10. Masa Lalu Oh Masa Lalu
"Permisi."
Satu suara melenyapkan keheningan yang menyelimuti Vanny dan Haris. Mereka sontak berpaling. Melihat pada seorang pelayan yang datang dengan nampan di tangannya. Ada sepiring ikan nila asam manis di sana. Lauk susulan yang dipesan oleh Haris beberapa waktu yang lalu.
"Ini pesanannya, Pak."
Sang pelayan dengan sopan menaruh piring itu di meja. Haris melihat ikan itu dengan perasaan sedikit kesal. Tapi, walau demikian ia tak lupa untuk mengucapkan terima kasih.
"Makasih."
"Sama-sama, Pak," balas sang pelayan seraya memberikan satu kali anggukan. "Saya permisi."
Ketika pelayan itu pergi, Haris tau kalau kesempatan berharganya juga turut pergi. Atmosfer yang tadi sempat terbentuk sirna sudah. Kesempatan untuknya mendapatkan jawaban juga lenyap tanpa sisa. Terutama ketika ia lihat bagaimana Vanny yang dengan sigap memanfaatkan jeda itu dengan amat baik.
"Wah!" seru Vanny seraya menarik piring ikan nila asam manis yang baru. "Akhirnya datang juga. Pas banget. Perut aku udah keroncongan minta diisi."
Tentu saja itu adalah sinyal. Kata-kata dengan maksud terselubung. Bahwa Vanny tidak ingin melanjutkan pembicaraan tadi. Maka apa yang bisa dilakukan oleh Haris selain membuang napas panjang dan turut melanjutkan makannya? Walau sudah dipastikan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.
Ketika Vanny menampilkan ekspresi orang yang amat menikmati makan malamnya dengan terlalu berlebihan, senyum tersungging aneh di bibir Haris. Dalam hati berkata..
Bukan Haris namanya kalau mudah nyerah. Jadi kamu siap-siap aja, Van. Seminggu ini cuma ada kita berdua. Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah! Karena balikan sama mantan bukan hanya karena ada niat pelakunya. Melainkan juga karena ada kesempatan.
Lalu tanpa sadar Haris tertawa.
"Hahahahaha."
Vanny yang tengah menyuap ekor ikan dalam mulutnya, melongo.
*
Menguatkan hatinya, Vanny melihat pada running text di atas pintu lift dengan jantung yang makin lama makin tak tertolong. Memang sih ia sudah lepas dari meja penghakiman yang dibuat dadakan oleh Haris. Tapi, bukan berarti semua sudah selesai sampai di sana. Nyatanya setelah makan malam pun ia belum benar-benar lepas dari Haris. Setidaknya di lift itu sekarang ia bersama dengan Haris.
"Gimana kalau kita muter-muter dulu, Van? Sekalian lihat-lihat keadaan di kota Bengkulu."
Vanny berusaha untuk menahan leher dan kepalanya. Jangan sampai menoleh dan melihat cowok itu. Alih-alih ia menggeleng.
"Sepertinya saya nggak bisa, Pak. Saya mau istirahat. Tapi, kalau Bapak mau jalan-jalan, saya bisa ngubungi Pak Joko buat ngantar."
Mendengar itu, tentu saja wajah Haris manyun.
"Apa enaknya jalan malam-malam berdua sama Pak Joko?" gerutu Haris. "Orang aku ngajak kamu juga, Van."
Vanny mencoba untuk tenang. Satu lantai lagi maka pintu lift akan membuka.
"Kalau begitu," lirih Vanny kemudian. "Saya minta maaf, Pak. Tapi, saya sedang nggak mau jalan-jalan. Apalagi kalau malam. Saya takut masuk angin."
"Aku bisa ngerok kok."
"Eh?"
Refleks, kali ini Vanny menoleh. Horor ia melihat bagaimana seringai yang timbul di wajah Haris.
"Kalau kamu masuk angin, aku dengan senang hati kok mau ngerokin kamu."
Vanny merasa perutnya mendadak mual-mual. Mungkin ikan nila yang baru ia makan sedang berenang di dalam usus besarnya. Ya ampun!
"Tenang. Sekalian aku kasih pijat plus-plus kok."
Tidak bisa tidak. Ikan nila di perut Vanny mungkin akan melompat keluar.
"Ting!"
Oke. Sepertinya ikan nila tidak akan jadi melompat keluar. Tapi, sebagai gantinya Vanny yang buru-buru keluar dari lift itu. Bahkan saking buru-burunya, ia sampai melupakan sopan santun yang selalu ia ingatkan pada dirinya sendiri. Bahwa yang ia hadapi adalah Haris selaku atasannya. Bukan Haris sebagai mantan pacarnya.
"Vanny!"
Vanny segera mengeluarkan kunci kartu dari dalam saku celana yang ia kenakan. Tergesa-gesa menaruhnya di sensor pintu, tapi nahas. Ternyata terbalik. Ketika ia sadar dan segera membalik kunci kartu, Haris sudah berada di dekatnya. Bersamaan dengan pintu yang membuka.
