melompong.
Dan sepertinya itu memang benar. Karena berkat kehilangan akal sehat dan otaklah hingga Haris bisa mengambil tindakan seekstrim itu. Lantaran di detik selanjutnya, tanpa kata-kata atau peringatan sama sekali, ia menundukkan wajah. Menyasar pada bibir yang membuka itu dan memerangkapnya dalam satu kecupan dalam.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top