Vanny mendorong pintu kamarnya. Melayangkan pamitnya pada Haris.
"Maaf, Pak. Sudah malam. Saya mau istirahat," ujar Vanny gugup. "Selamat malam."
Kaki Vanny masuk selangkah seiring dengan tangannya yang bersiap untuk segera menutup pintu. Sungguh. Ia memang ingin segera masuk ke kamar.
Namun, pada saat itu mendadak saja pergerakan Vanny menjadi lebih cepat dari yang ia lakukan. Berkat satu dorongan di punggungnya, Vanny otomatis langsung masuk ke kamarnya dengan diiringi oleh pintu yang segera menutup.
Sumpah. Itu bukan Vanny yang menutupnya.
"Haris?"
Bergetar suara Vanny ketika menyebut nama cowok itu. Sementara Haris tampak santai saja ketika mengambil alih kunci kartu dari tangan Vanny. Menaruh benda itu di tempatnya sehingga lampu langsung menyala. Diikuti oleh suara televisi yang juga terdengar.
Haris tersenyum. "Tuh kan enak kalau kamu manggil nama aku timbang manggil aku 'bapak'."
Vanny baru sadar. Buru-buru menutup mulut, tapi jelas semua sudah terlambat.
"M-maaf," pinta Vanny. "Saya nggak sengaja."
Haris membuang napas dengan ekspresi lelah. Kedua tangannya naik dan mendarat di pinggang, berkacak di sana dengan kepala yang geleng-geleng.
"Ngulang lagi deh ngomong formal gitu ke mantan pacar sendiri."
Ya ampun. Seketika saja Vanny merasa pipinya panas. Dijamin. Kalau ia becermin saat ini, ia pasti akan melihat rona merah di sana. Memalukan.
"Ehm!"
Vanny mendehem. Mencoba untuk tetap tenang dalam situasi itu. Tapi, jantungnya benar-benar menunjukkan tanda-tanda yang sebaliknya.
"P-Pak, ini sudah malam. Saya mau istirahat dan sebaiknya Bapak ke kamar Bapak."
Haris menggeleng. "Aku nggak bakal balik ke kamar aku sebelum kita meluruskan beberapa hal."
"Soal?"
Mata Haris menatap pada Vanny. "Soal apa pun yang ada di antara kita."
Udara seketika tertahan di dada Vanny. Ia bisa melihat bahwa ada keseriusan di mata Haris. Dan walau mereka hanya sempat berpacaran selama tiga bulan, Vanny masih ingat beberapa sifat cowok itu. Termasuk di antaranya manja dan pantang menyerahnya.
Entah mengapa, tapi mungkin sifat manja Haris itulah yang kemudian membawanya sampai di titik ini sekarang. Sifat manja itu menuntut ia untuk mendapatkan semua yang inginkan. Dan ditunjang oleh sifat pantang menyerahnya, maka semua benar-benar komplit. Haris jelas adalah bentuk nyata keras kepala yang harus dihadapi oleh kesabaran hakiki.
Walau tentu saja. Berbekal dua sifat itu, Haris menjelma menjadi cowok cerdas dan penuh tanggungjawab. Tak heran bila kesuksesan menghampirinya di usia yang terbilang masih muda. Ia memanfaatkan sifat yang kerap dicap negatif itu menjadi hal yang positif.
Namun, Vanny bertekad ia tidak akan termasuk ke dalam pencapaian Haris yang selanjutnya.
"Pak, antara---"
"Sekali lagi kamu manggil aku 'bapak'," potong Haris dengan nada mengancam. Tampaknya ia mulai kesal juga karena permintaannya yang satu itu tidak digubris Vanny sedari tadi. "Aku buat kamu jadi ibunya, Van. Terus ada bocah-bocah yang manggil kita orang tua."
Bola mata Vanny sontak membola. Refleks, ia mundur hingga punggungnya tertahan di dinding.
"J-j-jangan macam-macam kamu, Ris."
Wajah Haris yang beberapa detik sempat terlihat gusar, berubah seketika. Santai kembali. Ia langsung tersenyum.
"Tuh kan. Nggak susah loh manggil nama aku."
Vanny meneguk ludah. Menyadari bahwa dirinya kembali salah berucap. Tapi, sumpah. Kali ini ia tidak ingin mengambil risiko.
K-kalau Haris serius ... gimana? Di sini jelas-jelas ada kasur yang siap dipake kapan aja.
Vanny tidak ingin mengambil risiko. Bayangan ada bocah berkepala botak hanya mengenakan celana pendek memanggilnya ibu adalah hal yang membuat ia horor.
Eh? Bocah botak pake celana pendek doang? Itu ... tuyul maksudnya?
Buru-buru Vanny menjernihkan kembali otaknya. Karena terbukti. Dengan keberadaan Haris di hadapannya, sistem kerja tubuhnya benar-benar berantakan. Tidak terkendali.
"Tenang, Van. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok. Nggak usah gemetaran gitu," ujar Haris dengan geli. Sekelumit senyum yang muncul di wajahnya memang menunjukkan bahwa saat itu ia sedang menahan lucu.
Apa Vanny memang gemetaran? Ehm ... sepertinya iya sih.
Vanny mencoba untuk menguasai diri. Berusaha untuk tidak terintimidasi oleh cowok itu. Tapi, ketika Haris mendadak melangkah sekali, refleks saja Vanny kembali mundur walau jelas-jelas ada dinding di belakangnya.
"A-aku nggak gemetaran," kata Vanny sok tenang. "Jadi apa yang mau kamu omongin?"
Haris terlihat berseri-seri mendengar perbedaan di cara bicara Vanny. Hal itu membuat perasaannya menjadi senang.
"Kan? Lebih enak gini ngomongnya. Kita berasa akrab lagi."
Sepertinya Vanny tetap harus waspada dengan kemungkinan ikan nila yang akan melompat keluar dari mulutnya. Bagaimana bisa perkataan Haris kembali berhasil membuat perutnya bergejolak?
"Ehm!" dehem Vanny seraya menenangkan diri. "Langsung aja deh. Apa yang mau diomongin? Aku mau tidur. Ini udah malam."
Haris mengangguk seraya menarik napas dalam-dalam. Ia pun sadar bahwa malam terus beranjak. Sejujurnya tubuh Haris pun terasa letih.
"Seperti yang aku bilangin di awal tadi. Kita perlu meluruskan beberapa hal. Dan yang pertama adalah ..." Haris menatap mata Vanny, melihat dengan jelas pergerakan samar di leher cewek itu. "... aku nggak mau kamu manggil aku 'bapak' di saat-saat tertentu. Di saat kita nggak dalam urusan kantor, aku nggak mau."
Bola mata Vanny sedikit membesar. "Tapi, sekarang kita dalam perjalanan dinas kantor."
"Dan jam kerja itu berakhir di jam empat sore. Sementara sekarang sudah jam sembilan malam."
Vanny menutup mulutnya. Tak bisa lagi membalas perkataan Haris.
"Yang kedua?"
"Yang kedua ... ehm ...."
Mata Vanny membalas tatapan Haris. Tak lama sih. Karena sedetik kemudian Haris tampak membawa fokus matanya ke tempat lain. Yang tak benar-benar menjadi perhatiannya lantaran ia hanya berusaha menghindari tatapan Vanny saja.
"Kalau emang nggak ada yang kedua," lanjut Vanny seraya menarik udara sejenak. "Lebih baik kamu keluar deh, Ris. Aku mau tidur."
Fokus mata Haris kembali pada mata Vanny. Sepertinya cowok itu benar-benar senang mendengar Vanny menyebut namanya.
"Yang kedua yang perlu kita luruskan adalah ...," ujar Haris buru-buru sebelum Vanny mengusirnya dari kamar itu. "... mengenai peristiwa bertahun-tahun dulu."
Ketika Vanny mendengar perkataan Haris yang satu itu maka tubuhnya sontak membeku. Wajahnya terlihat tegang seketika. Bahkan saking kakunya Vanny, ia sampai tidak bergerak ketika Haris mendekatinya.
Sekarang Haris berada tepat di depan Vanny. Menatap lurus pada matanya dengan satu tangan yang naik ke atas. Bertahan pada dinding dan menutup kemungkinan bagi Vanny untuk beranjak dari sana.
"Vanny."
Suara Haris ketika menyebut nama Vanny terdengar berbeda. Terdengar rendah, dalam, dan juga berat. Membuat Vanny yang sudah tegang meremang seketika. Bulu kuduknya berdiri dengan kompak. Tapi, anehnya itu tidak menyurutkan Vanny untuk mengangkat wajahnya. Karena ketika namanya disebut oleh Haris, cewek itu seperti kehilangan akal pula. Pada akhirnya ia pun balik menatap mata Haris pula.
"Kenapa kamu mutusin aku?"
Akhirnya satu pertanyaan itu Vanny dapatkan juga. Setelah bertahun-tahun lamanya kejadian itu berlalu, Vanny mendapati dirinya sedang dituntut oleh masa lalu. Dalam bentuk seorang mantan yang telah menahan rasa penasaran selama ini. Untuk penyebab yang menjadi alasan hingga ia diputuskan sebelah pihak. Tanpa bisa membela diri sedikit pun.
Maka Haris lantas menunduk. Makin mengikis jarak di antara mereka berdua. Dan ketika napasnya membelai wajah Vanny, ia bertanya.
"Aku ada salah apa sama kamu?"
Tak berkedip membalas tatapan Haris, Vanny hanya bisa mengepalkan kedua tangannya di sisi badan. Dalam hati, ia merutuk.
Mampuslah aku.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top